Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN, ASUHAN KEPERAWATAN DAN

ANALISIS JURNAL PADA KASUS RDS

MAKALAH

Disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Anak

Oleh: Kelas E / Kelompok 8

Anas Alquranunnazili 162310101270

Muhammad Sufyan Asasi 162310101271

Dosen Pembimbing Ns. Ira Rahmawati, M.Kep.,Sp.Kep.An

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Keperawatan Anak dengan Judul

“LAPORAN PENDAHULUAN, ASUHAN KEPERAWATAN DAN


ANALISIS JURNAL PADA KASUS HIV/AIDS”

Yang disusun oleh:

Kelas E / Kelompok 8

Anas Alquranunnazili 162310101270

Muhammad Sufyan Asasi 162310101271

Telah disetujui untuk diseminarkan dan dikumpulkan pada:

Hari/tanggal : Kamis, 22 November 2018

Makalah ini disusun dengan pemikiran sendiri, bukan hasil jiplakan atau
reproduksi ulang makalah yang telah ada.

Ketua

Anas Alquranunnazili

NIM 162310101270

2
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Keperawatan Anak dengan judul “Laporan Pendahuluan, Asuhan
Keperawatan Dan Analisis Jurnal Pada Kasus HIV/AIDS” ini dengan baik.

Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, kami mendapatkan bantuan dan


bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Ns. Dini Kurniawati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Mat selaku dosen


Penanggung Jawab Mata Kuliah (PJMK) Keperawatan Anak.

2. Ns. Ira Rahmawati, M.Kep.,Sp.Kep.An selaku dosen pembimbing Mata


Kuliah Keperawatan Anak.

3. Semua pihak yang telah membantu sampai terselesaikannya tugas


makalah ini. Kami menyadari bahwa tugas makalah ini banyak kekurangannya,
baik dalam penulisan maupun isinya, untuk itu kami menerima kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.

Semoga dengan terselesaikan tugas ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca dan bermanfaat pula untuk Keperawatan Anak kedepannya.

Jember, 31 Oktober 2018

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ i

PRAKATA ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2

1.3 Tujuan ................................................................................................ 2

1.4 Manfaat .............................................................................................. 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3

2.1 Definisi HIV/AIDS............................................................................. 3

2.2 Epidemiologi HIV/AIDS .................................................................. 3

2.3 Etiologi................................................................................................ 4

2.4 Patofisiologi ........................................................................................ 5

2.5 Pathway ............................................................................................. 9

2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................. 13

2.7 Komplikasi ........................................................................................ 17


2.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 18
2.9 Penatalaksanaan Medis .................................................................... 18
2.10 Penatalaksanaan Keperawatan ..................................................... 19

2.11 Pencegahan ..................................................................................... 20

4
BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS ............................ 21

3.1 Pengkajian.......................................................................................... 21

3.2 Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 21

3.3 Intervensi Keperawatan ................................................................... 27

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS HIV/AIDS .................. 35

4.1 Kasus ................................................................................................ 35

4.2 Pengkajian Keperawatan ............................................................... 35

4.3 Analisis Data .................................................................................... 36

4.4 Diagnosa Keperawatan ................................................................... 37

4.5 Intervensi Keperawatan ................................................................. 39

4.6 Implementasi Keperawatan ........................................................... 42

4.7 Evaluasi Keperawatan .................................................................... 45

BAB 5. ANALISI JURNAL TENTANG HIV/AIDS ........................................ 48

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... v

5
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom distres pernapasan/respiratory distress syndrome (RDS)


merupakan suatu gangguan respiratori pada neonatus terutama akibat kurangnya
surfaktan yang berfungsi menurunkan tekanan permukaan alveoli dan
mempertahankan alveoli agar tidak kolaps (Suminto, 2017)

Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres


Pernapasan merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan
Yulianni, 2006).

Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea ( > 60 x/menit),


pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting
(merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda kinis lain, seperti:
hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia,
hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran (Bobak, 2005).

Insidens penyakit ini berbanding terbalik dengan usia gestasi neonatus,


angka kejadian RDS pada neonatus dengan usia gestasi 24-25 minggu berkisar
92%, pada usia gestasi 26- 27 minggu turun menjadi 88%, sedangkan usia gestasi
28-29 minggu angka kejadian RDS berkisar 76% dan menjadi 57% pada usia
gestasi 30-31 minggu (Suminto, 2017).

Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat dan menurun
sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat ini RDS
didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan
diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor
penyebab terjadinya RDS.

6
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan dibidang
kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator
dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil daru uji coba klinik
penggunaan surfaktan buatan (Willkinson, 1985), surfaktan dari cairan emnion
manusia (Merrit, 1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring, 1985)
dapat dipertanggung jawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan
sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terpai penyakit pernapasan pada bayi
yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah adalah rumusan yang disusun untuk memahami apa dan
bagaimana RDS/Sindrom gawat napas. Adapun rumusan masalah dari makalah ini
adalah:

1. Apakah RDS itu?

2. Bagaimana randa-tanda terserang RDS tersebut?

3. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan RDS tersebut?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penulis mengangkat masalah AIDS dalam makalah ini


adalah:

1. Untuk mengetahui RDS tersebut.

2. Agar mengerti tentang tanda-tanda terserang RDS.

3. Supaya memahami cara pencegahan dan penanggulangan RDS tersebut.

1.4 Manfaat

Apapun manfaat yang ingin penulis capai adalah untuk memberikan


informasi kepada pembaca, utamanya bagi sesama pelajar dan generasi muda

7
tentang RDS, sehingga dengan demikian kita semua berusaha untuk
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan penyakit RDS.

8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan

Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara


masukdan keluar dari paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan
dengankarbondiaoksida. Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung,
sinus-sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea, bronkus-
bronkus,dan paru. Struktur thoraks yang menyerupai sangkar atau tulang-tulang
dada,terdiri atas 12 vertebra thorakalis, 12 pasang tulang iga (costae), dan
sternum.Tulang iga dan sternum membentuk susunan yang menyokong rongga
thoraks.Ruang antara tulang-tulang iga disebut ruang interkostalis dan diberi
nomor berdasarkan tulang iga di atasnya (contoh: ruang interkostalis kedua berada
di bawah tulang iga kedua).
Diafragma adalah otot yang memisahkan rongga thoraks dari abdomendan
digunakan selama inspirasi. Seluruh sistem tubuh anak berkembang di
dalamkandungan. Sistem pernafasan, walaupun tidak berfungsi hingga anak itu
lahir,akan berkembang lebih lanjut selama masa kanak-kanak. Diameter dan
panjangsaluran udara meningkat, begitu juga jumlah dan ukuran alveolus. Selain
itu,dada bayi bulat, sedangkan paru balita lebih oval, biasanya sudah
mencapaiukuran dewasa (yaitu diameter 1:2) saat berusia 5 tahun.

9
Gambar rongga toraks

Percabangan Trakea dan Bronkus

Rongga thoraks tersusun atas susunan tulang iga yang membatasi/ rib cage
(sebagai “dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”) (Gambar 2.1).
Mediastinummembagi dua rongga pleura. Tiap paru terletak di dalam satu rongga
pleura, yangdilapisi dengan membran serosa disebut pleura. Pleura parietal
menutupi permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga diafragma danme
diastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar paru dan meluas hinggafisura
antara lobus. Membran pleura mensekresi cairan pleura dalam jumlahsedikit, yang
menciptakan kelembaban dan mantel licin untuk lubrikasi saat bernafas. Paru
terbagi atas beberapa lobus yang terpisah dengan jelas. Paru kananterdiri dari tiga
lobus: lobus superior, media dan inferior. Paru kiri hanyamemiliki dua lobus: lobus
superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas permukaan diafragma.
Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap (Tabel
1).Selama tahap awal embryonik paru2 berkembang diluar dinding ventral
dari primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di
sekitarmesoderm yang merupakan struktur teratas dari saluran napas.

10
2.1.1 Fase perkembangan paru

Fase perkembangan paru janin dibagi menjadi 5 tahap, yaitu: embryonic,


pseudoglandular, canalicular, saccular dan alveolar.

 Fase embryonic dimulai sekitar minggu ke-4 hingga ke-5 kehamilan,


ditandai dengan mulai terbentuknya saluran pernapasan besar.

 Fase pseudoglandular terjadi pada minggu ke-5 hingga ke-17. Pada fase ini
terjadi pertumbuhan saluran di paru-paru hingga ke cabang bronkial dan
penebalan saluran napas.

 Fase canalicular terjadi pada minggu ke-16 hingga ke-25. Pada fase ini
terjadi pertumbuhan saluran napas yang semakin dalam. Terbentuk cabang
bronkiolus, mulai terbentuknya pembuluh darah pada ujung- ujung sel
untuk menyiapkan pertukaran antara udara dengan pembuluh darah dan
awal mulanya terbentuknya sel epitel alveolar.

 Fase saccular pada minggu ke-24 hingga ke-36. Terbentuknya saluran


alveolar dan kantong udara, sebuah lokasi ujung terakhir dari saluran udara
dimana terjadi pertukaran antara udara yang kita hirup dengan pembuluh
darah.

 Fase alveolar pada minggu ke-36 hingga usia anak sekitar 8 tahun. Terjadi
perkembangan ukuran alveolar, sehingga kapasitas paru semakin
meningkat. Paru menjadi semakin efektif untuk melakukan pertukaran
udara dengan pembuluh darah.

2.1.2 Tes Kematangan Paru


Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin
adalahTes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur
yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya

11
Neonatal Respiratory DistressSyndrome (RDS). Tes tersebut
diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
a. Tes Biokimia
(Lesithin - Sfingomyelin rasio)Paru-paru janin berhubungan dengan cairan
amnion, maka jumlahfosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai
produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkansfingomielin dari cairan amnion.
b. Test Biofisika
Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang
membuatdan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan
amnion yangdicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung
oleh unsuryang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam
lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion
dalam saline dengan 1ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila
didapatkan ring yang utuhdengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan
amnion:ethanol) merupakan indikasimaturitas paru janin. Pada kehamilan
normal, mempunyai nilai prediksi positipyang tepat dengan resiko yang kecil
untuk terjadinya neonatal RDS.

c.TDX- Maturasi paru janin (FLM II)Yaitu tes lainnya yang berdasarkan
prinsip teknologi polarisasi fluoresendengan menggunakan viscosimeter, yang
mengukur mikroviskositas dari agregasilipid dalam cairan amnion yaitu
mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes inimemanfaatkan ikatan kompetitif
fluoresen pada albumin dan surfaktan dalamcairan amnion. Bila lompatan
fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasinilainya tinggi, tetapi bila
mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalamcairan amnion, polarisasi
fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatisrasio antara surfaktan dan
albumin, yang mana hasilnya berhubungan denganmaturasi paru janin. Menurut
referensi yang digunakan oleh Brigham and Women‟s Hospital, dikatakan
immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59mg/dl; dan matur bila lebih
atau sama dengan 50 mg/dl. Bila terkontaminasidengan darah atau mekonium

12
dapat menggangu interpretasi hasil test. Masalah pernafasan merupakan salah
satu penyebab kematian pada bayiyang sering dihubungkan dengan kondisi
respiratory distress syndrome (RDS)/asfiksia neonatroum. Kondisi ini
merupakan penyebab terbanyak dariangka kesakitan dan kematian pada bayi
prematur.
Bayi yang mengalami masalah pernapasan membutuhkan pemantauan
oksigen yang akurat. Salah satu pemantauannya adalah dengan memonitor
saturasi oksigen bayi. Pulse oksimetry merupakan salah satu alat pemantauan
yang paling bermanfaat yang tersedia saat ini dan menjadi metode pemilihan
untuk emantauan oksigen darah arteri.
2.1.3 Peralihan Pernafasan Paru
Keberhasilan tercapainya fungsi paru yang adekuat pada saat
lahir bergantung pada anatomi yang tidak obstruktif dan umur kehamilan sertamat
uritas. Cairan yang mengisi paru janin harus dikeluarkan, kapasitas
residufungsional pengisian udara ( functional residual capacity (FCR) tercapai
dandipertahankan dan hubungan ventilasi perfusi yang berkembang
akanmemberikan kemungkinan pertukaran oksigen dan karbondioksida secara
optimalantara alveoli dan karbondioksida secara optimal antara alveoli dan darah.
2.1.4 Pernafasan Pertama
Selama persalinan melalui vagina, kompresi intermiten
toraksmempermudah pengeluaran cairan dari paru-paru. Surfaktan dalam
cairanmemperbesar pengisian udara (aerasi) pada paru yang bebas gas
denganmengurangi tegangan permukaan sehingga dapat menurunkan tekanan
yangdiperlukan untuk membuka alveolus. Meskipun demikian, tekanan
yangdiperlukan untuk mengembangkan paru yang tidak mengandung udara
lebihtinggi daripada tekanan yang diperlukan pada setiap masa kehidupan yang
lain.;tekanan ini berkisar antara 10-50 cmH2o selama interval 0,5 sampai 1,0
detikdisbanding dengan 4 cm untuk pernafasan bayi cukup bulan dan orang
dewasa.Kebanyakan bayi memerlukan kisaran tekanan permukaan yang lebih
rendah. Tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk memulai pernafasan
dalammengatasi gaya perlawanan tegangan permukaan (terutama pada jalan

13
nafaskecil) serta viskositas cairan yang tetap berada dalam jalan nafas,
gunamemasukkan sekitar 30 mL udara ke paru dimana 20-30 mL dari volume
tersebutmenetap sesudah pernafasan pertama dan menjadi FRC. Sebagian besar
cairandalam paru diambil oleh sirkulasi paru yang bertambah beberapa kali lipat
padasaat lahir karena semua curah ventrikel kanan menyebar ke bantalan
vaskular paru. Sisa cairan dikeluarkan melalui saluran limfe paru, dihembuskan
oleh bayi, ditelan atau diaspirasi dari orofaring; pengeluaran cairan paru ini dapat
terganggu pada keadaan paska seksio sesarea, cedera sel endotel atau sedasi
neonatus.
Ada banyak ransangan untuk menimbulkan pernafasan pertama
dankepentingan relatifnya belum pasti. Ransangan ini meliputi penurunan PO2
dan pH serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta,r
edistribusi curah jantung setelah tali pusat diklem, penurunan suhu tubuh,
dan berbagai ransangan taktil. Dibandingkan bayi cukup bulan, bayio BBLR yang
mempunyai dinding dada amat lemah mungkin tidak beruntung
dalammenyelesaikan pernafasan pertamanya. FRC terendah terdapat pada bayi
imaturyang dapat menyebabkan sindrom kegawatan pernafasan.

2.1.5 Pola Pernafasan pada bayi Baru Lahir


Selama tidur pada usia bulan pertama, bayi normal cukup bulan mungkink
adang-kadang mengalami episode yaitu pernafasan teratur terganggu dan jedah-
jedah (penghentian-
penghentian) pendek. Pola pernafasan periodic ini bergeserdari irama teratur ke
episode apnea intermiten siklik yang singkat, sering
terjadi pada bayi premature yang dapat mengalami jedah 5-
10 detik diikuti denganfrekuensi 50-50/menit selama 10-15 detik.
Jarang disertai perubahan warna atau perubahan frekuensi jantung
dansering berhenti tanpa alasan yang jelas. Pernafasan periodic intermiten
biasanyamenetap sampai bayi premature berumur sekitar 35 minggu umur
kehamilan. Jika bayi hipoksik, penambahan kadar oksigen yang diinspirasi akan
mengubah pernafasan periodic menjadi pernafasan teratur. Transfusi sel darah dap

14
at merah atauransangan fisik eksterna juga dapat mengurangi jumlah episode
apnea.Pernafasan periodic tidak memberikan arti prognostic, hal ini merupakan
suatu karakteristik normal pada pernafasan neonatus.
2.2 Definisi

Sindrom distres pernapasan/respiratory distress syndrome (RDS)


merupakan suatu gangguan respiratori pada neonatus terutama akibat kurangnya
surfaktan yang berfungsi menurunkan tekanan permukaan alveoli dan
mempertahankan alveoli agar tidak kolaps (Suminto, 2017)

Latar belakang Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres


Pernapasan merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan
Yulianni, 2006).

2.3 Epidemiologi

Insidens penyakit ini berbanding terbalik dengan usia gestasi neonatus,


angka kejadian RDS pada neonatus dengan usia gestasi 24-25 minggu berkisar
92%, pada usia gestasi 26- 27 minggu turun menjadi 88%, sedangkan usia gestasi
28-29 minggu angka kejadian RDS berkisar 76% dan menjadi 57% pada usia
gestasi 30-31 minggu (Suminto, 2017).

2.4 Etiologi

Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:

1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka

2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan


pengembangan kurang sempurna fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang
dan bayi akan mengalami sesak nafas.

15
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang
tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit
oleh makrofag.

4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2400 gram/

5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru'elainan dalam paru yang menunjukan
sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH).

5. Bayi prematur atau kurang bulanDiakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan!


Produksi surfaktan ini dimulai sesak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia
kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

2.5 Patofisiologi

Menurut (Suminto, 2017) Patofisiologi RDS ditandai dengan perubahan


mekanisme paru (menurunnya komplians, penurunan kapasitas residu fungsional
dengan instabilitas alveolar yang cenderung kolaps, atelektasis, asidosis, dan
hipoksia). Usaha napas diperberat dengan menurunnya aliran volume atau
hipoekspansi paru dan peningkatan dead space.

Pada RDS, komponen surfaktan normal namun tidak dapat membentuk


mielin tubular. Hal ini dapat disebabkan oleh defisiensi lipid, dan protein surfaktan
yang penting untuk membentuk monolayer fungsional. Surfaktan dihasilkan oleh
pneumosit tipe 2 yang terdiri dari 90% lipid dan 10% protein pada usia gestasi 24
28 minggu.Protein surfaktan terdiri dari empat jenis, yaitu SP-A, SP-B, SP-C, SP-
D, sedangkan kandungan lipid utama pada surfaktan adalah phosphatidylcholine
dan phosphatidylglycerol. Fosfolipid membentuk lapisan yang penting untuk
mempertahankan tegangan permukaan alveoli saat terjadi kompresi. Fungsi
surfaktan adalah untuk mengurangi tegangan permukaan cairan yang melapisi
alveolar dan mempertahankan integritas struktural alveoli.

16
Penurunan surfaktan menyebabkan peningkatan usaha napas untuk ekspansi
paru pada setiap napas dan meningkatkan kemungkinan kolaps alveolar pada akhir
ekspirasi.Pasien RDS akan mengalami atelektasis generalisata, ketidaksesuaian
antara ventilasi-perfusi, yang berakhir menjadi hipoksemia dan asidosis
respiratorik. Saat bernapas, stres pada alveoli dan bronkiolus
terminalis terjadi akibat usaha repetitif untuk membuka kembali alveoli yang kolaps
dan distensi berlebih pada alveoli yang terbuka. Tekanan ini dapat merusak struktur
paru, sehingga terjadi kebocoran debris proteinaseosa ke jalan napas. Debris ini
dapat semakin mengganggu fungsi surfaktan, sehingga dapat menyebabkan gagal
napas

2.6 Manifestasi klinis

Sindrom gawat napas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernapasan


yang ditandai dengan:

1. Trakipnea, frekuensi napas > 60-80 kali/menit

2. Retraksi, cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (sub sternal) selama inspirasi.

3. Napas cuping hidung, kembang kempis lubang hidung selama inspirasi.

4. Merintih atau grunting, terdengar merintih atau menangis saat inspirasi.

5. Sianosis, sianosis sternal yaitu warna kebiruan pada bibir (berbeda


dengan biru lebam atau warna membran mukosa)

6. Apnue atau henti napas.

7. Dalam jam-jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres rspirasi


(trakipneu, retraksi, napas cuping hidung, dan grunting) kadang dijumpai
pada BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan
karena perubahan fisiologik akibat rebsorbsi cairan dalam paru bayi dan
masa transisi dari sirkulasi neonatal.

17
8. Bila takipneu, retrikasi, cuping hidung dan grunting menetap pada
beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas
atau distress respirasi yang harus dilakukan tindakan segera.

2.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan bayi RDS adalah mencegah hipoksemia dan


asidosis, manajemen cairan untuk mencegah hipovolemia, syok dan edema,
mengurangi kebutuhan metabolik, mencegah perburukan atelektasis dan edema
pulmoner, mengurangi oxidant lung injury, mengurangi kerusakan paru akibat
ventilasi mekanik.

Saat ini continuous positive airway pressure (CPAP) sebagai upaya primer
dalam bantuan respirasi sudah banyak digunakan untuk menghindari intubasi pada
ruang bersalin. Pada bayi dengan usia gestasi <29 minggu, pemberian CPAP dini
dapat mengurangi kebutuhan ventilator dan menurunkan mortalitas atau insidens
BPD (bronchopulmonary dysplasia).20,21 Namun, banyak di antara bayi tersebut
pada akhirnya memerlukan intubasi dan pemberian surfaktan.20-22 Dari
penemuan-penemuan ini dapat disimpulkan bahwa pemberian CPAP dapat gagal
pada bayi dengan defisiensi surfaktan yang signifikan dan prognosis bayi prematur
yang mendapat CPAP dapat meningkat bila bayi yang menunjukkan tanda.

Sejak tahun 1980, berbagai preparat surfaktan eksogen sintetik ataupun


natural mulai dikembangkan.18,24 Surfaktan sintetik tanpa protein kurang efektif
dibandingkan surfaktan natural dengan SP-B dan SP-C.25 Saat ini telah
dikembangkan surfaktan sintetik yang mengandung analog protein polipeptida atau
rekombinan protein C surfaktan manusia, salah satunya adalah Lucinactant.
SELECT trial membandingkan protein sintetik Lucinactant dosis 175 mg fosfolipid
dengan surfaktan natural yaitu Beractant (ekstrak paru bovine + DPPC, asam
palmitat, tripalmitin) dosis 100 mg fosfolipid pada 1295 bayi prematur. Hasilnya
lucinactant menghasilkan angka mortalitas yang lebih rendah pada hari ke14
dibandingkan dengan beractant (4,7 vs 10,5%). Kematian atau kejadian BPD pada

18
usia 36 minggu serupa pada kedua kelompok. Disimpulkan bahwa lucinactant
memiliki efikasi klinis serupa dengan preparat surfaktan natural.

Banyak penelitian membuktikan terapi surfaktan profilaksis ataupun


terapeutik dapat mengurangi risiko pneumotoraks dan kematian neonatal pada bayi
dengan risiko RDS.27,28 Kandraju, et al, membandingkan pemberian surfaktan
profilaksis dan selektif, dan menyimpulkan bahwa pemberian surfaktan rutin secara
dini pada 2 jam pertama kehidupan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik secara
signifikan (16,2 vs 31,6%).29 Namun, pada penelitian-penelitian ini bayibayi
tersebut tidak mendapatkan CPAP pada awal terapi dan hanya dibandingkan
dengan bayi yang mendapatkan ventilasi mekanik.30 Sebuah metaanalisis Rojas-
Reyes, et al, menyimpulkan bahwa penanganan surfaktan profilaksis tidak lebih
baik dibandingkan CPAP diikuti pemberian surfaktan selektif dalam mengurangi
kebutuhan ventilasi mekanik, pneumotoraks, dan BPD, atau mortalitas di era
pemberian kortikosteroid antenatal dan CPAP.28,31,32 American Association of
Pediatrics merekomendasikan pemberian CPAP segera setelah lahir dengan
pemberian surfaktan selektif sebagai terapi alternatif.

Alternatif pemberian surfaktan yang saat ini sering digunakan adalah


dengan teknik INSURE (intubation-surfactant-extubation) dilanjutkan dengan
CPAP. Naseh, et al, meneliti 242 neonatus yang diberi surfaktan dengan teknik
INSURE, 74% berhasil dan kebutuhan ventilasi mekanik dapat dieliminasi.
Keberhasilan INSURE ditentukan oleh jenis persalinan, berat badan bayi, usia
gestasi, dan jumlah bayi yang lahir.

Teknik lain yang saat ini sedang dikembangkan adalah minimally invasive
surfactant administration (MIST) dengan cara memasukkan kateter ke dalam trakea
bayi yang mendapat CPAP. Kanmaz, et al, membandingkan teknik Take-Care
procedure (memasukkan kateter lunak 3 cm dengan laringoskop Millar 00 ke dalam
trakea) dengan teknik INSURE; disimpulkan bahwa dengan teknik tersebut
memiliki keunggulan antara lain durasi penggunaan ventilasi mekanik lebih pendek
dan kejadian BPD lebih rendah secara signifikan. Hal ini karena ventilasi manual

19
sebelum intubasi dapat menyebabkan cedera paru dan menumpulkan efek
surfaktan. Dengan teknik tersebut, bayi dapat mempertahankan pola pernapasan
yang sama.34 Premedikasi sedasi sebelum intubasi juga menyebabkan depresi
napas dan mengganggu distribusi surfaktan.

Data eksperimental menyimpulkan bahwa pemberian surfaktan pada orang


yang bernapas spontan menghasilkan dispersi yang lebih efektif dan masuknya
fosfolipid ke jaringan yang lebih besar.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Untuk mendiagnosis keterlibatan kardiovaskular serta PMH yang


mendasarinya, selain berdasarkan gejala klinis, diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium, foto dada, elektrokardiografi, ekokardiografi,
angiokardiografi.1-12 Pemeriksaan penunjang dengan foto dada masih merupakan
prosedur yang amat penting dalam mendiagnosis kelainan kardiovaskular.1-12,36
Keunggulan ekokardiografi dalam mendiagnosis kelainan jantung adalah
kemampuan dalam memberi informasi mengenai status perikardium, miokardium,
endokardium dan katup jantung. Doppler berguna untuk menegakkan kelainan
struktur jantung dan pembuluh darah, menetapkan atau memperkirakan derajat
kelainan katup dan hemodinamik, dan menilai keterlibatan kardiovaskular karena
penyakit lain. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan analisis
gas darah. Pada pemeriksaan kimia darah akibat adanya asidosis metabolik pada
bayi akan terlihat peninggian asam laktat dan asam organik lain. Tinggi rendahnya
asam laktat tergantung dari berat ringannya penyakit. Bila kadarnya lebih dari
45mg/dl, maka prognosis penyakit akan buruk.

Pada pemeriksaan darah juga akan ditemukan pula tanda asidosis metabolik
lain seperti merendahnya bikarbonat, adanya defisit basa dan penurunan pH.
Gambaran pH darah bisa digunakan untuk menentukan prognosis bayi. Bila pH
darah menetap di bawah 7,2 untuk beberapa jam menandakan adanya proses
asidosis yang berat dan biasanya prognosis penyakit buruk. PaO2 akan menurun
sampai kurang dari 50 mmHg, dengan FiO2 dari 50 mmHg, PCO2 lebih dari 60

20
mmHg.2,4,10 Tata laksana kelainan kardiovaskular pada SGNN dengan pemberian
obat-obatan yang dipergunakan untuk memperbaiki faal miokardium yaitu agonis
beta dan digoksin.2 Pemberian dobutamin pada bayi dengan PMH ringan akan
memperbaiki faal diastolik ventrikel kiri dan kanan, faal sistolik ventrikel kiri.
Dobutamin diberikan dengan dosis 10 ug/kg/menit selama 30 menit.2 Suatu
penelitian pada 421 bayi dengan DAP yang bermakna secara hemodinamik,
mendapatkan 79% terjadi penutupan duktus yang permanen dengan pemberian
indometasin. Penutupan ini lebih umum terjadi pada bayi dengan berat lahir 1000
gram dan usia kehamilan >29 minggu.4 Penutupan DAP yang dilakukan dengan
implantasi ductus occluder memberi hasil memuaskan, tetapi prosedur ini masih
terbatas dilakukan pada pasien yang sudah agak besar, mengingat makin muda usia
makin tinggi kesulitan tekniknya, di samping alat yang tersedia masih sangat
terbatas.3,18,29-33 DAP besar bila tidak diobati bisa berkembang menjadi
endokarditis infektif, hipertensi pulmonal.

2.9 Pathway

21
BAB 3. KONSEP AKEP

a. Pengkajian
1) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur,
retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat,
hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada
awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran
udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan
anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan
penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
a) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa
tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap
terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis,
diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang
sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP
yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
b) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi
dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar.
Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan
terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
c) Warna kulit/ membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
2) Pemeriksaan penunjang
a) Foto rontgen thorak
Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali bila sistim lain bila terkena.
b) Pemeriksaan hasil analisa gas darah

22
Untuk mengetahui adanya hipoksemia, hipokapnia, dan alkalosis respiratori ( pH
>7,45) pada tahap dini.
c) Tes fungsi paru
Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.

b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan Yulianni (2006)
yaitu:
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau
kurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi atau pemasangan
intubasi trakea yang kurang tepat dan adanya secret pada jalan napas.
3) Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, dan posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.
4) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang
tanpa disadari (IWL).
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, motilitas gastrik menurun, dan penyerapan.
Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawat kriteria hasil
an
Gangguan Setelah a. Posisikan a.untuk mencegah adanya
pertukaran dilakukan untuk penyempitan jalan nafas.
gas b.d tindakan pertukaran b. karena akan mengurangi
imatur keperawatan udara yang diameter trakea.
paru dan selama 3x24 optimal; c. memastikan posisi sesuai
dinding jam tempatkan pada dengan yang diinginkan dan
dada atau diharapkan posisi telentang mencegah terjadinya distres
kurangnya dengan leher pernafasan.

23
jumlah pola nafas sedikit ekstensi d. memastikan bahwa jalan napas
cairan efektif. dan hidung bersih.
surfaktan Kriteria menghadap e. menilai fungsi pemberian

hasil: keatap dalam surfaktan.


a. Jalan posisi
nafas bersih ’mengendus’.
b. Frek b. Hindari
uensi hiperekstensi
jantung leher.
100-140 c. Observasi
x/menit adanya
c. Pern penyimpangan
apasan 40-60 dari fungsi yang
x/menit diinginkan,
d. Taki kenali tanda-
pneu atau tanda distres
apneu tidak misalnya:
ada mengorok,
e. Sian pernafasan
osis tidak cuping hidung,
apnea.
d. Penghisapan
selang
endotrakeal
sebelum
pemberian
surfaktan.
e. Observasi
peningkatan
pengembangan
dada setelah

24
pemberian
surfaktan.
a. Catat a. Penggunaan otot-otot
Be 2. bersihan Tujuan: Pasi
perubahan dalam interkostal/abdominal/leher
jalan nafas en dapat
bernafas dan dapat meningkatkan usaha dalam
tidak mempertahan
efektif kan jalan pola nafasnya. bernafas.

berhubung nafas dengan b. Observasi b. Pengembangan dada dapat

an dengan bunyi nafas dari penurunan menjadi batas dari akumulasi


hilangnya yang jernih pengembangan cairan dan adanya cairan dapat

fungsi dan ronchi (-). dada dan meningkatkan fremitus.

jalan Kriteria peningkatan c. Suara nafas terjadi karena

nafas, hasil: fremitu. adanya aliran udara melewati

peningkata a) Pasien c. Catat batang tracheo branchial dan juga


n sekret bebas dari karakteristik dari karena adanya cairan, mukus atau
pulmonal, dispneu suara nafas. sumbatan lain dari saluran nafas.
peningkata b) Mengelu d. Catat d. Karakteristik batuk dapat
n arkan sekret karakteristik dari merubah ketergantungan pada
resistensi tanpa batuk. penyebab dan etiologi dari jalan
jalan nafas kesulitan e. Pertahankan nafas. Adanya sputum dapat
ditandai c) Memperlihat posisi dalam jumlah yang banyak, tebal
dengan: kan tingkah tubuh/posisi dan purulent.
dispneu, laku dan kepala dan e. Pemeliharaan jalan nafas
perubahan mempertahan gunakan jalan bagian nafas dengan paten.
pola nafas, kan jalan nafas
penggunaa nafas. tambahan bila
n otot perlu.
pernafasan
, batuk
dengan
atau tanpa
sputum,
cyanosis.

25
.
Tidak Tujuan: Polaa) a. Analisa
a) a. Mempertahankan gas darah
efektif nafas efektif Monitor serial optimal dan mengetahui
pola napas Kriteria gas darah sesuai perjalanan penyakit.
b.d Hasil: Memp program. b)
ketidaksa ertahankan b. Gunakan alat b.Memudahkan memelihara
maan pola bantu nafas jalan nafas atas.
nafas bayi pematasan sesuai intruksi.c) Pantau ventilator setiap jam
dan efektif. c.Pantau c. Mencegah turunnya
ventilator, a) Irama ventilator setiap konsentrasi mekanik dan
dan posisi nafas, jam kemungkinan terjadinya
bantuan kedalaman d. Berikan komplikasi.
bentilator nafas normal. lingkungan d)

yang b) Oksige yang kondusif d. Supaya bayi dapat tidur dan

kurang nasi adekuat. e. Auskultasi memberikan rasa nyaman.


irama jantung, e. Mendeteksi dan mencegah
tepat.
suara nafas dan adanya komplikasi.
lapor adanya
penyimpangan.

Resiko Tujuan: mem a. Pertahanka a. Penggantian cairan secara


kurangnya pertahankan n cairan infus adekuat untuk mencegah
volume cairan dan 60- 10 ml ketidakseimbangan.
cairan b.d elektrolit /kg/hari atau b. mempertahankan asupan
hilangnya Kriteria sesuai protokol cairan sesuai kebutuhan pasien,
cairan Hasil: yang ada. penggunaan pemanas tubuh
yang tanpa
a) Keseimbanga b. Tingkatkan akan meningkatkan kebutuhan
disadari n cairan dan cairan infus 10 cairan.
(IWL). elektrolit ml/ kg,
tergantung dari

26
dapat urin output,
dipertahankan penggunaan
pemanas dan
jumlah
fendings.

Perubahan Tujuan: Keb a. Timbang


a) a. Mendeteksi adanya
nutrisi utuhan nutrisi helat badan tiap penurunan atau peningkatan
kurang adekuat. hari. berat badan.
dari Kriteria b. Berikan
b) b. Diperlukan keseimbangan
kebutuhan hasil: glukosa 5-10% cairan dan kehutuhan kalori
tubuh b.d
a) Mencapai banyaknya secara parsiasif.
ketidakma status nutrisi sesuai umur dan
c) Monitor adanya hipoglikemi.
mpuan normal berat badan. c. Masukkan nutrisi inadekuat
menelan, dengan berat c. Monitor menyebabkan penurunan
motilitas hadan yang adanya glukosa dalam darah.
gastrik sesuai. hipoglikemi. d. Mempertahankan nutrisi
menurun,b) Mencapai d. Monitor cukup energi dan keseimbangan

dan kadar gula adanya intake dan output.

penyerapa darah normal. komplikasi GI:


c) Mencapai (1) Disstres
n.
keseimbangan (2) Konstipasi /
intake dan diare.
output. (3) Frekwensi
d) Bebas dari muntah
adanya
komplikasi
Gl.
e) Lingkar perut
stabil.

27
f) Pola
eliminasi
normal

28
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta :


EGC

Nugraha, Satya Adi. 2014. Low Birth Weight Infant With Respiratory Distress
Syndrome. J Agromed Unila:1(2):190-194

Pediatri Sari. 2004. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas


Neonatus. Romona Tobing. ediatri, Vol. 6, No. 1

Suminto Silvia. 2017. Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana


Respiratory Distress Syndrome Bayi Prematur. Vol 44 (8). Hal : 568-570

29

Anda mungkin juga menyukai