Anda di halaman 1dari 21

Sindrom Kardiorenal

Sampel darah pasien anak perempuan umur 5 tahun dikirim dari bagian

anak RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 17 Februari 2015 jam 14.30 WIB

ke laboratorium sentral dan IGD untuk pemeriksaan laboratorium hematologi dan

kimia klinik.

Anamnesis

Anak perempuan berumur 5 tahun masuk IGD RSUP. Dr. M Djamil

dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah berat sejak satu hari yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang

Pasien merupakan kiriman dari spesialis anak di RS swasta Bukittinggi

dengan keterangan sindrom nefrotik dengan keluhan sesak nafas semakin

bertambah sejak satu hari yang lalu. Awalnya sesak nafas sudah dirasakan sejak 6

hari yang lalu. Sesak tidak berbunyi menciut dan tidak dipengaruhi oleh cuaca dan

makanan.

Batuk sejak 10 hari yang lalu, berdahak dan tidak disertai pilek. Demam

tidak ada, kejang tidak ada. Pasien tampak sembab sejak 7 hari yang lalu, awalnya

tampak di kelopak mata kemudian terus bertambah ke seluruh tubuh. Pasien

tampak pucat sejak 7 hari yang lalu, riwayat perdarahan kulit, hidung dan gusi

tidak ada. Anak kurang mau makan sejak sakit.

Buang air kecil terakhir tiga jam yang lalu, jumlah cukup, warna kuning

keruh. Riwayat buang air kecil seperti cucian daging tidak ada, riwayat keluar

batu tidak ada.

Riwayat penyakit dahulu

1
Pasien telah dikenal menderita penyakit sindrom nefrotik sejak usia 3

tahun oleh spesialis anak di Bukittinggi, dirawat selama 20 hari di RS swasta

Bukittinggi dan memperoleh obat prednison, catopril, furosemid dan calnic.

Kemudian pasien dibolehkan pulang dan kontrol teratur setiap bulan. Terakhir

kontrol 7 bulan yang lalu dan obat dihentikan sendiri oleh ibu pasien.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal atau keluhan

seperti ini.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan

Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, lahir spontan, ditolong

bidan dan cukup bulan dengan berat badan lahir 3600gr, panjang lahir 50 cm,

langsung menangis. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Higiene dan sanitasi

lingkungan baik.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum: sangat berat Kesadaran: sadar

Tekanan darah: 120/70 mmHg Nadi: 120x/menit

Suhu: 36,80C Pernafasan: 42 x/menit

Berat badan: 16 kg Tinggi badan: 95 cm

Sianosis: tidak ada

Edema: ada

Anemis: tidak ada

Ikterus: tidak ada

Kulit Teraba hangat

Leher Tidak teraba perbesaran kelenjer getah bening

2
Kepala Bulat, simetris

Rambut Hitam, tidak mudah rontok

Mata Edema palpebra +/+

Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Pupil isokor,reflek cahaya +/+ normal

Telinga Tidak ditemukan kelainan

Hidung Nafas cuping hidung tidak ada

Tenggorokan Tonsil T2-T2 hiperemis

Faring hiperemis

Gigi dan mulut Mukosa bibir dan mulut basah

Leher JVP 5-2 cm H2O

Dada Paru

Inspeksi :Normochest, simetris, retraksi epigastrium

Palpasi :Fremitus kiri kanan

Perkusi :Sonor kiri kanan

Auskultasi :Vesikuler, rhonki kasar +/+, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi :Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi :Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi :Batas jantung atas RIC II, kanan: linea

sternalis dexstra, kiri : 1 jari medial LMCS

RIC V.

Auskultasi :Irama teratur, bising tidak ada

Perut Inspeksi :Distensi tidak ada

3
Palpasi :Hepar teraba ½- 1/3, pinggir tumpul,

permukaan rata, konsistensi kenyal.

