Anda di halaman 1dari 17

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Reumatik Atritis

OLEH:
NAMA : IKA LESTARI
NIM : 142 2018 0077
KELAS : KHUSUS (non regular)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
15 Desember 2018
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya yang
terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah Rheumatoid Arthritis
(Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi
kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang
disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).

Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan
lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi
dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara
sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009).

Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan
meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar
0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan
wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta
wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta
wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik
Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari
sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan
(2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional
yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail. Walaupun penyebab RA masih belum
diketahui secara pasti, namun banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi
(Tobon et al,2009).

Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak dilakukan
penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas,
disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh
pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter
seperti level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).

Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan masa-
masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial sangat
dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang
onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa
lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana
proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis.

Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan
proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling
berkaitan. Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan melakukan
deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan
dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi
tahun 2010.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan
jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan
progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang
berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid
Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan
kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

B. Epidemiologi Rheumatoid Arthritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia dewasa,
Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di
Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara
mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000.
Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan
prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan
prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan
4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari
seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari
Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA
selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak
1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit
rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga
teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan
dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.
C. Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang berkaitan
kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan
Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya
juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
b. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua
faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60
tahun.
c. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun
mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks
kemungkinan memiliki pengaruh.

2. Dapat Dimodifikasi
1) Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara faktor
sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan
terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja
dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau
berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi
dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun.
Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10
hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok pasif
masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet
ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis
makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat meningkatkan
risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian RA. Selain
itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih
belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV) karena virus
tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga
adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia
juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan yang
terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada
orang yang bekerja dengan paparan silica.
2) Faktor hormonal Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia
sangat muda.
3) Bentuk tubuh Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh
(IMT) lebih dari 30.

D. Etiopatogenesis dan Patofisiologi


Rheumatoid Arthritis Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam
(usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai
pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai
faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi
imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi
pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi
reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya
masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran
genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai
mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya
menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ
lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses
keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag
menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit
serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases
(MMPs) (Putra dkk,2013).
Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi
dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada
75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini
terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang
merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan
yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi,
mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi
inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi
tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di
samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang
terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh
sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros
terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat
perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler,
daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh
dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran
oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta
dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
E. Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis
1) Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada
keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan
umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
a. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
b. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan
kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-
klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher.
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
c. Kelainan diluar sendi
• Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
• Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi RA didapatkan kelainan perikard
• Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura
(efusi pleura, nodul subpleura)
• Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa
keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
• Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata,
skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
• Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati,
anemia, trombositopeni, dan neutropeni
2) Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak
menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini
dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun
hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
2) Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
3) Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan
oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat
berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism
Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh,
IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan,
2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1) Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal.
2) Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau lebih
secara bersamaan.
3) Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau pergelangan tangan.
4) Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
5) Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6) Rheumatoid Factor serum positif
7) Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau pergelangan
tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan
kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula
digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of
Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala
kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat
penyakit) (Putra dkk,2013).
F. Tatalaksana
1. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian-
penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1) Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314
wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di
bawah sinar UV-B.
2) Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan
yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat,
ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan
atau senam taichi.
3) Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk
menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat
mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4) Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5) Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga
terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang
cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga
gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
(Candra, 2013)
6) Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan
faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa
dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
2. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila
diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1) NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal untuk menangani
nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen,
naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2) DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk melindungi sendi
(tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat
DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,
dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3) Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4) Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya
dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5) Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)

G. Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis


RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang
berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya
seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai RA.
Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA,
bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu,
osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.

H. Prognosis Rheumatoid Arthritis


Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien
untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen
penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang
lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka
yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat,
kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan
gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil
remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi
yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit
dan sosial ekonomi rendah.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-
organ lainnya (misalnya : mata, jantung, paru-paru, ginjal), tahapan misalnya:
1) Aktivitas/istirahat
 Gejala : nyeri sendi karena pergeseran, nyeri tekan, yang memburuk dengan stres
pada sendi; kekakuan sendi di pagi hari, biasanyan terjadi secara bilateral dan
simetris. Keterbatasan fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, aktivitas,
istirahat, dan pekerjaan. Gejala lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.
 Tanda : malaise, keterbatasan renatang gerak: atrofil otot, kulit;
kontraktur/kelainan pada sendi dan otot.
2) Kardiovaskuler
 Gejala: fenomena Raynaud jari tangan/kaki, misal pucat intermitten, sianotik,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.
3) Integritas Ego
 Gejala: factor-faktor stress akut/kronis, missal financial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan sosial. Keputusan dan ketidakberdayaan
.Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada
orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.
4) Makanan/Cairan
 Gejala: ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengonsumsi maakan/cairan
adekuat; mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
 Tanda; penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
5) Hygiene
 Gejala; berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawataan pribadi
secara mandiri. Ketergantungan pada orang lain.
6) Neurosensori
 Gejala; kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari
tangan.
 Tanda; pembengkakan sendi simetris
7) Nyeri/kenyamanan
 Gejala; fase akut dari nyeri (disertai/tidak disertai pembengkakan jaringan lunak
pada sendi).Rasa nyeri kronis dan kekakuan (terutama pada pagi hari).
8) Keamanan
 Gejala; kulit mengkilat, tegang; nodus subkutaneus.Lesi kulit, ulkus kaki,
kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga.Demam ringan
menetap, kekeringan pada mata, dan membran mukosa.
9) Interaksi social
 Gejala; kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran dan
isolasi.
10) Penyuluhan
 Gejala: Riwayat AR pada keluarga (pada awitan remaja). Penggunaan makanan
kesehatan, vitamin, “ penyembuhan “ arthritis tanpa pengujian. Riwayat
perikarditis, lesikatup, fibrosis pulmonal, pleuritis.

