Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toponimi
Toponimi, dalam bahasa Inggris “toponym” secara harafiah artinya nama tempat di muka bumi
(“topos” adalah “tempat” atau “permukaan” seperti “topografi” adalah gambaran tentang
permukaan atau tempat-tempat di muka bumi, dan “nym” dari “onyma” adalah “nama”), dan
dalam bahasa Inggris kadang-kadang disebut “geographical names” (nama geografis) atau “place
names”. Ada istilah “topologi”, yaitu suatu cabang matematika yang berkaitan dengan sifat-sifat
geometri suatu figur yang tidak berubah jika ditransformasi dengan suatu cara tertentu
(Webster‟s New World Dictionary 1960). Dalam bahasa Indonesia kita pakai istilah “nama
unsur geografi” atau “nama geografis” atau “nama rupabumi”. Rupabumi adalah istilah bahasa
Indonesia untuk “topografi”. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di
pasal 7 disebut “nama bagian rupabumi” (topografi) atau nama “unsur rupabumi”. Begitu juga
dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama
Rupabumi, memakai istilah “nama rupabumi” (Rais et al, 2008 : 4-5).
Toponimi (Inggr. “toponymy”) mempunyai 2 pengertian : (Raper 1996)
(a) Ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim pada umumnya dan tentang nama
geografis khususnya, dan
(b) Totalitas dari toponim dalam suatu region.
Rais et al (2008 : 87) menjelaskan bahwa unsur rupabumi adalah bagian permukaan bumi yang
berada di atas dataran dan permukaan laut serta di bawah permukaan laut yang dapat dikenali
identitasnya sebagai unsur alam atau unsur buatan manusia.
Unsur rupabumi terdiri dari enam kategori, yaitu:
1. Unsur bentang alami (natural landscape features), seperti gunung, bukit, sungai, danau,
laut, selat, pulau, termasuk unsur-unsur bawah laut seperti palung, cekungan, gunung
bawah laut, dan sebagainya.
2. Tempat-tempat berpenduduk dan unsur lokalitas (populated places and localities).
Sebagai contoh unsur-unsur lokal misalnya bangunan bersejarah, makam pahlawan,
mesjid, gereja, stasiun bis, kereta api, dan sebagainya.
3. Pembagian administratif/politis dari negara (civil/political subdivisions of a country)
seperti Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, distrik pemilu, dan sebagainya.
4. Kawasan administrasi (administrative area) seperti taman nasional, hutan lindung, daerah
konservasi, cagar alam, kawasan margasatwa, lahan basah, dan sebagainya.
5. Rute transportasi (transportation route) seperti jalan, jalan tol, jalan setapak, dan
sebagainya.
6. Unsur-unsur yang dibangun/dikonstruksi lainnya (other constructed features) seperti
bandara, dam, monumen, kanal, pelabuhan, mercusuar, dan sebagainya.
2.2 Landmark
Landmark secara umum dapat diartikan sebagai penanda. Dalam suatu kawasan
keberadaan suatu landmark berfungsi untuk orientasi diri bagi pengunjung. Landmark dapat
berupa bentuk alam seperti bukit, gunung, danau, lembah, dan sebagainya. Dalam
perkembangannya, landmark dapat berupa gedung, monumen, sculpture, tata kota, alur jalan,
dan vegetasi.
Menurut Wikipedia Indonesia : “landmark adalah sesuatu objek geografis yang
digunakan oleh para pengelana sebagai penanda untuk bisa kembali ke suatu area. Dalam
konteks modern hal tersebut bisa berwujud apa saja yang bisa dikenali seperti monumen, gedung
ataupun sculpture lain.”
Sedangkan menurut buku Perancangan Kota Secara Terpadu (Markus Zahnd, 2006) :
“Landmark adalah titik referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk ke dalamnya
karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk
visual yang menonjol dari kota.”
Keberadaan landmark suatu kawasan sangat penting saat ini. Ditengah maraknya
perkembangan global lewat kebebasan informasi, gaya bangunan dan tata kota menjadi serupa
satu sama lain. Gaya bangunan secara arsitektural merupakan gaya yang berlaku di seluruh
dunia. Meskipun dalam aplikasinya saat ini mulai dikembalikan pada kearifan lokal, namun
