Anda di halaman 1dari 8

ISSN 2442-7659

PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI

FILARIASIS
FILARIASIS
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria (microfilaria) yang dapat
menular dengan perantaraan nyamuk sebagai vektor. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak
mend a pat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap seumur hid up berupa pembesaran kaki, lengan dan
alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki yang menimbulkan dampak psikologis bagi penderita dan
keluarganya. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada
orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara.

Di Indonesia sampai saat ini dilaporkan terdapat lebih dari 14.932 penderita kasus kronis yang tersebar di 418
kabupaten/kota di 34 provinsi.

Has ii penelitian Depa rte men Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia tahun 1998,
menunjukkan bahwa kerugian ekonomi penderita kronis filariasis per tahun sekitar 17,8% dari seluruh
pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga.

Penyakit Kaki Gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori. Semua spesies terse but terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia
disebabkan oleh Brugia malayi. Saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Cu/ex,
Mansonia, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis. Tetapi vektor utamanya adalah
Anopheles farauti dan Anopheles punctulatus. Hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies dari
genus Anopheles disamping berperan sebagai vektor malariajuga dapat berperan sebagai vektorfilariasis.

Larva infektif yang disebut mikrofilaria memiliki panjang sekitar 200-250 µm serta lebar 5-7 µm yang bersarung.
Bedanya diantara Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, hanya Brugia timori yang sarungnya
tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Juga yang membedakan ketiga
spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti
jarak mulut, panjangtubuh. Perkembangan dari larva mud a hingga menjadi larva infektif di dalam tub uh nyamuk
berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga
menjadi cacing dewasa berlangsung selama 3-36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk,
namun pad a kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit
filarial.

Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna
putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Mikrofilaria ini hid up di dalam darah dan
terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu saja yang mempunyai periodisitas. Pada umumnya,
Microfilario Wucheria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam
darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler dalam paru, jantung, ginjal dan
sebagainya.

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Cu/ex quinquefasatus. Di pedesaan vektornya berupa
nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang panjang. Masa
pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan belum
diketahui secara pasti tetapi diduga kurang lebih 7 bulan. Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan
sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Awalnya
parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih
seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium 11. Pada hari
kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh ma kin panjang dan lebih kurus disebut larva
stadium 111. Gerakan larva stadium 111 sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen
kemudian ke kepala dan a lat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling
sampai adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh a lat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan


memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes kemudian baru menggigit. Bila
nyamuk yang mengandung larva stadium Ill bersifat infektif dan mengigit manusia, maka larva tersebut secara
aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva
mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V dan cacing dewasa.

l3 masuk ke dalam kulit


hospes bersamaan
pada saat nyarnuk
vektor
mengg;o;tmanu�
Perkembangan larva L3 ke
l4 sampai menjadi cacing
dewasa dalam pembuluh
dan
Mikrofilaria � . kelenjar limfe
berkembang
manjadi: l1, l2 dan Perkawinan
L3 di dalam toraks cacing jantan &
betina dalarn
kelenjar & saluran
limfa (cacing
dewasa
h1dup 5- 10 tanun

Mikrofilaria dihisap oleh


nyamuk vektor masuk ke
Cacing betina
lambung dan bergerak
menghasilkan
ke jaringan ototnemak
mikrofilaria, yang s
toraks nyamuk
periodic bergerak
ke pembuluh darah
tepi.

Penyakit filariasis mempunyai gejala dan tanda klinis akut serta kronis. Filariasis akut ditandai dengan gejala
demam berulang selama 3 - 5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
Pembengkakan kelanjar getah bening (tan pa ada Iuka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak
kemerahan, pan as dan sakit. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar
dari pangkal ke a rah ujung kaki atau lengan. Abses filarial terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong
buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (limfedema dini).

Filariasis kronis memiliki gejala dan tanda klinis yang meliputi pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan,
buah dada, atau buah zakar. Gejala klinis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik
yang hid up maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu
dapat menyebabkan occultfilariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan
limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun. Cara diagnosis penyakit filariasis di
antaranya adalah pemeriksaan klinis, pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah
jari/vena dengan pewarnaan.

