Anda di halaman 1dari 16

Tatalaksana Anastetik pada Pasien dengan Sepsis Berat

Kesimpulan
Sepsis berat, yaitu sindrom dengan karakteristik inflamasi sistemik dan disfungsi
organ akut sebagai respon terhadap infeksi dan merupakan masalah kesehatan yang besar
yang mengenai semua umur di dunia. Ahli anastesi memiliki peranan penting dalam
tatalaksana pasien dengan sepsis berat dimulai dari perburukan awal di tingkat ruangan,
transfer ke ruang pemeriksaan diagnostik dan tatalaksana intraoperatif untuk pembedahan
darurat. Waktu pemberian terapi antimikroba intravena yang tepat merupakan langkah yang
paling penting dalam menangani pasien dengan sepsis berat yang membutuhkan pembedahan
untuk mengontrol sumber dari sepsisnya. Resusitasi preoperatif bertujuan untuk
mengoptimalkan perfusi organ mayor, yang berdasarkan kebijakan penggunaan cairan,
vasopressor dan inotropik. Tatalaksana anastesi intraoperatif membutuhkan kehati-hatian
dalam induksi dan pemeliharaan dari anastesi, pengoptimalan volume intravaskular,
menghindari kerusakan paru-paru akibat ventilasi mekanik, dan indeks ginjal dan kadar
elektrolit. Penanganan post-operatif saling bertumpang tindih dengan tatalaksana yang
berlanjut pada pasien dengan sepsis berat di ruang rawat intensif. Pasien-pasien ini telah
terdefinisi sebagai resiko tinggi yang juga membutuhkan beberapa pendukung dan
pengalaman dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan hasil yang memuaskan. Sama
seperti infark miokard akut, stroke atau trauma akut, golden hours dari penanganan klinis dari
sepsis berat menunjukkan betapa pentingnya kesempatan untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Penilaian klinis yang cepat, resusitasi dan tatalaksana pembedahan dari berbagai
multidisiplin tim, dan terapi antimikroba awal merupakan kunci untuk meningkatkan klinis
pasien.

Epidemiologi
Sepsi berat dan syok septik merupakan permasalahan kesehatan utama dengan laporan
kejadiannya 66-132 per 100.000 populasi di USA dan UK. Pada tahun 2001, sebuah
konverensi konsensus (Society of Critical Care Medicine, European Society of Intensive Care
Medicine, American College of Chest Physicians, American Thoracic Society, and Surgical
Infection Society) menyimpulkan dasar dari definisi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) yang dijelaskan pada tahun 1992 oleh American College of Chest
Physicians and the Society of Critical Care Medicine harusnya sebagian besar tidak berubah
(Tabel 1). Dikarenakan keterbatasan dari definisi SIRS dan infeksi, konferensi konsensus
mengusulkan perluasan tanda-tanda yang memungkinkan dari sistemik inflamasi yang dapat
dinilai dari pasien yang terlihat mengalami sepsis (Tabel 2).
Sepsis berat terjadi pada 1-2% dari semua rumah sakit dan mencatat sebanyak 25%
dari penggunaan Intensive Care Unit (ICU). Hal ini sering terjadi pada orang tua,
imunokompromais, dan pasien dengan keadaan kritis dan merupakan penyebab terbesar dari
kematian di ICU- ICU seluruh dunia. Sepsis merupakan penyebab kedua dari kematian pada
pasien non-koroner ICU. Angka mortalitas masih tetap tinggi sekitar 30-50% meskipun
terjadi peningkatan perawatan 10-15 tahun yang lalu.

Penyebab Sepsis
Penyebab sepsis berat bisa berupa penyebab infektif dan non-infektif (Tabel 3).
Infeksi sering terjadi dan juga dapat diobati, oleh karena itu pada pasien dengan tanda klinis
SIRS, penyebab infeksi harus giat dicari. Infeksi yang didapat dari komunitas (community-
acquired infections) pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat dapat dengan mudah
dikenali daripada infeksi yang didapat dari rumah sakit (nosokomial infections) pada pasien
yang dirawat di rumah sakit dalam keadaan lemah. Infeksi menyebabkan sepsis termasuk
infeksi sistem saraf pusat (SSP), sebagai contoh meningitis dan ensefalitis, infeksi
kardiovaskular sepeti endokard pada pasien yang dirawat di rumah sakit dalam keadaan
lemah. Infeksi menyebabkan sepsis termasuk infeksi sistem saraf pusat (SSP), sebagai contoh
meningitis dan ensefalitis, infeksi kardiovaskular sepeti endokarditis infektif, infeksi
respiratori seperti pneumonia, infeksi gastrointestinal seperti peritonitis atau infeksi saluran
kemih seperti pielonefritis. Meskipun infeksi bakteri merupakan penyebab infeksi yang
sering terjadi, virus dan jamur dapat juga menjadi penyebab syok sepsis. Penyebab non-
infektif termasuk trauma berat atau perdarahan berat dan penyakit sistemik akut, seperti
infark miokard, emboli paru dan akut pankreatitis. Tabel 4 menyimpulkan klinis dari sindrom
sepsis berat, patofisiologi yang mendasari tanda dan gejalanya, dan organisme yang seing
terlibat.

Patofisiologi dari Sepsis


Diskusi yang mendetail dari fisiologi sepsis diluar ruang lingkup artikel ini, akan
tetapi hal ini sudah dibahas secara komprehensif. Artikel ini berfokus pada manajemen
anastetik pada pasien dengan sindrom sepsis.