B. ANALISA DATA
Data dasar adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien,
kemampuan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri, dan hasil
konsultasi dari medis atau profesi kesehatan lainnya. Data focus adalah data tentang
perubahan- perubahan atau respon klien terhadap kesehatan dan masalah kesehatannya
serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilaksanakan terhadap klien.Pengumpulan
data adalah pengumpulan informasi tentang pasien yang dilakukan secara sistematis
untuk menentukan masalah-masalah serta kebutuhan-kebutuhan keperawatan dan
kesehatan pasien. Pengumpulan informasi merupakan tahap awal dalam proses
keperawatan. Tujuan pengumpulan data:
 Memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan klien
 Untuk menentukan masalah keperawatan dan kesehatan klien
 Untuk menilai keadaan kesehatan pasien
 Untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
 Tipe Data:
 Data Subjektif
Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu
situasi dan kejadian.Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat,
mencakup persepsi, perasaan, ide klien terhadap status kesehatannya.Misalnya
tentang nyeri, perasaan lemah, ketakutan, kecemasan, frustasi, mual, dan perasaan
malu.
 Data Objektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh menggunakan
panca indera (lihat, dengar, cium, raba) selama pemeriksaan fisik.Misalnya
frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan, tingkat kesadaran

C. Rumusan Masalah
Apabila masalah telah didentifikasi, maka disusun daftar masalah yang ditemukan
kemudian diprioritaskan.Hal ini dilakukan karena tidak mungkin semua masalah diatas
bersama-sama sekaligus jadi diputuskan masalah mana yang dapat diatasi terlebih
dahulu. Dalam memprioritaskan kebutuhan pasien hirarki maslow menjadi rujukan
perawat dalam menentukan pemenuhan kebutuhan pasien. Kebutuhan fisiologi menjadi
kebutuhan utama manusia, kemudian diikuti oleh kebutuhan-kebutuhan psikososial
seperti:
 Aman-nyaman, pengetahuan, cinta memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam pengkajian Data yang dikumpulkan harus menyeluruh
meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spiritual
 Menggunakan berbagai sumber yang ada relevansinya dengan masalah pasien dan
menggunakan cara-cara pengumpulan data yang sesuai dengan kebutuhan pasien
 Dilakukan secara sistematis dan terus-menerus
 Dicatat dalam catatan keperawatan secara sistematis dan terus-menerus
 Dikelompokkan menurut kebutuhan bio-psikop-sosial dan spiritual
 Dianalisis dengan dukungan penegetahuan yang relevan
D. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang
berpusat pada pasien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan
dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam menetapakan perencanaan seorang
perawat perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak yakni: pasien, keluarga, serta petugas
medis lain seperti: dokter, ahli farmasi, dan nutrisionis Menetapakan prioritas Penetapan
prioritas dibutuhkan karena hal ini dapat mengidentifikasikan urutan intervensi
keperawatan ketika pasien mempunyai masalah dalam menetapkan prioritas tidak hanya
memperhatikan aspek fisiologis tapi juga aspek keinginan, kebutuhan, dan keselamatan
pasien. Prioritas diklasifikasikan menjadi tiga yakni: tingi, menengah, dan rendah:
 Prioritas tinggi, Prioritas yang berdasarkan diagnosa keperawatan dapat
menghabiskan ancaman bagi pasien atau orang lain bila tidak segera ditangani.
 Prioritas menengah, Prioritas menengah mencakup kebutuhan pasien non emergency
tidak mengancam kehidupan.
 Prioritas rendah, Mencakup kebutuhan yang tidak secara langsung berhubungan
dengan suatu penyakit spesifik.

E. Menetapkan tujuan asuhan keperawatan


Tujuan asuhan keperawatan adalah sasaran yang ingin dicapai dalam pemberian
intervasi terhadap dua tipe tujuan dan harus dicapai yakni jangka pendek (diarahkan
rencana keperawatan mendesak) dan harus dicapai dalam waktu yang relatif singkat. Tipe
lain adalah tujuan jangka panjang yang dicapai dalam waktu yang relatif lebih lama.
Biasanya tujuan jangka panjang berfokus pada pencegahan rehabilitasi dan pendidikan
kesehatan. Dalam menentukan tujuan dan beberapa kriteria yakni sebagai berikut:
 Berfokus kepada pasien. Pernyataan tujuan harus merupakan perilaku pasien yang
menunjukkan berkurangnya masalah pasien. Masalah tersebut telah didentifikasikan
dalam diagnosis keperawatan
 Jelas dan singkat
 Dapat diukur dan diobservasi
 Waktu relatif dibatasi (jangka pendek, menengah dan panjang), Realistik untuk
kemampuan/kondisi pasien dalam waktu seperti yang ditetapkan
 Realistik untuk tingkat pengalaman dan keterampilan perawat
 Ditentukan bersama oleh perawat dan pasien
 Tujuan harus sejalandan menyokong terapi lain
DAFTAR PUSTAKA

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J


Med, vol. 365, pp. 2205-19

Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–
Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid.

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan


Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle


Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis


Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu

Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media


Aesculapius, pp 835-839

Anda mungkin juga menyukai