Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Evaluasi Penggunaan Antibiotik secara Kualitatif dengan Metode


Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode
pengambilan data secara prospektif dari catatan rekam medis pasien pulang
kemudian dicatat pada format yang telah disediakan. Data yang dikumpulkan
merupakan data sekunder yang didapatkan dari rekam medik pasien, antara lain
data demografi pasien (umur, jenis kelamin, nomer cm), nama antibiotik, jenis
penggunaan, dosis, frekuensi, lama pemberian, cara pemberian, dan data
laboratorium. Penelitian dilakukan di dua bangsal yaitu bangsal bedah dan
bangsal penyakit dalam. Berdasarkan hasil penelitian di Bangsal penyakit dalam
antara lain: bangsal Soepardjo Rustam (atas dan bawah), dahlia, asoka dan mawar
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo didapatkan jumlah sampel sebanyak 49 pasien
diantaranya 32 pasien yang mendapatkan terapi antibiotik dan 17 pasien tidak
mendapatkan terapi antibiotik. Data yang didapat selanjutnya diolah dan
didapatkan data sebagai berikut :
Tabel 1. Data Diagnosa Pasien di Bangsal Penyakit Dalam
Kategori Jumlah Persentase
Gangguan Pernafasan 3 6.12%
Gangguan Kardiovaskuler 6 12.24%
Gangguan Hati 6 12.24%
Gangguan Ginjal 7 14.28%
Gangguan Percernaan 10 20.41%
Infeksi Kemih 3 6.12%
Sistem Endokrin 4 8.16%
Thypoid 4 8.16%
Lain -Lain 6 12.24%
Total 49 100%
Persen Kategori Penyakit
25.00% 20.41%
20.00%
14.28%
15.00% 12.24% 12.24% 12.24%
10.00% 8.16% 8.16%
6.12% 6.12%
5.00%
0.00%

Gambar 1. Data Diagnosa Pasien di Bangsal Penyakit Dalam

Tabel 2. Data Penggunaan Antibiotik dengan metode Gyssensdi Bangsal


penyakit dalam
Kategori Jumlah Persentase
0 17 53,12 %
I 0 0%
IIa 0 0%
IIb 0 0%
IIc 0 0%
IIIa 1 3,12%
IIIb 0 0%
IVa 2 6,25%
IVb 0 0%
IVc 0 0%
IVd 0 0%
V 12 37,5%
VI 0 0%

Dari data diatas terdapat 49 pasien pulang dari Bangsal Penyakit dalam
dengan 32 pasien yang memperoleh terapi Antibiotika diketahui bahwa
penggunaan antibiotik di Bangsal penyakit dalam RSMS pada kategori 0
berjumlah 17 artinya dari 32 pasien terdapat 17 kasus yang menggunakan
antibiotik secara tepat atau bijak.
Kategori II A tidak terdapat kasus, artinya tidak ada penggunaan
antibiotik tidak tepat dosis. Kategori II B tidak terdapat kasus, artinya tidak ada
penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian. Kategori II C tidak terdapat
kasus, artinya tidak ada penggunaan antibiotik tidak tepat cara atau rute
pemberian.
Kategori III A berjumlah 1 artinya dari 32 pasien terdapat 1 kasus yang
pemberian antibiotik terlalu lama. Kategori III B tidak terdapat kasus, artinya
tidak ada pemberian antibiotik terlalu singkat.
Kategori IV A berjumlah 2 artinya dari 32 pasien terdapat 2 kasus,
penggunaan antibiotik yang tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih
efektif. Peresepan antibiotik termasuk dalam kategori IVA apabila antibiotik yang
dipilih memiliki efektifitas rendah dan ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif
untuk dijadikan sebagai pilihan terapi. Kategori IV B tidak terdapat kasus, artinya
tidak ada penggunaan antibiotik lain yang kurang toksik atau lebih aman. Kategori
IV C tidak terdapat kasus yang menggunakan antibiotik lain yang lebih murah.
Kategori IV D tidak terdapat kasus yang menggunakan antibiotik lain yang
spektrum anti bakterinya lebih sempit.
Kategori V berjumlah 12 artinya dari 49 pasien terdapat 12 kasus yang
menggunakan antibiotik yang tidak ada indikasi penggunaannya. Kategori
pengobatan tanpa indikasi. Pengobatan tanpa indikasi yang dimaksud adalah
pemberian antibiotik saat tidak menunjukkan adanya infeksi. Kategori VI tidak
terdapat kasus antibiotik dari data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat
dievaluasi. Berikut gambar hasil persentase penggunaan antibiotik di Bangsal
Cendana.
Persentase metode Gyssens
60.00% 53.12%
50.00%
37.50%
Persentase
40.00%
30.00%
20.00%
10.00% 6.25%
3.12%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0.00%
0 1 2a 2b 2c 3a 3b 4a 4b 4c 4d 5 6
Kategori