kemiripan gaya tersebut sedikit mengaburkan ciri khas dari suatu kawasan.
A. Landmark mempermudah manusia dalam mengenali tempat berpijak.
Ketika kita mengunjungi suatu kawasan yang belum pernah kita kenal ataupun kita
kunjungi, kita akan mencari sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai acuan awal yang menjadi
patokan kita untuk kembali apabila akan berkeliling kawasan tersebut. Acuan awal yang kita
pilih pasti sesuatu yang mudah diingat, seperti tugu, taman kota, atau tempat kita pertama kali
memasuki kawasan tersebut seperti gapura, bandara, terminal, dan sebagainya.
Dalam perancangan suatu kawasan, keberadaan acuan tersebut sangat penting. Tidak
adanya acuan yang dapat digunakan akan membawa citra kurang baik bagi kawasan tersebut.
Terlebih bagi pengunjung dari luar kawasan atau lebih sering disebut turis karena akan membuat
bingung ketika mereka berkeliling dalam kawasan tersebut.
B. Hierarki suatu wilayah
Selain digunakan untuk penanda kawasan, keberadaan landmark juga sering digunakan
sebagai hirarki suatu wilayah. Banyak contoh dimana suatu landmark kawasan menjadi titik
penting dalam merencanakan tata kota, jalur transportasi, maupun hirarki kebudayaan.
Sebagai contoh, keberadaan Tugu Yogyakarta yang saat ini menjadi ikonnya kota gudeg.
Jalan-jalan utama yang dibangun di kota Yogyakarta mempunyai pusat di Tugu Yogya. Seperti
jalan menuju Kraton dan juga jalan antar kota seperti jalan menuju kota Solo, Magelang, dan
Wates. Tugu merupakan persimpangan ketiga arah jalan tersebut. Menurut sejarah memang
Tugu Yogya digunakan pihak Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat sebagai salah satu elemen
dalam pembentukan garis imajiner (garis yang tidak terlihat secara nyata) yang menghubungkan
antara gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogya, Panggung Krapyak dan Laut Kidul sebagai garis
lurus. Hal ini menjadikan Tugu sebagai landmark kota Yogya mempunyai arti lebih daripada
sekedar landmark kota sebagai bangunan cagar budaya. Di kawasan lain pun hal tersebut banyak
dijumpai, baik dalam skala besar ataupun kecil.
C. Penunjuk arah
Dalam suatu kawasan maju yang mempunyai penduduk padat dan banyaknya bangunan
baik hunian, komersial, pendidikan dan pemerintahan dibutuhkan sesuatu yang menjadi acuan
untuk menemukan arah. Adanya landmark yang lebih menonjol daripada bangunan disekitar
akan membantu untuk dapat menentukan arah tujuan. Acuan tersebut dapat berupa bangunan
tinggi, jembatan layang (fly over), monumen tinggi, dan sebagainya. Aspek paling penting
adalah acuan tersebut dapat terlihat menonjol daripada bangunan lainnya.
Pengunjung kota Paris akan lebih cepat menemukan arah ke Menara Eiffel karena ketinggian
bangunan yang terlihat jelas. Begitu juga menara Petronas, World Trade Centre, dan bangunan
tinggi lain di dunia. Disamping bangunan tinggi, keberadaan bukit atau gunung dari suatu
kawasan akan memberi informasi arah yang jelas, seperti gunung Merapi yang berada di sebelah
utara kota Yogyakarta.
D. Pembentuk Skyline
Bangunan dalam suatu kawasan memang memberikan warna pada wajah kota. Namun
hal tersebut hanya jika dilihat dari sudut pandang yang memungkinkan. Begitu juga dengan
ketinggian bangunan beraneka ragam, akan membentuk skyline dari kawasan tersebut.
Ketinggian bangunan yang hanya dapat dilihat puncaknya saja akan memberi nilai artistik luar
biasa bagi kawasan tersebut. Keunikan dari tata bangunan dapat menjadi landmark tersendiri
bagi kawasan tersebut.
Selain menambah nilai artistik suatu kawasan, ketinggian bangunan yang berbeda-beda
dapat memberikan informasi mengenai fungsi bangunan tersebut. Bentuk bangunan yang dapat
terlihat jelas dari jarak jauh dapat mengindikasikan apakah suatu bangunan sebagai bangunan
hunian, komersial, pemerintahan maupun fungsi lainnya. Dengan demikian akan mudah bagi
pengunjung untuk menentukan arah dan sebagai penanda kawasan.

