Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pada 2014, tuberkulosis sudah menyebabkan kematian lebih dari 1,5 juta orang di
seluruh dunia (Duskova, 2014).
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah. Dalam laporan WHO tahun 2013
menyebutkan bahwa terdapat 8,6 juta kasus tuberkulosis pada tahun 2012, dimana 1,1 juta
orang (13%) diantaranya adalah pasien tuberkulosis dengan HIV positif. Diperkirakan
450.000 orang menderita tuberkulosis-MDR dan 170.000 diantaranya meninggal dunia.
Sebanyak 2,9 juta kasus tuberkulosis pada 2012 dengan jumlah kematian karena tuberkulosis
mencapai 410.000 kasus, termasuk diantaranya adalah 160.000 wanita dengan HIV positif
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Meskipun jumlah kasus tuberkulosis dan jumlah kematian akibat tuberkulosis masih
tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga
menunjukan keberhasilan dalam pengendalian tuberkulosis Peningkatan angka insidensi
tuberkulosis secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukan trend menunjukan
(turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga berhasil diturunkan menjadi 45
% bila dibandingkan tahun 1990 (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis antara lain adalah
(Werdhani,____):

• Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang
berkembang.
• Kegagalan program tuberkulosis selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya
komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan tuberkulosis
(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar,
dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat
dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat, perubahan demografik karena meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, dampak pandemi HIV.

1
Situasi tuberkulosis didunia semakin memburuk, jumlah kasus tuberkulosis
meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah tuberkulosis besar (high burden countries).
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar bakteri Mycobacterium tuberculosis menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Werdhani, ____)
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri obligat aerobik, patogen intrasel yang
memiliki predileksi pada jaringan yang kaya dengan suplai oksigen. Basil tuberkel memasuki
tubuh melalui rute pernafasan. Tuberkel menyebar dari tempat infeksi pertama ke dalam
paru-paru melalui system limfatik atau darah ke bagian-bagian lain dari tubuh. Bagian apeks
paru dan kelenjar limfe regional merupakan tempat yang disukai oleh kuman ini.
Tuberkulosis ekstrapulmoner dari pleura, limfatik. Tulang dan sistem gentiourinarius, selaput
otak, peritoneum atau kulit dapat terjadi pada sekitar 15 % kasus.
Perjalanan penyakit tuberkulosis dibagi atas empat tahap. Tahap pertama dimulai
dengan inhalasi basil tuberkulosis. Makrofag alveolar menelan basil dan sering kali
menghancurkannya. Pada tahap ini destruksi mikobakterium tergantung kepada kapasitas
mikrobisidal fagosit pejamu dan faktor virulensi dari mikobakterium. Mikobakterium yang
bisa terlepas dari destruksi intraseluler inisial akan menggandakan diri dan hal ini
menyebabkan penghancuran makrofag. Ketika hal ini terjadi maka monosit di dalam darah
serta sel radang lain akan tertarik ke paru-paru (tahap dua). Monosit akan berdiferensiasi
menjadi makrofag yang kemudian kembali siap untuk mengingesti namun tidak membunuh
mikobakterium (Sharma, 2018).

2.2. Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis


Genus Mycobacterium merupakan kelompok bakteri gram positip, berbentuk batang,
berukuran lebih kecil dibandingkan bakteri lainnya. Genus ini mempunyai karakteristik unik
karena dinding selnya kaya akan lipid dan lapisan tebal peptidoglikan yang mengandung
arabinogalaktan, lipoarabinomanan dan asam mikolat. Asam mikolat tidak biasa dijumpai
pada bakteri dan hanya dijumpai pada dinding sel Mycobacterium dan Corynebacterium.
Mycobacterium tuberculosis dibedakan dari sebagian besar bakteri dan mikobakteri lainnya
karena bersifat patogen dan dapat berkembang biak dalam sel fagosit hewan dan manusia.
Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis relatif lambat dibandingkan mikobakterium

3
lainnya. Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan endotoksin maupun eksotoksin.
Bagian selubung Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat pertahanan khusus terhadap
proses mikobakterisidal sel hospes. Dinding sel yang kaya lipid akan melindungi mikobakteri
dari proses fagolisosom, hal ini dapat menerangkan mengapa mikobakteri dapat hidup pada
makrofag normal yang tidak teraktivasi . Selain bersifat pathogen, Mycobacterium
tuberculosis dapat berfungsi sebagai adjuvan yaitu komponen bakteri yang dapat
meningkatkan respon imun sel T dan sel B apabila dicampur dengan antigen terlarut.
Adjuvan yang banyak digunakan dalam laboratorium adalah Freund’s adjuvan yang terdiri
dari Mycobacterium tuberculosis yang telah dimatikan dan disupensikan dalam minyak
kemudian diemulsikan dengan antigen terlarut (Handayani, 2002)

2.2. Cara Penularan


 Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif.
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama.
 Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri Mycobacterium tuberculosis
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.

4
Gambar 1
Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui kontak udara antara orang dengan orang yang
merepresentasikan droplet nuklei yang mengandung tuberkel basilus
Sumber: Hunter, 2018

2.3. Risiko Penularan


 Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif.
 Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi tuberkulosis selama
satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
 ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

2.4. Risiko menjadi Sakit Tuberkulosis


 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan menjadi sakit
tuberkulosis.
 Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit tuberkulosis setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien
tuberkulosis BTA positif.
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien tuberkulosis
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
(gizi buruk).