Lien tidak teraba, undulasi (+)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung Tidak ditemukan kelainan

Alat kelamin edema labia +/+

Anus colok dubur tidak dilakukan

Anggota gerak Akral hangat, refilling kapiler baik

Reflek fisiologis +/+

Reflek patologis -/-

Edema pretibia +/+

Hasil pemeriksaan laboratorium:

Hematologi 17/02/2015
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 4,9 g/dL 10,2-15,2
Hematokrit 15 % 34-48
Leukosit 39 103/mm3 5-17
Eritrosit 1,91 106/mm3 4-5,2
Trombosit 622 103/mm3 150-450
Hitung jenis leukosit
Basofil 0 % 0-2
Eosinofil 0 % 1-3
Netrofil batang 3 % 2-6
Netrofil segmen 75 % 50-70
Limfosit 16 % 20-40
Monosit 6 % 2-8
Retikulosit 2,8 % 0,5-1,5

Sediaan hapus darah tepi:

Eritrosit: Anisositosis normokrom, hipokrom (+), sel cigar (+), sel burr (+).

Leukosit: Jumlah meningkat dengan netrofilia shift to the right.

4
Trombosit: Jumlah meningkat, morfologi normal

Kesan: anemia berat, normositik normokrom, leukositosis dengan netrofilia shift

to the right dan trombositosis.

Kimia Klinik 17/02/2015


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
Glukosa sewaktu 353 mg/dL <200
Ureum 183,4 mg/dL 10-50
Kreatinin 3,6 mg/dL 0,6-1,1
Kalsium 4,2 mg/dL 8,1-10,4
Natrium serum 136 mmol/L 136-145
Kalium serum 6,3 mmol/L 3,5-5,1
Klorida serum 112 mmol/L 97-111
Total protein 3,5 g/dL 6,6-8,7
Albumin 1,3 g/dL 3,8-5,0
Globulin 2,2 g/dL 1,3-2,7
SGOT 57 u/L <32
SGPT 33 u/L <31

Pemeriksaan laju filtrasi glomerolus anak (LFG):

Tinggi badan : 95 cm

LFG : 14 mL/mnt/1,73m2

Kalsium (konversi dengan hipoalbumin): 6,36 mg/dL

Kesan: Hiperglikemia, hiperkalemia, peningkatan ureum dan kreatinin,

peningkatan SGOT, hipoproteinemia, hipoalbuminemia dan gagal ginjal.

Resume: Anemia berat, normositik normokrom, leukositosis dengan netrofilia

shift to the right dan trombositosis. Hiperglikemia, hiperkalemia, peningkatan

ureum dan kreatinin, peningkatan SGOT, hipoproteinemia dan hipoalbuminemia.

Kesimpulan: Penyakit ginjal kronik stadium 5 ec sindrom nefrotik (SN)

Anemia berat ec penyakit ginjal kronik

Tonsilofaringitis akut

Anjuran:

5
Urinalisis Magnesium serum

Kultur darah Fe serum, TIBC

Analisis gas darah Ferritin

PT/aPTT

17 Februari 2015 jam 18.00

Keadaan umum :pasien bertambah buruk, gelisah dan nafas sangat sesak

Pemeriksaan fisik :akral dingin

Tekanan darah : tidak terukur

Nadi : cepat, halus 250x/menit

Nafas : 48x/menit

EKG : ventrikel takikardi

Kesan : ventrikel takikadi

Konsultasi kardiologi

Anjuran pemeriksaan ekokardiografi

Urinalisis (18/2/2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Makroskopik
Warna Kuning muda

6
Kekeruhan Negatif
BJ 1,020 1,003-1,030
pH 5,5 4,6-8,0
Mikroskopik
Leukosit 1-2/LPB ≤5
Eritrosit 0-1/LPB ≤1
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Epitel + gepeng Positif
Kimia
Protein +3 positif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Positif Positif

Kesan: Proteinuria

Kimia klinik (18/2)


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
Ureum 176 mg/dL 10-50
Kreatinin 4,6 mg/dL 0,6-1,1
Kolesterol total 420 mg/dL <200

Kesan: Peningkatan ureum dan kreatinin, hiperkolesterolemia

Analisis gas darah 17/02/2015


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
pH 6,90 7,37-7,43
2
pCO 16 mmHg 36-44

7
pO2 64 mmHg 92-96
Na+ 134 mmol/L 135-145
K+ 5,5 mmol/L 3,5-4,5
Ca+2 0,21 mmol/L 1,12-1,32
Hct 15 % 36-38
0
Temp-corrected C
pH(T) 6,90 7,37-7,43
pCO2(T) 16 mmHg 36-44
pO2(T) 63 mmHg 92-96
HCO3- 3,1 mmol/L 22-26
HCO3std 3,0 mmol/L
TCO2 3,6 mmol/L
Beecf -29,8 mmol/L
BE(B) -28,4 mmol/L ±2
SO2c 70 % 95-100
THbc ---- g/dL
THb g/dL

Kesan: Asidosis metabolik berat

Tinjauan pustaka

Sindrom Kardiorenal

8
Definisi

Sindrom kardiorenal (cardiorenal syndrom/ CRS) merupakan kumpulan

kelainan fungsi jantung dan ginjal dimana apabila terdapat disfungsi akut atau

kronis salah satu organ akan menyebabkan disfungsi pada organ lainnya (Ronco et

al., 2010).