Tatalaksana Anastetik
Ahli anastesi sering terlibat dalam dalam perawatan pada pasien dengan sepsis parah
di departemen emergensi. operating theathre atau ICU. pengontrolan sumber infeksi,
termasuk pembedahan drainase dari abses atau debridemen dari jaringan nekrotik yang
bersamaan dengan terapi awal antimikroba yang efektif, merupakan pusat dari suksesnya
terapi pada pasien dengan sepsis berat. Pada pembedahan dengan resiko tinggi atau pasien
trauma dengan sepsis, pengoptimalan awal dari hemodinamik sebelum perkembangan dari
gagalnya organ menurunkan mortalitas sekita 23% dibandingkan dengan pasien yang
dioptimalisasi setelah terjadi gagal organ.

Penilaian Preoperatif
Meskipun tidak semua pasien dengan sepsis berat mempunyai fokus infeksi, kita
harus menilai pasien secara sistematis untuk mencari adanya sumber infeksi (Tabel 4).
Sumber primer dapat menjadi bukti yang jelas (seperti trauma, terbakar, pembedahan
sebelumnya) atau menjadi lebih sulit untuk diidentifikasi (seperti empiema dari kandung
empedu, pankreatitis, sepsis ginekologi dan infeksi tulang dan jaringan lunak), terutama pada
pasien gelisah yang tidak kooperatif. Penilaian harus berfokus pada keparaha dari SIRS,
tingkat hidrasi intravaskular, adanya syok dan disfungsi multiorgan, dan adekuatnya
resusitasi hemodinamik.

Surviving Sepsis Campaign


Dalam proses konsultasi internasional untuk standarisasi dari pasien-pasien sepsis
dengan kondisi kritis, Surviving Sepsis Campaign mengusulkan bahwa terapi dikelompokkan
atau di ‘bundle’ untuk bagian dari pasien. Konsepnya seperti Advance Trauma Life Support
(ATLS), dimana terapi yang diberikan berdasarkan situasi klinis. Meskipun ada kabar burung
yang menyatakan bahwa ‘bundle theraphy’ tidak dikhususkan untuk satu individu, dan
kurangnya evidence based medicine untuk menjadikannya sebagai acuan, manajemen dan
hasil meningkat setelah program edukasi yang dilaksanakan oleh Institusi Surviving Sepsis
Campaign.

Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena harus diberikan secepat mungkin setelah diagnosis
sepsis berat dan syok septik ditegakkan. Tidak ada bukti bahwa penundaan pemberian
antibiotik sampai mulai prosedur pembedahan atau sampai adanya hasil kultur mikrobiologi
dapat memberikan benefit. Sampel yang diambil seharusnya sesuai untuk kulture sebelum
pemberian terapi antimikroba lini pertama. Obat-obat antimikroba baiknya diberikan
intravena dan dengan dosis yang cukup untuk mencapai konsentrasi. Pemilihan antimikroba
seharusnya berdasarkan dari riwayat klinis, pemeriksaan fisik, patogen yang paling
mendekati, penetrasi yang optimal dari obat antimikroba untuk menembus jaringan yang
terinfeksi, dan pola sensitifitas lokal dari agen antimikroba. Antimikroba spektrum luas
sebaiknya diberikan awal dengan satu atau lebih agen antimikroba yang aktif dalam melawan
semua patogen bakteru/jamur.

