----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
KONDISI UMUM
Pemilihan lokasi ini sebagai lokasi pembuatan model penanganan konservasi tanah dan air
adalah karena lokasi ini mempunyai topografi yang cukup beragam dan pertanian intensif
sudah dilakukan disebagian wilayahnya yang berkemiringan curam sampai sangat curam.
Disamping itu lokasi ini juga mempunyai aksesibilitas yang cukup baik.
Kondisi iklim di Sub DAS Cisadane Hulu didekati dengan menggunakan data iklim yang
diperoleh dari stasiun Pasir Jaya yang terletak didekat lokasi (berjarak sekitar 3 km dari
outlet Sub DAS Cisadane Hulu). Rata-rata curah hujan tahunan (data 5 tahun) yang tercatat
di stasiun tersebut disajikan pada Tabel 2.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
LAUT JAWA.
RANGKAS
Km
DKI JAYA
KAB. TANGGERANG KAB. BEKASI
KODYA DEPOK
KAB. BOGOR
KAB. RANGKAS
KODYA BOGOR
KAB. CIANJUR
KETERANGAN
Batas Kabupaten KAB. SUKABUMI
Jalan
Sungai
Lokasi Studi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tabel tersebut menunjukan bahwa curah hujan dilokasi studi cukup tinggi dengan rata-rata
tahunan sekitar 3256 mm. Distribusi hujan bulanan studi cukup merata, dengan bulan basah
(bulan dengan jumlah hujan ≥ 200 mm) terjadi selama 9 bulan yaitu dari bulan September
sampai Mei dan bulan kering (bulan dengan curah hujan < 100 mm) hanya satu bulan, yaitu
bulan Juni. Dengan kondisi curah hujan demikian, maka berdasarkan klasifikasi iklim
Oldeman, iklim dilokasi studi termasuk tipe B1 dan tidak menjadi faktor pembatas untuk
pengembangan pertanian.
Tabel tersebut juga menunjukan nilai erosivitas hujan yang diprediksi dengan menggunakan
rumus Lenvain. Erosivitas hujan merupakan ukuran keganasan hujan dalam menimbulkan
erosi, dan untuk areal studi nilainya sekitar 2450.8 per tahun yang tergolong tinggi.
2.3. TOPOGRAFI
Kondisi topografi di Sub DAS Cisadane Hulu cukup beragam dengan kelerengan yang
bervariasi dari agak landai sampai sangat curam (Tabel 3). Sebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 2.
Tabel 3. Sebaran kelas lereng dilokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu)
Secara umum lokasi studi di dominasi oleh lahan dengan kemiringan sangat curam
(kemiringan > 25 %) yang meliputi lebih dari 70 % dari total luasan Sub DAS Cisadane Hulu.
Kondisi kelerengan yang demikian menyebabkan daerah studi sangat potensial untuk
terjadinya kerusakan lahan akibat laju erosi yang sangat tinggi, terutama jika digunakan
untuk pertanian intensif.
MDM Sub DAS Cisadane Hulu
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Desa Cinagara
Kab. BOGOR
Desa Pasir Buncir
Kec. CARINGIN
Kab. SUKABUMI
U
Kab. BOGOR
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanah di daerah studi tidak terlalu bervariasi. Berdasarkan peta tanah yang dikeluarkan oleh
Puslitanak (1992), lokasi studi dijumpai dua jenis tanah yaitu Andosol (Typic Hapludands)
dan Kambisol (Andic Humitropepts), dengan karakteristik umum seperti disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Jenis dan karakteristik umum tanah di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu)
Bahan Luas
Jenis tanah Solum Drainase Tekstur
induk Hektar Persen
Tuff
Typic
vulkan Dalam Baik Halus 1623.9 91.75
Hapludands
andesitik
Andic Abu
Dalam Baik Halus 146.1 8.26
Humitropepts volkan
1770.0 100.00
Tabel 4 menunjukan bahwa Andosol (Typic Hapludands) mendominasi tanah dilokasi studi
yang mencakup luasan sekitar 1623.9 Ha atau sekitar 91.75 % dari luasan areal studi. Tanah
ini merupakan tanah yang subur yang terbentuk dari bahan induk abu vulkan dengan
kedalaman yang tergolong sedang sampai sangat dalam, tekstur yang sedang, dan
kandungan bahan organik yang tinggi. Drainase umumnya baik dengan kemampuan
melalukan air yang tergolong sedang sampai tinggi. Oleh karena itu kepekaan tanah
terhadap erosi (erodibilitas) tanah ini umumnya tergolong rendah. Potensi tanah cukup baik
untuk tanaman palawija dan sayuran.
Jenis tanah lain yang dijumpai adalah Andic Humitropepts yang berkembang dari bahan
induk tuf volkan andesitik. Tanah ini umumnya bersolum sedang sampai dalam dengan
tekstur halus. Drainase tergolong cepat dan baik dengan kemampuan meresapkan tanah
yang sedang, sehingga kepekaan terhadap erosinya tergolong rendah. Potensi tanah cukup
baik untuk tanaman palawija dan sayuran.
Penggunaan lahan diareal studi cukup bervariasi yaitu pemukiman, sawah, ladang.tegalan,
kebun campuran dan hutan. Sebaran luas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.