Epidemiologi

The Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE)

menunjukkan lebih dari 100.000 pasien gagal jantung, hampir sepertiganya

memiliki riwayat disfungsi ginjal (Adams et al., 2005). Penelitian European

Society of Cardiology – Heart Failure (ESC-HF) tahun 2010 pada 5000 pasien

gagal jantung menunjukkan 26% pasien juga menderita disfungsi ginjal kronis

(Magioni et al., 2010).

Penelitian oleh National Institutes of Health, 44% kematian pasien gagal

ginjal stadium akhir disebabkan oleh penyakit kardiovaskular (National Institutes

of Health, 1997). Penyakit kardiovaskular menyebabkan 50% dari seluruh

kematian pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK), 10-20 kali lipat lebih tinggi

daripada pasien non-PGK seusianya (Cruz dan Bagshaw, 2010).

Sebesar 70% anak dengan PGK berkembang menjadi end stage renal

disease (ESRD) sebelum usia 20 tahun. Anak dengan ESRD memiliki 10-year

survival rate 80% dan angka mortalitas 30 kali dibandingkan anak tanpa ESRD.

Penyebab kematian pada anak-anak tersebut paling sering akibat penyakit

kardiovaskular, yang diikuti oleh penyakit infeksi.

Klasifikasi

9
Sindrom kardiorenal diklasifikasi dalam 5 kategori:

Tabel 1. Klasifikasi Sindrom Kardiorenal


Tipe Nama Mekanisme
Tipe I Sindrom kardiorenal akut Fungsi jantung yang tiba-tiba memburuk
menyebabkan kerusakan ginjal akut.
Tipe II Sindrom kardiorenal kronis Kelainan kronis fungsi jantung
menyebabkan yang bersifat progresif
dan berpotensi penyakit ginjal permanen
Tipe III Sindrom renokardio akut Fungsi ginjal yang tiba-tiba memburuk
menyebabkan gangguan jantung akut
Tipe IV Sindrom renokardio kronis Penyakit ginjal kronis yang
berkontribusi menyebabkan penurunan
fungsi jantung
Tipe V Sindrom renokardio sekunder Kondisi sistemik yang menyebabkan
disfungsi jantung dan ginjal
(Ronco et al., 2008)

Gambar 1.1 Tipe Sindrom Kardiorenal yang Saling Berhubungan


(Ronco et al., 2010)

Patofisiologi

Mekanisme yang mengarah pada peningkatan risiko komplikasi

kardiovaskular pada pasien PGK belum sepenuhnya diketahui, terdapat saling

10
ketergantungan antara kedua sistem organ tersebut. Patofisiologi CRS melibatkan

interaksi kompleks antara perubahan hemodinamik, termasuk penurunan perfusi

ginjal, peningkatan tekanan vena dan aktivasi beberapa sistem neurohormonal

(Ronco et al., 2010).

Respons ginjal terhadap gangguan laju filtrasi glomerulus (glomerular

filtration rate/GFR) dapat menyebabkan aktivasi beberapa jalur kompensasi

termasuk peningkatan regulasi jalur renin-angiotensin-aldosteron (Raas) dan

sistem saraf simpatik serta aktivasi jalur kalsium-paratiroid (Tumlin JA et al.,

2013).

Aktivasi jalur Raas akibat berkurangnya tekanan perfusi merupakan

mekanisme perlindungan terhadap keadaan berbahaya, apabila dirangsang secara

kronis (jantung dan ginjal) dapat mengakibatkan kerusakan fungsi yang berat pada

kedua sistem organ ini. Renin dihasilkan oleh aparatus juxtaglomerular ginjal dan

mengkatalisis angiotensinogen I menjadi angiotensinogen II, yang kemudian

berubah menjadi angiotensin II (Ang II) oleh angiotensin-converting enzyme.

