Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

RHINITIS ALERGI DENGAN KOMPLIKASI


OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Disusun oleh :

Pingky Dewi Anggraeni

030.14.155

Pembimbing:
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, MSi. Med.
dr. Heri Puryanto, M.Sc, Sp.THT-KL.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Rhinitis Alergi Dengan Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik

Oleh :

Pingky Dewi Anggraeni

030.14.155

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala & Leher

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

Periode 25 Agustus – 29 September 2018

Tegal, September 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Fahmi Novel, Sp. THT- KL, Msi.Med dr. Heri Puryanto, M.Sc, Sp. THT-KL

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… 2

BAB 1. PENDAHULUAN……………………………………………………. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………............ 4

BAB III. LAPORAN KASUS…………………………..................................... 17

BAB IV. PEMBAHASAN…………………………………………………...... 26

BAB V. KESIMPULAN…………………………………… ............................. 27

DAFTAR PUSTAKA……………………………………….............................. 28

2
BAB I

PENDAHULUAN

Alergi terhitung sebagai keluhan utama dari 50% pasien baru pada bidang
THT. Keahlian dalam menatalaksana masalah alergi dari saluran pernafasan bagian
atas adalah keahlian yang sangat berharga sebagai seorang ahli THT. 2

Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus
dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang
akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini
tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis. Rinitis alergi berpotensi mengalami
komplikasi seperti sinusitis, polip nasi dan disfungsi tuba yang akan menyebabkan
kelainan telinga tengah , derajat ringan sampai berat, tergantung dari lama dan
beratnya rinitis alergi serta faktor lainnya. 1

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronik telinga tengah
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulent.
Prevalensi OMSK tinggi dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Di negara
berkembang dan. negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan
prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi
terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggris kurang dari 1%. Di Indonesia
menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Depkes tahun 2006-
2009 prevalensi OMSK adalah 3,1% populasi. Usia terbanyak penderita infeksi
telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah
OMSK. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai OMSK
agar di masa yang akan datang angka prevalensi OMSK dapat diturunkan. 1,2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RHINITIS ALERGI


2.1.1 Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1

1. pangkal hidung (bridge),


2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1

1. tulang hidung (os nasalis),


2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal

4
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,


2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. 1

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,

5
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema disebut juga rudimenter. 1

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media

6
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid,
prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior.1

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 1

PENDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna.1

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris


interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. 1

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial. 1

7
PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 1

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. 1

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. 1

8
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus
yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1

2.1.2 Fisologi
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1

1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local.

2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu.

3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4. Fungsi static dan mekanik


Untuk meringankan beban kepala.

9
5. Reflex nasal.

A. FUNGSI RESPIRASI
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 1

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. 1

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi


b. Silia
c. Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

B. FUNGSI PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan


rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. 1

10
C. FUNGSI FONETIK
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole
turun untuk aliran udara. 1

D. REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.1

2.1.3 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. 1

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup.
Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar
maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain,
seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.3

11
2.1.4 Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen,
yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang
secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang,
jamur, serbuk sari, dan lain-lain.1

2.1.5 Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi
problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien
datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini
dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke
dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.3

2.1.6 Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-
self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan
empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan
tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan
terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi
modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk
memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.5

12
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 1

Gambar 4. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 1

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan


bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 1

13
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 1

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

14
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi. 1

2.1.7 Gambaran Histopatologi

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan


pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. 1

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan


serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. 1

Gambar 5. Jenis Alergen

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan


Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan serta jamur.

15
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan


Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan


mukosa
Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma
bronchial dan rhinitis alergi. 1

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari: 1

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh

16
2.1.8 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu: 1

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan
di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain,
seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari


WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1

1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

17
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1

1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.

2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.1.9 Diagnosis
2.1.9.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. 1
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat
berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang
dikeluhkan.4
2.1.9.2 Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah

18
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,


karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease.1

Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,


sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue). 1

19
Gambar 8. Facies Adenoid

Gambar 9. Geographic Tongue

2.1.9.3 Pemeriksaan Penunjang


a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
SorbentAssay Test). 1

20
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (³Challenge Test´).1

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan. 1

2.1.10 Diagosis banding


Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:1,6

1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang
disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,
kadar antibodi IgE spesifik serum).

21
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari
penyebabnya, antara lain:

- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)


Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-
silia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar
(PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan
sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-
kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.7

2.1.11 Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 1
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 1,4
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus

22
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah


serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa. 1

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

23
Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg
untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk
dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini
yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 4

c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. 1
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).

24
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap
rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 1
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 1
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek
yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup
pasien. 8
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 1

25
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 1

1. Polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif
3. Sinusitis paranasal.

2.2 OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


2.2.1 Anatomi
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :13

Batas luar : membran timpani

Batas depan : tuba eustakhius

Batas bawah : vena jugular (bulbus jugularis)

Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

Batas atas : tegmen timpani (meningen/ otak)

Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis


horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window) dan promontorium.