5
 HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis menjadi sakit tuberkulosis.
 Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien
tuberkulosis akan meningkat, dengan demikian penularan Mycobacterium
tuberculosis di masyarakat akan meningkat pula.
 Pasien tuberkulosis yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
o 50% meninggal
o 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
o 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 2.
Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis

6
2.4. Virulensi Bakteri Mycobacterium tuberculosis
Menentukan virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis merupakan pekerjaan
yang tidak mudah, hal ini disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak
menghasilkan faktor virulensi klasik seperti yang dapat ditemukan pada berbagai bakteri
patogen yang lain seperti toksin yang dihasilkan oleh Corynebacterium diphterie,
Eschericia coli, Shigella disentriae dan Vibrio cholera. Oleh sebab itu untuk menentukan
virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis maka banyak penelitian lebih
menitikberatkan dalam mencari faktor-faktor yang menentukan progresifitas penyakit
tuberkulosis.
Sampai saat ini sudah banyak diteliti faktor- faktor yang menentukan virulensi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Salah satu strain Mycobacterium tuberculosis yang
virulen adalah Mycobacterium tuberculosis CDC 1551, merupakan strain klinik yang
dianggap sangat virulen. Bakteri ini dapat menginduksi konsentrasi sitokin, meliputi TNF-
α yang lebih tinggi dibandingkan dengan oleh strain lain. Pada hewan coba yang terinfeksi
bakteri dengan strain ini didapatkan apoptosis yang menurun dibandingkan strain lain.
Meskipun demikian, tingkat virulensi strain CDC 1551 ini tidak melebihi virulensi strain
lain jika ditinjau dari bacterial load dan mortalitas.
Pada penelitian lain ditemukan bahwa strain Mycobacterium tuberculosis WhiB3
dapat mempengaruhi regulasi sistem redoks dari makrofag dengan cara menghambat
asimilasi asam propionate dengan faktor virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis
sehingga lebih bertahan hidup dalam lingkungan yang kaya akan propionat.
Gen lain yang berperan dalam virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah
gen nuoG. Ekspresi gen ini pada bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat menghambat
apoptosis dari bakteri ini sehingga meningkatkan virulensinya. Dalam penelitian ini juga
dibuktikan bahwa delesi gen nuoG menghilangkan kemampuan untuk menghambat
apoptosis yang diakibatkan sel imun dari pejamu sehingga menurunkan virulensinya pada
binatang percobaan.

2.5. Respon Imun Tuberkulosis

Respon imunologik terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis berupa imunitas


seluler (cell-mediated immunity) dan hipersensitiviti tipe lambat. Apabila respon imun lemah
atau gagal maka terjadi tuberkulosis aktif pada individu yang terinfeksi Mycobacterium
Tuberculosis. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limfosit T-Cluster of-diferentiation

7
(CD4) dan mempoduksi sitokin lokal sebagai respon terhadap antigen yang dikeluarkan
Mycobacterium tuberculosis limfosit T helper1 (Th1) mengaktifkan makrofag sedangkan
limfosit T helper2 (Th2) menambah sintesis atibodi humoral dan kemudian memproduksi
sitokin TNFa dan INFg. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi tuberkulosis dan
mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limfosit-TCD4 memproduksi enzim
lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate dan interleukin-2 (IL-2).
Hipersensitiviti tipe lambat merupakan bagian dari respon imuniti seluler yang akan
mengakibatkan peningkatan aktiviti limfosit-TCD4 .limfosit-TCD8 sitotoksid serta pembunuh
yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitarnya dan terjadi perkejuan.
Imuniti seluler mengaktifkan makrofag sehingga menghambat replikasi basil.
hipersensitiviti tipe lambat menghambat replikasi basil dengan menghancurkan makrofag
yang belum aktif dan mengandung basil Mycobacterium tuberculosis juga mengisolasi lesi
aktif, menyebabkan Mycobacterium tuberculosis menjadi dormant, kerusakan jaringan,
fibrosis dan parut. Proses ini dapat merugikan tubuh. Basil Mycobacterium tuberculosis dapat
keluar dari bagian tepi daerah nekrosiss dan membentuk hypersensitivity tipe lambat
kemudian difagositosis oleh makrofag setempat.Jika makrofag belum diaktifkan oleh imunity
seluler maka basil dapat tumbuh dalam makrofag sampai hipersensitivitas tipe lambat
merusak makrofag dan menambah daerah nekrosis pada saat imunity selular menstimulasi
makrofag setempat iku membunuh basil dan mencegah perluasan penyakit.
Terjadi nekrosis setempat saat pembentukan hipersensitivitas tipe lambat member
kesempatan imunitas seluler untuk mengaktifkan makrofag setempat. Imunitas seluler dan
hypersensitivity tipe lambat menghambat replikasi basil pada masa kiju padat,tidak pada
massa kiju cair. Proses imunitas seluler dan hipersensitivitas tipe lambat terjadi jika ada
mycobacterium tuberculosis, apabila jumlah basil sedikit maka imunity seluler mengaktifkan
makrofag dan menghancurkan basil.Apabila jumlah bail banyak maka hipersensitivitas tipe
lambat lebih berperan dan menyebabkan nekrosis jaringan. Granuloma Mycobacterium
tuberculosis mengandung makrofag aktif yang mengellingi basil Mycobacterium tuberkulosis
dan lapisan luar yang terdiri dari limfosit T dan dapat menstimulasi makrofag. Makrofag
secara metabolik aktif mengkonsumsi oksigen yang ada sehingga daerah granuloma menjadi
anoksik dan nekrotik.Hal ini mengganngu pertumbuhan Mycobacterium tuberkulosis
sehingga menjadi dormant.

8
2.5. Etiopatogenesis Tuberkulosis
2.5.1. Infeksi Tb (Tb Primer)
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Karena ukurannya yang sangat kecil, bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam
percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya bakteri
Mycobacterium tuberculosis ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non-spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit bakteri Mycobacterium tuberculosis dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar bakteri Mycobacterium tuberculosis. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan bakteri Mycobacterium
tuberculosis dan bakteri akan ber-replikasi dalam makrofag. Bakteri Mycobacterium
tuberculosis dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut.

Gambar 3.
Basil tuberkulum bermultiplikasi di alveolus
Sumber : Hunter, 2016

Lokasi pertama koloni bakteri Mycobacterium tuberculosis di jaringan paru disebut


Fokus Primer GOHN. Dari fokus primer, bakteri Mycobacterium tuberculosis menyebar
melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).