Resusitasi Hemodinamik
Sasaran dari pengukuran resusitasi preoperatif adalah untuk mempercepat
penghantaran oksigen yang adekuat ke jaringan perifer. Jika pasien dengan hemodinamik
tidak stabil, maka perlu diperhatikan adanya monitoring invasif tekanan arteri, akses vena
sentral dan ICU. Penempatan central venous catheter (CVC) dapat mengukur central venous
pressure (CVP), mixed venous oxygen saturation (SvO2), pemberian dari cairan intravena, dan
medikasi vasopresor. Pengukuran resusitasi dimulai dari ruang emergensi yang dapat
dilanjutkan meskipun pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik atau masuk ke
ICU sebelum ditransfer ke kamar bedah. Pada 6 jam pertama resusitasi pada pasien sepsis,
golden hours merupakan hal yang paling penting dan sering bertepatan dengan waktu
pembedahan emergensi. Adanya sedikit perselisihan diantara klinisi-klinisi tentang pasien
sepsis dengan hipotensi dengan laktat > 3 mmol/liter, volume resusitasi menggunakan
kristaloid atau koloid seharusnya pada awal digunakan untuk mencapai beberapa titik akhir
klinis yaitu: CVP 8-12 mmHg, mean arterial pressure 65 mmHg, urin output 0,5
ml/kgBB/jam, central venous oxygen saturation >70% (Tabel 5). Tidak adanya bukti yang
mendasari yang mendukung untuk terapi satu jenis dari cairan intravena atau lebih
berhubungan dengan lama perawatan di ICU, pemakaian ventilasi mekanik, durasi dari renal
replacement therapy dan setelah 28 hari terakhir. Terapi dengan koloid jenis Pentastarch
berhubungan dengan tingginya kejadian gagal ginjal akut dan renal replacement therapy
daripada Ringer Lactat dan toksisitasnya meningkat dengan dosis yang tinggi.
Penggunaan vasopressor dengan norepinefrin dapat dipertimbangkan sebelum
pengoptimalan cairan intravena tercapai. Vasopressin dosis rendah (0,03 units/menit) dapat
ditambahkan untuk menurunkan kebutuhan dari norepinefrin tunggal dosis tinggi. Inotropik
ditambahkan untuk resusitasi volume dan vasopresor, jika terdapat bukti bahwa terjadi
cardiac output rendah yang berlanjut meskipun adekuatnya pengisian jantung dan resusitasi
cairan. The Surviving Sepsis Campaign merekomendasikan dobutamin merupakan terapi lini
pertama inotropik untuk ditambahkan ke vasopressor pada pasien sepsis. Namun, penelitian
pada pasien sepsis menunjukkan tidak ada perbedaan antara efikasi dan keselamatan dengan
epinefrin tunggal dibandingkan dengan norepinefrin ditambah dobutamin (28 hari mortalitas:
40% vs 34% masing-masing) pada manajemen dari syok septik. Tidak ada bukti yang
mendukung penggunaan dobutamin untuk mencapai penghantaran oksigen yang diatas
normal untuk meningkatkan haasil akhir yang baik. Usaha untuk resusitasi seharusnya terus
dilanjutkan sampai peningkatan hemodinamik disertai dengan langkah-langkah dalam proses
lainnya. Selanjutnya pemberian cairan intravena diberhentikan ketika tekanan pengisian tingi
dan tidak adanya peningkatan yang terlihat pada perfusi jaringan (seperti serum laktat tidak
menurun). Transfusi sel darah merah dapat dipertimbangkan jika hantaran oksigen jaringan
tetap tidak adekuat.
Levosimendan dapat berguna sebagai tambahan untuk terapi inotropik konvensional
jika terjadi pada kasus disfungsi refraktor miokardial pada sepsis. Efek inotropiknya dapat
meningkatkan sensitivitas troponin C jantung terhadap kalsium. Efek vasodilator dan
sistemik pulmoner dapat meningkatkan pembukaan dari kanal potassium ATP-dependent.
Pada penelitian randomized controlled trial pada 28 pasien dengan syok sepsis dan ejeksi
fraksi < 45% menetap > 48 jam setelah terapi konvensional ditemukan bahwa terjadi
peningkatan dari indeks jantung dan indeks fungsi jantung setelah penggunaan levosimendan
dibandingkan dobutamin. Namun, dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk pemberian
levosimendan sebagai terapi dari syok sepsis.
Terapi suplementasi oksigen sangat bermakna pada pasien dengan sepsis berat
meskipun mereka tidak menunjukkan tanda-tanda dari distres pernapasan. Intubasi trakea
segera dan ventilasi mekanik dari paru dapat dipertimbangkan jika tingkat kesadaran pasien
rendah atau jika terdapat distres progresif dan hipoksia. Jika terdapat adanya respon yang
adekuat pada pengukuran resusitasi, sangat penting untuk mempertimbangkan adanya
diagnosis alternatif. Penyebab SIRS non-infektif atau komplikasi iatrogenik, sebagai contoh
tension pneumothorax setelah penggunaan CVC, juga dapat dipertimbangkan (Tabel 3).

Pemeriksaan Diagnostik Imajiner


Pemeriksaan diagnostik imajiner sangat penting untuk menentukan fokus infeksi,
kecuali adanya alternatif patologi dan radiologi guiding atau prosedur pembedahan untuk
kontrol sumber infeksi. Jika pemeriksaan diagnostik imajiner dapat dipertimbangkan, maka
penting untuk ukuran terapetik (seperti resusitasi cairan intravena, terapi antimikroba,
ventilasi mekanik) dilanjutkan secara komprehensif. Computerized tomography merupakan
modalitas imaging yang paling berguna untuk infeksi jaringan lunak yang kompleks dan
infeksi yang dalam pada abdomen dan thoraks. Ultrasound imaging pada sistem empedu dan
traktus urinarius juga dapat dipertimbangkan. Interprtasi dari ahli pada semua pemeriksaan
diagnostik imajiner harus dicari untuk membantu dalam perencanaan dari strategi tatalaksana
yang optimal.

Kontrol Sumber
Pengukuran sumber kontrol termasuk didalamnya prosedur drainase atau debridement
dan koreksi defenitif dari abnormalitas anatomi memicu terjadinta kontaminasi berkelanjutan
pada jaringan yang sebelumnya steril. Prosedur drainase digunakan pada infeksi yang
berbatas tegas yang dapat di drainase baik secara perkutan dibawah kendali imaging maupun
dengan pembedahan terbuka. Debridement mengacu pada tindakan mebuang jaringan padan
non-viable yang biasanya dengan pembedahan terbuka. Intevensi pembedahan defenitif
diindikasikan untuk mengoreksi abnormalitas anatomi dan mencegah kontaminasi
berkelanjutan.
Seorang ahli bedah dengan pengalaman menangani kompleks infekk si pada pasien
dengan kondisi kritis sangat bagus ditempatkan pada proses pengambilan keputusan pada
prosedur pengontrolan sumber. Tujuan segera dari hal ini adalah tercapainya kontrol sumber
infeksi yang adekuat dengan kerusakan fisiologis minimal. Intervensi pengontrolan sumber
infeksi dapat menyebabkan komplikasi lanjutan seperti perdarahan, fistel, atau kerusakan
organ yang tidak disengaja. Waktu yang optimal untuk intervensi pembedahan bergantung
pada diagnosis dan klinis pasien. Pada beberapa pasien, pembedahan segera atau dalam 1-2
jam dari presentasi ( seperti infeksi saluran nafas atas yang memicu airway compromise,
necrotizing fascitis) merupakan tindakan menyelamatkan kehidupan. Terdapat juga beberapa
infeksi berat (seperti abses intraabdominal, infeksi yang berhubungan dengan alat prostetik
atau intravaskular, endokarditis infektif dengan kerusakan struktur jantung yang menuju ke
terjadinya syok kardiogenik) mungkin membutuhkan intervensi pembedahan darurat.
Pengecualian pada hal ini adalah nekrotik peripankreatik yang berhubungan dengan
pankreatitis akut, dimana drainase perkutan dan fasilitasi terapi suportif menunda intervensi
bedah, yang dapat meningkatkan hasil akhir..
Komunikasi yang tepat dan jelas diantara ahli anastesi, bedah, ahli penyakit infeksi-
mikrobiologis, dan radiologis penting untuk implementasi cepat dari rencana terapi yang
efektif, yang dapat didiskusikan dengan pasien dan keluarganya. Sangat penting untuk ahli
anastesi menjadi pusat dalam tim mutidisiplin.
Management Intraopratif
Tujuan tama dari ahli anastesi selama waktu intraoperatif untuk menunjang
keselamatan dan perawatan optimal pada pasien kritis sehingga pasien mendapatkan benefit
yang maksimal dari pembedahan atau prosedur kontrol sumber. Kebanyakan dari prosedur
kontrol sumber infeksi melalui pembedahan optimal diruang operasi dengan general
anastesia.

