Instalasi farmasi di sebuah rumah sakit merupakan komponen penting yang tidak bisa terlepas
dari eksistensi rumah sakit itu sendiri. Menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014, Instalasi
Farmasi adalah bagian dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi pada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi
klinik. Terdapat beberapa faktor pendukung yang dapat mempengaruhi pelayanan kefarmasian
di rumah sakit, yaitu :
1. Sumber daya kefarmasian, berupa sumber daya manusia, peralatan dan sarana yang
digunakan. Menurut Permenkes No.58 Tahun 2014, Instalasi Farmasi harus memiliki
sumber daya manusia paling tidak seorang Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan
tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2. Penyusunan organisasi yang berorientasi pada keselamatan pasien, Penyusunan
organisasi yang dimaksud adalah sebuah penyusunan yang dilakukan agar sasaran
utama yaitu keselamatan pasien tercapai.
3. Standar prosedur operasional yang dapat membandingkan risiko yang telah dianalisis.
Analisis sumber daya manusia pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit diperlukan karena
pelayanan dalam instalasi rumah sakit tidak akan terlepas dari Sumber Daya Manusia yang
menjalankannya, hal tersebut dapat mempengaruhi mutu pelayanan sehingga Kualitas SDM
harus terjamin. Selain itu terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan saat pemilihan
SDM, yaitu : Kualifikasi SDM, Persyaratan SDM, Beban Kerja dan Kebutuhan.
SDM yang dibutuhkan dalam suatu Instalasi Farmasi Rumah Sakit secara garis besar dibagi
menjadi 2, yaitu :
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan administrasi sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Instalasi Farmasi Rumah Sakit dikepalai oleh
seorang Apoteker Penanggung Jawab, yang diutamakan adalah apoteker yang telah memiliki
pengalaman bekerja dalam IFRS selama tiga tahun. Tenaga teknis kedarmasian yang
melakukan pelayanan kefarmasian harus di bawah supervisi apoteker.
Beban Kerja adalah sejumlah proses atau kegiatan yang harus diselesaikan oleh seorang
pekerja dalam jangka waktu tertentu. Dalam sebuah Instalasi Farmasi Rumah Sakit, terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perhitungan beban kerja, yaitu :
- Kapasitas Rumah Sakit kapasitas dari sebuah rumah sakit akan mempengaruhi
beban kerja dari SDM yang ada, semakin besar kapasitas dari rumah sakit tersebut,
maka semakin berat juga beban kerja yang ditanggung oleh SDM. Salah satu cara untuk
menanggulangi permasalahan mengenai kapasitas rumah sakit adalah terdapat
keseimbangan jumlah SDM yang diadakan dan kapasitas rumah sakit agar beban kerja
yang diterima SDM masih terdapat dalam porsi yang pas.
- Kegiatan Farmasi yang dilakukan terdapat banyak jenis kegiatan kefarmasian yang
dilakukan dalam IFRS dan masing – masing kegiatan tersebut harus dilakukan oleh
orang – orang yang kompeten dan profesional dalam bidangnya tersebut.
- Jumlah Resep perhari jumlah resep perhari merupakan salah satu tolak ukur akan
kesuksesan suatu Instalasi Farmasi di Rumah Sakit, hal ini juga akan mempengaruhi
beban kerja para SDM di IFRS, semakin banyak resep yang diterima maka beban kerja
yang ditanggung makin besar.
- Volume perbekalan Farmasi Perbekalan farmasi yang terdapat dalam suatu IFRS
akan mempengaruhi beban kerja, apabila perbekalan farmasi dalam suatu IFRS sedikit,
maka beban kerja yang dirasakan SDM akan lebih berat karena mereka harus
mempersiapkan segala sesuatu yang belum dipersiapkan.
Beban Kerja juga dapat dihitung berdasarkan kelas/kategori perawatan di Rumah Sakit dan
biasanya sudah diatur sedemikian rupa agar beban kerja yang diberikan tidak memberatkan
misalnya :
Selain itu juga, menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014 bahwa staf dan pekerja dalam IFRS
harus di dalam sebuah badan organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar
pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan RS dan di revisi setiap 3 tahun.