9
Waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri Mycobacterium tuberculosis hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi Mycobacterium
tuberculosis. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi Mycobacterium tuberculosis biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, bakteri tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
bakteri Mycobacterium tuberculosis sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum ter-
sensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi Mycobacterium tuberculosis primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih
negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap Mycobacterium
tuberculosis telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi bakteri Mycobacterium
tuberculosis terhenti. Namun, sejumlah kecil bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, bakteri Mycobacterium
tuberculosis baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas
seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.

10
Gambar 4
Patofisiologi Tuberkulosis
Sumber: Handayani, 2002

2.5.2. Tb Post Primer (LTBI/Latent Tuberculosis Infection)


Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
Mycobacterium tuberculosis endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis
dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

11
Gambar 5
Dalam 2-8 minggu, sel makrofag “memakan” dan mengelilingi tuberkel
dengan selaput yang dinamakan granuloma. Dimana tuberkel akan
menjadi dibawah kontrolnya (LTBI)

Sumber : Hunter, 2016

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, bakteri menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, bakteri
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan Mycobacterium tuberculosis
disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah
dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, bakteri Mycobacterium tuberculosis menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Bakteri Mycobacterium tuberculosis kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama
apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, bakteri Mycobacterium
tuberculosis akan bereplikasi dan membentuk koloni bakteri sebelum terbentuk imunitas
seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

12
Gambar 6
Jika makrofag tidak mampu membuat tuberkel dibawah kontrolnya, maka
tuberkel akan bermultiplikasi secara cepat menjadi sakit tuberkulosis.
Proses ini berlangsung di seluruh organ.

Sumber : Hunter, 2016

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, bakteri tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apeks paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus Mycobacterium tuberculosis ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit Mycobacterium tuberculosis di organ terkait, misalnya
meningitis, Mycobacterium tuberculosis tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hamatogen
yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic
spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar bakteri Mycobacterium tuberculosis masuk dan
beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit tuberkulosis secara akut, yang disebut tuberkulosis diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi Mycobacterium tuberculosis,
misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah bakteri yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi
merupakan granuloma.

13
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vascular di dekatnya, sehingga sejumlah bakteri Mycobacterium tuberculosis akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit Mycobacterium tuberculosis akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar Mycobacterium tuberculosis paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, Mycobacterium tuberculosis endobronkial, dan
Mycobacterium tuberculosis paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen
akan menjadi Mycobacterium tuberculosis milier atau meningitis Mycobacterium
tuberculosis, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi
dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya Mycobacterium tuberculosis paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Mycobacterium
tuberculosis paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi bakteri di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
Mycobacterium tuberculosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

2.5.3. Sakit Tuberkulosis


Pada beberapa orang, tuberkel yang berkembang dengan sistem imun yang menurun
akan mengubah kondisi infeksi tuberkulosis/LTBI menjadi sakit tuberkulosis. Orang dengan
kondisi ini akan mampu menyebarkan penyakit ke orang lain. Prosesnya tergantung dari
imunitas orang tersebut, bisa berbulan-bulan, namun ada pula yang bertahun-tahun. Cairan
tubuh dan kultur jaringan dengan penemuan Mycobaterium tuberculosis positif menandakan
diagnosis sakit tuberkulosis (Sharma, 2018).

14
Gambar 7
Perjalanan Penyakit Tb primer

Sumber :Handayani (2002)

15
Gambar 8
Patogenesis Tuberkulosis

Sumber :Handayani (2002)

16
Berikut merupakan perbedaan antara kondisi infeksi tuberkulosis dengan sakit tuberkulosis

Tabel 1.
Perbedaan Infeksi Tb dan Sakit Tb

Kriteria orang dengan infeksi tuberkulosis yang dapat berkembang menjadi sakit tuberkulosis
adalah sebagai berikut

Tabel 2.
Orang yang Beresiko

17
2.6. Imunopatogenesis Tuberkulosis
2.6.1. Perjalanan Kronologis Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri obligat aerobik, patogen intrasel
yang memiliki predileksi pada jaringan yang kaya dengan suplai oksigen. Basil tuberkel
memasuki tubuh melalui rute pernafasan. Tuberkel menyebar dari tempat infeksi pertama
ke dalam paru-paru melalui system limfatik atau darah ke bagian-bagian lain dari tubuh.
Bagian apeks paru dan kelenjar limfe regional merupakan tempat yang disukai oleh bakteri
ini. Tuberkulosis ekstrapulmoner dari pleura, limfatik. Tulang dan system gentiourinarius,
selaput otak, peritoneum atau kulit dapat terjadi pada sekitar 15 persen kasus (Sharma,
2018).

Perjalanan penyakit tuberkulosis dibagi atas empat tahap. Tahap pertama dimulai
dengan inhalasi basil tuberculosis. Makrofag alveolar menelan basil dan seiringkali
menghancurkannya. Pada tahap ini destruksi mikobakterium tergantung kepada kapasitas
mikrobisidal fagosit pejamu dan faktor virulensi dari mikobakterium. Mikobakterium yang
bisa terlepas dari destruksi intraseluler inisial akan menggandakan diri dan hal ini
menyebabkan penghancuran makrofag. Ketika hal ini terjadi maka monosit di dalam darah
serta sel radang lain akan tertarik ke paru- paru (tahap dua). Monosit akan berdifrensiasi
menjadi makrofag yang kemudian kembali siap untuk meng-ingesti namun tidak
membunuh mikobakterium (Sharma, 2018)
Dua sampai tiga minggu setelah infeksi, imunitas sel T terbentuk, melalui antigen-
spesifik sel T yang masuk, sel T berproliferasi di dalam lesi awal atau tuberkel dan
kemudian mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikobakterium intraseluler. Setelah
fase ini pertumbuhan logaritmik awal kumam Mycobacterium tuberculosis terhenti
(stadium 3). Nekrosis padat sentral pada lesi primer ini menghambat pertumbuhan
mikrobakterium ekstraseluler. Sebagai akibatnya, infeksi menjadi terhenti atau disebut
“dormant”. Penyakit dapat berkembang dan penularan dapat terjadi dalam waktu
berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah tuberculosis primer pada keadaan imunitas
menurun. Fokus perkijuan yang mencair merupakan kondisi yang sempurna untuk
pertumbuhan ekstraseluler bagi Mycobacterium tuberculosis. Pembentukan kavitas dapat
menyebabkan ruptur dekat bronkus, menyebabkan menyebar melalui saluran nafas ke
bagian-bagian lain dan ke lingkungan sekitar (Sharma, 2018).

