Anda di halaman 1dari 21

MANAGEMEN FARMASI

“PELAYANAN FARMASI”

OLEH
Kelas B
Kelompok 6

1. Wahyu Mukti Wijaya (1820364080)


2. Windy Tri Kurnianti (1820364081)
3. Windy Yuli Lestari (1820364082)
4. Yuliana Setiawati (1820364083)
5. Yuliati Lika Ambu (1820364084)
6. Yusafian Bagus Kris Damas (1820364085)
7. Zainab (1820364086)
8. Zaniroh (1820364087)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada
pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang
ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan
terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk
tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian,
pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society
of Hospital Pharmacists 1993).
Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network
Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara
nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian
dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa
keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE
mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu: (1) Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki/ROTD ,(2) masalah pemilihan obat, (3) masalah pemberian dosis obat, (4) masalah
pemberian/penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) masalah lainnya (Pharmaceutical Care
Network Europe 2006).
Penelitian tentang efek dari partisipasi apoteker pada ronde dokter dan kejadian efek yang
merugikan dari obat dilakukan pada ruang perawatan intensif rumah sakit umum Massachusetts
di Boston menunjukkan bahwa kehadiran apoteker pada saat ronde sebagai anggota tim di ruang
perawatan intensif menurunkan angka kejadian efek yang merugikan dari obat karena kesalahan
penentuan obat (Leape Lucian L et al., 1999). Intervensi apoteker dalam mencegah terjadinya
masalah terkait dengan obat akan mempengaruhi biaya kesehatan, menyelamatkan kehidupan
dan meningkatkan kualitas hidup ( Alderman et al 2001).
1.2 Rumusan masalah
a. Apakah pengertian Pharmaceutical care?
b. Bagaimana lingkup Pharmaceutical care?
c. Apakah rasionalitas penggunaan obat?
d. Bagaimana pemantauan terapi obat?

2
e. Bagaimana monitoring efek samping obat?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Pharmaceutical care
b. Untuk mengetahui lingkup Pharmaceutical care
c. Untuk mengetahui rasionalitas penggunaan obat
d. Untuk mengetahui pemantauan terapi obat
e. Untuk mengetahui monitoring efek samping obat

3
BAB II
ISI
2.1 Definisi dari Pharmaceutical Care
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan kefarmasian yang
berorientasi kepada pasien. Meliputi semua aktifitas apoteker yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah terapi pasien terkait dengan obat. Praktek kefarmasian ini memerlukan
interaksi langsung apoteker dengan pasien, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien Peran apoteker dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai
kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, memeriksa kembali semua informasi dan
memilih solusi terbaik untuk DRP (Drug Related Problem) pasien. Di akhir proses terapi,
menilai hasil intervensi sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat
serta hasilnya memuaskan (keberhasilan terapi) (Rover et al, 2003).
2.2 Lingkup Pharmaceutical Care
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang
dilakukan meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

4
2.3 Rasionalitas penggunaan Obat
Penggunaan obat di sarana pelayanan kesehatan umunya belum rasional. Penggunaan
obat yang tidak tepat ini dapat berupa penggunaan berlebihan, penggunaan yang kurang dari
seharusnya, kesalahan dalam penggunaan resep atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi
yang tidak tepat (WHO 2010).
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada
diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan
indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan
untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien
yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan
spektrum penyakit.
Contoh: Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan infl amasi. Untuk
sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek
antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain.
Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam
yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat.
Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang
sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil
tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
a. Tepat Cara Pemberian. Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian
pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

5
b. Tepat Interval Waktu Pemberian. Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana
mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat
yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan
interval setiap 8 jam.
c. Tepat lama pemberian. Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-
masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap
hasil pengobatan.
5. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian
atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena
menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
6. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada
beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal,
pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas
pada kelompok ini meningkat secara bermakna. Beberapa kondisi berikut harus
dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.
 β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita hipertensi
yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek bronkhospasme.
 Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita asma, karena
obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
 Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid, aminoglikosida dan
allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati, karena waktu paruh obat-obat
tersebut memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya juga meningkat
pada pemberian secara berulang.