Gambar 2. Persentase Katagori Penggunaan Antibiotik dengan Metode


Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam
Berdasarkan data tersebut diperoleh persentase yang paling tinggi sebesar
53,12% dengan kategori 0 yang artinya penggunaan antibiotik di Bangsal
penyakit dalam RSMS sudah tepat atau bijak. Pada hasil data tersebut diperoleh
indikasi dengan adanya tanda-tanda infeksi seperti naiknya suhu badan,
pemeriksaan kultur darah dengan melihat angka leukosit, batang dan segmen
darah. Adapun kendala dalam penelitian ini yaitu tidak adanya data secara
lengkap mengenai hasil kultur bakteri dari pasien dan hasil sensitifitas antibiotik.
Sehingga peneliti sulit untuk mengetahui apakah pemberian antibiotik tersebut
sudah efektif dan rasional atau tidak.
B. Evaluasi Penggunaan Antibiotik secara Kuantitatif dengan Metode DDD
di Bangsal Penyakit Dalam
Pengguanaan antibiotik dengan metode DDD (Defined Daily Dose),
didapatkan beberapa antibiotik yang digunakan di bangsal penyakit dalam.Selama
penelitian didapatkan jumlah populasi sebanyak 49 pasien di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo. Terdapat 8 antibiotik yaitu: Ceftriaxon, Cefixim, yang
termasuk kedalam golongan Sefalosporin generasi ketiga, Azithromycin
(Macrolide), Ampicillin (beta laktam), Moxifloxaxin dan Levofloxaxin
(floroquinolon), Azithromycin (makrolida), Streptomycin (aminoglikosida),
Metronidazole Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Data Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik dengan Metode DDD di
Bangsal Penyakit Dalam
Nama Antibiotik DDD WHO DDD Antibiotik Penggunaan (%)

Ceftriaxone 2 90,5 30,27


Cefixime 0,4 13,5 4,5
Pipemidic Acid 0,8 16 5,35
Ampicillin 2 0,5 0,7
Moxifloxaxin 0,4 11 3,68
Azithromycin 0,5 12 4,01
Streptomycin 1 3 1
Metronidazole iv 1,5 3 1
Metronidazole po 2 1,5 0,5
Levofloxaxin 0,5 7 2,34

DDD
LEVOFLOXAXIN 2.34
METRONIDAZOL PO 0.50
METRONIDAZOL IV 1.00
STREPTOMYCIN 1.00
AZITROMICYN 4.01
MOXIFLOXAXIN 3.68
AMPICILLIN 0.17
PIPEMIDIC ACID 5.35
CEFIXIME 4.50
CEFTRIAXONE 30.27