MDM Sub DAS Cisadane Hulu
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kec. CARINGIN
Kab. SUKABUMI
LEGENDA
DKI JAYA U
Kab. BOGOR
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Luas
No Penggunaan lahan
Hektar Persen
1 Pemukiman 12.1 0.68
2 Sawah 73.5 4.15
3 Ladang/tegalan 546.1 30.85
4 Kebun campuran 108.9 6.15
5 Hutan 1029.4 58.16
Total 1770.0 100.00
Penggunaan lahan hutan mendominasi wilayah Sub DAS Cisadane Hulu yang meliputi luasan
sekitar 1029.4 hektar (sekitar 58.16 % dari luasan Sub DAS Cisadane Hulu). Areal hutan ini
sebagian besar merupakan hutan pinus yang dikelola oleh Perhutani. Penggunaan lahan
hutan umumnya dijumpai dibagian hulu DAS dengan kemiringan lereng yang curam sampai
sangat curam (Tabel 6).
Penggunaan lain yang cukup luas penyebarannya adalah ladang/tegalan yang mencakup
luasan sekitar 546 hektar (30.85 %). Tanaman yang diusahakan umumnya adalah jagung,
kacang-kacangan, (kacang panjang) dan ubi kayu. Ladang/tegalan ini terutama dijumpai
pada lahan dengan kemiringan curam dan sangat curam. Oleh karena itu, lahan tegalan ini
perlu mendapatkan perhatian serius karena potensi kerusakannya sangat tinggi.
Penggunaan lahan kebun campuran merupakan kebun dengan beberapa jenis tanaman.
Tanaman campuran yang dijumpai misalnya campuran antara tanaman tahunan seperti
pisang dan kopi dengan tanaman semusim. Selain itu kebun campuran antara berbagai jenis
tanaman tahunan umum dijumpai. Luasan kebun campuran ini sekitar 108.9 hektar atau
6.15 % dari luasan Sub DAS Cisadane Hulu, terutama dijumpai pada lahan dengan
kemiringan curam dan sangat curam sehingga potensi kerusakan lahan juga sangat tinggi.
Sawah umumnya merupakan sawah tadah hujan atau irigasi semi teknis dan dijumpai
memanjang di kiri kanan sungai (lembah sempit) dengan kemiringan lahan yang tidak terlalu
curam.
MDM Sub DAS Cisadane Hulu
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kab. SUKABUMI
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MDM Sub DAS Cisadane Hulu
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tabel 6. Sebaran penggunaan lahan menurut kelas lereng di lokasi studi (Sub DAS
Cisadane Hulu)
Penggunaan lahan pemukiman umumnya merupakan pemukiman desa dengan pola yang
tidak teratur dan luas areal diperkeras (jalan aspal, atap rumah, pavement) yang tidak
terlalu dominan. Pemukiman sebagian besar tersebar dilahan-lahan dengan kemiringan
landai sampai agak curam.
2.6.SATUAN LAHAN
Satuan peta lahan (SPL) merupakan stauan lahan yang mempunyai jenis tanah dan
kemiringan yang seragam, yang diperoleh dengan menumpangtindihkan (overlay) peta
tanah dan peta lereng. Satuan peta tanah yang ada di areal studi disajikan pada Gambar 5
dan Tabel 7.
MDM Sub DAS Cisadane Hulu
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kab. SUKABUMI
LEGENDA
Batas Kabupaten
DKI JAYA U Batas Kecamatan
Batas Desa
Pemukiman
Kab. BOGOR Jalan
Sungai
Kota Bogor Kilometer Satuan Lahan
SL 1 SL 9
SL 2 SL 10
DEPARTEMEN KEHUTANAN SL 3 SL 11
SL 4 SL 12
Kab. SUKABUMI DIRJEN REHABILITASI LAHAN DAN SL 5 SL 13
BALAI PENGELOLAAN DAS SL 6 SL 14
SL 7 SL 15
Lokasi Studi PERHUTANAN SOSIAL SL 8 SL 16
CITARUM - CILIWUNG
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Laporan Perencanaan MDM Cisadane Hulu
Luas
SPT Tanah Kelas lereng
Hektar Persen
1 Andic Humitopepts B 30.9 1.74
2 Typic Hapludands B 56.5 3.19
3 Andic Humitopepts C 7.7 0.43
4 Typic Hapludands C 2.4 0.13
5 Andic Humitopepts D 15.3 0.87
6 Typic Hapludands D 43.2 2.44
7 Andic Humitopepts E 34.2 1.93
8 Typic Hapludands E 51.6 2.92
9 Andic Humitopepts F 15.1 0.85
10 Typic Hapludands F 237.3 13.41
11 Andic Humitopepts G 17.5 0.99
12 Typic Hapludands G 465.8 26.32
13 Andic Humitopepts H 28.9 1.63
14 Typic Hapludands H 580.6 32.80
15 Andic Humitopepts I 5.0 0.28
16 Typic Hapludands I 178.2 10.07
1770.0 100.00
Tabel tersebut menunjukkan bahwa areal studi didominasi oleh satuan lahan dengan jenis
tanah Typic Hapludands dan kemiringan lereng sangat curam, yang meliputi lebih dari 50 %
areal studi.
Hal. II-1
2.6. SEJARAH KEPEMILIKAN LAHAN
Lahan kering yang menjadi garapan masyarakat di Sub DAS Cisadane hulu dan saat ini
menjadi salah satu penopang kehidupan penggarap pada awalnya merupakan lahan
perkebunan karet yang dikelolala oleh PT. Perkebunan XI. Masyarakat saat ini hanya sebatas
sebagai penggarap. Berdasar hasil focus group discussion (FGD) dengan kelompok tani
bersaudara diperoleh sejarah lahan garapan sebagai berikut :
1945 : Tanah yang digarap saat ini (sekarang dikuasai oleh PT Pengembangan Agro
Prima dan PT Panggung) diserahkan ke masyarakat. Surat-suratnya
dipegang oleh seorang tokoh setempat, Pak Kasim
1958 – 1961: Tentara Darul Islam (diistilahkan oleh peserta FGD dengan gerombolan)
membakar rumah penduduk (biasanya karena dianggap membantu TNI)
termasuk rumah Pak Kasim. Surat-surat tanah ikut terbakar.
1965 – 1966 : Tahanan PKI menanam karet di lokasi dan tanah dikuasai oleh PTP XI.
1985: Karet milik PTP XI ditebang karena pengambilalihan HGU oleh PT Pengembangan
Agro Prima (PAP), seluas sekitar 680 ha, dan direncanakan untuk wisata agro.
1985: Sebagian lahan PTP XI diambil alih oleh PT Panggung seluas 46,8 ha di Desa Pasir
Buncir, direncanakan untuk penambangan pasir.
1985 – 1994 : Lahan PT PAP dan PT Pangung dibiarkan tidak terolah sehingga menjadi
semak belukar dan menjadi tempat persembunyian babi hutan yang merusak
tanaman warga di sekitar perkampungan.
1993 – 1994 : PT PAP membangun lapangan golf, lapangan terbang, dan Hotel Lido.
Lapangan golf berukuran 18 hole, direncanakan 32 hole dan akan menjadi terbesar
di Asia Tenggara.
1994 : PT PAP menanami lahan yang dikuasai dengan berbagai tanaman: pinus, mahoni,
pala, sawo, belimbing, salak, tangkil, sukun, dan jambu. Karena tenaga pengawas
kurang, tanaman buah yang ditanam diambil oleh masyarakat. Yang tertinggal
pinus dan mahoni.
Hal.II-2
1998 : Penambangan pasir dimulai. Awalnya berupa pelaksanaan Proyek Padat Karya
dalam rangka jaring pengaman sosial (JPS). Entah siapa yang memulai, kegiatan
padat karya diarahkan untuk membuat jalan ke arah lokasi penambangan pasir.
1998 : Sebagian sumur penduduk yang rata-rata memiliki kedalaman 24 meter mengalami
kekeringan. Warga yakin hal itu disebabkan oleh adanya kegiatan penambangan
pasir.
1999 : Warga mulai menggarap lahan PT PAP dan PT Panggung ketika pemerintahan masa
Presiden BJ Habibie mengimbau penggunaan lahan terlantar untuk ditanami
dengan komoditi pertanian produktif.
1999 : PT. PAP menerapkan cukai / sewa bagi penggarap lahan PT. PAP. Besarnya cukai Rp.
300 per m2 (Rp. 300.000 per ha). Tapi dalam kenyataannya, pihak satpam dari PT
PAP menarik cukai per musim tanam.
2003 : Agustus, terjadi longsor pertama, tidak ada korban, hanya ada warga yang
tertimbun pasir sebatas leher.
2003 : September, terjadi longsor kedua dan menewaskan 5 orang dan 1 orang dari
tim SAR.
2006 : Perwakilan warga bertemu Kepala Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor. Kepala Dinas
meyakinkan penduduk bahwa penambangan pasir akan memberi manfaat
ekonomi bagi masyarakat dan dapat menerima pendapatan Rp. 80.000 – 90.000
per hari. Padahal buruh tani hanya 12.500 per hari. Perwakilan masyarakat tetap
menolak penambangan pasir.
2007 : Januari, ada warga masyarakat melakukan demo ke Pemda meminta agar galian
pasir dibuka. (9 orang warga Kp. Lengkong ikut demo karena mendapat upah Rp.
20.000. Sebagian besar warga tidak setuju. Warga berharap, areal HGU PT
Panggung yang akan berakhir tahun 2011 dapat dikuasai oleh warga.
Masyarakat yang bermukim di Sub DAS Cisadane Hulu tersebar di dua RW dengan dua desa
yang berbeda, dua kecamatan yang berbeda, dan dua kabupaten yang berbeda.
Pertama, di RW 05 Desa Pasir Buncir, Kec. Caringin, Kabupaten Bogor, yang tersebar di 3 RT,
yaitu RT 01 (Kampung Sungapan: 40 KK), RT 02 (Kampung Lengkong: 165 KK), dan RT 03
(Kampung Cipeucang: 48 KK).
Hal.II-3
Kedua, di RW 05, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Sukabumi, yang
tersebar di 4 RT, yaitu RT 01 dan RT 02 (Kampung Lengkong Girang) dan RT 03 dan RT 04
(Kampung Ciwaluh: 68 KK).
Jumlah penduduk di Desa Pasir Buncir dan desa Wates jaya sebagi lokasi wilayah model
penanganan konservasi tanah dan air (Sub DAS Cisadane Hulu) sebanyak 13.030 orang yang
terdiri dari 6.842 laki-laki dan 6.188 perempuan dengan jumlah kepala keluarga 3.276 orang.
Dengan demikian rata-rata tiap keluarga terdiri dari 4 orang.
Pendidikan
Sekolah yang ada di kedua kampung itu adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tarbiyatul Sibyan, di
Kampung Lengkong, Desa Pasir Buncir, dan SD Negeri di Kampung Lengkong Girang, Desa
Wates Jaya. Lulusan MI dan SD melanjutkan ke SMP Harapan (swasta) di Cijeruk berjarak 5
km dan ke SMP Terbuka (Negeri).
Salah satu masalah di bidang pendidikan adalah relatif tingginya angka putus sekolah setelah
SD. Hal ini disebabkan oleh relatif tingginya biaya transpotasi. Lokasi SMP yang terdekat
ditempuh dengan jalan kaki sekitar 1 jam. Biaya ojek Rp. 10.000 PP karena jalan yang rusak.
Penyebab lain dari tingginya angka putus sekolah adalah anggapan dari sebagian orang tua
bahwa menempuh pendidikan yang lebih tinggi juga tidak memberikan nilai tambah. Untuk
perempuan, kalau bekerja di garmen akan memperoleh pendapatan yang sama. Disamping
itu masyarakat juga melihat dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi juga banyak
yang masih menganggur..
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam penerimaan inovasi dan
perubahan perilaku yang berpengaruh pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, akan semakin cepat pula menyerap dan melaksanakan
inovasi yang diberikan baik melalui kegiatan penyuluhan maupun melalui pengamatan yang
dilakukan masyarakat sendiri. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Pasir Buncir dan Wates
jaya relatif masih rendah yang ditandai dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak
tamat SD atau hanya tamat SD (80%). Tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tingkat Desa
Hal.II-4
3 SLTA 28 324 17.39 10.30 13.85
Akademi (D1,
4 D2, D3) 5 43 3.11 1.37 2.24
Berdasarkan hasil survey pada petani yang menggarap lahan di lokasi calon model
penanganan konservasi tanah dan air (Sub DAS Cisadane Hulu) dapat diketahui bahwa
sebagian petani dan keluarganya belum memperoleh pendidikan yang baik, hal ini terbukti
dengan masih banyaknya petani dan keluarganya yang hanya mengeyam pendidikan sampai
SLTP (94%). Alasan utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan adalah kebutuhan
ekonomi karena mahalnya biaya pendidikan, anak dapat membantu orangtua bekerja di
ladang dan sekolah yang relatif jauh sehingga mahal biaya transportasi. Pendidikan petani
dan keluarganya dapat dilihat pada Tabel 9
Hal.II-5
Tabel 9. Persentase tingkat pendidikan petani di lokasi model penanganan konservasi tanah
dan air (Sub DAS Cisadane Hulu)
3 Tamat SD 37.89
4 SLTP 9.94
6 SLTA 1.24
8 PT 1.24
9 Tamat PT 0.62
Jumlah 100.00
Sebagian besar keluarga petani berusia produktif yaitu 74% yang dapat membantu
mengerjakan lahan garapan dan memelihara ternak serta kegiatan lain yang membantu
meningkatkan pendapatan keluarga.
Kesehatan
Sedangkan kegiatan Posyandu dilaksanakan sendiri oleh kader Posyandu sebulan sekali. Di
Desa Pasir Buncir, terdapat dua Posyandu yang masing-masing melayani 70 dan 25 balita.
Masyarakat desa Pasir Buncir dan Wates jaya sebagian besar menggantungkan hidupnya dari
pertanian, yaitu 67.71% dan dari petani tersebut sebagian besar adalah sebagai buruh tani
Hal.II-6
51% dan penggarap 31%. Mata pencaharian Masyarakat desa Pasir Buncir dan Wates jaya
dapat dilihat pada Tabel 10 berikut :
Hal.II-7
Tabel 10. Mata pencaharian Masyarakat desa Pasir Buncir dan Wates Jaya
Mata
No pencaharian Jumlah Prosentase
A Pekerjaan
Berdasarkan hasil survey terhadap penggarap lahan pertanian diperoleh informasi bahwa
lahan kering yang diusahakan masyarakat untuk budidaya pertanian adalah milik PT. PAP, PT.
Panggung dan CV. Kertajaya dan masyarakat hanya bekerja sebagai penggarap lahan.
Sementara untuk lahan sawah dan lahan pekarangan adalah milik pribadi.
Tipologi lahan garapan masyarakat di lokasi model penanganan konservasi tanah dan air (Sub
DAS Cisadane Hulu) adalah 13.33% petani menggarap sawah saja, 43.33% petani menggarap
lahan kering saja da 43.33% petani menggarap lahan kering dan sawah.
Sumber penghasilan masyarakat di calon lokasi model penanganan konservasi tanah dan air
(Sub DAS Cisadane Hulu) sebagian besar mengandalkan dari lahan yang diolahnya disamping
mencari sumber panghasilan lain seperti buruh tani, buruh bangunan, ojek dan berdagang.
Hal.II-8
menjadi 4 kelompok, yaitu pendapatan masyarakat berasal dari kegiatan 1) pertanian saja, 2)
pertanian dan ternak, 3) pertanian dan diluar pertanian, dan 4) pertanian, ternak dan diluar
pertanian. Persentase masyarakat berdasarkan sumber pendapatannya dapat dilihat pada
Tabel 11., sementara itu besarnya prosentase sumbangan untuk pendapatan keluarga dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 11. Prosentase masyarakat berdara sumber pendapatan keluarga petani di lokasi studi
(Sub DAS Cisadane Hulu)
Jumlah 100.00
1 Sawah 30.37
3 Ternak 5.15
Jumlah 100.00
Hal.II-9
Standar kehidupan layak = KFM + kebutuhan rumah dan pakain (400 Kg beras/tahun) + 50%
KFM + kebutuhan rumah dan pakain (400 Kg beras/tahun) untuk kesehatan dan rekreasi + 50
% x (KFM + kebutuhan rumah dan pakain (400 Kg beras/tahun) untuk pendidikan + 50% x
(KFM + kebutuhan rumah dan pakain (400 Kg beras/tahun)) untuk tabungan dan rekreasi.
Misal dalam satu rumah tangga petani (KK) terdiri dari 5 anggota keluarga dan harga beras
saat ini di lokasi penelitian adalah Rp. 4.000 / Kg, maka
Standar hidup layak = (400 Kg beras x 5 orang x Rp. 4.000,-) + 150 % x (400 Kg beras x 5 orang
x Rp. 4.000,-) = Rp. 20.000.000,-/KK/Tahun.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan, rata – rata pendapatan usaha tani 11.849.550,00
rupiah/tahun. Rata-rata masyarakat tersebut belum memenuhi standar hidup layak. Rata-
rata pendapatan keluarga petani dapat dilihat pada Tabel 13 berikut .
Tabel 13. Rata-rata pendapatan keluarga petani berdasarkan standar hidup layak
Rincian pendapatan masyarakat berdasarkan pola tanam yang dilakukan di lokasi model
penanganan konservasi tanah dan air (Sub DAS Cisadane Hulu) dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Pendapatan masyarakat berdasar pola tanam di lokasi studi (Sub DAS Cisadane
Hulu)
(Rp)
1 Sawah 1,749,556
2 Jagung 897,974
Hal.II-10
semusim lain
semusim lain
Berdasarkan rata-rata pendapatan tersebut, maka untuk dapat hidup layak sesuai dengan
pola tanam yang ada saat ini setiap petani yang hanya mengelola lahan kering saja minimal
memiliki lahan seluas 6.680 m2
Sementara itu, luas lahan garapan masyarakat di lokasi kegiatan relatif kecil sehingga belum
bisa untuk mendukung kehidupan yang layak. Tipologi luas kepemilikan lahan garapan
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 . Prosentase luas lahan garapan masyarakat di lokasi studi (Sub DAS Cisadane
Hulu)
2.8. Pola Tanam dan Teknik Konservasi Tanah dan Air oleh Masyarakat
Sebagian besar masyarakat belum menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang baik
dalam usaha budidaya pertanian. Pembuatan teras masih sederhana bahkan sebagian belum
diteras meskipun pada lahan yang bertopografi lebih besar dari 45%. Masyarakat
mengusahakan semua jengkal tanah untuk budidaya pertanian tanpa memperhatikan kelas
kemampuan lahan. Masyarakat masih mengolah lahan secara bersih sempurna sehingga
kalau terjadi hujan akan menyebabkan terjadinya erosi.
Hal.II-11
Pola tanam yang dilakukan masyarakat terbagi dalam 5 kelompok yaitu :
Pola tanam masyarakat di lokasi model penanganan konservasi tanah dan air (Sub DAS
Cisadane Hulu) dapat dilihat pada Tabel 16.
Hal.II-12
Tabel 16. Pola tanam masyarakat di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu)
(%) (%)
semusim lain
semusim lain
Prasarana Fisik
Kebutuhan fisik prasarana yang dirasakan adalah jalan penghubung ke kampung itu. Saat ini
kondisi jalan yang ada rusak berat pada beberapa ruas. Menurut warga kerusakan itu
disebabkan oleh dipakainya jalan itu untuk lalu lalang truk galian pasir pada tahun 2003 yang
lalu dan belum dilakukan perbaikan sama sekali. Transportasi warga ke luar kampung
dilakukan dengan ojek. Untuk ke Kantor Desa dikenakan biaya ojek Rp. 15.000 PP.
Prasarana Ekonomi
Kebutuhan di bidang ekonomi yang sangat dirasakan adalah fasilitas permodalan. Selama ini
sumber permodalan berasal dari bandar (tengkulak) dengan sistem yarnen (bayar ketika
panen). Dari tengkulak petani memperoleh pinjaman dalam bentuk sarana produksi yaitu
bibit, pupuk, pestisida yang dibayar ketika panen, tapi dengan harga yang ditentukan oleh si
tengkulak. Beda harga antara harga pasar dengan harga tengkulak rata-rata Rp. 100.
Hal.II-13
Misalnya, harga jagung di pasar Rp. 500 per kg, oleh tengkulak jagung petani dibeli dengan
harga yang ditentukan sendiri oleh tengkulak yaitu Rp. 400 per kg.
Sumber modal yang lain adalah berasal dari penjualan ternak yaitu kambing dan
domba. Selain untuk modal usaha tani, kambing juga berfungsi sebagai tabungan
untuk keperluan mendadak seperti anak sakit atau kebutuhan untuk biaya pendidikan.
Sementara dari segi pemasaran hasil-hasil produksi pertanian warga tidak menemui
masalah karena relatif dekat dengan pasar besar di Cijeruk. Produksi pertanian dijual
sendiri atau dijual kepada penampung yang juga pengurus kelompok tani.
Peluang pengelolaan sarana produksi oleh kelompok tani cukup besar. Untuk pupuk
urea saja, misalnya, kebutuhan petani diperkirakan sekitar 5 ton per bulan dengan
harga Rp. 1700/kg. Jika pengadaan urea ini dikelola oleh kelompok tani, maka untuk
itu dibutuhkan dana sebesar 5.000 kg x Rp. 1.700 = Rp. 8.500.000. Jumlah ini tidak
tersedia oleh kelompok tani.
Prospek lain adalah penjualan pupuk kandang (bekas kotoran ayam). Dari tengkulak, petani
membeli pupuk kandang per karung dengan harga Rp. 5.000. Sedangkan dari kelompok
hanya Rp. 4.000 / karung.
Saat ini kelompok memiliki 30 ekor kambing (sejak 2003) yang dipelihara dengan sistem paro
oleh anggota kelompok. Pak Halimi, misalnya, memelihara 7 ekor domba yang terdiri dari
induk 4 ekor dan anak 3 ekor. Pola pembagiannya adalah jika beranak dua, maka seekor
menjadi milik kelompok dan seekor milik yang memeliharanya. Karena jumlah anak 3 ekor,
maka milik Halimi adalah 1,5 ekor.
Untuk perikanan, menurut ketua kelompok tani, pH tanah yang ada rendah sehingga kurang
begitu cocok untuk usaha perikanan.
Desa Pasir Buncir dan Wates jaya tergolong masih rendah sarana dan prasarana penunjang
kegiatan pertanian hal ini menyebabkan masih belum optimalnya pendapatan masyarakat
dalam usaha pertanian. Sarana transportasi umum menuju lokasi belum ada sehingga
menyulitkan dalam penjualan hasil panen. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjual hasil
Hal.II-14
pertaniannya tidak langsung ke pasar melainkan melalui tengkulak. Sarana dan prasarana
penunjang pertanian dapat dilihat pada Tabel 17 berikut .
Tabel. 17. Sarana dan prasarana penunjang pertanian di lokasi studi (Sub DAS Cisadane
Hulu)
Kelembagaan
Sosial Keagamaan
Di lokasi terdapat masjid dan mushollah yang mengadakan pengajian rutin. Di Masjid
Baiturrahman, misalnya, dilakukan pengajian mingguan tiap malam Sabtu.
Peran Wanita
Selain mengurus rumah tangga, peran perempuan di Cisadane Hulu dalam membantu
ekonomi rumah tangga cukup signifikan. Di bidang pertanian, pekerjaan sebagian
perempuan di Sub DAS Cisadane Hulu adalah menjadi buruh korek dengan upah Rp. 7.000
per hari (sampai jam 12 siang). Sebagian perempuan juga menopang ekonomi keluarga
dengan menjadi buruh ke pabrik garmen, jika suaminya menganggur.
Kelompok Tani Bersaudara dibentuk pada 18 Januari 2000 dengan inisiatif sendiri oleh warga
dan awalnya tanpa bimbingan dari petugas pemerintah. Ketika dibentuk, anggota kelompok
menyepakati adanya simpanan wajib sebesar Rp. 2.000 per minggu dan simpanan sukarela
yang besarnya tidak ditentukan. Dana yang terkumpul dipinjamkan ke anggota. Disepakati
pula pertemuan rutin yang awalnya mingguan yang kemudian menjadi bulanan. Saat ini
pertemuan rutin dilakukan setiap Selasa awal bulan. Pendaftaran anggota dikenakan biaya
administrasi Rp. 10.000.
Hal.II-15
Pihak-pihak yang pernah berhubungan dengan kelompok tani antara lain: Ahmad Bakia,
petugas Pengendalian Hama Terpadu, Kepala UPTD Penyuluhan: Ir. Nina Agustina MM; Dinas
Peternakan: Doris, Ahmad Syafei, Endang. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan: Ir. Novi
Enimarlupi; UPTD Benih: Heri Firdaus. Dompet Dhuafa: Samsudin dan Kusworo dalam rangka
Program Padi Sehat.
Dengan fasilitasi dari Dompet Dhuafa / Lembaga Pertanian Sehat, petani sawah
anggota Kelompok Tani Bersaudara petani mengikuti program Padi Sehat.
Anggota kelompok tergabung tergabung dalam Kelompok P3S beranggotakan 10
orang dan luas sawah seluruhnya 2,5 ha. Dengan program ini petani memperoleh
bibit padi dan sarana produksi untuk 1 musim tanam. Petani diajari praktek
budidaya Sistem SRI yang hemat air dan menggunakan benih yang lebih sedikit.
Jika budidaya konvensional menggunakan bibit 50 kg per ha, dengan sistem SRI
hanya menggunakan 12 kg per ha. Hal ini disebabkan karena jarak tanam sistem
ini lebih jarang yaitu 30 x 30 cm sampai 40 x 40 cm. Hasilnya relatif sama
dengan hasil sistem konvensional yaitu 4 ton per ha.
Akibat bencana longsornya galian pasir yang menewaskan 5 orang penggali pada
bulan September 2003, sebagian warga yang mengandalkan pendapatan dari usaha
penambangan pasir dengan pendapatan sekitar Rp. 25.000 per hari, menganggur.
Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu Dinas Pertanian
mengembangkan kegiatan “Peningkatan Fasilitas Permodalan Agrbisnis dan
Pemberdayaan Petani Miskin (Buruh Tani). Bantuan permodalan tidak diberikan
dalam bentuk dana tunai, tapi dalam bentuk bibit antara lain: kangkung, caisim,
bayam, kacang panjang, buncis, serta jagung.
Tahun 2005 bantuan diterima dalam bentuk benih antara lain: kacang panjang, buncis,
tomat, caisim untuk keperluan total penanaman seluas 2,5 ha, serta bibit jeruk varitas Siam
untuk kebutuhan seluas 16 ha.
Tahun 2005, Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor digabung menjadi Dinas
Pertanian dan Kehutanan. Tahun 2005 dengan GRLK, KT Bersaudara mendapat bantuan
tanaman jeunjing/sengon, nangka, alpokat dan duren untuk penanaman seluas 3,5 ha (400
pohon per ha).
Hal.II-16
Sekolah Lapang Peternakan.
Pada tahun 2003 – 2006 anggota kelompok tani yang memiliki ternak mengikuti Sekolah
Lapang dengan pertemuan 18 minggu di bidang peternakan. Sebelumnya, peserta pelatihan
memperoleh Rp. 6.500 per orang untuk tiap kali pertemuan, tapi kemudian menjadi Rp.
25.000 per sekali pertemuan untuk kelompok.
Melalui Program Gerakan Masyarakat Mandiri dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor.
Tahun 2006, Kelompok Tani Bersaudara memperoleh bantuan Rp. 10 juta untuk 10 orang (Rp
1 juta per orang). Pembayaran per 3 bulan sebesar Rp. 270.000 perbulan atau Rp. 3.000 per
hari. Jika lunas, jumlah seluruhnya yang dibayarkan sebesar Rp. 1.080.000 atau bunga 8%
setahun. Pembayaran dilakukan ke rekening BRI. Oleh setiap peserta program, dana sebesar
Rp. 1 juta itu dipakai untuk membeli 4 ekor domba usia 8 bulan yang dibeli dari warga
maupun membeli ke Pasar Cijeruk. Untuk tahun telah 2007 diajukan lagi kredit Rp. 20 juta
untuk 10 orang masing-masing Rp. 2 juta.
Pada tahun 2005 kelompok memperoleh bantuan mesin pipil jagung tipe PJ 700 dan oven
pengering senilai Rp. 45 juta. Lokasi untuk mesin dibangun secara swadaya oleh kelompok
ukuran 9 x 5 m dengan biaya Rp. 11 juta. Sedangkan pada tahun 2006, KT Bersaudara
memperoleh bantuan 1 unit traktor tangan 6,5 PK. Oleh kelompok, traktor itu dikelola dan
disewakan Rp. 700 per m2 atau Rp. 700.000 per ha.
Kegiatan ini merupakan kerjasama Kelompok Tani Bersaudara dengan Dinas Pertanian dan
kehutanan Kabupaten Bogor. Jenis tanaman yang dibibitkan antara lain jati, gmelina,
mahoni, suren, sengon, kaliandra. Seluruhnya berjumlah 66.000 polibag. Kesepakatan yang
ada adalah hasil pembibitan itu akan dibagi 50:50. Rencananya bibit itu akan dijual ke proyek
GRLK / Gerhan.
Dari hasil FGD dengan kelompok Tani Bersaudara, anggota menyepakati pola yang ingin
dikembangkan ke depan yaitu pertanian berbasis pohon, setidaknya dengan dua strata tajuk.
Untuk jenis pohon diidentifikasi jenis tanaman yang diinginkan kelompok tani yaitu pala,
jengkol, pete, duren, sengon, rambutan, alpukat, nangka, mangga, manggis, kelapa, sukun,
melinjo, pisang, dan muncang (kemiri). Sedangkan untuk tanaman di bawah tegakan pohon
adalah kumis kucing, kopi, kapulaga, jarak, serta tanaman obat seperti kunyit, jahe.
Hal.II-17
Sebagian anggota kelompok juga menginginkan penanaman tanaman hias seperti Anthurium
sp.
Aspek Kelembagaan
Hak Kepemilikan (property right). Hak kepemilikan termasuk dalam insitusi karena di
dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat
pengatur hubungan antar individu.
Hak kepemilikan yang ada di Cisadane Hulu adalah: (a) kepemilikan negara (state property)
berupa Taman Nasional Gede Pangrango yang sebelumnya dibawah penguasaan PT.
Perhutani, (b) kepemilikan privat (private property) yaitu tanah-tanah milik warga (umumnya
dalam bentuk sawah) dan dalam bentuk hak guna usaha (HGU) yang pada dasarnya
merupakan milik negara (state property) dengan pengalihan hak sementara ke pemilikan
privat, (c) pemilikan bersama (common property), yaitu beberapa petak sawah yang menjadi
milik kampung.
Dari jenis-jenis hak kepemilikan tersebut, pemilikan privat dalam bentuk HGU merupakan
yang terluas yang dikuasai oleh dua perusahaan, yaitu PT. Panggung dan PT. Pengembangan
Agro Prima (PAP). Lahan-lahan HGU itu saat ini digarap oleh para petani sejak adanya anjuran
dari Presiden BJ Habibie untuk memanfaatkan lahan terlantar untuk ditanami dengan
tanaman pangan.
Masyarakat menggunakan lahan-lahan HGU itu untuk bercocok tanaman pangan dan sayuran
semusim seperti jagung, kacang-kacangan, ubi kayu, mentimun, dan sejenisnya. Dari sisi
kaidah konservasi tanah (kemampuan tanah), lahan-lahan yang ada, yang dapat
dikategorikan sangat curam, seharusnya tidak boleh digunakan untuk pertanaman semusim,
karena sangat berpotensi menimbulkan erosi.
Pengembangan lokasi yang ada untuk percontohan model pengelolaan DAS terpadu perlu
mempertimbangkan aspek kepemilikan ini. Tanpa mempertimbangkan aspek kepemilikan ini,
maka investasi yang akan dilakukan yang bersumber dari anggaran negara hanya akan
dinikmati oleh perusahaan pemegang HGU itu. Padahal, pemanfaatan anggaran negara
seharusnya ditujukan untuk kemakmuran rakyat yang pendapatannya masih di bawah untuk
hidup layak
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama antara perusahaan
pemegang HGU dengan petani dengan jangka waktu tertentu yang cukup lama. Kerjasama ini
Hal.II-18
akan memberikan kepastian kepada para petani penggarap dan sekaligus memberikan
insentif kepada mereka agar melakukan berbagai tindakan konservasi tanah yang
direkomendasikan berdasarkan hasil kajian biofisik. Kepastian kerjasama ini seharusnya
sudah dilakukan sebelum ada investasi apapun yang bersumber dari anggaran negara.
Dari segi pengembangannya, proyek percontohan yang akan dilakukan mungkin akan sejalan
dengan PT. PAP yang sejak awal berencana untuk menjadikan lahan HGU yang dikuasainya itu
sebagai kawasan agro/ekoturisme. Namun tidak akan sejalan dengan rencana PT Panggung
yang berencana untuk melakukan eksploitasi penambangan pasir. Untuk itu negosiasi-
negosiasi awal untuk merumuskan kerjasama antara pemegang HGU, PT Panggung, dan para
petani penggarap perlu melibatkan pihak lain yang terkait seperti Dinas Tata Ruang
Kabupaten Bogor, karena pihak inilah, antara lain yang akan merekomendasikan perizinan
untuk penambangan pasir diperbolehkan atau tidak.
Khusus untuk lahan bekas Perhutani yang saat ini menjadi lahan Taman Nasional Gede
Pangrango, perlu juga dicarikan alternatif kerjasama dalam bentuk penentuan zoning
kawasan pemanfaatan. Selama ini, masyarakat terutama yang berdiam di Desa Wates Jaya
(Kampung Lengkong Girang dan Kampung Ciwaluh) memanfaatkan lahan bekas Perhutani
untuk bercocok tanam kumis kucing, kopi, sengon, serta menyadap getah pinus. Jika seluruh
lahan Taman Nasional itu tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh petani yang selama
ini menggarapnya, maka dengan sendirinya akan terjadi penurunan pendapatan ril warga.
Alternatif yang dapat dilakukan antara lain dengan memberlakukan zoning dengan tetap
memperbolehkan petani penggarap melanjutkan aktivitasnya saat ini dengan persyaratan-
persyaratan yang disepakati bersama, atau menyediakan alternatif sumber pendapatan yang
lain.
Organisasi. Berbagai bentuk pemanfaatan lahan yang ada di Cisadane Hulu baik yang
dilakukan di lahan-lahan milik pribadi (private property), lahan negara (stete property),
maupun lahan milik bersama (common property) akan menghasilkan ekternalitas baik
eksternalitas negatif maupun eksternalitas positif. Eksternalitas negatif antara lain berupa
sedimentasi yang diakibatkan oleh erosi yang masuk ke badan Sungai Cisadane, serta aliran
permukaan yang relatif tinggi jika lahannya terbuka. Sedangkan ekternalitas positif antara
lain dihasilkan oleh hutan atau vegetasi permanen yang ada, yang mengatur tata air sehingga
terjadi distribusi aliran yang relatif stabil antar musim, mengendalikan erosi, menyerap
karbon, menghasilkan oksigen, dan sebagainya.
Berbagai eksternalitas tersebut merupakan barang publik (public goods). Artinya, berbagai
eksternalitas negatif yang dihasilkan akan dirasakan akibatnya oleh publik (masyarakat luas),
demikian juga berbagai eksternalitas positif akan dinikmati oleh publik. Untuk itu diperlukan
aksi kolektif dan mekanisme imbal jasa terhadap jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan oleh
masyarakat hulu DAS Cisadane.
Hal.II-19
Selama ini jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan oleh masyarakat hulu DAS Cisadane tidak
pernah ditransaksikan dalam pasar. Masyarakat hilir DAS Cisadane menikmati berbagai jasa-
jasa lingkungan yang dihasilkan oleh masyarakat hulu tanpa kontribusi apapun (free riders).
Agar ada insentif bagi masyarakat hulu DAS Cisadane untuk melakukan konservasi terhadap
lahan-lahan yang ada, dan dapat melestarikan fungsi dari jasa-jasa yang dihasilkan, maka
berbagai jasa-jasa lingkungan itu perlu ditransaksikan dengan pengguna di hilir.
Sebagai langkah awal untuk itu, maka perlu dilakukan fasilitasi pembentukan organisasi dari
stakeholders hulu DAS Cisadane sebagai “penjual” jasa-jasa lingkungan tersebut. Organisasi
ini akan mewakili stakeholders hulu DAS Cisadane dalam melakukan transaksi dengan para
pengguna di hilir sebagai “pembeli”, sebagai jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan oleh
masyarakat hulu.
Organisasi semacam ini juga diperlukan untuk membangun modal sosial dalam rangka
mengembangkan aksi kolektif dalam mengelola barang publik (public goods) yang dihasilkan
dan mempromosikan aksi-aksi individu di lahannya masing-masing yang akan menghasilkan
ekternalitas positif atau setidaknya menekan eksternalitas negatif yang dihasilkan dari lahan
milik individu.
Hal.II-20