Siapa yang tidak kenal Bali? Pulau seribu pura yang memiliki berbagai ragam
budaya, adat, marga satwa, serta tak lupa dengan pesona pantai dan pemandangan
alamnya yang sangat memanjakan mata.
Selain dikenal dengan kecantikan pulau dan pantainya, pesona Bali juga kental
dengan ciri khas arsitekturnya yang berbeda dan punya unsur kuat. Hampir
semua bangunan bernuansa Bali memperlihatkan material yang kental dengan
nuansa alami dan juga ukiran yang indah menghiasi hampir berbagai sudut
bangunan.
Dikatakan bahwa arsitektur tradisional Bali berasal dari dua sumber. Salah
satunya adalah tradisi Hindu yang besar dibawa ke Bali dari India. Yang kedua
adalah arsitektur pribumi sebelum epik Hindu dan dalam banyak hal
mengingatkan bangunan Polinesia. Dimana struktur bangunan di Bali yang masih
tradisional, menggunakan konsep Hindu dan Bali Kuno. Yang mana Bali Kuno
sendiri masih dipengaruhi kerajaan Hindu Jawa yang datang ke Bali dahulu.
Mulai dari struktur pembagian bangunan di pekarangan, bentuk padmasana
maupun sanggah kemulan, hingga penataan arah dari bangunan itu sendiri.
1. Adanya perubahan gaya hidup yang lebih modern ketika pemilik rumah
memiliki kendaraan bermotor, maka terjadi perubahan pada bentuk rumah
bali, seperti ditiadakannya undakan dan aling-aling di pintu masuk.
Kemudian dengan keterbatasan lahan yang ada saat ini, pembangunan
rumah bali tidak lagi dipisah perruang, namun digabungkan dalam satu
bangunan yang monolit. Yang menyebabkan struktural dari pekarangan
rumah Bali masa kini tidak dapat disamakan dengan arsitektur tradisional
Bali.
Sebagai masyarakat Bali yang cerdas dan berbudaya, sudah sepatutnya kita
melestarikan adat dan budaya sendiri, yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Sesuai dengan Peraturan Walikota Denpasar nomor 25 tahun 2010 menyebutkan
bahwa setiap bangunan yang dibangun di Denpasar, sudah berkewajiban untuk
menghadirkan unsur arsitektur Bali pada bangunannya. Sehingga, ciri khas
arsitektur Bali tidak akan punah, dan justru mendorong arsitek – arsitek lokal
untuk berkiprah di rumahnya sendiri. Meski Arsitektur Bali Modern tidak sama
dengan yang tradisional, tapi sebagai penerus adat dan budaya leluhur, kita
sejatinya menyesuaikan adat dan budaya yang kita miliki dengan pengaruh
modern tanpa perlu menghilangkan unsur budaya yang ada. Sudah semestinya
bagi kita semua untuk menghargai dan melestarikan budaya yang ada, agar tidak
tergerus oleh arus modernisasi.
Barangkali ini adalah saat yang tepat untuk menempatkan tradisi pada posisinya
yang pas. Tradisi tidak harus diperjuangkan secara kaku. Kita perlu menjadi lebih
fleksibel dalam menyikapi apa yang sudah ditransmisikan oleh pendahulu kita:
tidak perlu terlalu kaku dan tidak juga perlu terlalu antipati hingga meninggalkan
tradisi itu sendiri. Tradisi itu ada untuk selalu mendapat pemaknaan ulang agar
dapat diaktualisasi tanpa memandang waktu. Selanjutnya dalam memandang
tradisi, kita pertimbangkan untuk menghadapi persoalan hari ini dan persoalan
masa depan dengan berkaca pada masa lalu. Atau barangkali arsitektur Bali dalam
menjaga kesinambungan sejarah dapat direalisasi dengan cara menempatkan
pengetahuan arsitektur tradisional sebagai dasar interpretasi ulang membangun
sebuah bangunan. Akhirnya, sebagai calon pembangun bangsa sudah hakikatnya
kita memahami bagaimana menempatkan pengetahuan tradisi nenek moyang
dalam menjaga keberlanjutan arsitektur dan lingkungan tanpa membatasi
kreativitas:
TRANSISI ARSITEKTUR BALI SEIRING
PERKEMBANGAN ZAMAN