2.3 Pemberian Nama Landmark


Pemberian nama landmark suatu tempat tergantung pada tiga hal :
a. Tujuan objek landmark dibuat
b. Sejarah objek tersebut
c. Bahasa yang digunakan untuk pemberian nama landmark tersebut
Ketiga hal tersebut secara umum dipaparkan pada poin 2.1.

2.4 Fungsi Toponimi


Nama rupabumi (toponim) sangat penting untuk menunjang perkembangan ekonomi
regional maupun global, dapat merespon bencana secara cepat dan sebagai media global dalam
komunikasi nasional maupun internasional.
Pentingnya toponim akan menjadi begitu terasa pada saat kebijakan AFTA diberlakukan.
Toponim juga menjadi bagian dari sebuah agenda berita yang muncul di semua bahasa
komunikasi sebagai pembeda, juga dalam memberitakan suatu lokasi bencana terjadi. Peranan
media global dalam mempersepsikan toponim akan menjadi luas bahkan toponim bukan sekedar
isu geografis, tetapi sudah menjadi isu sentral dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Toponim dan standarisasi penamaan sangat penting untuk dilakukan, khususnya ketika
sebuah peta yang mengandung toponim menjadi sebuah alat untuk berkomunikasi baik secara
nasional maupun internasional, utamanya dalam perkembangan ekonomi global di Indonesia.
Standarisasi toponim tidak hanya berlaku untuk wilayah daratan, tetapi juga dalam penamaan
lautan dan unsur geografisnya (toponym maritime). Terkait dengan hal tersebut, United Nations
Group of Experts on Geographical Names Asia South East Division (UNGEGN ASE Division)
mengadakan seminar dengan tema “ The Power of Place Names in Economic Development,
Disaster Response and Global Media”.