Angiotensin II memiliki banyak dampak negatif pada sistem kardiovaskular

pasien gagal jantung, karena dapat mengaktifkan aldosteron sehingga

mengakibatkan retensi Na/H2O yang akan meningkatkan preload.

Angiotensin II mengaktifkan sympathetic nervous system (SNS) menimbulkan

vasokonstriksi sehingga afterload juga meningkat sehingga ini akan

meningkatkan O2 demand jantung dan mengakibatkan gagal jantung (Shah dan

Greaves, 2011; Aronson, 2012).

Salah satu penelitian terpenting adalah peran Ang II dalam proses

inflamasi vaskular (Pueyo et al., 2000). Angiotensin II mengaktifkan enzim

11
NADPH oksidase pada sel endotel, sel otot polos vaskular, sel tubulus ginjal, dan

kardiomiosit (Fukai et al., 1996). Ini menyebabkan pembentukan reactive oxygen

species (ROS), terutama superoksida. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa

ROS bertanggung jawab atas proses inflamasi dan disfungsi organ progresif. Stres

oksidatif menyebabkan kerusakan DNA, protein, karbohidrat, dan lipid serta

terjadi pergeseran produksi sitokin proinflamasi seperti interleukin-1, interleukin-

6, dan tumor necrosis factor (TNF). Interleukin-6 juga merangsang fibroblast

sehingga terjadi peningkatan fibrosis jantung dan ginjal (Chabrashvili et al.,

2003).

CKD

Gambar 1.2 Ilustrasi Patofisiologi Sindrom Kardiorenal


(Shah dan Greaves, 2011)

Kejadian left venticle hypertrophi (LVH) dan arterosklerosis meningkat

pada pasien penyakit ginjal kronik dipengaruhi oleh aktivasi Raas dan overload

tekanan. Arteriosklerosis dan hipertensi meningkatkan hipertrofi miosit yang

mengakibatkan meningkatnya massa ventrikel kiri menyebabkan hipertrofi miosit,

12
ketebalan dinding yang meningkat ini akan mengurangi pemenuhan ventrikel dan

terjadi hipertrofi kompensasi lebih lanjut yang semakin memperberat LVH

(Tumlin et al., 2013).

Gejala klinis

Penderita PGK stadium 1-3 biasanya asimtomatik dan gejala klinis

biasanya baru muncul pada PGK stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang

progresif dapat menyebabkan gejala uremia (ensefalopati), akumulasi kalium

dengan gejala malaise hingga aritmia, gejala anemia, hipokalsemia (akibat

defisiensi vitamin D3), asidosis metabolik (Vogt dan Avner, 2004).

Penilaian klinis sangat bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium

dan ekokardiografi. Penyakit ginjal kronis dibagi dalam lima stadium yaitu:

Tabel 2.1 Stadium Penyakit Ginjal Kronik dan Rencana Tindakan


Stadium Gambaran Perkiraan LFG Rencana Tindakan
(mL/min/1,73
m2)
*
1 Kerusakan ginjal dg ≥ 90 Diagnosis dan obati PGK, obati
LFG normal atau kondisi komorbid, perlambat
meningkat progresi PGK, turunkan risiko
kardiovaskular
2 Kerusakan ginjal* dg 60 -89 Perkirakan progresi
penurunan LFG ringan
3 Penurunan LFG ringan 30 – 59 Evaluasi dan obati komplikasi
4 Penururan LFG berat 15 – 29 Persiapan untuk transplantasi ginjal
5 Gagal ginjal < 15 Transplantasi ginjal jika terjadi
uremia
(Baumgarten & Gehr, 2011)
PGK = penyakit ginjal kronik; LFG = laju filtrasi glomerulus; *-Diperlukan penanda kerusakan
ginjal untuk diagnosis PGK stadium 1 atau 2.

Diagnosis

Diagnosis CRS ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang tidak khas dan cenderung tidak

13
bergejala menjadikan hasil pemeriksaan laboratorium berperan penting dalam

menegakkan diagnosis (Aronson, 2012).