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

Gambar 3. Persentase Penggunaan Antibiotik dengan metode DDD di


Bangsal Penyakit Dalam

Dari data pada tabel diatas terlihat bahwa penggunaan antibiotik paling
sering adalah Ceftriaxone dengan nilai 30,27 % dibandingkan dengan penggunaan
antibotik lain seperti Cefixim dengan nilai 4,5 %, Pipemidic Acid 5,35 %,
Ampicillin 0,7 %, Moxifloxaxin 3,68 %, Azithromycin 4,01%, Streptomycin 1%,
Metronidazole iv 1%, Metronidazole po 0,5 dan Levofloxaxin 2,34 %.
C. Evaluasi Penggunaan Antibiotik secara Kualitatif dengan Metode
Gyssens di Bangsal Perawatan Bedah
Data didapatkan atau dikumpulkan secara prospektif dari catatan rekam
medis pasien pulang kemudian dicatat pada format yang telah disediakan.
Berdasarkan hasil penelitian di Bangsal Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
didapatkan jumlah sampel sebanyak 39 pasien yang mendapatkan terapi
antibiotik, selanjutnya diolah dan didapatkan data sebagai berikut :
Tabel 1. Data Diagnosa Pasien di Bangsal Bedah
Diagnosa Tindakan bedah Jumlah
Removal of fraktur plate Removal plate 1
Infeksi gigi Surgical extraction of tooth 3
Wasir Hemmprrhoids hemmorhoidectomy NOS 1
Open wound of other of Debridement dan rekonstruksi flap 1
head
Chronik tonsillitis Tonsillectomy without adenoidectomy 1
Fracture of mandible Reduction of facial fracture 2
Gangren fulcar - 1
Bibir sumbing unilateral Labioplasti 1
Mechanical Complication 1
Ventricula Intracranial
Osteoathritis Blok saraf tepi 1
CKD stage 5 Hemodyalisis 1
Injury Of Spleen dan Laparatomi splenektomi 1
Anemia
Gangren, Amputasi Amputasi below knee sinistra 1
Fracture Of skull and Other surgical extraction of tooth 1
Facial Bons Parts
Unspecified
Entropion and Triachiasis -
Of Eyetid
Other Diseases Of Vocal -
Cords
Abses Cellulitis et Other surgical extraction of tooth 1
Submandibula + Impact 38
Brain, Infrateritorial - 1
Closed frakture of lower Reposisi gips 1
end of humerus
Senile cataract -
Impacted teeth Odontektomi 1
Infection following Nonexcisional debridement of wound, 1
aprocedure infection or burn
Hernia Scrotalis Hernioraphy 1
Neoplasm of uncertain or Endoscopy dan biopsi massa nasal 2
unknwn behaviour of other
specified sites
Brain, supratentorial Konservatif, hcts kontras (+) 1
Contusio cerebri Konservatif, medikamentosa 1
Noninfective disorder of Insisi drainase abses preaurikula dextra 1
pinna
Impacted teeth Other surgical extraction of tooth 1
Fracture lower end of Reposisi gips 1
radius closed
Scrotal Varices Varicocelectomy 1
Fraktur of nasal bones - 1
Neoplasma ganas dari Endoscopy dan biopsi massa NF SIN 1
nesopharing
STT digiti II manus I, Eksisi biopsi 1
ulcer,DM
Spinal Stenosis, TBC -
ICH occipital dextra Konservatif 1
Hidrocepalus Post VP Shunt 1
Traumatic subdural Kraniotomi 1
Abses serebri Kraniotomi abses DD tumor metastase 1
CPA tumor sups. Festibular -
sichwanoma
Cerebral meningitis Kraniotomi eksisi tumor 1
Injury of nerves and spinal -
card at thorak lever
Pleura, efusion not eish Insertion of intercostal catheter for 1
where clasified drainage
Contusio cerebri dan focal Krainiotomi 1
brain injury
Comisio cerebri Kraniotomi 1
Spinal stenosis Konservatif, MRI lumbal (+) 1
Tindakan bedah Jumlah Presentase
Bedah orthopedi 4 9,52%
Bedah mulut 10 23,80%
Telinga hidung tenggorokan bedah kepala dan leher 5 11,90 %
Bedah saraf 8 19,04 %
Bedah umum 13 30,95%
Bedah mata 2 4,76%
Total 42

Kategori Jumlah Presentase


Kategori 0 11 28,20%
Kategori I 0 0%
Kategori IIA 0 0%
Kategori IIB 0 0%
Kategori IIC 0 0%
Kategori IIIA 0 0%
Kategori IIIB 0 0%
Kategori IVA 7 17,94%
Kategori IVB 0 0%
Kategori IVC 0 0%
Kategori IVD 0 0%
Kategori V 21 53,84%
Kategori VI 0 0%