18
2.6.2. Respon Imun Bawaan
Fagositosis Mycobacterium tuberculosis

Makrofag yang berada di alveolar merupakan jenis sel utama dalam uptake awal M.
tuberculosis. Setelah pertemuan awal ini, sel-sel dendritik dan monosit yang berasal dari
makrofag juga terlibat dalam proses fagositosis. Endositosis Mycobacterium tuberculosis
melibatkan beragam reseptor pada sel fagosit yang dapat berikatan, baik dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang telah di-opsonifikasi maupun yang belum di-
opsonifikasi pada permukaannya.

Gambar 9. Fagositosis dan pengenalan bakteri Mycobacterium tuberculosis. berbagai reseptor telah berhasil
diidentifikasi dalam hal fagositosis Mycobacterium tuberculosis oleh makrofag dan sel dendritik: reseptor
komplemen merupakan yang terutama berperan dalam uptake bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ter-
opsonifikasi; MRs dan reseptor pengikat untuk uptake bakteri Mycobacterium tuberculosis yang tak
teropsonifikasi. TLR berperan penting pada pengenalan imun Mycobacterium tuberculosis. Dalam kaitan
dengan CD14, TLR2 berikatan dengan lipoarabinomannan (LAM), yaitu suatu heterodimer dari TLR2 dan
TLR6 yang berikatan dengan lipoprotein Mycobacterium tuberculosis seberat 19 kDa, TLR4 berikatan
dengan faktor terikat sel yang tidak tahan panas, dan kemungkinan TLR9 berikatan dengan DNA
Mycobacterium tuberculosis. Setelah berikatan dengan TLR, jalur sinyal utama akan menyebabkan aktivasi
sel dan produksi sitokin. TLR-TLR dihasilkan tidak hanya pada permukaan sel namun juga di dalam
fagosom; sehingga, aktivasi imun dapat terjadi dengan atau tanpa fagositosis. Di sisi lain, fagositosis sendiri
mungkin tidak menyebabkan aktivasi imun tanpa melibatkan TLR-TLR.

19
Sebagai suatu contoh dari mekanisme terakhir, mikobakterium dapat menginvasi makrofag
pejamu setelah opsonifikasi dengan faktor komplemen C3, yang diikuti dengan pengikatan
dan uptake melaui reseptor komplemen 1 (CR1), CR3 dan CR4. (Pentingnya Reseptor
diantara berbagai reseptor untuk faktor komplemen C3 telah terbukti melalui penelitian
invitro yang mana tidak adanya CR3, fagositosis Mycobacterium tuberculosis oleh
makrofag dan monosit berkurang 70-80%
Untuk opsonifikasi oleh C3 maka produk pecahan dari C3b mesti dibuat lebih dulu
dengan cara aktivasi system komplemen. M. tuberculosis juga menggunakan sebagian dari
jalur klasik aktivasi komplemen dengan cara berikatan langsung dengan C2a, meskipun
tidak ada C4b; dengan cara ini telah terbentuk ikatan C3b dengan CR1. Mekanisme ini
memfasilitasi uptake mikobakterium pada lingkungan yang kurang opsonin, seperti di
paru. Bagaimanapun Mycobacterium tuberculosis yang non-opsonifikasi Mycobacterium
tuberculosis dapat berikatan secara langsung dengan CR3 dan CR4. Walaupun demikian
reseptor yang sudah sangat dikenal untuk fagositosis Mycobacterium tuberculosis tanpa
opsonifikasi adalah reseptor manosa makrofag (MR), yang dapat mengenali ujung residu
manosa pada bakteri. Apabila uptake oleh CR dan MR dihambat makrofag masih bisa
menginternalisasi Mycobacterium tuberculosis melalui reseptor scavenger.
Semakin kuatnya ikatan antara Mycobacterium tuberculosis dengan sel-sel epitel
dan makrofag dapat mencerminkan faktor risiko untuk terjadinya tuberkulosis klinis.
Colectin, merupakan penamaan untuk sekelompok protein yang meliputi surfaktan, lektin
terikat manosa (MBL) dan C1q merupakan protein-protein yang penting dalam masalah
ini. Protein surfaktan A (Sp-A) membantu uptake Mycobacterium tuberculosis, melalui
pengikatan baik dengan makrofag, pneumosit tipe II atau netrofil. Hal yang menarik adalah
bahwa pada pasien HIV terjadi peningkatan kadar Sp-A pada paru dan hal ini
menyebabkan peningkatan sampai 3 kali lipat ikatan Mycobacterium tuberculosis dengan
makrofag. Berbeda dengan protein surfaktan yang lain yaitu Sp-D, yang diketahui dapat
menghambat upta ke strain patogen Mycobacterium tuberculosis dengan makrofag.
Dengan kejadian tersebut diduga bahwa konsentrasi relative protein surfaktan berkorelasi
dengan risiko infeksi.
MBL faktor plasma, merupakan jenis lain dari protein collectin, juga dapat
berperan dalam uptake Mycobacterium tuberculosis oleh sel fagositik. MBL mengenali
konfigurasi karbohidrat bermacam- macam patogen dan menginduksi fagositosis secara
langsung melalui sistem komplemen.