Sebelum Induksi
Beberapa prosedur kontrol sumber diselesaikan dalam hitungan jam, jadi sangat
penting bahwa ahli anastesi merupakan bantuan yang sesuia di kamar operasi. Beberapa
pemikiran harus diberikan secepatnya apakah pasien tersebut memerlukan ICU setelah
operasi. Kewaspadaan pada sampel mikrobiologikal yang dikirim untuk kultur, agen
atimikroba harus dimulai, dan waktu dari dosis selanjutnya juga sangat penting untuk
pengoptimalan jenis dan waktu terapi antimikroba. Konsentrasi terapetik dari agen
antimkiroba seharusnya dipertahankan selama waktu perioperatif dimana prosedur tersebut
dapat menyebabkan terjadinya perburukan klinis dan bakterimia yang berkelanjutan.
Monitoring hemodinamik invasif diindikasikan sebagai tambahan dalam standar monitoring
intraoperatif. Pengukuran serial dari gas darah arteri dan konsesntrasi laktat seharusnya
tersedia langsung di alat testing disamping pasien. Jika volme kehilangan darah dapat
diantisipasi selama prosedur pembedahan, adanya alat resusitasi volume dapat sangat berguna
dipertimbangkan.

Induksi Anastesia dan Inisiasi dari Ventilasi Mekanik


Pasien yang melalui prosedur kontrol sumber infeksi berhubungan erat dengan status
kardiovaskular yang tidak stabil selama dikombinasikan dengan efek dari sepsis, anastesi,
kehilangan volume intravaskular, perdarahan dan stress pada pembedahan. De-nitrogenisasi
dari paru-paru, pernafasan dengan O2 100% melalui facemask ketat selama 3 menit dapat
dipertimbangkan sebelum induksi anastesia. Karena beberapa prosedur pembedahan pada
pasien dengan sepsis berat terjadi pada dasar emergensi, sebuah modifikasi rapid sequence
induction, mungkin menggunakan rocuronium lebih baik daripada suksinilkolin untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Ada banyak pilihan dari tehnik induksi, termasuk ketamin,
etomidate, dan administrasi lambat dari agen yang biasanya dipakai seperti propofol.
Kebanyakan agen anastetik inhalasi maupun intravena menyebabkan vasodliatasi atau
ketidakseimbangan kontraktilitas ventrikel. Induksi anastesia idealnya merupakan suatu
proses bertahap yang disengaja, menggunakan dosis kecil dari agen anastetik, titrasi sampai
adanya respon klinis. Pemilihan dari agen induksi anastesi atau narkotik tidak penting
daripada pengadministrasiannya. ketamin atau midazolam dapat menunjang derajat stabilitas
hemodinamik dan opioid kerja pendek seperti fentanil atau alfentanil akan memungkinkan
pengurangan dosis dari agen induksi. Dengan kecuali ramifentanil, efek dan durasi dari
opioid intravena dapat meningkat akibat ketidakseimbangan perfusi hepar dan ginjal. Infus
ramifentanil, baik sebagai agen utama atau sebagai latar belakang tambahan untuk obat
induksi lainnya, memiliki rekomendasi sebagai tambahan induksi anastesia pada pasien
sepsis tidak stabil. Walaupun dapat menyebabkan bradikardia, beberapa pasien takikardia,
dan dapat menyebabkan kontraktilitas jantung minimal. Selanjutnya, ramifentanil
menghindari penurunan tiba tiba resistensi sistemik vaskular. Penempatan tracheal
tubedifasilitasi oleh penggunaan agen blocking-neuromuscular (lebih disukai agen pelepasan
non-histamin).
Resusitasi volume lanjutan dan tambahan dosis dari vasopresor membantu untuk
melawan efek hipotensif dari agen anastetik dan ventilasi mekanik tekanan positif. Pemilihan
dari penggunaan vasopresor termasuk efedrin, fenilefrin dan metaraminol, namun tidak ada
bukti yang mendukung penggunaannya lebih baik dari yang lainnya. Infus norepinefrin
mungkin digunakan dalam efek jangka panjang. Tujuan dari ventilasi mekanis pada pasien
dengan sepsis berat adalah menggunakan konsentrasi oksigen yang memiliki persentase
inspirasi yang tinggi (FIO2) untuk pemeliharaan oksigenasi yang memadai (pao2 0,12 kpa).
Sekarang ada bukti kuat yang mendukung strategi volume ventilasi dengan volume tidal yang
rendah, untuk meminimalkan dampak dari ventilasi tekanan positif pada jaringan paru-paru
itu sendiri, dan juga pada aliran balik vena dan darah yang dipompa keluar dari jantung.30
Kekuatan geser yang disebabkan oleh volume tidal tinggi atau tekanan inspirasi yang tinggi
akan memperburuk cedera paru. Oleh karena itu, ketika oksigenasi memadai, konsep
'hiperkapnia permisif' telah muncul, di mana ventilasi alveolar rendah untuk meminimalkan
kerusakan ventilasi paru-paru pasti menghasilkan tingkat hiperkapnia (biasanya paco2 0,8-9
kpa) yang dapat ditoleransi dan dianggap relatif aman dalam jangka pendek (yaitu lebih dari
3-4 hari).31