Dari data diatas terdapat 39 pasien pulang dari Bangsal Bedah dan
diketahui bahwa penggunaan antibiotik di Bangsal Bedah RSMS pada kategori 0
berjumlah 11 artinya dari 39 pasien terdapat 11 kasus yang menggunakan
antibiotik secara tepat atau bijak. Kategori I tidak terdapat kasus, artinya
penggunaan antibiotik tidak tepat waktu.
Kategori II A tidak terdapat kasus, artinya penggunakan antibiotik tidak
tepat dosis. Kategori II B tidak terdapat kasus, artinya tidak ada penggunaan
antibiotik tidak tepat interval pemberian. Kategori II C tidak terdapat kasus,
artinya tidak ada penggunaan antibiotik tidak tepat cara atau rute pemberian.
Kategori III A tidak terdapat kasus, artinya tidak ada pemberian antibiotik
terlalu lama. Kategori III B tidak terdapat kasus, artinya tidak ada pemberian
antibiotik terlalu singkat.
Pada kategori IVA berjumlah 7 artinya dari 39 pasien terdapat 7 kasus
yang menggunakan antibiotik dimana antibiotik yang digunakan belum efektif di
karenakan ada alternatif antibiotik yang lebih efektif. Kategori IV B tidak terdapat
kasus, artinya tidak ada penggunaan antibiotik lain yang kurang toksik atau lebih
aman. Kategori IV C tidak terdapat kasus yang menggunakan antibiotik lain yang
lebih murah. Kategori IV D tidak terdapat kasus yang menggunakan antibiotik
lain yang spektrum anti bakterinya lebih sempit.
Kategori V berjumlah 21 artinya dari 39 pasien terdapat 21 kasus yang
menggunakan antibiotik tidak sesuai indikasi. Kategori pengobatan tanpa indikasi.
Pengobatan tanpa indikasi yang dimaksud adalah pemberian antibiotik saat tidak
menunjukkan adanya infeksi. Kategori VI tidak ada kasus, artinya penggunaan
antibiotik dari data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi.
Dikarenakan pasien pulang terlalu cepat atas permintaan sendiri.
Berikut gambar hasil persentase penggunaan antibiotik di Bangsal Bedah.
Presentase Gyssens
60.00%
53.84%

50.00%

40.00%
28.20%
30.00%

17.94%
20.00%

10.00%

0.00% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0 I IIA IIB IIC IIIA IIIB IVA IVB IVC IVD V VI

Gambar 1. Persentase Katagori Penggunaan Antibiotik dengan Metode


Gyssens di Bangsal Bedah
Berdasarkan data tersebut diperoleh persentase yang paling tinggi sebesar
53,84% dengan kategori V yang artinya penggunaan antibiotik di Bangsal Bedah
belum tepat atau bijak. Pada hasil data tersebut diperoleh indikasi dengan adanya
tanda-tanda infeksi seperti angka leukosit, segmen dan batang. Kesulitan dalam
penelitian ini yaitu tidak adanya data secara lengkap mengenai hasil kultur bakteri
dari pasien dan hasil sensitifitas antibiotik. Sehingga peneliti sulit untuk
mengetahui apakah pemberian antibiotik tersebut sudah efektif dan rasional atau
tidak.
D. Evaluasi Penggunaan Antibiotik secara Kuantitatif dengan Metode DDD
di Bangsal Bedah
Pengguanaan antibiotik dengan metode DDD (Defined Daily Dose),
didapatkan beberapa antibiotik yang digunakan di bangsal Bedah. Selama
penelitian didapatkan jumlah populasi sebanyak 39 pasien di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo. Terdapat 11 antibiotik yaitu: Ceftriaxon IV, Ceftazolin IV,
Cefadroxil PO, Clindamicyn PO, Cefixim, Cefatoxim IV, Amoxicilin,
Gentamicin, Levofloksasin, Metronidazole dan Ciprofloxacin. Dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2. Data Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik dengan Metode DDD di
Bangsal Bedah
Nama Antibiotik DDD WHO DDD Antibiotik Penggunaan (%)