DEFINISI
Menurut beberapa pendapat para ahli, evaluasi kinerja dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Evaluasi kinerja merupakan sistem formal yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja
pegawai secara periodik yang ditentukan oleh organisasi (Surya Dharma, 2010).
2. “Performance appraisal is a formal management sistem that provides for the evaluation of
the quality of an individual’s performance in organization” (Dick Grote, 2002), atau yang
diterjemahkan menjadi evaluasi kinerja adalah sistem manajemen formal yang disediakan
untuk evaluasi kualitas kinerja individu pada sebuah organisasi.
3. “Performance appraisal (PA) is a sistem of revieu and evaluation of an individual’s or
team’s job performance” (R. Wayne Mondy et al, 2002), atau yang artinya evaluasi kinerja
adalah proses evaluasi atau memutuskan bagaimana seseorang difungsikan.
Dari pendapat para ahli manajemen tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa evaluasi kinerja
(performance appraisal), adalah suatu sistem evaluasi formal dari suatu organisasi yang
digunakan untuk menilai kinerja individu (karyawan) dalam suatu periode tertentu yang sudah
ditetapkan, (umumnya setahun sekali) dengan cara membandingkannya dengan standar kinerja
yang sudah disepakati dan ditentukan lebih dahulu.
Evaluasi kinerja menurut Ivan Cevih (1992) sebagaimana dikutip Surya Dharma mempunyai
tujuan antara lain:
1. Pengembangan, dapat digunakan untuk menentukan pegawai yang perlu di-training dan
membantu evaluasi hasil training. Dan juga dapat membantu pelaksanaan konseling antara
atasan dan bawahan, sehingga dapat dicapai usaha-usaha pemecahan masalah yang
dihadapi pegawai.
2. Pemberian reward, dapat digunakan untuk proses penentuan kenaikan gaji, insentif, dan
promosi. Beberapa organisasi juga menggunakannya untuk pemberhentian pegawai.
3. Motivasi, dapat digunakan untuk memotivasi pegawai, mengembangkan inisiatif, dan rasa
percaya diri dalam bekerja.
4. Perencanaan SDM, dapat bermanfaat bagi pengembangan keahlian dan keterampilan,
serta perencanaan SDM.
5. Kompensasi, dapat memberikan informasi yang akan digunakan untuk menentukan apa
yang harus diberikan kepda pegawai yang berkinerja tinggi atau rendah dan bagaimana
prinsip pemberian kompensasi yang adil.
6. Komunikasi, evaluasi merupakan dasar untuk komunikasi yang berkelanjutan antara
atasan dan bawahan menyangkut kinerja pegawai.
Sedangkan, evaluasi kinerja dilihat dari perspektif pengembangan perusahaan atau
pengembangan SDM pada umumnya mempunyai kegunaan, diantaranya:
METODE PENILAIAN
1. Rating scale
Evaluasi didasarkan pada pendapat penilai dengan membandingkan hasil pekerjaan
karyawan dengan faktor-faktor yang dianggap penting bagi pelaksanaan pekerjaan
karyawan tersebut.
2. Checklist
Penilai memilih kalimat-kalimat atau kata-kata yang mengambarkan prestasi kerja dan
karakteristik karyawan. Untuk menjaga akurasi penilaian tanpa sepengetahuan penilai
Departemen Personalia (SDM) bisa saja memberikan bobot yang berbeda dengan yang
diberikan penilai, sehingga dampak pengaruh bias penilai dapat dikurangi.
3. Metode Peristiwa Kritis
Metode penilaian yang mendasarkan pada catatan-catatan penilai yang menggambarkan
perilaku karyawan sangat baik atau sangat jelek dalam hubungannya dengan pelaksanaan
pekerjaan. Catatan ini disebut peristiwa kritis. Berbagai peristiwa kritis tersebut dibuat oleh
penyelia atau oleh atasan langsung karyawan yang bersangkutan.
4. Grading (Forced distributions)
Penilaian dengan cara memisah-misahkan atau menyortir para karyawan ke dalam berbagai
klasifikasi yang berbeda. Biasanya suatu proporsi tertentu diletakkan pada setiap kategori.