Pemeliharaan anestesi

Tidak ada bukti yang menunjukkan manfaat hasil ketika anestesi dipertahankan
dengan proses inhalasi atau rute intravena. Pilihan untuk pemeliharaan anestesi termasuk
agen inhalasi,agenintravena dan opioid, misalnya, infus remifentanil yang menggunakan 0,25
-0,5 kg21 µg kg-1 min-1. Dokter anestesi harus memilih teknik yang mereka percaya paling
cocok dengan penilaian mereka tentang faktor risiko individu dan co-morbiditaspasienserta
pengalaman dan keahlian mereka sendiri. Konsentrasi alveolar minimum dari agen anestesi
inhalasi berkurang pada sepsisparah.32 Pada pasien dengan disfungsi paru-paru yang
signifikan, menjaga agar konsentrasi agen anestesi di otak tetao stabil dapat dilakukandengan
lebih baik jika menggunakanagenintravena bukan inhalasi. Teknik apapun yang digunakan,
kedalaman anestesi yang dicapai dapat diperkirakan dengan menggunakan monitoring indeks
bispectral. Selama operasi, keadaan hemodinamik mungkin lebih rumit dengan adanya
kehilangan darah atau pelepasan sistemik bakteri atau endotoksin. Transfusi darah harus
berlanjut tanpa penundaan jika prosedur bedah dirumitkan oleh kehilangan darah yang
berlebihan.

Resusitasi volume intravaskular harus terus berlanjut seperti yang ditunjukkan selama
prosedur bedah. Meskipun CVP (tekanan vena central) pada H2O8-12 cm adalahtujuan
hemodinamik yang umum digunakan dalam resusitasi awal pasien sepsis, nilai CVP
intraoperatif dapat ditingkatkan dengan peningkatan tekanan intra-toraks dan intra-
abdominal. Perubahan pada penanda dinamis (variasi tekanan nadi, variasi volumestroke)
telah ditunjukkan untuk memprediksi respon volume yang lebih akurat daripada perkiraan
berdasarkan tekanan (tekanan vena central atau oklusiarteri pulmonalis). Perubahanpenanda
dinamis pada respon volume dapat digunakan selama operasi untuk memandu terapi volume
intravena, terutama pada pasien dengan irama jantung sinus teratur dan dengan paru-paru
yang berventilasi dengan ventilasi mekanis yang dikendalikan. Echocardiography
transesofageal atau Doppler esofagus secara bersamaan dapat digunakan untuk menentukan
perubahan pada variasi volume stroke.33 34

Ada banyak perangkat yang tersedia untuk memantau perubahan pada darah yang
dipompa keluar jantung baik terus menerus (kateter arteri paru-paru, Doppler esofagus,
plethysmography impedansi) atau pada interval waktu diskrit (trans-toraks atau
echocardiography transesofageal, atau pengukuran serial saturasi O2 vena campuran).
Sepanjang prosedur pembedahan, parameter kardiovaskular (denyut jantung, tekanan
pengisian jantung, keadaan inotropik, tekanan arteri sistemik) dapat disesuaikan untuk
mengoptimalkan pengiriman oksigen jaringan, bukan untuk mencapai banyaknya curah
jantung atau tekanan arteri yang diinginkan. Kecukupan pengiriman oksigen global dapat
dinilai oleh laktat serum < 2 mmol liter-1 dan saturasi O2vena campuran 0,70%.
Oksigenasi mungkin terganggu oleh edema paru non-kardiogenik, yang disebabkan
oleh meningkatnya permeabilitas kapiler di sepsis. Pilihan penanganan untuk hipoksemia
selama pemeliharaan anestesi termasuk meningkatkan konsentrasi oksigen terinspirasi dan
meningkatkan PEEPsecara bertahap. Konsentrasi oksigen yang terinspirasi dapat
ditingkatkan sampai sao2 setidaknya 90% dan penggunaan PEEP dapat dipertimbangkan
selama prosedur pembedahan. PEEP dapatditingkatkan secara bertahap pada pasien
hemodinamik stabil jika masih ada hipoksia meskipun ada peningkatan FIO2. Hiperkarbia
harus dihindari khususnya pada pasien dengan tekanan intrakranial, kompensasi asidosis
metabolik, atau tahap akhir kehamilan. Dalam semua keadaan lain, hiperkarbia dapat
ditoleransi dengan baik dan ada beberapa bukti bahwa hiperkapnia permisif mungkin
memiliki efek pelindung yang melekat. 31 35