Dari data yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi dan hasil survei di Indonesia kasus filariasis kronis 10
(sepuluh) tahun terakhir cenderung meningkat. Pada tahun 2005 ada 8.243 kasus filariasis meningkat menjadi
14.932 orang dari 418 kabupaten/kota di 34 provinsi seperti tampak pada grafik dibawah ini. Kasus klinis
filariasis yang dilaporkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya kasus yang baru
ditemukan seiring dengan kabupaten/kota yang melaksanakan pendataaan sasaran sebelum Pemberian Obat
Pencegahan Massal ( POPM) Filariasis.
Gambar 1.
Kasus Filariasis Klinis per Tahun di Indonesia Tahun 2002 - 2014

N
16000 O'I
,,;t
.-1
14000
r-,
N
12000

10000 N
0 co
N
8000
\D

6000

4000

2000

0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Sumber:Subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL

Dari tahun 2002- 2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang ca cat yang paling tertinggi di Nusa Tenggara Timur
yaitu 3.175 kasus di 20 kabupaten/kota, Aceh sebesar 2.375 kasus di 21 kabupaten/kota, Papua Ba rat dengan
1.765 kasus di 12 kabupaten/kota seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.
Kumulatif Kasus Filariasis Kron is Yang Cacat Per Provinsi di Indonesia
Tahun 2002 - 2014

3500 --------------------------------
8175

3000

2500 2375--

2000
1765

1500
1184

1000 811
649
532 524
500 419�125

1 111111111111111;�::::::
274 257 253 232 227 227 213 207
37 31 30 27 18 14 13

Sumber:Subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL

e
Pada tahun 2007, World Health Assembly menetapkan resolusi "Elimination Lymphatic Filariasis as a Public
Health Problem" yang kemudian dipertegas oleh World Health Organization (WHO) dengan deklarasi "The
Global Goal of Elimination ofLymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020'� Di dunia terdapat
1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara, sementara dari seluruh
kasus yang ada di dunia 60% kasus berada di Asia Tenggara.

Indonesia menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit
menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009. Program pemberantasan filariasis sendiri telah
dilaksanakan sejak tahun 1975, terutama di daerah-daerah endemis tinggi. Menteri Kesehatan pada tanggal 8
April 2002, di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin Ill, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan telah
mencanangkan dimulainya eliminasi filariasis global di Indonesia, dan menerbitkan surat edaran kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tentang Pelaksanaan Pemetaan Endemisitas Filariasis,
Pengobatan Massa I Daerah Endemis Filariasis, dan Tatalaksana Penderita Filariasis di Semua Daerah (Menteri
Kesehatan Nomor 612/MENKES/Vl/2004). Disamping itu, Program Penatalaksanaan Kasus Filariasis yang
merupakan salah satu program eliminasi filariasis, ditetapkan menjadi salah satu kewenangan wajib
pemerintah daerah, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Pedoman pengendalian filariasis
tertuangdalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1582/MENKES/SK/Xl/2005 Tanggal
18 Nopember 2005.

Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global melalui dua pilar
kegiatan yaitu:
1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
Filariasis di daerah endemis sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Obat yang dipakai yaitu DEC
(Diethylcarbamazine Citrate) 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg.
2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis mandiri.

Sampai tahun 2014 berdasarkan survei darah jari, dari 511 kabupaten/kota di Indonesia ada 241
kabupaten/kota sebagai daerah endemis (microfilaria >1%). Dari 241 kabupaten/kota, sebanyak 46
kabupaten/kota yang telah melaksanakan POPM Filariasis minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan
pengobatan di atas 65% berhasil menurunkan microfilaria pada masyarakat menjadi < 1%. Untuk 195
kabupaten/kota lainnya akan melaksanakan POPM Filariasis tahun 2015-2019. Daerah endemis
kabupaten/kota di Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 3
Daerah Endemis per Kabupaten/Kota di
Indonesia

e Endemic district
• Non endemic district

Sumber:Subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL

0
Untuk pelaksanaan POPM Filariasis ini dibutuhkan biaya yang meliputi biaya pengadaan obat yang
menjadi tanggung jawab pusat dan biaya operasional yang terdiri dari biaya advokasi sosialisasi,
penyuluhan, pelatihan kader, pendataan sasaran, distribusi obat, rujukan serta biaya monitoring evaluasi
menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Rata rata prevalensi microfilaria di Indonesia tahun 2014 adalah 4, 7%. Bila dilihat berdasarkan penduduk
kabupaten/kota daerah endemis jumlah penduduk berisiko adalah 102.279.736 orang. Jumlah
penduduk terinfeksi filariasis (berisiko menjadi penderita kronis adalah 4.807.148 orang. Sehingga
kerugian yang ditimbulkan bila tidak dilakukan POPM Filariasis adalah: 4.807.148 x Rp. 2.755.440 (asumsi
kerugian ekonomi
penderita filariasis pertahun, berdasarkan biaya hid up (UM R) =
Rp.13.245.807.890.000/tahun).