Gambar 10. Anatomi Telinga.15

26
Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus,
dan tuba eustakhius.9,13,14

1. MembranTimpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang
vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan
ketebalannya rata-rata 0,1 mm .Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap
liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan
membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membran timpani berbentuk
kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol ke arah kavum timpani yang
dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah tampak refleks cahaya (cone of ligt).

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu Stratum kutaneum (lapisan


epitel) berasal dari liang telinga, stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari
kavum timpani, stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum
kutaneum dan mukosum.

Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yakni pars tensa
dan pars flaksida :9

a. Pars tensa
Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.

b. Pars flaksida atau membran Shrapnell.


Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :Plika maleolaris anterior (lipatan muka), Plika
maleolaris posterior (lipatan belakang).

Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang


dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini
dan bagian ini disebut insisura timpanika (rivini). Permukaan luar dari membran
timpani disarafi oleh cabang nervus aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan

27
nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus timpani cabang dari nervus
glossofaringeal.

Aliran darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri
timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stilomastoid cabang
dari arteri aurikula posterior.

Gambar 11. Membran Timpani

2. Kavum Timpani

Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding
yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.

Kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus


(hammer/martil), inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana), otot, terdiri atas: otot
tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot stapedius (muskulus stapedius),
saraf korda timpani, saraf pleksus timpanikus.1,5

28
2. Prosesus mastoideus

Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke


kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada
daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.

4. Tuba eustakhius.9,13,14

Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah,
depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.

Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan
pendek (1/3 bagian), bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang
(2/3 bagian).

Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi


masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah.Ventilasi berguna untuk menjaga
agar tekanan di telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Adanya fungsi
ventilasi tuba dapat dibuktikan dengan melakukan perasat Valsava dan perasat
Toynbee.13

Perasat Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil mulut dipencet
serta mulut ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara yang masuk ke
telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh
dilakukan kalau ada infeksi pada jalur nafas atas.5Perasat Toynbee dilakukan dengan
cara menelan ludah sampai hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka
maka akan terasa membran timpani tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.13

2.2.2 Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronik telinga tengah

29
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.9,10,12

Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi
otitis media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh
pasien yang rendah (gizi kurang), dan higiene yang buruk.11,12

2.2.3 Epidemiologi
Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum insiden OMSK dipengaruhi
oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering dijumpai pada orang
Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di
Afrika Selatan.

Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul
oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa
daerah minoritas di Pasifik.Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan
kumuh, dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi
dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang.11
Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa beban dunia akibat OMSK
melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, dimana 60% di antaranya (39–
200 juta) menderita kurangnya pendengaran yang signifikan.

Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan termasuk


dalam klasifikasi tinggi dalam tingkatan klasifikasi insidensi. Pasien OMSK meliputi
25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran oleh
Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga,
Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi
morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar
38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronik antara2,1-5,2%.4 Data poliklinik

30
THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK
merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.11

2.2.4 Klasifikasi
1. Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rinogen)

Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa
saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya
perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan
keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama
patensi tuba eustakhius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping itu
campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi sekunder dari epitel skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini.
Sekret mukoid kronik berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari
mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.

2. Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang)

Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini
letaknya marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars flaksida. Karakteristik
utama dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi yang berisi tumpukan keratin
sampai menghasilkan kolesteatom.

Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,


berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling
sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun lokal
sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang
dapat ditemui dalam matrik kolesteatom adalah interleukin-1, interleukin-6, tumor
necrosis factor-α, dan transforming growth factor. Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-
sel keratinosit matriks kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan
mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis
terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan bakteri.9,11,13

31
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:

a. Kongenital16

Kolestatom kongenital terbentuk pada masa embrionik. Patogenesis


kolesteatom kongenital tidak sepenuhnya dimengerti. Namun ada beberapa teori
diantaranya Teed menyatakan bahwa penebalan epitel ektodermal berkembang
bersama-sama dengan ganglion genikulatum , dari medial sampai ke bagian leher dari
tulang malleus. Kumpulan epitel ini nantinya akan mengalmi involusi menjadi
lapisan lapisan epitel telinga tengah. Jika involusi ini gagal terjadi maka kumpulan
epitel tersebut akan menjadi kolesteatom kongenital.

Pada kolesteatom kongenital ditemukan membran timpani utuh tanpa tanda-


tanda infeksi, lokasi kolesteatom biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid
atau di serebelopontin angle.13

Gambar 12. Kolesteatom Kongenital

Gambar 13. Kolesteatom kongenital

32
b. Didapat13

Kolesteatom yang terbentuk setelah anak lahir, dapat dibagi atas:

Primary acquired cholesteatoma.Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh


perforasi membran timpani pada daerah atik atau pars flasida, timbul akibat adanya
proses invaginasi dari membrane timpani pars flaksida karena adanya tekanan negatif
di telinga tengah akibat gangguan tuba.