Strategi pelindung paru dianjurkan untuk ventilasi mekanik paru-paru. Perbedaan


antara tekanan di dalam dan di luar ruang udara alveolar pada akhir inspirasi adalah tekanan
transpulmonary. Plateau tekanan udara yang diukur selama ventilasi mekanis volume control
ketika jeda akhir-inspirasi yang telah diterapkan merupakan indikator dari tekanan maksimal
di dalam kantung alveolar. Tekanan diluar kantung alveolar tidak dapat diukur secara
langsung namun diperkirakan secara klinis dengan menilai perubahan tekanan pleura.
Tekanan ekstra-alveolar atau pleura dapat tiba-tiba meningkat dengan menempatkan pasien
dalam posisi Trendelenberg atau dengan meningkatkan tekanan intra-abdominal terkait
dengan inflasi dari pneumoperitoneum untuk operasi laparoskopi. Pertukaran gas paru dapat
memburuk jika tekanan pleura meningkat dan tekanan plateau tetap konstan (yaitu penurunan
tekanan transpulmonary). Di sisi lain, tekanan transpulmonary tinggi berhubungan dengan
cedera paru. Pada pasien dengan cedera paru akut awal, strategi ventilasi harus bertujuan
untuk mencapai keseimbangan antara penurunan yang signifikan pada tekanan udara
transpulmonary (misalnya, H2O 20-25 cm, dengan pengurangan terkait di ventilasi alveolar),
dan tekanan transpulmonary berlebihan (misalnya H2O 0,25 -30 cm, dan risiko terkait
barotraumas) .30 35 36

Perekrutan alveoli yang rusak dengan ventilasi pasien secara manual untuk tekanan
saluran udara puncak 30-40 mm Hg untuk jangka pendek dapat mengurangi shunt dan
meningkatkan oksigenasi intraoperatif. Perhatian penuh disarankan dalam melakukan
manuver ini pada pasien dengan risiko pneumotoraks, seperti pasien dengan bula
emphysematous atau penyakit paru obstruktif kronis yang parah. Selama prosedur
pembedahan, pengujian regular dekat-pasien pada gas darah arteri, hitungan darah secara
lengkap, layar koagulasi, elektrolit, laktat, dan konsentrasi glukosa dianjurkan. Setiap upaya
harus dilaksanakan untuk menghindari hipotermia intraoperatif karena dikaitkan dengan
gangguan trombosit dan disfungsi faktorkoagulasi.37

Peran anestesi regional dan blok saraf pada anestesi untuk pasien septik

Blok saraf perifer mungkin efektif untuk meminimalkan respon simpatik dengan
stimulus yang menyakitkan, serta menghindari efek sistemik opioid dan dapat digunakan jika
penilaian individu atas keseimbangan risiko-manfaat menunjukkan bahwa hal itu dapat
dibenarkan dalam keadaan tersebut. Namun, kehadiran koagulopati, penyebaran lokal atau
sistemik dari infeksi, dan fakta bahwa anestesi lokal mungkin tidak bekerja dengan benar
pada infeksi atau asidosis dapat membatasi penerapan teknik regional pada pasien septik.
Blok neuroaksial (anestesi spinal dan epidural) harus dilakukan dengan hati-hati, karena efek
hemodinamik teknik ini dalam penanganan sepsis yang disebabkan gangguan kardiovaskular
mungkin sulit untuk dikembalikan.38 39 Tes darah terbaru yang mengkonfirmasikan koagulasi
normal sangat penting.

Lebih dari 700.000 blok neuraksial sentral dilakukan setiap tahun di Inggris. Insiden
cedera permanen akibat CNB ini adalah sebanyak 4,2 (95 CI 2,9-6,1%) per 100 000 dan
kematian sebanyak 1,8 (95% CI 1,0 -3,1) per 100 000 kasus. Dari 52 kasus yang menjadi
fokus dari tindak lanjut untuk cedera permanenakibat CNB, 22 diantaranya sepenuhnya pulih
dari komplikasi serius mereka selama masa tindak lanjut.40 48 Oleh karena itu, walaupun
anestesi epidural tampaknya memiliki risiko yang sangat rendah atassisa gejala permanen
neurologis secara keseluruhan,pasien sepsisakut lebih mungkin mengalami risiko ini dan
komplikasi serius lainnya. Meskipun tidak ada bukti bahwa penempatan kateter epidural pada
pasien sepsisakut meningkatkan risiko abses epidural atau pembentukan hematoma, proporsi
besar dari opini klinis sepertinya percaya bahwa risiko yang terkait denganpenggunaannya
dalam konteks sepsis akut tidak dibenarkan.

Akhir prosedur bedah

Pada akhir prosedur bedah, pemberian agen neuromuskuler pemblokir lebih lanjut
untuk memfasilitasi penutupan bedah perut atau dada dapat dipertimbangkan. Tingkat
kehilangan darah harus minimal sebelum meninggalkan ruang operasi. Dosis suplemen agen
antimikroba dapat dipertimbangkan. Pada pasien yang membutuhkan operasi lebih lanjut dan
di semua pasien yang sudah parah, analgesia, sedasi, dan ventilasi mekanis tetap
dipertahankan pada akhir operasi. Transfer aman dari pasien ke ICU penting. Sebuah laporan
penyerahan terfokus membanturekan-rekan ICU yang menyoroti presentasi klinis,
menanggapi tindakan resusitasi, agen antimikroba yang digunakan, rincian dari prosedur
bedah yang dilaksanakan, produk darah yang digunakanselamaoperasi dan masalah khusus
yang harus diantisipasiselama period pasca operasi.