Ceftriaxone IV 2 13 6,56
Cefazolin IV 3 2,65 1,33
Cefadroxil PO 2 2,5 1,26
Clindamycin PO 1,2 2,5 1,26
Cefixime 0,4 7 3,53
Cefatoxim IV 4 0,01 0,005
Amoxisilin PO 1 1,5 0,75
Gentamicin IV 0,24 1 0,5
Levofloxacin IV 0,5 4 2,02
Metronidazol IV 1,5 1,25 0,631
Ciprofloxacin PO 1 2 1,01

DDD
metronidazol iv 0.631

levofloksasin iv 2.02

ciprofloksasin po 1.01

gentamisin iv 0.5

Amoksisilin po 0.75

cefatoksim iv 0.005

cefixim po 3.53

clindamicin po 1.26

cefadroxil po 1.26

cefazolin iv 1.33

ceftriaxon iv 6.56

0 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 2. Persentase Penggunaan Antibiotik dengan metode DDD di


Bangsal Bedah
Dari data pada tabel diatas terlihat bahwa penggunaan antibiotik paling
sering adalah Ceftriaxone dengan nilai 6,56 % dibandingkan dengan penggunaan
antibotik lain seperti Ceftazolin IV dengan nilai 1,34%, Cefadroxil PO 1,26 %,
Clindamicyn PO 1,26%, Cefixim 3,53%, Cefatoxim IV 0,005%, Amoxicilin
0,75%, Gentamicin 0,5%, Levofloksasin 2,02%, Metronidazole 0,631% dan
Ciprofloxacin 1,01%.
Berdasarkan hasil evaluasi penggunaan antibiotik di dua bangsal di RSMS
yaitu bangsal penyakit dalam dan bangsal bedah antibiotika yang paling sering
digunakan adalah Ceftriaxone. Antibiotik ceftriaxone merupakan antibiotik
golongan Sefalosporin generasi ketiga. Antibiotik ini memiliki efek antibakterial
dengan spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif, serta
bakteri anaerob. Ceftriaxone memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat
sintesa dinding sel mikroba, enzim transpeptidase dihambat dengan pembentukan
dinding sel (McEvoy, 2008). Ceftriaxone banyak digunakan untuk pasien infeksi
saluran atas karena di nilai cukup aman, harganya murah dan tanpa faktor resiko
untuk bakteri resiko tinggi resistensi (Perdossi, 2011). Pada evaluasi antibiotik di
bangsal bedah diberikan terapi antibiotik profilaksis yaitu ceftriaxone injeksi .
Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus
yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk
mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009). Prinsip penggunaan antibiotik
profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan
konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.
Adapun dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis antara lain :
sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan, spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri,
toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat
anestesi, bersifat bakterisidal, harga terjangkau. Antibiotik profilaksis diberikan ≤
30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.
Rekomendasi antibiotik yang digunakan pada profilaksis bedah dapat dilihat
Permenkes nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Rute pemberian yang digunakan dalam pemberian antibiotika melalui
intravena dan oral. Rute pemberian yang paling banyak digunakan adalah
intravena. Pemberian antibiotik secara intravena menjadi pilihan rute pemberian
yang paling sering digunakan, karena rute pemberian oral menjadi pilihan untuk
terapi infeksi kategori ringan (Kemenkes RI, 2011). Rute pemberian secara
intravena biasanya digunakan untuk terapi infeksi kategori sedang hingga berat
sehingga onset lebih cepat dan bioavailabilitas lebih tinggi akan menyebabkan
efek aksi antibiotik dalam menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi
akan lebih maksimal (Hakim, 2012).
Secara umum terapi antibiotik terbagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi
empiris dan definitif. Antibiotik Terapi Empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Umumnya
lama pemberian antibiotik empiris diberikan dalam jangka waktu 48 sampai 72
jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan
kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA
Kemenkes RI., 2010). Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah
penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri
penyebab dan pola resistensinya (Lloyd W., 2010). Tujuan pemberian antibiotik
untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri
yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Menurut Kemenkes RI (2011) lama terapi penyakit infeksi adalah 5-7 hari.
Semakin besar nilai DDD menunjukan bahwa semakin besar pula tingkat
penggunaan atau kuantitas penggunaan antibiotik (Sari et al., 2016). Menurut
Mahmudah et al. (2016) semakin besar kuantitas penggunaan antibiotik
menunjukan bahwa dokter kurang selektif dalam peresepan antibiotik, sehingga
lebih mendekati prinsip ketidakrasionalan penggunaan antibiotik dan sebaliknya.
Tingginya nilai DDD pada penelitian ini menunjukkan adanya ketidakselektifan
terhadap peresepan antibiotik, sehingga dapat dikatakan belum memenuhi prinsip
penggunaan antibiotik yang rasional (Mahmudah et al., 2016). Ketidakselektifan
tersebut terjadi karena tidak adanya pemeriksaan mikrobiologi/kultur bakteri
sebelum dilakukan pemilihan terapi antibiotik. Selektifitas pemberian antibiotik
dapat menurunkan kuantitas penggunaan antibiotik, sehingga dapat mendekati
prinsip penggunaan antibiotik yang rasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui
kerasionalan penggunaan antibiotik diperlukan penelitian secara kualitatif
mengenai rasioanalitas penggunaan antibiotik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian diketahui di Bangsal Penyakit Dalam kategori 0
sebanyak 53,12% yang artinya penggunaan antibiotik di bangsal
tersebut sudah tepat atau bijak dan di Bangsal Bedah kategori 5
sebanyak 53,84%.
2. Antibiotik yang paling banyak digunakan di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo bangsal penyakit dalam dan bedah yaitu Ceftriaxone.
B. Saran
1. Perlu adanya kebijakan mengenai penggunaan antibiotik secara rasional
dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
2. Perlu dilakukan pengkajian lebih jauh mengenai penggunaan antibiotik
kepada pasien mulai dari pasien masuk rumah sakit hingga pasien
keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Gyssens, I.C., 2005, Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial
Prescription, 197- 226, New York, Kluwer Academic Publishers.

Hakim, 2012, Farmakokinetik Klinik, Bursa Ilmu, Yogyakarta, Hal 78.

Kemenkes RI, 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kemenkes RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta,


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Levy SB., The Callenge of Antibiotic Resistance, Sci Am. 1998

Mahmudah, F., Sri, A.S., Sri, H., 2016, Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan
ATC/DDD dan DU 90% di Bagian Bedah Digestif di Salah Satu Rumah Sakit
di Bandung, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 5 No. 4 hlm 293-298.

Menkes, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan


RI, Jakarta.

Sari, A., Indah, S., 2016, Studi Penggunaan Antibiotik Pasien Pneumonia Anak di
RS. PKU Muhammadiyah Yoyakarta dengan Metode Defined Daily Dose
(DDD), Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(2), 151-162.

Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B.,
Suyatna, F.D., et al., 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

The Amrin Study Group, 2005, Antimicrobial resistance, Penyakit Dalam usage
and infection control; a self assessment program for Indonesian hospitals,
Jakarta, Directorate General of Medical Care
Lampiran 2. Hasil penilaian dikategorikan berdasarkan Gyssen IC, 2005
Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I : Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA : Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori IIB : Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC : Penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA : Penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB : Penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IVA : Ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB : Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC : Ada antibiotik lain yang lebih murah
: Ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih
Kategori IVD
Sempit
Kategori V : Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
: Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat
Kategori VI
Dievaluasi
(Kemenkes,2011)
Lampiran 3. Diagram Alur Gyssens

Mulai

Data Lengkap N VI Stop

Y
N Stop
AB diindikasikan V
Y
Y
Alternatif Lebih Efektif IV
N a

Y
Alternatif Lebih Tidak Toksik IV
N b

Alternatif Lebih Murah Y


IV
N c

Spektrum Alternatif Lebih Y


Sempit IV
d
N
N N N
Pemberian Pemberian Dosis
II a
Terlalu Lama Terlalu Singkat Tepat
Y
Y Y
N
Interval Tepat II b
III III
Y
a b
N
Rute Tepat II c
Y
N
Waktu Tepat I
Y

Tidak Termasuk I-IV

Anda mungkin juga menyukai