Pemeriksaan urinalisis awal dengan menggunakan tes dipstick dapat

mendeteksi dengan cepat adanya proteinuria. Pemeriksaan mikroskopis urin

dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari adanya sel darah

merah, sel darah putih, dan silinder. Sebagian besar anak dengan CKD memiliki

banyak silinder hyalin. Pemeriksaan ureum dan kreatinin sangat penting untuk

menentukan laju filtrasi glomerolus dan stadium penyakit ginjal kronis serta

dijadikan acuan untuk rencana terapi (Baumgarten & Gehr, 2011).

Pemeriksaan ekokardiogram berperan penting dalam mendiagnosis LVH,

disfungsi diastolik dan sistolik ventikel kiri, dan penilaian global prognosis

penyakit kardiovaskular. Kejadian LVH, infark miokardium dan arterosklerosis

meningkat pada pasien penyakit ginjal kronik dan penelitian menunjukkan bahwa

risiko komplikasi kardiovaskular ini meningkat seiring dengan menurunnya fungsi

ginjal secara progresif (Tumlin at al., 2013).

Pemeriksaan Asymmetric dimethylarginine (ADMA) dan atau N-terminal

pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP) sebaiknya dilakukan sebagai penanda

penyakit kardiovaskuler terutama pada pasien PGK yang berlanjut menjadi

sindrom kardiorenal. Penelitian Ravani 2005, menyatakan kadar ADMA

meningkat dihubungkan dengan peningkatan risiko ESRD dan kematian pada

pasien CKD. Penelitian Fu et al, menyatakan terdapat hubungan antara kadar NT-

proBNP dengan fungsi ginjal, kadar NT-proBNP yang tinggi berkorelasi dengan

LFG yang menurun. (Fu et al., 2013).

Diskusi

14
Pasien perempuan berumur 5 tahun masuk IGD RSUP. Dr. M Djamil

dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah berat sejak satu hari yang lalu,

dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien

didiagnosis dengan penyakit ginjal kronik stadium 5 et causa sindrom nefrotik.

Kriteria diagnosis penyakit ginjal kronik yaitu kelainan ginjal dalam waktu

3 bulan atau lebih dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)

(Suwitra, 2009). Sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi penyakit ginjal

tahap akhir (PGTA)/ end stage renal diseases (ESRD), rerata persentase

progresifitas SN menjadi PGTA dalam 5 tahun, 10 tahun dan 15 tahun antara lain

33%, 45% dan 63% (Prodjosudjadi, 2009). Prognosis SN serta progresifitasnya

menjadi PGTA tergantung pada etiologi SN itu sendiri. Sindrom nefrotik yang

disebabkan glomerulonefritis lesi minimal memiliki prognosis dan fungsi renal

yang lebih baik, sangat berbeda dengan SN yang disebabkan glomerulosklerosis

fokal segmental yang 25-30% pasiennya berkembang menjadi PGTA dalam 5

tahun (Safaei dan maleknejad, 2010). Pasien tidak dilakukan pemeriksaan biopsi

ginjal sehingga etiologi sindrom nefrotik tidak dapat ditentukan.

Pemeriksaan hematologi ditemukan keadaan anemia berat, leukositosis

dan trombositosis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan

pasien tampak pucat dengan konjungtiva yang anemis. Anemia sering dijumpai

pada pasien PGK yang dihubungkan dengan penurunan produksi eritropoietin

oleh ginjal yang sakit dengan gambaran normositik normokrom, selain itu

eritropoesis juga dipengaruhi oleh uremia yang menginhibisi pertumbuhan

multipotensial stem cell (colony-forming unit granulocyte-erythroid-macrophage-

megakaryocyte) menyebabkan depresi sumsum tulang. Sel burr pada sediaan

15
hapus darah tepi yang khas untuk pasien PGK yang dihubungkan dengan keadaan

uremia sehingga mengakibatkan rapuhnya membran eritrosit sehingga muncul

gambaran sel burr pada sediaan. Retikolositosis pada sediaan hapus darah tepi

juga disebabkan oleh uremia yang dialami pasien. Data menunjukkan bahwa

sekitar 50% dari pasien PGK stadium 3 atau 4 mengalami anemia (hemoglobin ≤

12 g / dL), dan prevalensi anemia meningkat menjadi 75% pada pasien PGK

stadium 5. Anemia dan PGK memiliki efek sinergis yang dapat meningkatkan

risiko penyakit kardivaskular. Levin.A et al menunjukkan setiap penurunan kadar

Hb 0,5 g/dl, akan meningkatkan resiko terjadinya pembesaran ventrikel kiri

sebesar 32%. Anemia menimbulkan kelainan pada struktur dan fungsi jantung dan

menyebabkan kematian sel jantung melalui penurunan suplai oksigen dan

peningkatan stres oksidatif, dikenal dengan cardiorenal anemia syndrom (Tarng,

2007).