2.5 Pembakuan Nasional


Pedoman Pembakuan Nama Unsur Geografi di Indonesia
Pedoman pertama:
Dalam menulis nama unsur geografi ditulis terpisah antara nama generik dan nama
spesifiknya. Lihat contoh di bawah ini:
Nama generik dan nama spesifik suatu unsur / ciri geografi ditulis secara terpisah:
Sungai Musi; Air Bangis; Krueung Aceh; Ie Mola; Wai Seputih; Batang Hari; Ci Liwung;
Danau Toba; Laut Jawa; Selat Sunda; Pulau Nias; Tanjung Cina; Kota Bandung; Gunung
Merbabu; Bukit Suharto. Singkatan Nama Generik di peta: Tanjung : Tg.; Pulau: P.; Laut:
L.; Selat: Sel.; Wai: W. Sungai: S atau Sei, Ujung: U. Kota, Umumnya generik “Kota” tidak
ditulis dan juga tidak disebut karena orang tahu bahwa itu nama kota: “Kota Bandung”
atau“Bandung” saja.
Pedoman kedua:
Banyak nama spesifik di Indonesia, khususnya nama kota dan pemukiman memuat juga
nama generik dalam nama spesifiknya, seperti nama-nama kota memakai gunung, bukit,
tanjung, ujung, pulau dst dalam nama spesifiknya.Dalam kasus ini nama spesifik tersebut
ditulis dalam satu kata. Contoh di bawah ini:
Gunungsitoli; Cimahi; Ujungpandang; Bukittinggi; Muarajambi; Tanjungpinang;
Tanjungpriok; Krueungraya; Sungailiat; Bandarlampung; Airmadidi; Sungaipenuh;
Kualasimpang.Contoh di Jawa Barat ada sungai yang bernama Ci Liwung (harus ditulis
dengan 2 kata). Tetapi jika suatu kota (generik) “Ci” dipakai dalam nama spasifik, maka
ditulis dengan satu kata (Cimahi, Cibinong, Cikampek).
Pedoman ketiga
Jika suatu nama spesifik ditambah dengan kata sifat di belakangnya atau penunjuk arah,
maka ditulis terpisah. Contoh: Jawa Barat; Kebayoran Baru; Sungai Tabalong Kiwa;
Kotamubago Selatan; Kampung Desatengah Selatan; Nusa Tenggara Timur; Panyabungan
Tonga; Pagarutang Jae (tonga = tengah; jae= utama di kabupaten Tapanuli Selatan);
Kemang Utara; Durentiga Selatan.
Pedoman keempat
Jika nama spesifik yang terdiri dari kata berulang, ditulis sebagai satu kata. Misalnya
Bagansiapiapi; Siringoringo; Sigiringgiring; Mukomuko. Jika nama spesifik yang ditulis
dengan angka sebagai penomoran, maka nomor ditulis dengan huruf, misalnya Depok Satu;
Depok Dua; Depok Timur Satu; Koto Ampek. Jika nama spesifik terdiri dari dua kata benda,
ditulis sebagai satu kata, misalnya Tanggabosi; Bulupayung; Pagaralam.
Pedoman kelima
Nama spesifik terdiri dari kata benda diikuti dengan nama generik, maka ditulis sebagai satu
kata, misalnya: Pintupadang; Pagargunung; Pondoksungai; Kayulaut.
Nama spesifik yang terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik diikuti dengan kata
sifat atau kata benda, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Torlukmuaradolok (torluk =
teluk; muara = muara; dolok = gunung); Muarabatangangkola (muara dan batang adalah
nama generik; angkola = nama benda).
Pedoman keenam
Banyak contoh nama spesifik terdiri dari 4 kata atau lebih, misalnya beberapa daerah di
Tapanuli Selatan: Purbasinombamandalasena; Dalihannataluhutaraja; Hutalosungparandolok
Lorong Tiga; Gunungmanaonunterudang. Untuk memudahkan disarankan tidak memakai
nama yang panjang. Banyak nama-nama unsur geografi yang berasal dari nama asing atau
daerah yang terucapkan dengan lidah Indonesia atau diterjemahkan secara harafiah dalam
bahasa Indonesia atau diganti dengan nama Indonesia.
Yang berasal dari pengucapan bahasa daerah:
Tanjong Priok seharusnya ditulis Tanjungperiuk atau Tanjungpriok (kalau “priok” bahasa
Betawi dari “periuk”; Ayer Item seharusnya Air Hitam
Yang berasal dari bahasa asing dengan pengucapan gaya bahasa Indonesia:
Singerland menjadi Sangerlang; Glen More menjadi Glemor; Malborough menjadi
Malioboro; Zandvoort menjadi Sanpur, Sampur; Plantation menjadi Plantingan, dan
sebagainya
Nama-nama yang sudah resmi diganti
− Batavia menjadi Jakarta (dari Jayakarta)
− Kutaraja menjadi Banda-Aceh (Banda Aceh, Bandaaceh)— perlu Lembaga Bahasa
mengkajinya
− Pulau Raja menjadi Pulaurakyat
− Pusaka Ratu menjadi Pusakanegara
− Peperbaai menjadi Teluk Lada
− Hollandia menjadi Sukarnopura kemudian Jayapura
Kegiatan Verifikasi dan Pembakuan Nama Geografis
Di era globalisasi informasi, semua orang dapat mencari nama tempat dengan begitu
mudahnya. Akan tetapi, keakuratan informasi yang diperolehnya sangat tergantung pada
sumber data dari nama geografis tersebut. Nama geografis yang tersaji di dalam beberapa
sajian peta atau situs online yang menggambarkan permukaan bumi dengan nama sebagai
informasi kunci untuk pencarian sebuah lokasi atau tempat dapat menjadi alat bantu atau
malah menyesatkan. Hal ini dapat terjadi apabila sumber data yang dipergunakan belum
merupakan nama geografis yang telah diverifikasi.
Banyak nama rupabumi dari berbagai sumber sajian informasi di dunia maya
tampaknya perlu mendapat perhatian dan dikontrol oleh otoritas pembakuan nama (Perdana,
dkk., 2012). Sedianya data tersebut dapat dijadikan sebagai data sekunder untuk kemudian
diverifikasi sesuai dengan pedoman dan prosedur verifikasi dan pembakuan nama rupabumi
yang telah disusun oleh TNPNR. Verifikasi dan pembakuan nama rupabumi dilakukan
untuk mempertahankan nama sebagai identitas yang unik, konsistensi dan akurasi serta arti,
makna dan sejarah di balik sebuah nama (Perdana, dkk., 2011a; Mayasari, dkk., 2011).
Tahapan proses inventarisasi nama rupabumi hingga verifikasi dan pembakuannya
sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun tentang
Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi

Prosedur Inventarisasi, Verifikasi dan Pembakuan Nama Rupabumi


(Sumber: Permendagri Nomor 39 Tahun 2008)
Road Map dan Kemajuan Proses Pembakuan Nama Rupabumi
Terbentuknya Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi berdasarkan PERPRES No.
112/2006 sebagai implementasi resolusi PBB I/4, Rekomendasi B: bahwa pada tahap awal
dalam standarisasi internasional nama-nama geografis, setiap negara harus mempunyai
otoritas nasional nama-nama geografis. Hal ini sebagai titik tolak dalam pembakuan nama-
nama geografis secara nasional dan pengelolaan nama-nama geografis secara berkelanjutan
sejalan dengan perubahan dinamika masyarakat.
Kegiatan pembakuan nama rupabumi yang diselenggarakan oleh TNPNR dengan
dukungan PPNR Provinsi dan Kabupaten/Kota telah memiliki road map (Gambar 7).
Dimulai dari tahun 2005 hingga 2009 telah dilakukan verifikasi dan verifikasi nama pulau,
tahun 2009-2011 dilakukan verifikasi nama wilayah administrasi, dan tahun 2012-2014
verifikasi nama rupabumi unsur alami. Tahun 2015-2017 akan dilakukan verifikasi nama
rupabumi unsur buatan dan tahun 2018-2020 verifikasi nama rupabumi warisan budaya.

Road Map Verifikasi Nama Rupabumi TNPNR


Proses Verifikasi Data Nama Rupabumi
Sumber
Rais, Jacub, dkk. 2008. Toponimi Indonesia. Jakarta : Pradnya Paramita.
Rais, Jacub. 2007. “Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pembakuan Nama Geografis di
Dunia,” dalam : Widodo E. Santoso dan Titiek Suparwati (eds), Risalah Workshop
Toponimi : Kebijakan dan Implementasi Pembakuan Nama Rupabumi, hlm. 39-59.
Jakarta : Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang Bakosurtanal.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasia, Jakarta, Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi,
Jakarta Pusat, Indonesia.
R. Mayasari, A.P. Perdana, A.K. Mulyana., 2012. "Status Terkini Gasetir Rupabumi dan
Pemanfaatannya bagi Kegiatan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi". Prosiding
Seminar Internasional dan Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia. BADAN
INFORMASI GEOSPASIAL and IKATAN SURVEYOR INDONESIA
Bachtiar, dkk. 2008. Toponimi Kota Bandung. Bandung : Bandung Art & Culture Council.
Wardani, Inayah. 2015. “Toponimi Nama Stasiun Kereta Api Commuter di Jabodetabek”. Tesis.
Universitas Indonesia : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Ilmu Linguistik.
Situmorang, Sodjuangon. 2007. “Arti dan Pentingnya Kebijakan Nasional Tentang Pembakuan
Nama Rupabumi,” dalam : Widodo E. Santoso dan Titiek Suparwati (eds), Risalah
Workshop Toponimi : Kebijakan dan Implementasi Pembakuan Nama Rupabumi, hlm. 1
7. Jakarta : Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang Bakosurtanal.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2008

Anda mungkin juga menyukai