20
Peningkatan kadar MBL telah dibuktikan oleh suatu studi dan hal ini merupakan
suat hal yang tidak menguntungkan dalam infeksi Mycobacterium tuberculosis. Meskipun
Mycobacterium tuberculosis memiliki kemampuan menarik sel-sel fagositik, namun ia
juga dapat berikatan dengan sel-sel fagositik non-profesional, yaitu sel epitel alveolar.
Ikatan ini melibatkan fibronektin, yaitu suatu glikkoprotein yang ditemukan di dalam
plasma dan pada permukaan berbagai jenis sel. Mirip dengan Mycobacterium leprae,
Mycobacterium tuberculosis dapat berikatan dengan sel epithelial karena bakteri ini
memproduksi dan mensekresikan kelompok protein pengikat fibronektin. Sel lain itu juga
terdapat heparin binding adhesion, yang juga dihasilkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dan berikatan dengan glikokonjugat tersulfatasi yang ada pada sel host.
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa terdapat berbagai mekanisme untuk uptake
Mycobacterium tuberculosis, melibatkan berbagai reseptor sel host. Sebagian besar dari
interaksi ini telah diterangkan di dalam berbagai penelitian in vitro, dan kepentingannya
secara invivo masih terlihat. Perbedaan rute masuknya Mycobacterium tuberculosis
menyebabkan perbedaan transduksi sinyal, aktivasi imun dan survival intraseluler
Mycobacterium tuberculosis. Sebagai contoh, fagositosit yang diperantarai oleh reseptor
FCγ berhubungan secara langsung berhubungan dengan respon inflamasi, tidak demikian
dengan CR. Survival Mycobacterium tuberculosis setelah berikatan dengan CR1 lebih baik
dibandingkan setelah berikatan dengan CR3 dan CR4. Fagositosis terhadap
Mycobacterium tuberculosis yang diopsonifikasi oleh SpA oleh makrofag alveolar
menekan pembentukan intermediet nitrogen reaktif, yang merupakan salah satu mekanisme
untuk mematikan Mycobacterium tuberculosis. Hal yang sama juga terjadi bila
Mycobacterium tuberculosis di-fagositosis dengan perantara MR.

Respon Sel Limfosit T


Limfosit T merupakan mediator obligat kekebalan, mereka tidak bekerja sendiri tetapi
harus berinteraksi dengan sel-sel imun respon lainnya untuk mencapai resistensi yang
optimal. Semua populasi sel T (CD4 α/β, CD8 α/β dan sel γ/δ) berperan dalam proteksi.
Sel T yang mengekspresikan reseptor α/β, 95% lebih terdiri dari sel T post timus terdapat
pada organ perifer dan darah. Sebaliknya sel T γ/δ hanya sedikit terdapat pada daerah
tersebut, tetapi lebih banyak terdapat pada jaringan mukosa seperti paru-paru. Bukti bahwa
sel T α/β sangat diperlukan untuk resistensi tuberkulosis berdasarkan percobaan bahwa
tikus mutan yang dihilangkan sel T α/β dengan cara delesi gen yang mengkode sel T α/β,
relatif resisten terhadap infeksi BCG subletal selama 4 minggu infeksi, kemudian

21
pertumbuhan BCG meningkat dan akhirnya tikus tersebut akan mati karena infeksi BCG
(Handayani, 2002).
1) Sel Limfosit T Cd4+
Sel limfosit T α/β dapat dibagi menjadi sel T CD4+ yang mengenal peptida antigenik
yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II dan sel T CD8+ yang mengenal
peptida antigenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Sel T CD4+
berperanan penting pada sistem pertahanan terhadap tuberkulosis. Tikus yang
mengalami deplesi sel T CD4+ yang sebelumnya terinfeksi M. bovis, terbukti tidak
dapat mengontrol pertumbuhan mikobakteri, sedangkan tikus yang deplesi sel T CD8+
menunjukkan efek yang berbeda. Selain itu transfer adoptif sel T CD4+ pada binatang
yang telah disensitisasi akan memberi perlindungan terhadap tuberkulosis. Deplesi sel
T CD4+ karena infeksi HIV ditandai dengan meningkatnya kerentanan terhadap
tuberkulosis primer dan reaktivasi. Berdasarkan studi eksperimental dan studi
tuberkulosis pada manusia menunjukkan bahwa deplesi sel T CD4+ akan
memperburuk infeksi oleh M. tuberkulosis dan BCG. Konsisten dengan penemuan
tersebut menunjukkan bahwa tikus mutan dengan defisiensi gen MHC kelas II,
sehingga fungsi aktif sel T CD4+ tidak ada, maka tikus tersebut akan mati karena
infeksi BCG dan M. tuberculosis. Deplesi sel T CD4+ pada infeksi virus HIV juga
dapat mengakibatkan tuberkulosis pada pasien AIDS(14). Berdasarkan fungsinya Sel T
CD4+ dibedakan menjadi 2 sub populasi yaitu sel Th1 dan Th2. Sel Th1 menghasilkan
IFN γ, IL-2 dan limfotoksin yang berfungsi meningkatkan aktivitas mikrobisidal
makrofag serta menimbulkan hipersensitifitas tipe lambat. Sedangkan sel Th2
menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang berfungsi merangsang deferensiasi dan
pertumbuhan sel B. Sel Th1 dan sel Th2 menghasilkan IL-3, GMCSF (Granulocyt
Macrophage-Colony Stimulating Factor) dan TNF. Baik Th1 dan Th2 berpengaruh
terhadap manifestasi infeksi oleh patogen intra seluler. Sel Th1 mem-berikan resistensi
imunologi terhadap infeksi melalui produksi interferon gamma, sedangkan sel Th2
akan memperburuk penyakit melalui IL-4.
Data yang telah dipublikasi menunjukkan bahwa jenis sitokin yang diproduksi sebagai
respon terhadap M. tuberculosis masih diperdebatkan. Beberapa studi menunjukkan
bahwa klon sel T CD4+ yang reaktif terhadap M. tuberculosis adalah Th1 yang
menghasilkan IFN γ dalam konsentrasi tinggi dan IL-4 dan Il-5 dalam konsentrasi
rendah. Penelitian lain menunjukkan bahwa klon sel T yang reaktif terhadap M.
tuberculosis akan menghasilkan IFN γ dan IL-4 atau IFN γ, IL2, IL-5 dan IL-10. Studi