Leukositosis dan trombositosis pada pasien ini dipengaruhi oleh PGK

yang dialaminya. Penyakit ginjal kronik menyebabkan pembentukan ROS yang

akan mengakibatkan inflamasi dan disfungsi endotel, yang akan mengakibatkan

peningkatan jumlah leukosit dengan distribusi nertrofilia shift to the right serta

peningkatan jumlah trombosit dan penanda inflamasi (Woods, 2009). Penelitian

Silverstein, 2009 sindrom kardiorenal pada anak terkait dengan inflamasi, dimana

dinding ventrikel kiri yang abnormal berhubungan secara positif dengan penanda

inflamasi, inflamasi pada PGK berefek merugikan pada perkembangan CRS.

Uremia mempengaruhi fungsi polimorfonuklear (PMN) dan limfosit

dengan menurunkan fungsi kemotaksis, aktivitas oksidatif pada fagositosis dan

daya bunuh bakteri intraseluler. Leukositosis pada pasien diperberat dengan

16
adanya tonsilofaringitis akut pada pasien, ini dapat meningkatkan progresivitas

PGK (Woods, 2009).

Pemeriksaan elektrolit pasien didapatkan hipokalsemia dan hiperkalemia,

hipokalsemia ini dipengaruhi oleh PGK yang mengakibatkan penurunan kadar

1,25 dihidroksivitamin D ini maka terjadi penurunan absorpsi kalsium di usus dan

menurunkan mobilisasi kalsium. Selanjutnya, fosfor ekstraselular yang berlebihan

berikatan dengan kalsium dan akan menurunkan kadar kalsium di dalam plasma.

Kondisi hipokalsemia merangsang sintesis dan sekresi hormon paratiroid (PTH)

yang secara bersamaan, kadar fosfor yang tinggi menginduksi hiperplasia kelenjar

paratiroid yang akan meningkatkan sintesis dan sekresi PTH sehingga

mengakibatkan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder (Polu & Singh, 2006).

Hiperkalemia pada PGK terjadi karena menurunnya kemampuan ginjal

mengekskresikan kalium menurun seiring dengan menurunnya kemampuan

filtrasi glomerulus. Stimulasi aldosteron dan peningkatan ekskresi intestinal

kalium merupakan mekanisme adaptif utama untuk mempertahankan homeostasis

kalium, selain itu penyebab utama hiperkalemia pada PGK adalah penggunaan

obat-obatan yang mengubah kemampuan ginjal mengekskresikan kalium seperti

ACE inhibitor (Arroyo, 2008).

Pemeriksaan kimia klinik pasien didapatkan hipoproteinemia,

hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, hiperglikemia, peningkatan SGOT serta

peningkatan ureum dan kreatinin. Keadaan hipoproteinemia, hipoalbuminemia

dan hiperkolesterolemia dihubungkan dengan PGK. Penelitian menunjukkan

timbulnya perubahan selektivitas dinding kapiler glomerulus merupakan

kombinasi hilangnya muatan listrik dan size-barier yang akan mengubah

17
permeabilitas dinding kapiler glomerulus sehingga menyebabkan peningkatan

filtrasi albumin dan protein bermolekul besar (Haraldsson et al, 2008). Ketika

barier muatan dan size barier pada dinding kapiler glomerulus rusak maka

albumin dan protein bermolekul besar lolos ke lumen tubulus menyebabkan

meningkatnya ekskresi protein di urine sehingga menimbulkan hipoproteinemia

dan hipoalbuminemia (D’amico dan Bazzi, 2003). Hipoalbuminemia ini

mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi edema pada

pasien ini.