Secondary acquired cholesteatoma.Kolesteatom yang terbentuk setelah terjadi


perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya
epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga
tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena
iritasi infeksi yang berlansung lama (teori metaplasia).

Gambar 14. Kolesteatom didapat

Teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat implantasi epitel


kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury,
pemasangan pipa ventilasi, atau setelah miringotomi.

Kolesteatom merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman


(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa.
Sebaliknya infeksi dapat memicu respon imun local yang mengakibatkan produksi
berbagai mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat
pada matrix kolesteatom adalah interleukin-1 ( IL-1), interleukin-6, tumor necrosis

33
factor alpha, dan transforming growth factor. Zat- zat ini dapat menstimulasi sel-sel
kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruktif dan mampu berangiogenesis.

2.2.5 Patogenesis
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus
atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan dan
sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat infeksi
telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa dan
kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi jalan
napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut
(OMA).9,11

Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses
inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan
merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi
biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara proses
inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini berlanjut terus
akan merusak jaringan sekitarnya.9,11

34
Gambar 15 Patogenesis Otitis Media13

2.2.6 Faktor resiko


Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) dan mencapai telinga tengah melalui tuba
eustakhius. Fungsi tuba eustakhius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan palatoskisis dan sindrom down. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK
yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK
yang relatif tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Kelainan humoral, seperti
hipogammaglobulinemia dan cell-mediated (infeksi HIV) dapat timbul sebagai
infeksi telinga kronik.

Faktor-faktor risiko OMSK antara lain :

1. Lingkungan9,11

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
terdapat hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana
kelompok sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah
hampir dipastikan, bahwa hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
dan tempat tinggal yang padat.

2. Genetik9,11

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor

35
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

3. Otitis media sebelumnya 9,11

Secara umum dikatakan otitis media kronik merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronik.

4. Infeksi 9,11

Proses infeksi pada otitis media supuratif kronik sering disebabkan oleh
campuran mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar
yang ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah
Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus aureus
25%. Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan
kebanyakan infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada
umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.

5. Infeksi saluran nafas atas9,11

Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran


nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam
telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun 9,11

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar


terhadap otitis media kronik.

7. Alergi 9,11

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronik yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita
yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun
hal ini belum terbukti kebenarannya.

36
8. Gangguan fungsi tuba eustakhius9,11

Hal ini terjadi pada otitis kronik aktif, dimana tuba eustakhius sering
tersumbat oleh edema. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran
timpani menetap pada OMSK :1Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid
yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut, berlanjutnya obstruksi
tuba eustakhius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi, beberapa
perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel.

Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang


cepat di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga mencegah penutupan
spontan dari perforasi.

2.2.7 Gejala
1. Telinga berair (otore)

Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan
sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara
luas. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.9,11

2. Gangguan pendengaran

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya


dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran
mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai
tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar
suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-
hati.

Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya


infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel

37
labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan
terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.9,11

3. Otalgia (nyeri telinga)

Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat
hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.11

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.


Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan vertigo dapat
terjadi karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi
serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis
dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada
kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani.9 Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna: adanya
abses atau fistel retroaurikular, jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang
berasal dari kavum timpani, pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma
kolesteatom), foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

38
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:

1. Anamnesis (history-taking) 9,11,14

Penyakit telinga kronik ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita


seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang
paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih
banyak dan seperti benang, tidak berbau bususk, dan intermiten. Sedangkan pada tipe
atikoantral sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan
jaringan granulasi atau polip, dan sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada
kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar
darah.

2. Pemeriksaan otoskopi9,11,14

Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari


perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan audiologi9,11,14

Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai


hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna
untuk menilai ‘speech reception threshold‘ pada kasus dengan tujuan untuk
memperbaiki pendengaran.

4. Pemeriksaan radiologi9,11

Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronik memiliki


nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan
audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang tampak
sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang yang
berada di daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi radiografi tyang
sekarang biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan
memperlihatkan luasnya pnematisasi mastoid dari arah lateral dan atas.

39
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada
atau tidaknya tulang–tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada
kanalis semisirkularis horizontal.9,11

5. Pemeriksaan bakteriologi

Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjuan dari mulainya


infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronik berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada
OMSK adalah Pseudomonasaeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Proteus sp.
Sedangkan bakteri pada otitis media supuratif akut adalah Streptococcus pneumonie
dan H. influenza.17

Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan ini
agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih sering
berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.

