Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH PANCASILA

BIOGRAFI PANGLIMA BESAR JENDRAL SUDIRMAN

NAMA : MOCHAMMAD IRFAN


NIM : 912016015
KELAS : 3TM1

PROGRAM STUDI ALAT BERAT


JURUSAN TEKNIK MESIN
POLITEKNIK NEGERI BALIKPAPAN
2018
BIOGRAFI JENDRAL SUDIRMAN

Nama Lengkap : Raden Soedirman


Nama Lain : Jendral Sudirman
Tempat Lahir : Desa Bodas,Karangjati
Purbalingga, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 24 Januari 1916
Zodiac : Aquarius
Kebangsaan : Indonesia
Meninggal : Magelang, 29 Januari 1950
Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Semaki
Agama : Islam

Jendral Sudirman merupakan sosok pahlawan nasional. Beliau lahir pada tanggal 24
Januari pada tahun 1916 di kota Purbalingga, tepatnya di Dukuh Rembang. Beliau lahir
dari sosok ayah yang bernama Karsid Kartowirodji, danseorang ibu yang bernama Siyem.
Ayah dari Sudirman ini merupakan seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor,
Banyumas, dan ibunya merupakan keturunan Wedana Rembang. Jendral Sudirman
dirawat oleh Raden Tjokrosoenarjo dan istrinya yang bernama Toeridowati.

Jenderal Sudirman mengenyam pendidikan keguruan yang bernama HIK. Beliau


belajar di tempat tersebut selama satu tahun. Hal ini beliau lakukan setelah selesai
melaksanakan belajarnya di Wirotomo. Sudirman diangkat menjadi seorang Jendral
pada umurnya yang menginjak 31 tahun. Beliau merupakan orang termuda dan
sekaligus pertama di Indonesia. Sejak kecil, beliau merupakan seorang anak yang
pandai dan juga sangat menyukai organisasi. Dimulai dari organisasi yang terdapat di
sekolahnya dahulu, beliau sudah menunjukkan criteria pemimpin yang disukai di
masyarakat. Keaktifan beliau pada pramuka hizbul watan menjadikan beliau seorang
guru sekolah dasar Muhammadiyah di kabupaten Cilacap. Lalu beliau berlanjut menjadi
seorang kepala sekolah.

Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya


dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya
pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang
guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif
dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda
Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942,
Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah
Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di
Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan
pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor. Soedirman melarikan diri dari
pusat penahanan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia
ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang
dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu
dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip
Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.

Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan


panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar,
sedangkanOerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala
staff. Sambil menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap
pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara
Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia
akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember.

Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi


dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama
adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian
Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya
dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia
juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia
kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit
tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan
November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk


menduduki Yogyakarta, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit. Di
saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta
sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan
memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan
Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara
di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer
di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman
dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus
melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno.
Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang.

PASCA-PERANG DAN KEMATIAN


Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk
melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi
Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak
setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak- konsistenan
pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematianOerip pada 1948,
ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namunSoekarno juga
mengancam akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran
dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata
di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.

Dalam perjuangannya melawan penyakit TBC yang dideritanya, Soedirman


melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir
tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di
dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Ia
dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember. Di saat yang
bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama
beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia
pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat
sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28
Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.

Pada tanggal 29 Januari 1950 pukul 18.30 Soedirman wafat di Magelang; kabar duka
ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan,
rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade
ke-9 yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke
Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan
puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut
diselenggarakan oleh anggota Brigade ke-9.

Pada pada sore harinya jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman,
yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk
Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri
Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri
Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku
Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. Jenazah
Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan
kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mil) mengiringi di belakang.
Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan
tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti oleh para menteri. Pemerintah pusat
memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh
negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. Djenderal Major Tahi Bonar
Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar Soedirman
diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.

Gambar. Jendral Sudirman


PENINGGALAN
Setelah kematian Soedirman banyak yang terkenang tentang kepahlawanannya, diantaranya:
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani." Kolonel Paku Alam VIII,
yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional
Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".Tokoh Muslim Indonesia,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang
dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia", sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa
Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam
revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi". Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan
bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikontrol dan keras
kepala, tapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata
meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap
mematuhi perintahnya. Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara
terlatih seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap
Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.

Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung


berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta,
menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal
karena pidatonya yang berapi-api, dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap.
Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto
menggambarkan Soedirman sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa- masa
gerilya sang jenderal adalah asal esprit de corps TNI. Kampanye gerilya
Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang
memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan.
Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman
sepanjang 100-kilometer (62 mil) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk
"ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. Makam Soedirman juga
menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum. Menurut
Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah memuliakan
status Soedirman menjadi semacam orang suci. Soedirman telah menerima berbagai tanda
kehormatan dari pemerintah pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti,
Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama,
Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana.

Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol


kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik. Gambar Soedirman ditampilkan
dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968. Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter
utama dalam beberapa film perang, termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar
(1982).

Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa


kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan rumah
dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman. Rumah
kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada
tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang jenderal. Museum
lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta dan Museum Satria Mandala
di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya. Sejumlah jalan
juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta; McGregor
menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman.
Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri,
sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970. Universitas Jenderal Soedirman di
Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya.

Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun, kurang lebih satu bulan
setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai
Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama. Soedirman dipromosikan menjadi
Jenderal Besar pada tahun 1997. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas)

PENDIDIKAN JENDRAL SUDIRMAN


 Sekolah Taman Siswa
 HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat.
 Pendidikan Militer Pembela Tanah Air di Bogor
KARIR JENDRAL SUDIRMAN
 Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
 Panglima Besar TKR/TNI,, dengan pangkat Jenderal
 Panglima Divisi V/Banyumas,, dengan pangkat Kolonel
 Komandan Batalyon di Kroya

PENGHARGAAN JENDRAL SUDIRMAN


 Pahlawan Nasional Indonesia
 Jenderal Besar Anumerta Bintang Lima (1997)

Sudirman dikenal oleh orang-orang disekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada
prinsip dan keyakinan, dan dia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan
bangsa di bandingkan kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Jendral
Sudirman dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan pada tahun 1997, ia
mendapatkan gelar sebagai Jenderal besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang
hanya dimiliki oleh beberapa Jenderal Republik Indonesia sampai sekarang.P

Anda mungkin juga menyukai