22
terakhir melaporkan beberapa klon akan mengekspresikan mRNA terhadap IL-4
meskipun IL-4 tidak terdeteksi pada supernatan kultur sel. Meskipun beberapa
penelitian menitikberatkan pada fungsi sel T CD4+ yang berperan sebagai
antimikobakteri melalui produksi sitokin dan aktivasi makrofag, mekanisme lain dari
sel T pada sistem pertahan tubuh adalah melalui sitolisis langsung oleh makrofag dan
sel fagosit yang terinfeksi M. tuberculosis. Kultur sel T sitolitik yang spesifik terhadap
M. tuberculosis secara in vitro adalah sel T CD4+ dan aktivitas sel tersebut pada lokasi
penyakit meningkat dibandingkan pada sel darah tepi. Beberapa makrofag yang
terinfeksi M. tuberculosis mempunyai potensi antimikobakteri yang rendah sehingga
basil terhindar dari sistem imun hospes. Sel T sitolitik yang mengenal antigen
mikobakteri dapat melisiskan makrofag tersebut sehingga basil yang dilepaskan akan
dimakan dan dibunuh oleh makrofag dengan aktivitas mikobakteri yang lebih tinggi.
Selain itu sel T sitolitik dapat berperan sebagai scavenger dengan melisiskan makrofag
yang mati sehingga dapat dikatabolis oleh sel mononuklear di sekitarnya.

2) Sel Limfosit T CD8+


Sel T CD8+ merupakan populasi sel T sitolitik yang mempunyai fungsi pertahanan
terhadap patogen intraseluler pada binatang percobaan. Tidak seperti sel CD4+, sel T
CD8+ tidak menghasilkan IL-2 tetapi lebih tergantung pada sumber eksogen. Peran sel
T CD8+ dapat dibuktikan dengan percobaan bahwa deplesi sel T CD8+ akan
memperburuk infeksi M. tuberculosis dan BCG pada tikus, dan transfer sel CD8+ yang
selektif akan melindungi terhadap tuberkulosis. Penelitian lain menggunakan tikus
mutan dengan delesi gen β2-mikroglobulin, yaitu gen yang dibutuhkan untuk ekspresi
MHC kelas I sehingga sel T CD8+ tidak berfungsi secara aktif, maka tikus akan mati
dengan cepat karena infeksi M tuberculosis tetapi tidak dengan infeksi BCG. Namun
sel T CD8+ jarang diidentifikasi pada tuberkulosis manusia. Sel T CD8+ tidak
terkonsentrasi secara selektif pada lokasi penyakit (site of disease) pada pasien
tuberkulosis dan parahnya tuberkulosis pada pasien HIV tidak dipengaruhi oleh jumlah
sel T CD8+. Sebaliknya tidak adanya korelasi antara tes tuberkulin kulit positif dan
proteksi terhadap tuberkulosis dapat disebabkan oleh karena tes tuberkulin tidak dapat
digunakan untuk mengetahui aktivitas sel T CD8 sitotoksik. Berbagai studi in vitro
menunjukkan bahwa sel T CD4+ yang reaktif terhadap mikobakterium sangat potensial
menghasilkan IFN γ.Namun IFN γ juga dihasilkan oleh sel T CD8+ yang spesifik
terhadap mikobakterium. Sitokin merupakan mediator utama resistensi tuberkulosis.

23
Sel T CD4+ dan sel T. CD8+ yang reaktif mikobakterium juga mengekspresikan
aktifitas sitolitik yang spesifik yaitu; dapat melisiskan makrofag yang telah disensitisasi
antigen mikobakterial atau terinfeksi BCG atau Mycobacterium tuberculosis. Kedua
fungsi tersebut dapat ditunjukkan secara in vitro tetapi juga proteksi secara in vivo.

3) Sel Limfosit T γ/δ


Beberapa bukti menunjukkan bahwa sel T γ/δ berperan pada respon imunitas awal
terhadap infeksi M. tuberculosis. Selain sel T α/β, sel lain juga menghasilkan IFN γ dan
mengekspresikan aktivitas sitolitik yang berperan pada resistensi. Sel NK maupun sel T
γ/δ menghasilkan IFN γ dan melisiskan sel target yang tersensitisasi mikobakterium.
Mycobacterium tuberculosis relatif resisten terhadap makrofag. Keberadaan
tuberkulosis pada individu sehat selama beberapa tahun tanpa menyebabkan penyakit
menunjukkan bawa sistem imun gagal menghilangkan patogen tersebut dan harus
mengandalkan efek mikobakterisidal dan menghambatan pertumbuhan mikobakteri).

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium


tuberculosis. Organisme ini bersifat intraseluler dan banyak menyerang organ paru.
Respon imunitas seluler memegang peranan penting, karena respon imunitas humoral
kurang berperan, sehingga memerlukan koordinasi yang baik antara sel fagosit
mononuklear dan sel limfosit T untuk mendapatkan perlindungan yang optimal.
Dengan meningkatnya infeksi HIV/AIDS maka resiko terkena tuberkulosis menjadi
semakin tinggi, sehingga diperlukan respon imun yang protektif dan vaksin yang
benar-benar efektif untuk mengatasi infeksi tuberkulosis. Sel limfosit T γ/δ pada orang
dengan tes tuberkulin negatif dan pada bayi baru lahir akan berploriferasi sebagai
respon terhadap M. tuberculosis. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
sel T γ/δ yang reaktif terhadap M. tuberculosis berkisar antara 5-40%. Hal ini
menunjukkan bahwa sel T γ/δ pada manusia mempunyai kapasitas untuk mengenal
antigen mikobakteri. Rechallenge atau infeksi ulang dengan M. tuberculosis tidak
meningkatkan jumlah sel T γ/δ, hal ini menunjukkan bahwa sel tersebut tidak berperan
pada respon anamnese. Persentase sel T γ/δ tidak mengalami peningkatan dalam darah
orang sehat maupun pasien tuberkulosis. Sel T γ/δ berperan pada respon imunitas awal
yaitu pada paru-paru dan limfo nodi pasien yang baru terinfeksi M. tuberculosis,
sebelum terbentuk respon sel T α/β. Sel T γ/δ yang reaktif terhadap M. tuberculosis
akan menghasilkan IFN γ, TNF, IL-2,IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang

24
dihasilkan oleh sel T α/β. Selain itu supernatan dari sel T γ/δ yang dirangsang oleh M.
tuberculosis akan meningkatkan agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada
pembentukan granuloma.