6
 Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin, doksisiklin, dan
metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari, karena memberi efek buruk
pada janin yang dikandung.
Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap
saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-
obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang
menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua
produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
7. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi Sebagai contoh :
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini
tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena
menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai
habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala
klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat,
bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat
dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab
penyakit.
8. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak
lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.
Sebagai contoh, terapi dengan teofi lin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini
terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula
dalam penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu
segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti
yang diharapkan.

7
9. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien
sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di
Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar
resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus
dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam
menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
10. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat
umumnya terjadi pada keadaan berikut :
 Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
 Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
 Jenis sediaan obat terlalu beragam
 Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
 Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
 Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine
menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.

2.4 Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian
pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki

8
(ROTD) dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.
a. Kondisi Pasien
- Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.
- Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
- Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
- Pasien geriatri dan pediatri.
- Pasien hamil dan menyusui.
- Pasien dengan perawatan intensif.
b. Obat
a. Jenis Obat. Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti :
- obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin),
- obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh:
OAT),
- sitostatika (contoh: metotreksat),
- antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
- obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS),
- obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
b. Kompleksitas regimen
a. Polifarmasi
b. Variasi rute pemberian
c. Variasi aturan pakai
d. Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
c. Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut dapat
diperoleh dari :
• rekam medik,
• profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
• wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

9
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan,
pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik,
antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan
fisik, laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi.
Data tersebut di pelayanan komunitas dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien,
meskipun data yang diperoleh terbatas.
1. Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan pemberian obat oleh
perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut
mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi
khusus (contoh: insulin). Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudian
dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan diorganisasikan ke dalam
suatu format yang sesuai.
Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan pasien belum
cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang
diperoleh dari wawancara pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
d. Identifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah terkait
obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Ada indikasi tetapi tidak di terapi
Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak
diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi
dengan obat.
b. Pemberian obat tanpa indikasi
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.
c. Pemilihan obat yang tidak tepat.
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan
merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indika
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

10
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab
Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain : masalah ekonomi, obat
tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas.
Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu
penyelesaian segera harus diprioritaskan.
e. Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut :
- Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
- Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
- Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
- Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara lain: derajat
keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan terapi dari berbagai alternatif
yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.
f. Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang
tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-
langkah:
a. Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan, antara lain :
1) Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol, aminoglikosida). Obat
dengan indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
2) Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3) Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatri
mencapai 40%)
4) Efisiensi pemeriksaan laboratorium

11
- Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah untuk
penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
- Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
- Biaya pemantauan.
b. Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang diinginkan,
apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a) Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita pasien
(contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK
dan asma)
b) Karakteristik obat. Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan
mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula
darah pada pemberian insulin dan anti diabetes oral).
c) Efikasi dan toksisitas
c. Menetapkan frekuensi pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang
berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker harus
dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan
kondisi relatif stabil tidak memerlukan pemantauan yang sering.
Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain :
a. Kebutuhan khusus dari pasien
Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.
b. Karakteristik obat pasien
Contoh: pasien yang menerima warfarin
c. Biaya dan kepraktisan pemantauan
d. Permintaan tenaga kesehatan lain
Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada kenyataannya
data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan
baik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika

12
parameter pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif maka harus
diupayakan adanya data tambahan.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai sasaran
terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai dengan
sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat
dikatakan mengalami kegagalan mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut
antara lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan
terapi pasien, dan gagal terapi.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective
Objective Assessment Planning (SOAP).
S : Subjective. Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh : pusing,
mual, nyeri, sesak nafas.
O : Objective. Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.
Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi,
kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment. Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan adanya
masalah baru terkait obat.
P : Plans. Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang
dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan:
a. Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat, memodifikasi dosis atau
interval pemberian, merubah rute pemberian.
b. Mengedukasi pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium.
d. Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parenteral/enteral.
e. Pemeriksaan parameter klinis lebih sering.
Contoh kasus :
Masalah : Sakit hebat karena kanker prostat
S=Subjektif