Hiperkolesterolemia disebabkan oleh peningkatan sintesis lipid di hepar

dan penurunan katabolisme di perifer. Peningkatan sintesis ini distimulasi oleh

penurunan tekanan onkotik plasma serta berkurangnya aktivitas enzim LCAT

(lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi dalam katalisasi

pembentukan HDL dan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk

dikatabolisme (Safaei dan Maleknejad, 2010). Keadaan hiperkolesterolemia ini

memperberat sindrom kardiorenal pasien ini. Hiperglikemia pada pasien terjadi

karena pemakaian obat kortikosteroid jangka lama yang dapat meningkatkan

glukoneogenesis dan menurunkan sensitivitas insulin (Soewoto, 2009).

Peningkatan ureum dan kreatinin dihubungkan dengan penyakit ginjal

kronik yang dialami pasien. Penyakit ginjal kronik menyebabkan

penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga urea dan kreatinin meningkat dalam

darah. Uremia juga akan menyebabkan inflamasi kronik dan meningkatkan stress

oksidatif serta mempercepat fibrosis jantung yang akan memperberat PGK dan

berlanjut menjadi sindrom kardiorenal (Amin et al., 2014). Peningkatan kadar

18
serum glutamik oksaloasetat transaminase (SGOT) diperkirakan karena adanya

kerusakan otot jantung akibat PGK yang berlanjut menjadi sindrom kardiorenal.

Asidosis metabolik dikaitkan dengan perburukan fungsi ginjal pada pasien

PGK, ini disebabkan karena gangguan sintesis bikarbonat sehingga terjadi

penurunan bikarbonat (HCO-3) akibat berkurangnya kemampuan ginjal untuk

mensintesis ammonia (NH3) dan penurunan pH darah akibat retensi ion H+ oleh

ginjal (Ortega dan arora, 2012).

Pemeriksaan besi serum (serum iron /SI) dan ferritin bertujuan untuk

menegakkan diagnosis defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien PGK serta

untuk kepentingan terapi. Pemeriksaan PT dan aPTT dianjurkan pada pasien ini

untuk melihat adanya gangguan koagulasi yang terjadi akibat peningkatan sintesis

protein faktor pembekuan oleh hati sebagai respons proteinuria yang terjadi yang

dapat memicu keadaan hiperkoagulabel pada pasien (Prodjosudjadi, 2009).

Pemeriksaan magnesium (Mg) sebaiknya dilakukan karena adanya gangguan

irama jantung pada pasien ini.

Kemungkinan terjadi hiperparatiroid sekunder pada PGK dapat dipantau

dengan pemeriksaan fosfor serum dan hormon PTH. Pasien mengalami

komplikasi PGK yaitu sindrom kardiorenal tipe 4 tetapi ekokardiogram belum

sempat dilakukan. Keadaan klinis pasien semakin memburuk dan pasien akhirnya

meninggal karena syok kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA

19
Adams Jr, Fonarow C, Emermanetal L, 2005. “Characteristics and outcomes of
patients for heart failure in the United States: rationale, design and
preliminary observations from the first 100,000 cases in the Acute
Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE)”. In:
American Heart Journal, vol. 149, h. 209–216.
American Academy of Pediatrics, 2003. National Kidney Foundation’s Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease in Children and Adolescents: Evaluation,
Classification, and Stratification. Pediatrics; 111: 1416-20.
Amin N, Mahmood RT, Asad MJ, Zafar M, and Raja AM, 2014.” Evaluating Urea
and Creatinine Levels in Chronic Renal Failure Pre and Post Dialysis: A
Prospective Study”. In: Journal Of Cardiovascular Disease. h 1-4
Arroyo A, 2008.” Electrolyte and acid-base balance disorders in advanced chronic
kidney disease”. Nefrologia. 2008;28 Suppl 3:87-93
Aronson D, 2012.” Cardiorenal syndrom in Acute decompensated heart failure”.
In: Expert rev cardiovasc ther. h 177-89
Baumgarten M, Gehr T, 2011. Chronic Kidney Disease: Detection and Evaluation.
American Family Physician. Vol 84. 1138-47
Chabrashvili T, Kitiyakara C, Blau J, 2003. “Effects of ANG II type 1 and 2
receptors on oxidative stress, renal NADPH oxidase, and SOD
expression,” In: Am j of Physiology Regulatory Integrative and
Comparative Physiology, vol. 285, no. 1, h 117-24.
Cruz D, Bagshaw S, 2010.” Epidemiology of Cardiorenal syndrome”. In: Int J
Nephro Vol 2011, h:1-12
D’amico G and Bazzi C, 2003.”Pathophysiology of proteinuria”. In: Kidney
international. H 809-25
Fu S, Luo L, Ye P, Yi S, Liu Y, Zhu B et al, 2013.”The ability of NT-ProBNP to
detect chronic heard failure and predict all cause mortality is higher in
elderly chinese coronary artery diseases patients with cronic kidney
diseases”. In: J Clinical intervention in aging. h 409-17
Maggioni AP, Dahlström U, Filippatos G, Chioncel O, Leiro MC, Drozdz J et al,
2010. “Heart Failure Association of ESC (HFA). EURObservational
Research Programme: the Heart Failure Pilot Survey (ESC-HF Pilot)”.
Eur J Heart Fail h: 1076-1084.
National Institutes of Health, 1997. “National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney diseases”. In: Annual Data Report, USRDS, Bethesda, Md,
USA.
Ortega LM dan Arora S, 2012.” Metabolic acidosis and progression of chronic
kidney disease: incidence, pathogenesis, and therapeutic options”. In:
Nefrologia ;32(6). h:724-30
Polu KR &Singh AK, 2006. Pathogenesis and Management of Secondary
Hyperparathyroidism. Calcium And Phosphate Metabolism Management In
Chronic Renal Disease. Ed Hsu CH. Springer. New York. 29-70.
Prodjosudjadi W, 2009.” Sindrom nefrotik”. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
ed 5 jilid II. h 1035-40
Pueyo ME, Gonzalez W, Nicoletti A, Savoie F, Arnal JF, and Michel JB., 2000
“Angiotensin II stimulates endothelial vascular cell adhesion molecule-1