2.2.9 Tatalaksana
Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronik, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.
Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -
obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.9,11,13

Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat
dibagi atas: konservatif dan operasi.

1. Otitis media supuratif kronik benigna

a. Otitis media supuratif kronik benigna tenang

Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan


mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan

40
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

b. Otitis media supuratif kronik benigna aktif

Prinsip pengobatan OMSK adalah :

1) Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)

Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):9

a) Toilet telinga secara kering (dry mopping).

Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri
antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga
dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap
hari sampai telinga kering.

b) Toilet telinga secara basah (syringing).

Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian
dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini
sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan
penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian serbuk antibiotik dalam
jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat
diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan iodine.

c) Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)

Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan mikroskopis operasi adalah
metode yang paling populer saat ini. Setelah itu dilakukan pengangkatan mukosa
yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan.
Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang
kooperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anestesi.
Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
“displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.

41
2). Pemberian antibiotika :9,11

a) Antibiotik topikal

Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Irigasi
dianjurkan dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam yang merupakan media
yang buruk untuk tumbuhnya kuman.

Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga


tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan
lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.

Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :

 Polimiksin B atau polimiksin E: Obat ini bersifat bakterisid terhadap


kuman gram negatif.
 Neomisin: Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik
terhadap ginjal dan telinga.
 Kloramfenikol :Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan
negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa.
b) Antibiotik sistemik.9,11

Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur


kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan
faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.

Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,


antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya
tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh,
misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah
antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian

42
dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta
laktam.

Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon (siprofloksasin dan


ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidin, dan
seftriakson) yang juga efektif untuk Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara
parenteral.

Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang bersifat bakterisid.


Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu
atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

2. Otitis media supuratif kronik maligna.9,11,15

Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan


konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum
dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna atau maligna, antara lain :13

a. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari
jaringan patologik. Tujuannya adalah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair
lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.

b. Mastoidektomi radikal

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau kolesteatom yang
sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari
semua jaringan patolgik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah
dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi
satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi pendengaran tidak diperbaiki.

43
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh berenang seumur hidupnya dan harus
kontrol teraut ke dokter.

Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur pada rongga operasi serta
membuat meatoplasti yang lebar sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi
terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga luar menjadi lebar.

c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi

Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum
merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior
liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih ada

d. Miringoplasti

Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan
timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di membran timpani. Tujuan
operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe
aman dengan perforasi yang menetap. Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman
fase tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran
timpani.

e. Timpanoplasti

Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih berat atau
OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan pengobatan medikamentosa.
Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.

Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan
juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang
pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V.
Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani
dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak
jarang operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12 bulan.

44
f. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)

Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus
OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan operasi ini ialah untuk
menyembuhkan penyakit dan memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik
mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di membran timpani, dikerjakan
melalui 2 jalan (combine approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid
dengan melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini pada OMSK tipe
bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering kambuhnya kolesteatom
kembali.

45
Gambar 16. Pedoman tatalaksana OMSK20

2.2.10 Komplikasi
Cara penyebaran infeksi dapat dengan penyebaran hematogen, penyebaran
melalui erosi tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada.

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam
lintasan :9,11

1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak

Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya
infeksi.

2. Menembus selaput otak.

Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan meningitis. Dura sangat


resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih melekat
ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang subdura
yang berdekatan.

46
3. Masuk ke jaringan otak.

Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan


permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan
otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang
Virchow Robin yang berakhir di daerah vaskular subkortek.

Pengenalan yang baik terhadap perkembangan prasyarat untuk mengetahui timbulnya


komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala
klinik dengan tidak berhentinya otore dan pada pemeriksaan otoskopik tidak
menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus
diwaspadai kemungkinan adanya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh,
nyeri kepala atau adanya tanda-tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk,
somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya.Timbulnya nyeri
kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah proyektil
serta kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda
kenaikan tekanan intrakranial. Komplikasi OMSK antara lain :13

1. Komplikasi di telinga tengah

Akibat infeksi telingan tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada membran
timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus, akan
menyebabkan tuli konduktif yang berat.

a. Paresis nervus fasialis

Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronik, kerusakan terjadi oleh erosi tulang
oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis
fasialis tersebut.

Pada otitis media supuratif kronik, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa
harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik. Derajat kelumpuhan nervus fasialis
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen
(%) :

47
Pemeriksaan Fungsi Saraf Motorik :

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimik
dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara
berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut :

1. M. frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.


2. M. sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
3. M. piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung
ke atas.
4. M. orbicularis oculi : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-
kuat.
5. M. zigomatikus : diperiksa dengana cara tertawa lebar sampai
memperlihatkan gigi.
6. M. relever komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan
sambil memperlihatkan gigi.
7. M. businator : diperiksa dengan cara mengembungkan kedua pipi.
8. M. orbicularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul.
9. M. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah.
10. M. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat
ke depan.

Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan
kiri :Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka 3

1. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka 1


2. Diantaranya dinilai dengan angka 2
3. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka 0
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai 30.

Skala House-Brackman dalam menentukan kelumpuhan nervus fasialis

1. Grade I adalah fungsi fasial normal.


2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
• Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetail.

48
• Sinkinesis ringan dapat terjadi.
• Simetris normal saat istirahat.
• Gerakan dahi sedikit sampai baik.
• Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
• Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.

• Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan.

• Simetris normal saat istirahat.

• Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

• Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.


• Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai


berikut:
• Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
• Simetris normal saat istirahat.
• Tidak terdapat gerakan dahi.
• Mata tidak menutup sempurna.
• Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
• Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

• Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

• Tidak terdapat gerakan pada dahi.

• Mata menutup tidak sempurna.

• Gerakan mulut hanya sedikit.

6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:


• Asimetris luas.

49
• Tidak ada gerakan.

2.Komplikasi di telinga dalam

Apabila peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi, ada kemungkinan
produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui tingkap bulat (fenestra
rotundum). Selama kerusakan hanya sampai bagian basalnya saja biasanya tidak
menimbulkan keluhan pada pasien. Akan tetapi apabila kerusakan telah menyebar ke
koklea akan menjadi masalah. Hal ini sering dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang tidak membaik
dalam 48 jam dengan pengobatan medikamentosa saja.

Penyebaran oleh proses destruksi seperti oleh kolesteatom atau infeksi langsung ke
labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan pendengaran, misalnya
vertigo, mual, muntah serta tuli saraf. Komplikasi telinga dalam antara lain :

a. Fistula Labirin

Otitis media supuratif kronik terutama yang dengan kolesteatom dapat


menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga terbentuk
fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga terjadi labirinitis dan akhirnya
akan terjadi komplikasi tuli total atau meningitis.

Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan memberikan
tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui otoskop siegel atau
corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang
dimasukkan ke dalam liang telinga. Balon karet dipencet dan udara di dalamnya
menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi
masih paten akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif
akan terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya sudah
tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/ paresis kanal.

Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat


memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis semisirkularis
horizontal. Pada fistula labirin, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan
infeksi dan menutup fistula sehingga fungsi telinga dalam dapat dipulihkan kembali.

50
Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks
kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan
daerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping tulang/ tulang
rawan.

b. Labirinitis

Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinitis umum


(general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis
terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan vertigo saja atau tuli saraf saja.

Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa. Terdapat


dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif. Labirinitis serosa dapat
berbentu labirinitis serosa difus dan sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi atas
labirinitis supuratif akut difus dan kronik difus.

Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukanuntuk


menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan drainase nanah
dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotik yang adekuat
terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan / tanpa kolesteatom.

3. Komplikasi ke Ekstradural

a. Petrositis

Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang langsung ke sel-


sel udara. Keluhannya antara lain diplopia (n.VI), nyeri daerah parietal, temporal, dan
oksipital (n.V), otore persisten. Dikenal dengan sindrom Gradenigo. Keluhan lain
keluarnya nanah yang terus menerus dan nyeri yang menetap paska mastoidektomi.
Pengobatannya operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan jaringan pathogen)
serta antibiotika.

b. Tromboflebitis Sinus Lateralis

Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini jarang
terjadi. Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu menjadi berat yang

51
disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas kecuali terjadi abses perisinus. Kultur
darah positif terutama saat demam.

Pengobatan dengan bedah, buang sumber infeksi os mastoid, buang tulang/dinding


sinus yang nekrotik. Jika terbentuk thrombus lakukan drainase sinus dan dikeluarkan.
Sebelumnya diligasi vena jugularis interna untuk cegah thrombus ke paru dan tempat
lain.

c. Abses Ekstradural

Terkumpulnya nanah antara duramater dan tulang. Hal ini berhubungan


dengan jaringan granulasi dan kolesteatom yang menyebabkan erosi tegmen timpani
atau mastoid. Gejala berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Rontgen mastoid
posisi Schuller, tampak kerusakan tembusnya lempeng tegmen. Sering terlihat waktu
operasi mastoidektomi.

d. Abses Subdural

Biasanya tromboflebitis melalui vena. Gejala berupa demam, nyeri kepala dan
penurunan kesadaran sampai koma, gejala SSP berupa kejang, hemiplegia dan tanda
kernig positif.

Punksi lumbal perlu untuk membedakan dengan meningitis. Pada abses


subdural kadar protein LCS normal dan tidak ditemukan bakteri. Pada abses
ekstradural nanah keluar waktu mastoidektomi, sedangkan subdural dikeluarkan
secara bedah syaraf sebelum mastoidektomi.