5. Point Allocation Method
Penilai diberikan sejumlah nilai total untuk dialokasikan di antara para karyawan dalam
kelompok. Karyawan yang lebih baik diberi nilai lebih besar dari pada karyawan yang
prestasinya jelek.
Sistem penilaian prestasi kerja/evaluasi kinerja ialah proses untuk mengukur prestasi kerja
karyawan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran
(hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah
ditetapkan selama periode tertentu. Standar pekerjaan tersebut dapat dibuat baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Penilaian kinerja atau dapat pula disebut dengan evaluasi kinerja merupakan suatu sistem
yang terdiri dari beberapa aspek yang meliputi:
a. Pihak penilai
b. Pihak yang dinilai
c. Aspek-aspek yang dikenai penilaian
d. Standar penilaian
e. Metode evaluasi
f. Form penilaian atau formulir
g. Dampak hasil penilaian
h. Periode penilaian
Yang dimaksud dengan pihak penilai biasanya adalah atasan langsung, akan tetapi dapat
pula dilaksanakan oleh suatu tim penilai yang telah ditunjuk atau diberi wewenang untuk
melaksanakan evaluasi kinerja. Dengan menggunakan tim hasil penilaian diharapkan dapat
lebih obyektif bila dibandingkan dengan satu orang penilai saja, karena dihindarkannya
pengaruh like and dislike yang sering terjadi. Penilaian hendaknya mengacu pada aspek-aspek
yang berhubungan dengan pekerjaan karyawan sehingga hasil penilaian dapat bermanfaat bagi
pengembangan karyawan khususnya perbaikan prestasi kerjanya. Untuk itu, peranan standar
pekerjaan sangat penting dalam proses penilaian dan evaluasi SDM.
Standar Pekerjaan
Standar kinerja perlu memenuhi persyaratan berikut agar dapat digunakan sebagai tolak
ukur dalam mengukur kinerja karyawan.
Diatur oleh Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 857 Tahun 2009. Adapun
tujuan dari KMK ini adalah:
Hasil dari proses penilaian dapat dijadiakan sebagai bahan evaluasi untuk Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan sebagai dasar
pemberian penghargaan non finansial maupun fiansial.
B. Administrasi Keuangan
Pentingnya perencanaan anggaran, yaitu:
1. Persiapan petugas dalam menjadwalkan sumber daya yang ada
2. Pengendalian kegiatan, apakah sesuai dengan perencanaan
3. Evaluasi, sejauh mana ketercapaian yang diperoleh
Anggaran penerimaan akan menggambarkan target yang harus diperoleh untuk
keberlangsungan RS maka diperlukan pengendalian dan evaluasi (Boy, 2004).
C. Administrasi Kepegawaian
Meliputi bagaimana proses penerimaan pegawai, penempatan pegawai, kompensasi
pegawai, pengembangan mutu dan karier pegawai hingga berakhirnya masa kerja. Menurut
SK Menteri Kesehatan RI No.983/Menkes/SK/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit Umum, memang telah ditetapkan adanya subbagian kepegawaian yang berada
dibawah bagian sekertariat. Bagian ini mempunyai tugas menyiapkan analisis kebutuhan
pegawai, pengadaan pegawai, mutasi pegawai, tata usaha kepegawaian, analisis jabatan,
analisis organisasi dan ketatalaksanaan. (Tjandra, 2004).
Mengenai perawat dan rumah sakit, perawat mempunyai peran dalam membantu individu,
keluarga dan kelompok untuk mencapai potensi optimalnya di bidang fisik, mental dan
sosial dalam ruang lingkup kehidupan dan pekerjaannya. Perawat harus mampu untuk
melakukan upaya promosi dan pemeliharaan kesehatan serta mencegah terjadinya
penyakit. Pelayanan keperawatan mempunyai lima tugas( Tjandra : 2004):
a. Melakukan kegiatan promosi kesehatan, termasuk kesehatan emosional dansosial
b. Melakukan upaya pencegahan penyakit dan kecacatan
c. Menciptakan keadaan lingkungan, fisik, kognitif dan emosional untuk
proses penyembuhan penyakit
d. Berupaya meminilamisi akibat uruk penyakit.
e. Mengupayakan kegiatam rehabilitasi.
D. Administrasi Logistik
Logistik berperan dalam menyediakan barang/bahan yangdibutuhkan untuk
operasional rumah sakit, kualitas dan pada waktu yang tepat dan mutu yang memadai.
Kegiatan logistik memiliki tiga tujuan yaitu tujuan operasional agar tersedinya barang,
tujuan keuangan meliputi upaya kesehatan operasional dengan biaya serendah-rendahnya.
Sementara itu tujuan keamanan agar persediaan tidak terganggu karena kerusakan,
pemborosan, serta penggunaan yang tidak wajar. Ada lima komponen penting dalam
sistem logistik yaitu struktur lokasi fasilitas, transportasi, persdiaan, komunikasi dan
penyimpanan. (Tjandra, 2004).
Manajemen sumber daya manusia adalah pendekatan strategis dan koheren terhadap
manajemen dari aset paling penting suatu organisasi, yaitu manusia yang bekerja secara individu dan
kolektif berkontribusi dalam pencapaian dari objektif (Armstrong, 1977). Dalam suatu organisasi,
terdapat berbagai macam sumber daya seperti uang, teknologi, dan lainnya untuk menghasilkan
produk barang atau jasa. Elemen paling penting dalam sumber daya tersebut adalah manusia atau
sumber daya manusia (SDM). Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan alat manajerial
untuk merencanakan, mengelola, dan mengendalikan sumber daya manusia (Priyono, 2010). MSDM
dapat dipahami sebagai proses dalam organisasi atau sebagai suatu kebijakan (policy). Sebagai suatu
proses, Cushway (1994:13) mendefinisikan MSDM sebagai bagian dari proses yang membantu
organisasi mencapai tujuannya. Menurut Stoner (1995:4), MSDM meliputi penggunaan SDM secara
produktif dalam mencapai tujuan organisasi dan pemuasan kebutuhan pekerja secara individual.
Proses Umum:
1. Selection, berkaitan dengan penyediaan staf dan pekerja yang akan mengisi berbagai formasi
pekerjaan dan jabatan dalam organisasi yang sesuai.
2. Appraisal, yaitu penilaian pekerjaan setelah pekerja telah ditempatkan pada pekerjaan untuk
menentukan dan menilai kualitas kerja.
3. Rewards, yaitu untuk memotivasi pekerja dapat berupa upah, gaji, ataupun penghargaan.
4. Development, yaitu pengembangan SDM, dapat berupa pendidikan, pelatihan, dan program
pengembangan lainnya. Umumnya diarahkan pada pencapaian penguasaan keahlian (skills),
pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability) dan diarahkan sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan organisasi.
Definisi organisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesatuan (susunan
dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan
dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Dapat dikatakan juga bahwa organisasi adalah sarana
unutk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama. Mengacu pada pendekatan
rasional melalui pengeloaan sumber daya.
Pengorganisasian merupakan salah satu fungsi dasar dalam manajemen untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan oleh Organisasi. Pengorganisasian ini berkaitan dengan
pengelompokan kegiatan, pengaturan orang maupun sumber daya lainnya dan
mendelegasikannya kepada individu ataupun unit tertentu untuk menjalankannya sehingga
diperlukan penyusunan struktur organisasi yang memperjelas fungsi-fungsi setiap bagian dan
sifat hubungan antara bagian-bagian tersebut.
Menurut Rusly dalam Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI tahun 2016, struktur organisasi IFRS adalah sebagai berikut:
Panitia Farmasi Terapi merupakan orang-orang yang berperan sebagai penasihat dari
staf medik dan bertindak sebagai garis komunikasi antara staf medik dengan IFRS (Rusly,
2016) Pembentukan PFT dapat memberikan kemudahan di dalam pengadaan suatu sistem
formularium yang membawa perhatian staf medik menuju penyeleksian obat-obatan terapi
yang tepat sehingga terapi obat rasional dapat dilakukan.
Pada komponen farmasi klinik, bidang ini membawahi aspek yang menyangkut asuhan
kefarmasian seperti konseling pasien, pelayanan informasi obat, evaluasi penggunaan obat baik
pasien di ruangan maupun pasien ambulatory, dan pemantauan terapi obat.
Pada komponen distribusi mempunyai tugas untuk bertanggung jawab di dalam alur distribusi
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan (obat, bahan baku obat, alat kesehatan,
dan gas medis) kepada pasien rawat jalan, IRD, ICU/ICCU, kamar operasi, bangsal atau
ruangan.
B. Rekrutmen SDM
Rekrutmen menurut Mathis dan Jakson (2001) adalah proses yang menghasilkan
sejumlah pelamar yang berkualifikasi untuk pekerjaan di suatu perusahaan atau
organisasi. Sedangkan menurut ahli lain menyebutkan bahwa rekrutmen adalah proses
mencari, menemukan, mengajak, dan menetapkan sejumlah orang, baik dari dalam
maupun dari luar perusahaan sebagai calon tenaga kerja dengan karakteristik tertentu
seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan SDM (Samsudin, 2006). Tujuan
dilakukannya rekrutmen yaitu diantaranya adalah,
a) Menyediakan sekumpulan calon tenaga kerja/karyawan yang memenuhi syarat;
b) Agar konsisten dengan strategi, wawasan dan nilai perusahaan;
c) Untuk membantu mengurangi kemungkinan keluarnya karyawan yang belum
lama bekerja;
d) Untuk mengkoordinasikan upaya perekrutan dengan program seleksi dan
pelatihan;
e) Untuk memenuhi tanggungjawab perusahaan dalam upaya menciptakan
kesempatan kerja
Beberapa langkah atau tahapan dalam proses pelaksanaan rekrutmen dan seleksi
antara lain (Sethiani, 2013):
1. Mengidentifikasi jabatan yang lowong dan berapa jumlah tenaga yang
diperlukan.
2. Mencari uraian jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (job
spesification) sebagai landasan dalam membuat persyaratan jabatan
3. Menentukan sumber kandidat yang tepat, dari dalam perusahaan (transfer,
promosi, atau dari luar perusahaan. Masing-masing metode memiliki kelebihan
dan kekurangan. Untuk metode internal memiliki kelebihan berupa dapat
membuka peluang promosi bawahan dan hemat waktu. Namun kekurangannya
berupa pilihan potensi terbatas, ada kemungkinan staf yang sudah lama sulit
dikembangkan,kurang ide segar, ada pertimbangan pertemanan, bukan atas
dasar potensi/ profesionalisme yang dimiliki. Sedangkan metode terbuka
memiliki kelebihan berupa memberikan ide baru, tidak banyak mengubah
hierarki organisasi dan semangat bekerja lebih tinggi jika pelamar merupakan.
Namun kekurangannya berupa belum diketahuinya dengan pasti perilaku dan
loyalitasnya, waktu lebih lama dalam rekrutmen serta penyesuaian saat bekerja
dan biaya perekrutan lebih besar.
4. Memilih metode-metode rekrutmen yang paling tepat untuk jabatan dapat
berupa iklan, rekrutmen di kampus, melalui agen rekrutmen tenaga kerja,
melalui teman/kenalan karyawan maupun asosiasi profesi.
5. Memanggil kandidat-kandidat yang memenuhi persyaratan jabatan
6. Menyaring / menyeleksi kandidat
7. Membuat penawaran kerja dan mulai bekerja.
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rekrutmen
yaitu,
a) Skill : Nilai – nilai individu yang dimiliki oleh pegawai seperti latar belakang
pendidikan, dan kemampuan yang dapat menunjang dalam organisasi.
b) Effort : Usaha baik secara fisik maupun mental untuk melakukan dan
menyelesaikan sebuah tugas.
c) Responsibility : Komitmen untuk berkontribusi dalam suatu rencana pencapaian
yang ditentukan.
d) Working condition: Keadaan yang mana suatu bahaya atau risiko dapat terjadi
dalam melalukan suatu pekerjaan tertentu.
Pelatihan SDM merupakan setiap usaha untuk memperbaiki performa seorang pekerja
pada suatu bidang pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya, atau suatu pekerjaan
yang memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Pelatihan SDM harus dirancang agar dapat
mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, dan pada waktu yang bersamaan juga mampu
mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan. Pelatihan SDM bertujuan agar
setiap pekerja dapat meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan pekerjaan yang
spesifik dalam lembaga pada saat ini (proses pendidikan jangka pendek). Dengan
meningkatnya persaingan dan semakin berkembangnya zaman, para pekerja dituntut untuk
mampu bersaing dan meningkatkan kemampuannya agar tidak ketinggalan dari pesaing.
Meningkatnya performa pekerja juga akan berakibat baik pada perkembangan perusahaan.
Pelatihan SDM juga bertujuan untuk dapat menyiapkan kaderisasi bagi jabatan-jabatan yang
akan dikembangkan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga pada saatnya tidak
memerlukan waktu terlalu lama untuk pengisian jabatan tersebut (Carrell dan Kuzmits, 1982).
Pengembangan SDM yang baik harus dilaksanakan secara berkesinambungan melalui
rangkaian aktivitas yang terintegrasi. Pengembangan SDM lebih ditekankan pada peningkatan
pengetahuan untuk melakukan pekerjaan pada masa mendatang (proses pendidikan jangka
panjang). Pengembangan SDM yang baik mampu menciptakan SDM yang profesional dalam
jumlah memadai berdasarkan keahlian yang dibutuhkan sesuai tuntutan perkembangan usaha,
sehingga tercapai produktivitas SDM yang optimal dalam mendukung keberhasilan
implementasi strategi yang telah ditetapkan (Syafruddin, 2001).
Pelatihan dan pengembangan SDM juga penting untuk dilakukan dalam Instalasi
Farmasi Rumah Sakit. Tujuannya untuk memastikan pegawai yang baru direkrut memahami
dan dapat melakukan pekerjaan sesuai yang diharapkan. Selain itu, pelatihan dan
pengembangan SDM juga dilakukan untuk menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam lingkungan kerja. Hal ini mencakup teknologi yang digunakan dalam pekerjaan maupun
perubahan peraturan internal maupun peraturan eksternal (seperti peraturan standar dari
Pemerintah). Penyesuaian ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja dari masing-masing
karyawan.
Proses pelatihan dan pengembangan SDM yang ditetapkan dengan baik akan
bermanfaat bagi individu maupun organisasi (Simamora, 2004). Dilihat dari sisi individu
pegawai, manfaatnya yaitu menambah pengetahuan terutama terkait penemuan terakhir dalam
bidang ilmu pengetahuan, menambah dan memperbaiki keahlian dalam bidang tertentu
sekaligus memperbaiki cara pelaksanaan yang lama, mengubah sikap, memperbaiki atau
menambah imbalan (gaji) dari lembaga tempat bekerja. Selain itu, manfaat dari sisi lembaga
antara lain menaikkan produktivitas pegawai, mengefektifkan alokasi biaya dan sumber daya,
mengurangi turn over pegawai, kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih besar
sebagai hasil dari terealisasinya manfaat bagi kedua pihak.
Menurut Rae (2005), langkah-langkah pelaksanaan pelatihan terdiri dari empat proses,
yaitu sebagai berikut.
1. Melakukan analisis kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan penentuan kebutuhan pelatihan dan pengembangan
yang akna dilakukan. Tahap ini merupakan tahap awal yang sangat penting karena menjadi
landasan dari tahap-tahap selanjutnya. Diperlukan kecermatan dalam menentukan apakah
karyawan membutuhkan pelatihan dan siapa saja karyawan yang membutuhkan
pelatihan/pengembangan. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan pelatihan yang tepat dan
perkiraan biaya yang dikeluarkan.
2. Melakukan penentuan tujuan dan materi pelatihan
Tujuan pelatihan harus dibuat spesifik yaitu dengan menentukan parameter-parameter
yang harus dicapai setelah proses pelatihan dan pengembangan. Selanjutnya, setelah
menentukan tujuan pelatihan, maka dapat ditentukan atau dirumuskan metode pelatihan.
3. Melakukan penentuan metode pelatihan
Dalam menentukan metode pelatihan harus memperhatikan beberapa faktor yaitu biaya
yang tersedia, fasilitas yang ada, serta waktu. Metode pelatihan dapat dibagi menjadi dua
jenis yaitu on the job/in house training, yaitu dilakukan pada internal perusahaan saat waktu
kerja berlangsung, baik formal maupun informal, seperti rotasi kerja, bimbingan dan
penyuluhan, magang, demonstrasi dan pemberian contoh. Ada pula off the job training yang
dilakukan di luar waktu kerja, seperti mengirimkan pekerja secara bergantian ke
berbagai training provider baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk
mengikuti pelatihan SDM, workshop, seminar, ataupun melakukan presentasi informasi
melalui lecturing, konferensi, transactional analysis, dan video presentation. Pemilihan
metode harus memperhatikan beberapa faktor yaitu cost-effectiveness, desired program
content, appropriateness of the facilities, trainee preferences and capabilities, trainer
preferences and capabilities, dan learning principle.
4. Melakukan evaluasi pelatihan
Evaluasi pelatihan dan pengembangan secara khusus mencermati masalah yang terkait
dengan aplikasi pembelajaran di tempat kerja, implementasi jangka panjang, biaya, dan
efektifitas pelatihan serta pengembangan yang diberikan.
Empat tahap evaluasi pelatihan dan pengembangan itu adalah reaction untuk mengukur
minat dan reaksi peserta atas pelatihan, learning untuk mengukur tingkat pemahaman
peserta setelah menerima pembahasan dari para pelatih setiap sesi pelatihan, behaviour
untuk melihat bagaimana perilaku peserta setelah mengikuti pelatihan, dan result di mana
keempat evaluasi ini dirangkum untuk melihat seberapa besar peningkatan hasil kerja yang
dilakukan oleh karyawan setelah mendapat pelatihan dan pengembangan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha karena suatu hal tertentu. Menurut Pasal 1 ayat 25 UU Ketenagakerjaan
adalah Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
1. PHK bukan atas kehendak pemberi kerja dan pekerja: terjadi karena PKWT, Pekerja
mencapai usia pensiun, dan meninggal dunia
2. PHK oleh pengadilan, terjadi karena salah satu pihak ajukan pembatalan perjanjian ke
pengadilan.
3. PHK oleh pekerja, terjadi karena kehendak pekerja secara murni tanpa rekayasa pihak
lain seperti pekerja sakit berkepanjangan, alami cacat akibat kecelakaan kerja atau tidak
dapat bekerja selama 12 bulan. Dan Pihak RS melakukan pelanggaran atau kejahatan
pada pekerja.
4. PHK oleh pemberi kerja (RS), terjadi karena pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja,
pengurangan tenaga kerja, Rumah sakit tersebut hendak ditutup, dan perubahan status
RS.
Menurut Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan
Milik Pemerintah, bahwa Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja
apabila tenaga kesehatan:
Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pemberi kerja:
Jika salah satu pihak memutuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batal waktu
perjanjian kerja berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak yang memutuskan
hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi sesuai kesepakatan
Pemberi Kerja (RS) dilarang memutuskan hubungan kerja jika tenaga kesehatan:
1. Berhalangan masuk kerja karena sakit dengan keterangan dokter >1 tahun terus
menerus
2. Memenuhi kewajiban negara
3. Menjalankan ibadah agamanya
4. Menikah, hamil, melahirkan, keguguran, menyusui
5. Pertalian darah dengan pekerja lain, kecuali sudah diatur dalam perjanjian kerja
6. Pengaduan pekerja kepada pihak berwajib tentang perbuatan pihak RS yang melakukan
kejahatan.
7. Sakit akibat kecelakaan kerja
Prosedur PHK
1. Semua pihak harus berupaya menghindari terjadi PHK dengan cara pembinaan pekerja
= yaitu seperti dimutasi, diberikan peringatan baik lisan atau tulisan maksimal 3 kali.
2. Bila tidak dapat dihindarkan, baik pihak RS dan pekerja diadakan perundingan
3. Jika perundingan berhasil maka dibuatkan perbaikan
4. Jika tidak berhasil, pihak RS mengajukan penertapan disertai dengan alasan kepada
lembaga PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)
5. Selama belum ada penetapan / keputusan dari PPHI, kedua pihak tetap melakukan
kewajiban masing-masing.
Menurut Permenkes No. 1199 tahun 2004, Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan
oleh pemberi kerja apabila tenaga kesehatan:
1. Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
2. Melanggar disiplin berat.
3. Melakukan tindak pidana.
4. Meninggal dunia.
5. Selesai masa perjanjian kerja.
6. Tidak melaksnakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan dalam
perjanjian kerja.
7. Faktor lain, seperti: pengurangan tenaga kerja (efisiensi), perubahan status rumah sakit,
rumah sakit tutup karena merugi (pailit), rumah sakit merugi selama 2 tahun berturut-
turut.
Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan apabila pihak pemberi kerja:
1. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian
kerja.
2. Telah melakukan perbuatan yang tidak layak/baik terhadap tenaga kesehatan tersebut.
3. Memberi tugas tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
Apabila salah satu pihak memtuskan hubungan kerja secara sepihak sebelum batas
waktu perjanjian berakhir sebelum batas waktu yang disepakati maka pihak yang memutuskan
hubungan kerja sepihak tersebut agar membayar ganti rugi sesuai kesepakatan.
Hal yang dipertimbangkan sebelum PHK
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pemutusan hubungan kerja:
Peringatan lisan/tulisan, dan dicatat pada bagian pegawaià Harapan ada
perbaikan.
Bila perlu dibicarakan dahulu dengan sejawat untuk mengetahui apakah
tindakan peringatan dll. tidak berlebihan.
Bila akan memutuskan hubungan kerja, perlu dicari waktu yang tepat.
PHK harus jelas dan langsung sehingga tidak ada pertanyaan lagi, dan yang
bersangkutan sadar bahwa urusan sudah selesai. Jangan memberi harapan untuk
dapat bekerja kembali dan sebagainya.
Perlu disediakan sanksi untuk menghindari reaksi negatif.
PHK dapat berdampak sensitif terhadap pegawai lain, terutama pada mereka
yang terkait/terlibat dengan kasus tertentu.
Setelah PHK selesai, perlu diambil pelajaran untuk rekrutment selanjutnya agar
lebih baik
Evaluasi kinerja dari pegawai harus jadi acuan, misal: jika kinerja pegawai
tersebut buruk/sangat buruk maka PHK harus dilakukan.
Prosedur PHK
1. Semua pihak harus berupaya menghindari terjadinya PHK melalui:
a. Pembinaan pekerja meliputi, pendidikan berkelanjutan, seminar, pelatihan,
pemyuluhan hukum, etika profesi dan keterampilan pengelolaan program.
Sanksi yang dapat diberikan jika melanggar disiplin yaitu, teguran lisan, teguran
tertulis dan PHK sebelum batas waktu perjanjian.
b. Berikan penjelasan secara transparan melalui: pengurangan upah & fasilitas
kerja pada tingkat atas, pengurangan shift, batasi/hapus kerja lembur, kurangi
hari kerja, liburkan pekerja secara bergilir, tidak perpanjang kontrak sampai
masa kontrak habis dan memberikan pensiun dini bagi yang sudah memnuhi
syarat.
2. Bila tidak bisa dihindari maka harus dilakukan perundingan antara pihak RS dengan
tenaga kesehatan.
3. Jika perundingan berhasil, buat perjanjian baru
4. Jika tidak berhasil, pihak RS mengajukan permohonan penetapan disertai dengan
alasan-alasan.kepada lembaga PPHI ( Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)
5. Selama belum ada penetapan/keputusan dari lembaga PPHI, kedua pihak tetap
melakukan kewajibannya masing-masing.
Istilah dalam pemutusan hubungan kerja
Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang
telah disepakati. Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Redundancy, karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robot-
robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu
atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berakibat pada pengurangan
tenaga kerja. Retrentchment, yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi
ekonomi yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan upah kepada karyawannya.