13
Pasien mengalami rasa sakit hebat pada punggung bagian bawah dan panggul,
sedang obatnya tidak mengurangi rasa sakit. Menggunakan asetaminofen/kodein 1-2 tablet
sampai tiga kali sehari. Rasa sakit berkurang sedikit setelah satu dosis, tetapi keringanan
itu segera hilang. Ia tidak mual dan buang air besar tiga hari yang lalu.
O=Objektif
Pasien laki – laki, 83 tahun dengan kanker prostat dan rasa sakit hebat meningkat.
Resep sekarang untuk rasa sakit adalah asetaminophen / kodein 30 mg, 1-2 tablet tiap 3 – 6
jam pro renata. Tanda vital : Tekanan Darah 140 / 70 mm Hg, Denyut Nadi: 76 tanpa
demam. Bobot badan sekarang : 71 kg (BB : 75 kg, 4 minggu yang lalu)
A=Assessment
Pasien mengalami rasa sakit yang hebat, kemungkinan besar kanker prostate yang
metastasis. Ia memerlukan penyesuaian dalam obat mengurangi rasa sakit dan mulai lagi
kegiatan normal Ia juga mengalami konstipasi karena kodein
P=Perencanaan
1. Berikan ibuprofen 600 mg per oral, 3 x 1 hari, 1 tablet, setelah makan untuk regimen
analgetik
2. Jika asetaminofen /kodein diteruskan pertimbangan untuk memberinya berdasarkan
jadwal (kemungkinan suatu dosis p r n untuk mengatasi rasa sakit).
Saran :
Dosis awal asetaminophen 325 / kodein 30 mg, tablet setiap 4 jam ( dan 1 tablet
tipa 2-3 jam, jika perlu untuk menghilangkan rasa sakit)
3. Direkomendasikan untuk menggunakan suatu skala rasa sakit paling sedikit tiap
hari sampai pasien merasa lega untuk memantau keefektipan regimen.
(Diinginkan suatu titik akhir 0)
4. Berikan tablet Bisakodil 5 mg sehari 2 tablet. Jika konstipasi berlanjut, gunakan
tablet bisakodil 2 – 3 hari. Pertimbangkan penambahan suspensi magnesia 30 ml
dua kali sehari bila perlu (prn)
g. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker
harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan
lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang

14
kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk
mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan kurangnya
informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat sebaiknya :
- tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,
- tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
- dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat,
2.5 Monitoring Efek Samping Obat
1. MESO
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek Samping Obat/ESO
(Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak
diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk
pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.

2. Tujuan MESO
a. Memberikan kesempatan untuk mengenali suatu obat dengan baik dan untuk mengenali
respon orang terhadap obat.
b. Membantu meningkatkan pengetahuan tentang obat, manusia atau penyakit dari waktu ke
waktu.
c. Menerima info terkini tentang efek samping obat (Purwantyastuti, 2010).
d. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang.
e. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal dan yang baru saja
ditemukan.
f. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya efek samping obat.
g. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
h. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

15
3. Form Laporan MESO
a. Kode sumber data : Diisi oleh Badan POM
b. Informasi tentang penderita
– Nama (singkatan) : Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk menjaga kerahasiaan
dentitas pasien
– Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi dibawah 1 (satu) tahun,
iisi angka dari minggu (MGG) atau bulan (BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti penulisan
Huruf MGG atau BL,misal 7 BL.
– Suku : Diisi informasi nama Suku dari pasien, misal suku Jawa, Batak, dan sebagainya.
– Berat Badan : Diisi angka dari berat badan pasien, dinyatakan dalam
kilogram (kg).
– Pekerjaan : Diisi apabila jenis Pekerjaan pasien mengarah kepada kemungkinan adanya
hubungan antara jenis pekerjaan dengan gejala atau manifestasi KTD atau ESO. Contoh: buruh
pabrik kimia, pekerja bangunan, pegawai kantor, dan
lain-lain.

16
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat
sukarela (voluntary reporting) dengan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal
sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar
dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga
pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool
yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang
terjadi (rare)

Contoh form kunig

17
Contoh pengerjaan kasus MESO dengan skala naranjo

Kasus

Seorang pasien berusia 35 tahun mengalami DM tipe 2 dan hipertensi stage 2 mendapatkan
pengobatan metformin peroral 2x sehari. 5 hari setelah minum obat pasien mual, muntah, diare,
dan kram otot, obat yang digunakan selain metformin, amlodipin 5 mg peroral 1x sehari, HCT 25
mg 1x sehari, penyebab yang paling mungkin menyebabkan efek samping ?

METFORMIN

NO Pertanyaan SKALA
ya tidak Tidak tahu
1 Apakah ada laporan efek samping serupa yang 1 0 0
serius ?
2 Apakah es obat terjadi setelah pasien minum 2 -1 0
obat ?
3 Apakah es membaik setelah obat dihentikan ? 1 0 0
4 Apakah es terjadi berulang setelah obat 2 -1 0
diberikan kembali?
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat -1 2 0
menjelaskan kemungkinan es?
6 Apakah es muncul kembali ketika placebo -1 1 0
diberikan
7 Apakah obat terdeteksi kadarnya? 1 0 0
8 Apakah es bertambah parah ketika dosis 1 1 0
ditingkatkan?
9 Apakah pasien pernah mengalami 1 0 0
efeknsamping obat yang sama atau dengan obat
yang mirip
10 Apakah es dapat dikonfirmasi dengen bukti 1 0 0
TOTAL SKOR : 3 (POSSIBLE)

AMLODIPIN

NO Pertanyaan SKALA
ya tidak Tidak tahu
1 Apakah ada laporan efek samping serupa yang 1 0 0
serius ?
2 Apakah es obat terjadi setelah pasien minum obat 2 -1 0
?
3 Apakah es membaik setelah obat dihentikan ? 1 0 0

18
4 Apakah es terjadi berulang setelah obat diberikan 2 -1 0
kembali?
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat -1 2 0
menjelaskan kemungkinan es?
6 Apakah es muncul kembali ketika placebo -1 1 0
diberikan
7 Apakah obat terdeteksi kadarnya? 1 0 0
8 Apakah es bertambah parah ketika dosis 1 1 0
ditingkatkan?
9 Apakah pasien pernah mengalami efeknsamping 1 0 0
obat yang sama atau dengan obat yang mirip
10 Apakah es dapat dikonfirmasi dengen bukti 1 0 0
TOTAL SKOR : 3 (POSSIBLE)

HCT

NO Pertanyaan SKALA
ya tidak Tidak tahu
1 Apakah ada laporan efek samping serupa yang 1 0 0
serius ?
2 Apakah es obat terjadi setelah pasien minum obat 2 -1 0
?
3 Apakah es membaik setelah obat dihentikan ? 1 0 0
4 Apakah es terjadi berulang setelah obat diberikan 2 -1 0
kembali?
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat -1 2 0
menjelaskan kemungkinan es?
6 Apakah es muncul kembali ketika placebo -1 1 0
diberikan
7 Apakah obat terdeteksi kadarnya? 1 0 0
8 Apakah es bertambah parah ketika dosis 1 1 0
ditingkatkan?
9 Apakah pasien pernah mengalami efek samping 1 0 0
obat yang sama atau dengan obat yang mirip
10 Apakah es dapat dikonfirmasi dengen bukti 1 0 0
TOTAL SKOR : 3 (POSSIBLE)

19
BAB III
PENUTUP
Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada
pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang
ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan
terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk
tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian,
pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada. Masalah terkait obat
(Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan
sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan
mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat
bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada
hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.

20
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pemantauan Terapi Obat.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Penggunaan Obat Rasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.
Putra RJS, Anisyah A, Hananditia R. 2017. Kejadian Efek Samping Potensial Terapi Obat
AntiDiabetes Pada Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan Alogaritma Naranjo.
Pharmaceutical Journal of Indonesia 2(2):45-50.

21

Anda mungkin juga menyukai