4. Komplikasi ke SSP

a. Meningitis

Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta nyeri kepala
hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS kadar gula menurun dan
protein meninggi. Meningitis diobati terlebih dahulu kemudian dilakukan
mastoidektomi.

b. Abses Otak

52
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau fossa
kranial media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau
meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid
atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses ekstradural.

Gejala abses serebelum ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak


tepat menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia, gejala toksisitas
(nyeri kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses otak nadi lambat, kejang. Pada
LCS protein meninggi dan kenaikan tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi
abses ditentukan dengan angiografi, ventrikulografi atau tomografi komputer.
Pengobatan antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan
umum baik, dilakukan mastoidektomi.

c. Hidrosefalus Otitis

Hal ini disebabkan tertekannya sinus lateralis sehingga lapisan arakhnoid


gagal mengabsorbsi LCS. Ditandai dengan peninggian tekanan LCS yang hebat tanpa
kelainan kimiawi. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Gejala berupa nyeri
kepala menetap, diplopia, pandangan kabur, mual dan muntah.

Penatalaksanaan

Pengobatan mencakup 2 hal yaitu penyembuhan infeksi primer dan komplikasinya.


Seringkali beratnya komplikasi mengharuskan kita menunda mastoidektomi dan
untuk mencegah komplikasi, pemberian antibiotika dimulai sejak dini. Dibutuhkan
kerjasama dengan bedah syaraf untuk mendapatkan hasil yang maksimum.

Pada komplikasi intrakranial pengobatan antibiotika sulit karena dihalangi sawar


darah otak. Untuk mempertinggi konsentrasi antibiotika, dulu diberikan penisilin
intratekal, tetapi ternyata terlalu mengiritasi. Sekarang diberikan derivate penisilin
dosis tinggi secara intravena, dimulai dengan ampisilin 4 × 200-400 mg/kg/hari,
kloramfenikol 4 × 500-1000 mg/hari untuk dewasa atau 60-100 mg/kg/hari untuk
anak. Pemberian metronidazol 3 × 400-600 mg/hari dapat dipertimbangkan.
Antibiotika disesuaikan dengan kemajuan klinis dan biakan sekret telinga atau LCS.

53
Pemeriksaan laboratorium, foto mastoid, tomografi computer kepala untuk melihat
adanya abses otak serta konsultasi bedah syaraf atau syaraf anak. Bila terdapat tanda
ensefalitis atau abses intrakranial maka akan dilakukan bedah otak untuk drainase
segera. Mastoidektomi dapat dilakukan bersama atau kemudian. Mastoidektomi
dilakukan sebelum atau sesudah operasi otak. Bila keadaan umum pasien buruk atau
suhu tinggi, mastoidektomi dilakukan dengan anestesi local. Jika tindakan bedah
tidak segera dilakukan pengobatan dilanjutkan sampai 2 minggu, kemudian konsul
lagi ke bedah syaraf.

Idealnya terapi bedah pada stadium dini komplikasi, tapi prakteknya sulit. Hal yang
menentukan adalah diagnosis, kondisi pasien, dan respon pasien terhadap antibiotika.
Seringkali drainase empiema subdural atau abses otak mendahului mastoidektomi.
Rangsangan kontinyu kolesteatom di mastoid dapat menyebabkan meningitis
berulang atau progresivitas abszes otak.

Tujuan operasi ialah mengeradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Untuk itu
diperlukan mastoidektomi modifikasi radikal. Tulang yang melapisi sinus sigmoid
harus ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura posterior pada segitiga Trautman harus
ditipiskan dan tegmen mastoid harus dikupas

54
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Susilowati

Nomor RM : 718024

Umur : 43 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumahtangga

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal dikasuskan : 17 September 2018

3.2 Anamnesis
 Keluhan Utama
Bersin-bersin dipagi hari sejak kurang lebih 4 bulan sebelum
konsul ke poli THT

 Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke poli THT dengan keluhan bersin-bersin dipagi hari
dan jika terpapar debu sejak 4 bulan yang lalu, disertai dengan
keluhan keluar ingus encer, hidung tersumbat, dan hidung terasa
gatal. Pasien juga merasa jika sekarang telingga kiri terasa tertutup,
dan pernah keluar cairan encer tidak berbau dari telingga kiri.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami hal yang serupa. Riwayat kencing
manis (-), hipertensi (-).

55
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa, riwayat kencing
manis (-), hipertensi (-).

 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah melakukan pengobatan di puskesmas atau pun
ke rumah sakit lain.