Pengenalan Mycobacterium tuberculosis: Peranan Toll-Like Receptor (TLR)


Di samping fagositosis, pengenalan Mycobacterium tuberculosis atau produk
Mycobacterium tuberculosis merupakan langkah yang penting dalam pembentukan respon
imun yang efektif. Pengenalan imun dari komponen dinding sel mikobakterial utama, yaitu
lipoarabinomanan (LAM), tampak menyerupai bakteri gram negatif lipopolisakarida
(LPS). Beberapa faktor dalam sirkulasi dan reseptor-reseptor terlibat dalam pengenalan ini.
Protein pengikat LPS plasma meningkatkan respon terhadap LPS dan LAM dengan cara
memindahkan produk mikroba in ke reseptor permukaan sel CD14 (Lyadova, 2012).

Hal yang sama dapat terjadi, CD14 merubah tingkat responsif baik LAM maupun
LPS pada sel yang tidak memiliki CD14. Bersamaan dengan itu, kadar CD14 dan protein
pengikat LPS serum meningkat pada pasien dengan Mycobacterium tuberculosis aktif.
TLR secara filogenetik mempertahankan mediator-mediator imunitas bawaan yang
esensial untuk pengenalan mikroba terhadap makrofag dan sel dendritik. Bagian dari
kelompok TLR merupakan protein transmembran yang yang mengandung motif leucin-
rich pada domain ekstraselular, mirip dengan protein pengenal pola lainnya pada system
imunitas bawaan. Domain sitoplasma dari TLR merupakan homolog terhadap domain
sinyal reseptor IL-1 (IL1R) dan berhubungan dengan IRAK (IL-1R-associated kinase),
suatu kinase serin yang mengaktivasi faktor transkripsi yang menyerupai NF-Κb untuk
memberikan sinyal terhadap produksi sitokin. Sampai saat ini, sekurang-kurangnya
terdapat 10 TLR yang telah diidentifikasi: diantaranya TLR2, TLR4 dan TLR9 tampaknya
berperan untuk respon seluler terhadap peptidoglikan dan lipopeptida bakteri, endotoksin
dari bakteri gram negative dan DNA bakteri (Lyadova, 2012).
TLR juga berperan dalam pengenalan seluler mikobakterium. Melalui TLR, lisat
mikkobakterium atau lipoprotein yang terikat dinding sel Mycobacterium tuberculosis
merangsang pembentukan IL12 yang merupakan suatu sitokin proinflamasi kuat. Mutasi
TLR2 dapat menghambat secara spesifik produksi TNF-α yang diinduksi Mycobacterium
tuberculosis. Hambatan in tidak lengkap karena itu diduga terdapat keterlibatan TLR lain.

25
Produksi Sitokin akibat Bakteri Mycobacterium tuberculosis
Sitokin Proinflamatory
Pengenalan Mycobacterium tuberculosis oleh sel fagositik menyebabkan aktivasi
sel dan produksi sitokin, yang mana dengan sendirinya menginduksi aktivasi dan produksi
sitokin lebih lanjut dengan proses yang rumit terhadap regulasi dan regulasi silangnya.
Jaringan Sitokin-sitokin ini memiliki peranan yang penting dalam respon inflamasi dan
outcome infeksi Mycobacterium tuberculosis. Beberapa sitokin inflamasi akan dibahas
pada bagian berikut (Lyadova, 2012) :
TNF-α. Stimulasi monosit, makrofag dan sel dendritik oleh Mycobacterium
tuberculosis atau produk Mycobacterium tuberculosis menginduksi produksi TNF- α, yang
merupakan prototype sitokin proinflamasi. TNF-α memerankan peran penting pada
pembentukan granuloma, menginduksi aktifasi makrofag dan memiliki sifat pengaturan
imunitas. Pada penderita Mycobacterium tuberculosis, produksi TNF-α terjadi di tempat
pusat sakit. Peredaran sistemik dari TNF-α dapat menyebabkan efek inflamasi yang tidak
diinginkan seperti demam dan penurunan berat badan. Pada penyakit tuberkulosis yang
terjadi pada manusia, mutasi gen TNF-α dapat ditemukan dan namun demikian
polimorfisme pada gen penyandi TNF-α tidak berkorelasi positif dengan kerentanan
terhadap penyakit Mycobacterium tuberculosis.
IL-1β merupakan sitokin proinflamasi kedua yang terlibat dalam respon host
terhadap Mycobacterium tuberculosis. Sebagaimana TNF-α, IL-1 β utamanya diproduksi
oleh monosit, makrofag dan sel-sel dendritik. Pada pasien dengan tuberkulosis, IL-1 β
diproduksi dalam jumlah yang berlebihan pada tempat sakit. Pada penelitian pada mencit
dengan defisiensi IL1R (reseptor IL-1) dan knock out (KO) IL1α dan β didapatkan
pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis yang berlebihan dan gangguan pembentukan
granuloma.

26
Gambar 10. Respon inflamasi sel-sel fagositik atas pengaktifan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Pengenalan imun oleh makrofag dan sel-sel dendritik diikuti oleh respon inflamasi yang berperan penting
dalam pembentukan sitokin.