Gambar di bawah ini menunjukan adanya peningkatan cakupan POPM filariasis dari tahun 2010-2014.
Pada tahun 2010 cakupan POPM Filariasis sebesar 39,4% meningkat menjadi 73,9% pada tahun 2014.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat akan pentingnya
minum obat pencegahan filariasis yang diberikan setahun sekali pada daerah endemis.

Gambar4
Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis Tahun 2010- 2014

70000000 80.00

f,()(X)(X)CX) 70.00
60.00
50000000
50.00
40000000
..
s: 40.00 ';Je.

E 30000000
-=l 30.00
20000000
20.00

10000000 10.00
0 0.00
2010 2011 2012 2013 2014

-Target POPM 56000000 57703339 33688840 32135800 25984057


- Realisasi POPM 22050622 21767979 21506275 21506275 19204373
�% Realisasi POPM 39.38 37.72 63.84 66.92 73.91

Sumber:Subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan


PL

Kegiatan tatalaksana kasus filariasis klinis harus dilaksanakan pada semua penderita. Tatalaksana ini
bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kecacatan penderita dan agar penderita menjadi mandiri
dalam merawat dirinya. Setiap penderita dibuatkan status rekam medis yang disimpan di puskesmas,
dan mendapatkan kunjungan dari petugas kesehatan minimal 7 (tujuh) kali dalam setahun.

Gambar di bawah menunjukan kasus filariasis klinis yang ditatalaksana dari tahun 2005-2014 masih
dibawah
50%. Hal ini memperlihatkan kegiatan penatalaksanaan kasus klinis kurang berjalan dengan baik
yang kemungkinan disebabkan masih adanya stigma pada masyarakat sehingga penderita filariasis
malu untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan setempat.
Gambar S
Kasus Filariasis Klinis yang Ditatalaksana Tahun 2005-
2014
16000 60.00

14000

12000 --
,,
'
.
- .....'
- S0.00

./ �
40.00
10000 ' '
s:
r., rooo
E
..:.:.J. f,()()(J
-
: =- r,
-
1-9--------- � � - - . - - r
'.,

4000
� 20.00
2000

0
[lt-.-----r 10.00

I
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 0.00

2014
1

- Jumlah kasus klinis 8243 10421114731169911914119691206! 1190'


127111493,
t Kasus ditatalaksana 1461 3233 3373 4695 477615500 5800 5700 5900
65SO
1
�% ditatalaksana 17.72 31.01 29.40 40.13 40.09 45.95 48.01 47.89
46.4143.87

Sumber:Subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL

Untuk mempercepat terwujudnya Indonesia Bebas Kaki Gajah diadakan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)
setiap bu Ian Oktober selama 5 tahun (2015-2020) yaitu:
1. Bulan dimana setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah serentak minum obat pencegahan.
2. Dilaksanakan setiap bu Ian Oktober selama 5 tahun berturut-turut (2015-2020)
3. Dicanangkan tanggal 1 Oktober 2015 di Cibinong, Ka bu paten Bogar, Jawa Ba rat. Pada saat yang bersamaan
di provinsi endemik lainnya dilakukan pencanangan oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota.
4. BELKAGA menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaannya
memerlukan dukungan kementerian dan lembaga terkait.

Agar BELKAGA dapatterwujud diperlukan:


1. Koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring BELKAGA sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
2. Pemberian dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan BELKAGA.
3. Sosialisasi dan advokasi BELKAGA.
4. Mobilisasi sumber daya, anggaran dan logistik pelaksanaan BELKAGA.
5. Penggerakan masyarakat untuk minum obat di kabupaten/kota endemis.
6. Kegiatan lain yang mendukung suksesnya pelaksanaan BELKAGA dalam koridor peraturan perundangan
yang berlaku.
ffla,i Ce9ah Penyakil Kaki Gajah (rilaria,i,)!

11,uli
BElKAGA
Bulan
Elimina,i
l(aki
Gajah

Anda mungkin juga menyukai