20
via nuclear factor-κB activation induced by intracellular oxidative stress,”
Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology vol.20,no.3, h 645–51.
Quiros, 2005.” Study of biosied nephrotic syndrome for 20 years in the cadiz bay
area”. In: Nefrologia ed 25. h: 233-67
Ravani P, 2005.”Asymmetrical dimethylarginine predict progression to dialysis
and death in patients with chronic kidney disease. J. Am Soc Nephrol. Vol
16. h 2449-55
Ronco C, Costanzo MR, Bellomo R, Maisel AS, 2010 . “Fluid Overload:
Diagnosis and Management”, illustrated edition. Basel, Switzerland:
Karger Publishers; h 33-8.
Ronco C, Haapio M, House AA, 2008. “Cardiorenal syndrome”. In: J Am Coll
Cardiol Vol ; 52(19), h: 1527-39.
Ronco C, McCullough P, Anker SD, 2010.”Cardio-renal syndrom: report from
consensus confrence of the acute dialysis quality initiative. In: Eur. Heart
J. 31. H 703-11
Safaei AA dan Maleknejad S, 2010. “Clinicaland laboratory findings and
therapeutic responses in children with syndrom nefrotic”. In: Ind j
Nephrol. H 68-77
Shah BN dan Greaves K, 2011.”The cardiorenal Syndrome”. In: Int J Nephrology
h 1-11
Silverstein DM, 2009.”Inflammation in chronic kidney disease: role in the
progression of renal and cardiovascular disease”. J Pediatr Nephrol.
Aug;24(8):1445-52
Soewoto H, 2009.”Hormon yang berperan dalam metabolism”. In: Dep Biokimia
dan biologi molekuler FKUI. h 1-59
Suwitra K, 2009.”Penyakit ginjal kronik”. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed
5 jilid II. h 999-1003
Tarng DC, 2007.” Cardiorenal anemia syndrome in cronic kidney diseases”. In: J
Chin Med Assoc vol 70. h 424-9
Tumlin JA, Costanzo MR, Chawla LS, Herzog CA, Kellum JA, McCullough PA
et al., 2013.” Cardiorenal syndrome type 4”. In: Consensus conference of
ADQI. H 158-73
Ushio-Fukai M, Zafari AM, Fukui T, Ishizaka N, and Griendling KK., 1996
“p22(phox) is a critical component of the superoxide-generating
NADH/NADPH oxidase system and regulates angiotensin II-induced
hypertrophy in vascular smooth muscle cells,” Journal of Biological
Chemistry,vol. 271, no. 38, h 23317-21.
Woods HF, 2009.”Inflamation and oxidative stress in renal patient”. In: Advanced
renal education program. H 1-27

21

Anda mungkin juga menyukai