IL-6, memiliki 2 peran yaitu sebagai pro dan antiinflamasi. Sitokin ini diproduksi
di awal infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sitokin ini dapat membahayakan
karena ia dapat menghambat produksi TNF- α dan IL-1B dan meningkatkan pertumbuhan
M. avium invitro. Penelitian lain menemukan peran protektif dari IL-6. Pada mencit yang
mengalami defisiensi IL-6 terjadi peningkatan kerentanan terhadap bakteri ini. Hal ini
terkait dengan defisiensi IFN-γ pada awal infeksi. IL-12. IL-12 memiliki posisi kunci
dalam pertahan host terhadap Mycobacterium tuberculosis. Sitokin ini terutama dihasilkan
oleh sel-sel fagositik dan tampaknya bahwa fagositosis Mycobacterium tuberculosis
merupakan hal yang penting dalam pembentukannya. IL-12 memiliki peran penting dalam
pembentukan IFN-γ. Pada tuberkulosis, IL-12 dapat dideteksi di infiltrate paru, Pleuritis
Mycobacterium tuberculosis, granuloma dan limfadenitis. IL-12 memiliki efek protektif
dimana pada tikus dengan KO gen IL12 mengalami peningkatan kerentanan terhadap
infeksi Mycobacterium tuberculosis.
IL-18 dan 15. Selain IL-12, ada dua sitokin lain yang penting pada jalur
pembentukan INF-γ yaitu IL-18 dan 15. IL-18 merupakan suatu sitokin proinflamasi yang
baru dan memiliki sifat yang mirip dengan IL-1, pertama kali ditemukan sebagai faktor
penginduksi IFN-γ, dalam hal ini bersinergi dengan IL-12. Sementara itu IL-15 memiliki

27
kemiripan dengan IL-2 dari segi aktivitas.
IFN-γ. Peran protektif sitokin ini sudah lama diketahui, terutama pada imunitas
antigen spesifik sel T. IFN-γ dapat digunakan sebagai marker alternatif untuk infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Dasarnya adalah pada individu Mycobacterium tuberculosis
naif (tuberculin test negative) tidak memperlihatkan produksi IFN-γ invitro yang
distimulasi oleh PPD. Meskipun demikian, pada penderita tuberkulosis baik PPD positif
maupun negative monosit pasien yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan
menstimulasi limfosit untuk menghasilkan IFN-γ.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) adalah reaksi
yang tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pemindahan
hipersensitivitas ini dapat dilakukan dengan memindahkan limfosit T. Reaksi tipe IV juga
disebut reaksi tipe lambat karena timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan antigen.
Respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap Mycobacterium tuberculosis dapat dilakukan
dengan tes kulit tuberkulin yaitu suntikan intradermal dengan PPD (Purified Protein
Derivatif). Reaksi tuberkulin mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan. Reaksi
ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan agregasi dan
proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu.
Respon sensitivitas tipe lambat tidak identik dengan imunitas protektif. Tes kulit tuberkulin
negatif pada orang sehat menujukkan tidak adanya infeksi M. tuberculosis sebelumnya dan
tidak adanya populasi sel T memory yang reaktif terhadap M. tuberculosis. Pada pasien
dengan infeksi tuberkulosis atau sakit tuberkulosis, tes kulit tuberkulin negatif merupakan
hasil dari proses yang berhubungan dengan respon hipersensitivitas tipe lambat, seperti
infeksi HIV dan tuberkulosis itu sendiri

Sitokin-sitokin anti-inflamasi (Lyadova,2012)

Sitokin-sitokin ini berlawanan terhadap sitokin proinflamasi. Reseptor sitokin


terlarut (misalnya reseptor I dan II TNF-α) mencegah ikatan antara sitokin dengan reseptor
seluler, sehingga menghambat proses transduksi sinyal lebih lanjut. IL-1β dilawan oleh
antagonis spesifik yaitu IL-1Ra. Selanjutnya terdapat 3 jenis sitokin antiinflamasi yang
menghambat produksi atau efek dari sitokin proinflamasi yaitu IL-4, IL-10 dan
transforming growth factor beta (TGF-β).
IL-10. Sitokin ini diproduksik oleh makrofag setelah fagositosis oleh

28
Mycobacterium tuberculosis dan setelah ikatan dengan LAM. Limfosit T, termasuk
limfosit T reaktif-Mycobacterium tuberculosis dapat memproduksi IL-10. IL10
menghambat kerja sitokin proinflamasi dengan cara menekan produksi IFN-γ, TNF-α dan
IL-12.
TGF-β. Sitokin ini juga melawan sifat imunitas protektif terhadap Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis menginduksi produksi TGF oleh sel-sel
dendritik dan monosit. Hal yang menarik adalah LAM yang berasal dari Mycobacterium
tuberculosis virulen secara selektif menginduksi produksi TGF-β. TGF menghambat
imunitas yang diperantarai sel: pada sel T, sitokin ini menghambat produksi IFN-γ; pada
makrofag ia melawan presentasi antigen, pembentukan sitokin proinflamasi dan deposisi
kolagenase makrofag dan matrik kolagen.
IL-4. Efek buruk IL-4 adalah supresi produksi IFN-γ, dan aktivasi makrofag. Pada
hewan coba produksi IL-4 berhubungan dengan progresif penyakit dan reaktivasi infeksi
laten. Walaupun demikian hubungan IL-4 dengan kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis
masih belum jelas.

29
DAFTAR PUSTAKA

Duskova, Jaroslava, 2014, Pathology of Tuberculosis, Intergrated Course Microbiology and


Pathology, Installation of Pathology, Medical Faculty of University Prague

Handayani, Sarwo, 2002, Respon Imunitas Seluler pada Infeksi Tuberkulosis Paru, Cermin
Dunia Kedokteran No 137

Kementerian Kesehatan, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Direktorat


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan

Lyadova, Irina, 2012, Inflammation and Immunopathogenesis of Tuberculosis Progression,


University Campus STeP Ri Slavka Krautzeka, Croatia

Hunter Robert L, 2016, Mechanism of Pathogenesis Tuberculosis as a three-act play: A new


paradigm for the Pathogenesis of Pulmonary Tuberculosis, Elsevier Health Journal No
97
Sharma, Devender M, 2018, Pathophysiology of Tuberculosis : An Update Review,
Pharmatutor Vol 6 No 2

Werdhani, Sri Retno____, Patofisiologi, Diagnosis, dan Klafisikasi Tuberkulosis,


Departemen Ilmu Komunitas, Okupasi, dan Kelaurga, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai