Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“TERAPI SINAR DAN SISTEM RUJUKAN BPJS”

DISUSUN OLEH
KELOMPOK II
KELAS B2 / SEMESTER I :

ASA KIRANA PUTRI 173112540120035


NURCAHAYA SILABAN 173112540120036
YUNITA FLORENCA 173112540120158
ELFI YANTI VERA 173112540120162

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah tentang terapi sinar dan sistem rujukan BPJS.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dalam pembuatan
makalah ini.Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang terapi sinar dan
sistem rujukan BPJS untuk masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Jakarta, Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
C. Tujuan .................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Terapi Sinar .......................................................................................... 4
1. Pengertian ....................................................................................... 4
2. Indikasi ........................................................................................... 4
3. Prinsip Kerja Terapi Sinar .............................................................. 4
4. Alat Terapi Sinar ............................................................................ 5
5. Persiapan Unit Terapi Sinar ........................................................... 5
6. Langkah Pelaksanaan Terapi Sinar ................................................ 5
7. Efek Samping Terapi Sinar ............................................................ 9
B. System Rujukan BPJS .......................................................................... 10
1. Pengertian ................................................................................. 10
2. Tingkatan / Jenjang Pelayanan Kesehatan BPJS ..................... 10
3. Prosedur Sistem Rujukan ......................................................... 11
4. Pelayanan Oleh Bidan dan Perawat ......................................... 12
5. Rujukan Parsial ........................................................................ 13
6. Forum Komunikasi Antar Fasilitas Kesehatan ....................... 13
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN .................................................................................... 14
B. SARAN ................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Terapi sinar (Fototerapi) rumah sakit merupakan tindakan yang
efektif untuk mencegah kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat.
Uji klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam mengurangi
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan
implementasinya telah secara Drastis membatasi penggunaan transfusi
tukar (Bhutani, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa ketika fototerapi
belum dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran kurang dari 1500
gram memerlukan transfusi tukar (Newman, et al , 2009).
Penelitian berbasis rumah sakit di USA menyimpulkan bahwa 5
s.d 40 bayi dari 1000 bayi kelahiran cukup bulan dan kurang bulan
memperoleh fototerapi sebelum dipulangkan dari perawatan (Maisels, et
al, 2008). Ketika fototerapi telah digunakan, hanya 2 dari 833 bayi
(0,24%) yang menerima transfusi tukar. Pada bulan Januari 1988 dan
Oktober 2007, tidak ada transfusi tukar yang dibutuhkan di NICU Rumah
Sakit William Beaumont, Royal Oak, Michigan untuk 2425 bayi yang
berat lahirnya kurang dari 1500 gram (Maisels, et al, 2008).
Dalam kurun waktu 20 tahun angka kematian bayi (AKB) telah
berhasil diturunkan secara tajam, namun AKB menurut Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002 – 2003 adalah 35 per 1000 KH. Angka
tersebut masih tinggi, dan saat ini mengalami penurunan cukup lambat.
Jika dilihat dariumur saat bayi meninggal berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001 sekitar 57% kematian terjadi di masa
neonatal dengan penyebab utama kematian adalah asfiksia bayi baru lahir
27%, prematuritas dan berat badan lahir rendah (BBLR) 29%, masalah
pemberian makan 10%, tetanus neonatorum 10%, masalah hematologi
6%, infeksi 5%, dan lainnya 13%. Kematian neonatus yang disebabkan
karena masalah hematologi adalah ikterus dan defisiensi vitamin K

1
(Kemenkes,2011).
Kecenderungan paling awal pada bayi cukup bulan akhir - akhir
ini semakin meningkat karena alasan medis, sosial, dan ekonomi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pulang awal meningkatkan
resiko rawat inap ulang, dan penyebab tersering rawat inap ulang selama
periode neonatal awal adalah hiperbilirubinemia (Triasih, 2003). Pada
awal era 90an, diperkenalkan program pemberian ASI eksklusif dan
rumah sakit sayang bayi. Seiring dengan mulai diterapkannya praktik
sedini mungkin dan ASI eksklusif, frekuensi kejadian ikterik neonatorum
semakin sering ditemui (Uhudiah, 2003).
Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu
pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi
terjadi sebagai hasil dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena
hati neonatus belum dapat membersihkan bilirubin cukup cepat dalam
darah. Walaupun sebagian besar bayi lahir dengan ikterik normal, tapi
mereka butuh monitoring karena bilirubin memiliki potensi meracuni
sistem saraf pusat (Maisels, et al, 2008).
Bilirubin serum dapat naik ke tingkat berbahaya yang
menimbulkan ancaman langsung dari kerusakan otak. Akut ensefalopati
bilirubin gangguan yang mungkin jarang terjadi, namun sering dapat
berkembang menjadi kernikterus yaitu suatu kondisi yang dapat
melumpuhkan dan menimbulkan kerusakan kronis yang ditandai oleh
tetrad klinis cerebral palsy choreoathetoid, kehilangan pendengaran saraf
pusat, saraf penglihatan vertikal, dan hypoplasia enamel gigi sebagai
hasilnya keracunan bilirubin (Wathcko, et al,2006).
Faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir
Cukup (BBLC) yang secara statistik bermakna adalah keterlambatan
pemberian ASI, efektifitas menetek dan asfiksia neonatorum menit ke-1
(Lasmani, 2000). Peningkatan yang lebih besar dan lebih berkepanjangan
di tingkat bilirubin dapat disebabkan oleh gangguan hemolitik
(Inkompatibilitas ABO atau faktor Rh), glukosa-6-fosfat dehidrogenase

2
kekurangan, atau trauma kelahiran. Secara klinis hiperbilirubinemia
relevan juga terlihat di antara pemberian ASI bayi baru lahir cukup bulan
atau prematur (Grohmanna, et al, 2006).
Sistem rujukan merupakan suatu upaya kesehatan yaitu suatu
sistem jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan
terjadinya penyerahan tanggung jawab secara vertikal maupun horiontal
kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih kompeten, terjangkau
dan rasional.BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan)merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
Sistem rujukan BPJS dapat membantu penanganan bayi yang
memerlukan tindakan terapi sinar. Dengan sistem rujukan dapat
mengurangi AKB akibat insiden ikterus. Oleh karena itu, penulis akan
membahas mengenai terapi sinar dan sistem rujukan BPJS.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah Terapi Sinar dan Sistem
Rujukan BPJS itu ?”

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian terapi sinar
2. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan terapi sinar
3. Untuk mengetahui pengertian system rujukan BPJS
4. Untuk mengetahui prosedur system rujukan BPJS.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. TERAPI SINAR
1. Pengertian
Terapi sinar adalah terapi menggunakan sinar untuk
menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia jinak hingga moderat. Fototerapi dapat
menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin indirect yang mudah
larut di dalam plasma dan lebih mudah di ekskresi oleh hati ke
dalam saluran empedu. Meningkatnya foto bilirubin dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam
usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin akan lebih
cepat meninggalkan usus.

2. Indikasi
Penggunaan terapi sinar sesuai anjuran dokter biasanya
diberikan pada neonatus dengan kadar bilirubin indirect lebih dari
10mg % sebelum tranfusi tukar, atau sesudah transfuse tukar.

3. Prinsip Kerja Terapi Sinar


Terapi sinar dapat memecah bilirubin menjadi dipirol yang
tidak toksis dan di ekskresikan dari tubuh melalui urine dan feses.
Cahaya yang dihasilkan oleh terapi sinar menyebabkan reaksi
fotokimia dalam kulit (fotoisomerisasi) yang mengubah bilirubin
tak terkonjugasi ke dalam fotobilirubin dan kemudian di eksresi di
dalam hati kemudian ke empedu, produk akhir reaksi adalah
reversible dan di ekresikan ke dalam empedu tanpa perlu
konjugasi. Energy sinar dari foto terapi mengubah senyawa 4Z-
15Z bilirubin menjadi senyawa bentuk 4Z-15E bilirubin yang
merupakan bentuk isomernya yang mudah larut dalam air.

4
4. Alat Terapi Sinar
Bagian- bagian alat terapi sinar :
a. Kabel penghubung alat dengan sumber listrik
b. Pengatur jarak lampu dengan bayi
c. Tombol power on/off untuk menghidupkan atau
mematikan lampu fototerapi
d. Hourmeter (petunjuk berapa jam fototerapi yang sudah
dipakai).
5. Persiapan Unit Terapi Sinar
a. Pastikan bahwa tutup plastik atau pelindung berada pada
posisinya. Hal ini mencegah cedera pada bayi jika lampu
pecah dan membantu menapis sinar ultraviolet yang
berbahaya.
b. Hangkatkan ruangan tempat unit diletakkan, bila perlu,
sehingga suhu dibawah sinar adalah 28oC sampai 30oC.
c. Nyalakan unit, dan pastikan bahwa semua tabung
fluoresen bekerja
d. Ganti tabung fluoresen yang terbakar atau yang berkedip-
kedip
e. Catat tanggal tabung diganti dan ukur durasi total
penggunaan tabung tersebut.
f. Ganti tabung setiap 2000 jam penggunaan atau setelah tiga
bulan, mana saja yang terlebih dahulu, walaupun tabung
masih bekerja.
g. Gunakan seprai putih pada pelbet, tempat tidur bayi, atau
inkubator, dan letakkan tirai putih disekitar tempat area
tempat unit diletakkan untuk memantulkan sinar sebanyak
mungkinkembali ke bayi.

6. Prosedur Pelaksanaan
a. Letakkan bayi di bawah fototerapi

5
 Jika berat badan bayi 2 kg atau lebih, letakkan bayi
telanjangpada pelbet atau tempat tidur.Letakkan
atau jaga bayi kecil dalam inkubator.
 Perhatikan adannya bilier atau obstruksi usus.
Rencana fototerapi dikontraindikasikan pada
kondisi ini karena fotoisomer bilirubin yang
diproduksi dalam kulit dan jaringan subkutan
dengan pemajanan pada terapi sinar tidak dapat
diekskresikan.
 Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu fluorensen
(sinar putih atau biru) dengan menggunakan
fotometer. Intensitas sinar menembus permukaan
kulit dari spectrum biru menentukan seberapa
dekat bayi ditempatkan terhadap sinar. Sinar biru
khusus dipertimbangkan lebih efektif daripada
sinar putih dalam meningkatkan pemecahan
bilirubin.
 Letakkan bayi di bawah sinar sesuai dengan yang
di indikasikan.
 Tutupi mata bayi dengan potongan kain, pastikan
bahwa potongan kain tersebut tidak menutupi
hidung bayi. Inspeksi mata setiap 2 jam untuk
pemberian makan. Sering pantau posisi. Mencegah
kemungkinan kerusakan retina dan konjungtiva
dari sinar intensitas tinggi. Pemasangan yang tidak
tepat dapat menyebabkan iritasi, abrasi kornea dan
konjungtivitis, dan penurunan pernapasan oleh
obstruksi pasase nasal.
 Tutup testis dan penis bayi pria. Mencegah
kemungkinan kerusakan penis dari panas
 Ubah posisi bayi setiap 2 jam. Hal ini

6
memungkinkan pemajanan seimbang dari
permukaan kulit terhadap sinar fluoresen,
mencegah pemajanan berlebihan dari bagian tubuh
individu dan membatasi area tertekan.
b. Pastikan bayi diberi makan
 Dorong ibu menyusui sesuai kebutuhan tetapi
minimal setiap 2 jam :
 Selama pemberian makan, pindahkan bayi
dari unit fototerapi dan lepaskan kain
penutup mata.
 Memberikan suplemen atau mengganti ASI
dengan jenis makanan atau cairan lain tidak
diperlukan (mis: pengganti ASI,air, air
gula,dsb)
 Jika bayi mendapkan cairan IV atau perasaan ASI,
tingkatkan volume cairan dan/atau susu sebanyak
10% volume harian total perhari selama bayi
dibawah sinar fototerapi
 Jika bayi mendapkan cairan IV atau diberi makan
melalui slang lambung, jangan memindahkan bayi
dari sinar fototerapi.
c. Perhatikan bahwa feses bayiwarna dan frekuensi
defekasidapat menjadi encer dan urin saat bayi
mendapatkan fototerapi. Hal ini tidak membutuhkan
penangan khusus. Defekasi encer, sering dan kehijauan
serta urin kehijauan menandakan keefektifan fototerapi
dengan pemecahan dan ekskresi bilirubin.
d. Dengan hati- hati cuci area perianal setelah setiap defekasi
,inspeksi kulit terhadap kemungkinan iritasi dan
kerusakan. Membantu mecegah iritasi dan ekskoriasi dari
defekasi yang sering atau encer.

7
e. Lanjutkan terapi dan uji yang diprogramkan lainnya:
 Pindahkan bayi dari unit foterapi hanya selama
prosedur yang tidak dapat dilakukan saat dibawah
sinar fototerapi
 Jika bayi mendapkan oksigen, matikan sinar
sebentar saat mengamati bayi untuk mengetahui
adanya sianosis sentral (lidah dan bibir biru).
f. Pantau kulit bayi dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih
sering sampai stabil (mis, suhu aksila 97,8 F, suhu rectal
98,9 F). Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai
respons terhadap pemajanan sinar, radiasi dan konveksi.
g. Pantau masukan dan haluaran cairan, timbang BB bayi
dua kali sehari. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi (mis,
penurunan haluaran urine, fontanel tertekan, kulit hangat
atau kering dengan turgor buruk, dan mata cekung).
Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%.
Peningkatan kehilangan air melalui feses dan evaporasi
dapat menyebabkan dehidrasi.
h. Ukur kadar bilirubin serum setiap 12 jam. Penurunan
kadar bilirubin menandakan keefektifan fototerapi,
peningkatan yang kontinu menandakan hemolisis yang
kontinu dan dapat menandakan kebutuhan terhadap
transfuis tukar.
 Hentikan fototerapi jika kadar bilirubin serum di
bawah kadar saat fototerapi di mulai atau 15mg/dl
(260umol), mana saja yang lebih rendah.

 Jika bilirubin serum mendekati kadar yang


membutuhkan tranfusi tukar atau pemindahan dan
segera rujuk bayi kerumah sakit tersier atau pusat
spesialisasi untuk tranfusi tukar, jika

8
memungkinkan. Kirim sampel darah ibu dan bayi.

i. Jika serum bilirubin tidak dapat diukur, hentikan


fototerapi setelah tiga hari. Bilirubin pada kulit dengan
cepat menghilang dibawah fototerapi. Warna kulit tidak
dapat digunakan sebagai panduan kadar bilirubin serum
selama 24 jam setelah penghentian fototerapi.
j. Setelah fototerapi dihentikan :
 Amati bayi selama 24 jam dan ulangi pengukuran
bilirubin serum, jika memungkinkan atau perkiraan
ikterus dengan menggunakan metode klinis.
 Jika ikterus kembali ke atau di atas kadar di
mulainya fototerapi, ulangi fototerapi dengan
banyak waktu yang sama seperti awal pemberian.
Ulangi langkah ini setiap kali fototerapi dihentikan
sampai pengukuran atau perkiraan bilirubin tetap
di bawah kadar yang membutuhkan fototerapi.
k. Jika fototerapi tidak lagi dibutuhkan, bayi makan dengan
baik dan tidak terjadi masalah lain yang membutuhkan
hospitalisasi, pulangkan bayi.
l. Ajari ibu cara mengkaji ikterus, dan anjurkan ibu kembali
jika bayi menjadi lebih icterus.

7. Efek Samping
a. Tanning (perubahan warna kulit) : induksi sintesis melanin
dan atau disperse oleh cahaya ultra violet.
b. Syndrome bayi Bronze : penurunan ekskresi hepatic dari
foto produk bilirubin.
c. Diare : bilirubin menginduksi seksresi usus.
d. Intoleransi laktosa : trauma mukosa dari epitel villi.
e. Hemolisis : trauma fotosensitif pada eritrosist sirkulasi.

9
f. Kulit terbakar : paparan berlebihan karena emisi
gelombang pendek lampu fluoresen.
g. Dehidrasi : peningkatan kehilangan air yang tak disadari
karena energy foton yang diabsorbsi.
h. Ruam kulit : trauma fotosensitif pada sel mast kulit
dengan pelepasan histamine.

B. SISTEM RUJUKAN BPJS


1. Pengertian
Sistem rujukan merupakan suatu upaya kesehatan yaitu suatu
sistem jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan
terjadinya penyerahan tanggung jawab secara vertikal maupun
horiontal kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih kompeten,
terjangkau dan rasional.
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan) merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan
beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap
pesertanya, BPJS Kesehatan menerapkan apa yang disebut sebagai
sistem rujukan. Di dalam sistem ini telah terangkum syarat dan
ketentuan bagi peserta BPJS Kesehatan yang ingin mendapatkan
layanan kesehatan.

2. Tingkat/Jenjang Pelayanan Kesehatan BPJS


Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan
yaitu :
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer)

10
Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan
kesehatan dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder)
Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan
kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan spesialistik.
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tersier)
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan
kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub
spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.

3. Prosedur Sistem Rujukan


Sistem rujukan BPJS dilaksanakan secara berjenjang sesuai
kebutuhan medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh
fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka
pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder
hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan
faskes primer.
Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk
langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan
diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan
hanya tersedia di faskes tersier. Ketentuan pelayanan rujukan
berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi :

11
a. Bencana, yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah
b. Terjadi keadaan gawat darurat, mengikuti ketentuan yang
berlaku
c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien. untuk kasus
yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi
tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan
d. Pertimbangan geografis
e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas
Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai
dengan sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan
yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan
oleh BPJS Kesehatan.

4. Pelayanan Oleh Bidan Dan Perawat


a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke
dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan
tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan

12
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi
di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi
pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.

5. Rujukan Parsial
Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke
pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan
diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian
perawatan pasien di Faskes tersebut.Rujukan parsial dapat berupa:
a. Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang atau tindakan
b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka
penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

6. Forum Komunikasi Antar Fasilitas Kesehatan


a. Untuk dapat mengoptimalisasikan sistem rujukan berjenjang,
maka perlu dibentuk forum komunikasi antar Fasilitas
Kesehatan baik faskes yang setingkat maupun antar tingkatan
faskes, hal ini bertujuan agar fasilitas kesehatan tersebut dapat
melakukan koordinasi rujukan antar fasilitas kesehatan
menggunakan sarana komunikasi yang tersedia
b. Forum Komunikasi antar Faskes dibentuk oleh masing-
masing Kantor Cabang BPJS Kesehatan sesuai dengan
wilayah kerjanya dengan menunjuk Person In charge (PIC)
dari masing-masing Faskes. Tugas PIC Faskes adalah
menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam rangka
pelayanan rujukan

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Terapi sinar adalah terapi menggunakan sinar untuk menurunkan
kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubinemia jinak
hingga moderat.Penggunaan terapi sinar sesuai anjuran dokter
biasanya diberikan pada neonatus dengan kadar bilirubin indirect
lebih dari 10mg % sebelum tranfusi tukar, atau sesudah transfuse
tukar.Terapi sinar dapat memecah bilirubin menjadi dipirol yang
tidak toksis dan di ekskresikan dari tubuh melalui urine dan feses.
2. Sistem rujukan merupakan suatu upaya kesehatan yaitu suatu sistem
jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya
penyerahan tanggung jawab secara vertikal maupun horiontal kepada
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih kompeten, terjangkau dan
rasional. Sistem rujukan BPJS dilaksanakan secara berjenjang sesuai
kebutuhan medis. Jenjang pelayanan dimulai dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga.

B. SARAN
1. Kepada orang tua agar menjaga kesehatan bayinya, terutama kepada
ibu menyusui agar menyusui bayinya sesuai kebutuhan bayi (ASI on
demand) agar bayi terhindar dari masalah ikterik yang menyebabkan
pemberian terapi sinar/ blue lite.
2. Kepada pihak pengelola klink atau rumah sakit agar terus
meningkatkan skill dalam penggunaan terapi sinar mengingat alat
tersebut efek samping.
3. Bagi masyarakat agar lebih meningkatkan kesehatan dengan
memanfaatkan sistem BPJS.

14
DAFTAR PUSTAKA

Budhi, Nike Subekti. 2008. Buku Saku Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir.
EGC :Jakarta
Doengoes, Marilynn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi. EGC:Jakarta
Panduan Praktis 04 : “Sistem Rujukan Berjenjang” BPJS Kesehatan
Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. EGC : Jakarta.
https://bpjskesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/7c6f09ad0f0c398a171ac4a6678
a8f06.pdf
https://www.bpjs-online.com/sistem-rujukan-bpjs-wajib/
https://www.deherba.com/terapi-sinar-biru-untuk-bayi-kuning.html
https://www.scribd.com/doc/214075428/SOP-Fototerapi

15

Anda mungkin juga menyukai