 Riwayat Kebiasaan dan sosioekonomi


Pasien seorang ibu rumah tangga, kebersihan rumah cukup, pasien
mengaku tidur cukup 8 jam perhari apabila keluhan tidak
memberat, namun apabila keluhan memberat pasien mengaku sulot
tidur, pasien makan teratur 3 kali sehari, suami pasien memelihara
burung dan kucing di rumah

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada hari senin tanggal 17 September 2018 pukul 11.00
WIB
A. Keadaan Umum
Kesadaran : Kompos mentis

Kesan Gizi : Gizi normal

Tanda Vital Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 74x/menit

Pernafasan : 18 x/menit

Suhu : 36ºC

B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, tidak ada bekas trauma

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)

Telinga : Status lokalis

56
Hidung : Status lokalis

Mulut : Status lokalis

Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah bening
dan tiroid (-), nyeri tekan (-)

Thorax

Jantung

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular, murmur (-), gallop(-)

Paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru

Perkusi : sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Abdomen

Inspeksi : Supel

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+), normal

57
Status lokalis

Telinga

Dextra Sinistra

Normotia, benjolan (-), nyeri tarik (-), Daun telinga Normotia, benjolan (-), nyeri tarik (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)

Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-), Preaulikula Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-),
sikatriks (-) sikatriks (-)

Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-), Retroaulikula Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-),
sikatriks (-), nyeri tekan mastoid (-) sikatriks (-), nyeri tekan mastoid (-)

Lapang, Hiperemis (-), oedem(-), Kanalis akustikus Lapang, Hiperemis (+), oedem(-),
discharge(-) ekstrenus discharge(+) : encer

Retraksi (+) warna keruh pucat Membran timpani Perforasi (+) Sentral

Sinus paranasalis

Sinus Frontal Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Sinus ethmoid Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Sinus maksila Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

58
Hidung

Dextra Sinistra

Bulu hidung (+),sekret (+) Vestibulum Bulu hidung sekret (+)

Tidak terlihat Konka Superior Tidakterlihat

Eutrofi, hiperemis (+) Konka media Eutrofi, hiperemis (+)

Hipertrofi Konka inferior Hipertrofi

Pus(-), polip (-) Meatus nasi Pus(-), polip (-)

Lapang Cavum nasi Lapang

Basah, livid, edem (+) Mukosa Basah, livid, edem (+)

(+) encer, jernih Sekret (+) encer, jernih

Deviasi (-) , benjolan (-), Septum nasi Deviasi (-) , benjolan (-),
hiperemis (- /-), nyeri tekan (-/-) , hiperemis (- /-), nyeri tekan (-/-) ,
undulasi (-/-) undulasi (-/-)

Pemeriksaan Penghidu (N. Olfaktorius)

Dextra Bahan Sinistra

Tidak dilakukan Alkohol Tidak dilakukan

Tidak dilakukan The Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Kopi Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Amoniak Tidak dilakukan

59
Orofaring

Mulut Trismus (-)

Palatum Simetris, deformitas (-)

Arkus faring Simetris, hiperemis (-)

Mukosa faring Hiperemis (-), granulasi (-), sekret (-)

Dinding faring posterior Hiperemis (-), post nasal drip (-)

Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)

Tonsila Palatina Ukuran : T1-T1

Warna : Hiperemis (-)

Kripta : dalam batas normal

Detritus: -/-

Perlekatan : -

Kemampuan menelan Makanan padat (+), makanan lunak (+), air (+)

Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

3.4 Pemeriksaan Penunjang Anjuran


 Laboratorium anjuran : pemeriksaan IgE
 Skin prick test

60
3.5 Diagnosis

a. Diagnosis Banding
 Rhinitis Alergi
 Rhinitis Vasomotor
 NARES
 OMSK Tipe Benigna
b. Diagnosis kerja
Rhinitis alergi dengan komplikasi otitis media supuratif kronik tipe benigna

3.6 Penatalaksanaan

• Antibiotik : Ciprofloxacin tablet 2 x 500 mg


• Dekongestan : Pseudoephedrine tablet 2 x 1
• Anti histamin : Cetirizine tablet 2 x 10 mg
• Anti inflamasi : metilprednisolone tablet 2 x4 mg

3.7 Prognosis
 Ad vitam : Bonam
 Ad functionam : dubia ad Malam
 Ad sanationam : dubia ad Bonam

61
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisisk didapatkan bahwa diagnosis


pasien ini adalah Rhinitis Alergi dengan komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) tipe benigna.

Pada hasil anamnesis didapatkan keluhan : bersin-bersin sejak 4 bulan jika


pagi hari atau terpapar debu, hidung terasa tersumbat, hidung terasa gatal, pilek encer.
Keluhan dirasa semakin memberat. Keluhan tersebut meningkat saat cuaca dingin dan
terpapar debu. Pasien juga merasa susah tidur jika keluhannya semakin memberat.
Keluha tersebut di rasa setiap harinya, sebelumnya pasien belum pernah menderita
hal yang sama, dari riwayat keluarga tidak ada yang menderita hal yang sama, pasien
memiliki riwayat terhadap debu dan cuaca dingin. Dari pemeriksaan fisik Rhinoskopi
anterior di dapatkan konka hipertrofi, tamppak ada sekret encer jernih. Dari
pemeriksaan penunjang belum di lakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang anjuran adalah laboratorium anjuran : pemeriksaan IgE, Skin Prick test.

Berdasarkan data yang di kumpulkan diatas mengarahkan diagnosis yaitu


Rhinitis alergi persisten sedang-berat. Di dapatkan alergi karena pasien mengaku
alergi terhadap debu dan cuaca dingin,didapatkan lama gejala persisten karena pasien
mengaku sudah 4 bulan menderita keluhan seperti ini dan hampir hampir setiap
harinya lebih dari 4 kal selama seminggu. Serta jika keluhan memberat pasien
merasa tidurnya terganggu akibat keluhan tersebut. Penegakan diagnosis tersebut
berdasarkan klasifikasi dari WHO ARIA.

Rhinitis alergi yang lama dan tidak ditangani akan menyebabkan obstruksi
tuba, sumbatan akan menyebabkan gangguan pada telinga tengah seperti otitis media
yang derajatnya tergantung dari lama dan beratnya rhinitis serta faktor lain.

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien juga mengeluh telinga terasa


tertutup, dan telinga kiri pernah keluar cairan jernih tidak bau. Hal ini sesuai dengan
gejala-gejalan yang biasanya timbul akibat OMSK dimana dari onsetnya sudah
berlangsung sekitar 2 bulan. Pada pemeriksaan fisik status lokalis telinga kiri di

62
dapatkan tampak keluar cairan, dan tampak perforasi (+) sentral. Adanya perforasi
sentral merupakan tipe benigna.

Terapi pada pasien ini medikamaentosa dengan edukasi dan medikamentosa


yaitu pemberian antibiotik: ciprofloxacin tablet 2x 500 mg, dekongestan:
pseudoephedrine tablet 2x1, anti histamin: cetirizine tablet 2 x 10 mg, anti inflamasi:
metilprednisolone tablet 2 x4 mg.

63
BAB V

KESIMPULAN

Rhinitis alergi di tandai dengan gejala bersin-bersin dipagi hari dan apabila
terpapar debu, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, rhonore dan gejala tersebut
dapat berkomplikasi terjadinya sumbatan pada tuba eutachius yang nantinya akan
menyebabkan OMSK

Pada kasus ini pasien mengalami rhinitis alergi persisten sedang-berat dengan
otitis media supuratif kronik aurikula sinistra. Terapi pada pasien ini adalah
medikamaentosa dengan edukasi dan medikamentosa yaitu pemberian antibiotik:
ciprofloxacin tablet 2x 500 mg, dekongestan: pseudoephedrine tablet 2x1, anti
histamin: cetirizine tablet 2 x 10 mg, anti inflamasi: metilprednisolone tablet 2 x4 mg.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke


Tujuh. 2012. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Fourth Edition. 2006.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic
Rhinitis. 2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 20
Februari 2018.
4. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy.
2000. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 20 Februari
2018.
5. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck
Surgery: Fourth Edition. 2005. St Louis: Mosby
6. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 17
September 2018.
7. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw8
1hSwmU. Diunduh pada 17 September 2018.
8. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
TreatnementofAllergicRhinitis.2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
Diunduh pada 17 September 2018.
9. Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap
Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.
Medan : FK USU. 2003.
10. WHO. Chronic suppurative otitis media burden off illness and management
options. Child and Adolescent Health and Development Prevention of
Blindness and Deafness. Geneva Switzerland. 2004.
11. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala Leher.
Kampus USU. 2007.
12. Farida et al. Alergi Sebagai Faktor Resiko Terhadap Kejadian Otitis Media
Supuratif Kronik Tipe Benigna. Medical Faculty of Hasanuddin. 2009.

65
13. Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.
14. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
15. Anonim. Otitits Media Kronik. 2009. Diunduh dari
http://www.medicastore.com pada tanggal 17 September 2018.
16. Meyer TA, Strunk CL, Lambert PR. Cholesteatoma. In : Newlands SD et.al
(editor). Head & neck surgery otolaryngology. 4th ed. 2006. Philadelphia :
Lippincolt williams & wilkins. h. 2081-91.
17. Anonim. Ear Discharge. 2008. Diunduh dari
http://www.myhealth.gov.my/myhealth pada tanggal 17 September 2018.
18. Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif
Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.
19. Parry D. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Medical Treatment:Follow-
Up.Diunduhdari http://www.emedicine.medscape/otolaryngology pada
tanggal 17 September 2018.
20. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6. 2009.
Jakarta : FKUI. h.86.
21. Menkes. Permenkes Nomor 5 tahun 2014 tentag Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Faslitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014;250-54.
22. Sathe N. Zygomatic Abcess as a complication of otitis media.Nahonal Journal
of maxillofacial Surgery. 2011;2(2) : 181-3

66

Anda mungkin juga menyukai