Manajemen pasca operasi pada pasien dengan sepsis akut

Penting untuk dicatat bahwa pengukuran pre-resusitasi harus digunakan untuk


menghitungskor APACHE saat masuk Intensive Care, bukanyang telah membaik setelah
resusitasi dan prosedur bedah. Infus obat vasopressor berkelanjutan harus disesuaikan agar
cocok dengan volume intravaskular pada saat itu dan pengaturan ventilator mekanik baru.
Setelah mengamankan jalan napas pasien, pengaturan ventilasi mekanik dapatdiputuskan,
dengan tujuan meminimalkan volutrauma ventilasi-diinduksi dan barotraumas ke paru-paru.
Hal ini kemungkinan besar akan dicapai dengan menggunakan pengaturan tekanan rendah,
pecahan konsentrasi oksigen terinspirasi yang tinggi (FIO2), dan menetapkan batas alarm
yang sesuai. Volume tidal yang rendah (sampai dengan 6 ml kg-1 prediksi berat badan ) dan
hiperkapnia permisif dapat dipertimbangkan, asalkan ph arteri tidak menurun di bawah
7.20.36 Tekanan yang dikendalikan atau modus volume-kontrol ventilasi mekanik dapat
digunakan. Ketika jeda akhir inspirasi termasuk dalam siklus pernapasan dalam modus
volume kontrol, tekanan transpulmonary (tekanan plateau pressure -pleural) harus dibatasi
untuk 25 -30 cm H2O untuk meminimalkan kerusakan ventilasi parenkim paru.41 Penggunaan
PPEEP yang tinggi (10 -15 cm H2O) mungkin dibatasi oleh tingkat ketidakstabilan
hemodinamik terkait. FIO2 dapat menurun (yaitu, 60%) untuk mencapai spo2 sebesar 93-
95% .35 36 41

Sangatlah penting bahwa terapi antimikroba, yang dimulai sebelum operasi, harus
dilanjutkan di ICU dan waktu dosis yang dijadwalkan berikutnya tercatat. Rejimen
antimikroba dapat ditinjau kembali setiap hari dengan bantuan hasil mikrobiologi, dan
disesuaikan untuk memastikan keberhasilan, mencegah resistensi, dan untuk menghindari
toksisitas.
Durasi terapi harus dibatasi 7-10 hari.14 28
Telah ditunjukkan bahwa pasien yang
memiliki strategi transfusi sel darah merah restriktif (transfusi dihindari kecuali Hb, 7 g dl -1)
memiliki tingkat kematian lebih rendah yang signifikan (22% vs 28 %) dibandingkan mereka
yang ditransfusikan pada tingkat Hb yang lebih tinggi, dengan kemungkinan pengecualian
bagi pasien dengan infark miokard akut dan angina tidak stabil.42 plasma segar beku dapat
digunakan untuk memperbaiki kelainan pembekuan laboratorium hanya jika ada perdarahan
klinis atau prosedur invasif terencana.20

Trombosit ditransfusikan jika jumlahnya ≤5000 mm23 terlepas dari perdarahan, atau
jika sebanyak 5000 sampai 30.000 mm-3 dengan resiko perdarahan yang signifikan.20
Thromboprophylaxis trombosis vena dalam biasanya harus dipertimbangkan ketika
kekhawatiran tentang koagulopati telah mereda. Protein C yang diaktifkan rekombinan
manusia (rhapc) dapat dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan disfungsi organ sepsis
yang diinduksi dengan penilaian klinis yang berisiko tinggi kematian (biasanya dengan skor
APACHE >25 atau kegagalan multi organ) jika tidak ada kontraindikasi untuk rhapc. Pasien
dewasa dengan sepsis akut dan risiko rendah kematian (biasanya, APACHE II < 20 atau
kegagalan satu organ) seharusnya tidak menerima rhapc.43 44

Kelanjutan dari kontrol glikemik yang memadai (<8,5 mmol liter-1) penting dalam
pengendalian proses septik. Dalamuji coba besar, internasional, secara acakpada pasien ICU,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kontrol glikemik yang ketat (glukosa darah 4-6
mmol liter-1) dan kontrol glikemik yang lebih longgar (glukosa darah 6-10 mmol liter-1) di
tingkat kematian atau rata-rata skor kegagalan organ. Namun, tingkat hipoglikemia akut
(kadar glukosa ≤2.2 mmol liter-1) lebih tinggi pada kelompok terapi intensif dibandingkan
kelompok terapi konvensional (17% vs 4%, P = 0,001), seperti tingkat efek samping yang
serius (11% vs 5%, P=0.01). Oleh karena itu, pada pasien septik akut, glukosa darah harus
dipertahankan dalam kisaran 6-10 mmol liter-1.7

Nutrisi adalah salah satu hal terpenting dari penanganan pasien septik akut. Nutrisi
enteral melalui tabung nasogastrik adalah pilihan terbaik untuk menjaga integritas enterocyte
dan menutrisi pasien. Tindakan gastrointestinal pelindung (stress ulcer profilaksis) dan obat-
obatan antiemetik juga dperlukan. Total nutrisi parenteral (TPN) harus dipertimbangkan jika
ada kontraindikasi bedah untuk nutrisi enteral atau jika kebutuhan gizi tidak sepenuhnya
terpenuhi oleh nutrisi enteral saja. Pasien mungkin menjadi cepat hipoglikemik jika TPN atau
nutrisi enteral dihentikan selama masa perioperatif. 44

Hidrokortison intravena dapat dipertimbangkan ketika hipotensi merespon resusitasi


cairan dan vasopressor dengan buruk. Sebuah percobaan pengobatan selama 7 hari
denganhidrokortison dosis rendah dan fludrocortisone secara signifikan mengurangi risiko
kematian pada pasien dengan syok septik dan insufisiensi adrenal relatif tanpa meningkatkan
efek samping (P = 0,05) 0,30 Dalam penelitian ini, ada 81 kematian (70%) pada kelompok
plasebo dan 66 kematian (58%) pada kelompok kortikosteroid pada akhir masa perawaran di
ICU [risiko relatif (RR) 0,82; 95% CI 0,68-1,00; rasio odds yang disesuaikan (OR) 0,50;
95% CI 0,28-0,89; P=0.02]. Meskipun studi ini dilakukan dengan setting ICU, hal ini cukup
untuk mengekstrapolasi temuan sebagai pilihan yang tepat bagi pasien selama masa
perioperatif.45

Hidrokortison dalam dosis 200 mg per hari yang terbagi dalam empat dosisatau
sebagai infus dengan dosis 240 mg per hari (10 mg h-1) selama 7 hari direkomendasikan
untuk syok septik dalam setting ICU.10 45
Apakah pemberian steroid dengan dosis rendah
selama penanganan intraoperatif pasien septik akan meningkatkan stabilitas atau hasil
hemodinamik tidak diketahui dan tampaknya tidak mungkin. Peran glukokortikoid dalam
penanganan pasien dengan sepsis akut masih membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Dalam
sebuah percobaan multisenter, acak, buta, terkontrol pada pasien dengan syok septik yang
diobati dengan kortikosteroid, tingkat kematian pada pasien yang menerima vasopressin
dibandingkan dengan norepinefrin (36% vs 45%, masing-masing, P=0.03) menurun secara
signifikan. Sebaliknya, pada pasien septik yang tidak menerima kortikosteroid, penggunaan
vasopressin dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dibandingkan dengan norepinefrin (34%
vs 21%, masing-masing, P=0.05).10 Tampaknya ada manfaat dari penggunaan glukokortikoid
dosis rendah (misalnya hidrokortison 50 mg, empat kali sehari, di mana pasien septik
normovolaemic tampaknya refrakter terhadap terapi vasopressor untuk pemeliharaan perfusi
organ utama dan stabilitas hemodinamik).

Gagal ginjal akut terjadi pada 23% pasien dengan sepsis akut. Terapi penggantian
ginjal dapat dilakukan untuk menangani asidosis, hiperkalemia, atau kelebihan cairan dan
dapat dilanjutkan hingga nekrosis tubular akut telah pulih. Natrium bikarbonat tidak
dianjurkan untuk menangani asidosis kecuali ph < 7.1. Haemodia-filtrasi veno-vena terus
menerus tidak memberi manfaat kelangsungan hidup apapun bila dibandingkan dengan
hemodialisis intermiten, angka kematian diamati menjadi 67% untuk hemodialisis sedang vs
65% pada haemodiafiltration terus menerus, dengan RR 1,03 (95% CI 0,94-1,14), P=0.54.46
Namun, penggantian ginjal terus menerus mungkin lebih praktis pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Sebuah studi yang membandingkan hemodialisis yang
dilakukan setiap hari dengan berselang menemukan bahwa hemodialisis setiap hari
mengakibatkan kontrol yang lebih baik atas uremia, episode hipotensi selama hemodialisis
lebih sedikit, dan resolusi lebih cepat dari gagal ginjal akut [mean (SD), 9 (2) vs 16 (6) hari ;
P=0.001] daripada hemodialisis intermiten konvensional pada hari berselang.47 Meskipun
berat bukti saat ini menunjukkan bahwa dosis yang lebih tinggi dari penggantian ginjal
berkaitan dengan hasil yang lebih baik, hasil ini tidak mungkin berlaku secara khusus untuk
pasien dengan sepsis berat.

Analgesia dan obat penenang dilanjutkan dengan infus, tapi penggunaan sedasi atau
agen penghambat neuromuscular berlebihan tidak dianjurkan. Akhirnya ketika pengobatan ini
dimungkinkan, sangatlah bijaksana untuk meningkatkan subjek perencanaan perawatan
lanjutan dengan pasien dan keluarganya, dan harapan yang realistis dan hasil yang
ditargetkan.

Kesimpulannya, sepsis akut adalah masalah kesehatan utama, dengan angka kematian
yang tinggi. Pasien dengan sindrom sepsis akut sering membutuhkan operasi untuk sumber
pengendalian infeksi. Dokter anestesi memiliki peran sangat penting dalam
mengkoordinasikan dan memberikan resusitasi dan terapi strategi untuk mengoptimalkan
hasil survival pasien. Pemberian intravena awal dari terapi antimikroba yang efektif adalah
penting. Resusitasi pra operasi, yang bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi organ utama,
didasarkan pada penggunaan cairan, vasopressor, dan inotropik. Manajemen intraoperatif
membutuhkan induksi anestesi yang hati - hati, menggunakan dosis efektif terendah dari
berbagai agen. Pemeliharaan anestesi ini menantang, membutuhkan pencapaian status
volume yang optimal, menghindari cedera paru selama ventilasi mekanik, dan pemantauan
gas darah arteri, indeks hematologi dan ginjal, dan kadar elektrolit. Perawatan pascaoperasi
tumpang tindih dengan manajemen berkelanjutan dari pasien sindrom sepsis akut di ICU.
Perawatan pasien septik akut yang membutuhkan anestesi dan operasi akan lebih
ditingkatkan dengan menguji strategi terapi yang menjanjikan, misalnya penggunaan
levosimendan untuk dukungan inotropik intraoperatif, dalam uji klinis yang dipersiapkan
dengan baik.
Konflik Kepentingan

D.J.B. adalah anggota Dewan Redaksi BJA.

Pendanaan

D.J.B.’s Time ini didukung oleh Yayasan Sisk

Anda mungkin juga menyukai