Disusun oleh :
030.14.155
Pembimbing:
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, MSi. Med.
dr. Heri Puryanto, M.Sc, Sp.THT-KL.
LAPORAN KASUS
Oleh :
030.14.155
Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala & Leher
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Fahmi Novel, Sp. THT- KL, Msi.Med dr. Heri Puryanto, M.Sc, Sp. THT-KL
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… 2
BAB 1. PENDAHULUAN……………………………………………………. 3
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….............................. 28
2
BAB I
PENDAHULUAN
Alergi terhitung sebagai keluhan utama dari 50% pasien baru pada bidang
THT. Keahlian dalam menatalaksana masalah alergi dari saluran pernafasan bagian
atas adalah keahlian yang sangat berharga sebagai seorang ahli THT. 2
Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus
dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang
akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini
tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis. Rinitis alergi berpotensi mengalami
komplikasi seperti sinusitis, polip nasi dan disfungsi tuba yang akan menyebabkan
kelainan telinga tengah , derajat ringan sampai berat, tergantung dari lama dan
beratnya rinitis alergi serta faktor lainnya. 1
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronik telinga tengah
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulent.
Prevalensi OMSK tinggi dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Di negara
berkembang dan. negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan
prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi
terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggris kurang dari 1%. Di Indonesia
menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Depkes tahun 2006-
2009 prevalensi OMSK adalah 3,1% populasi. Usia terbanyak penderita infeksi
telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah
OMSK. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai OMSK
agar di masa yang akan datang angka prevalensi OMSK dapat diturunkan. 1,2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1
4
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
5
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema disebut juga rudimenter. 1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media
6
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid,
prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior.1
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 1
PENDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna.1
7
PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 1
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1
MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. 1
8
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus
yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
2.1.2 Fisologi
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local.
2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
9
5. Reflex nasal.
A. FUNGSI RESPIRASI
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. 1
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
B. FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1
10
C. FUNGSI FONETIK
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole
turun untuk aliran udara. 1
D. REFLEKS NASAL
2.1.3 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. 1
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1
Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup.
Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar
maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain,
seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.3
11
2.1.4 Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen,
yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang
secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang,
jamur, serbuk sari, dan lain-lain.1
2.1.5 Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi
problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien
datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini
dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke
dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.3
2.1.6 Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-
self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan
empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan
tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan
terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi
modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk
memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.5
12
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 1
13
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
14
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi. 1
15
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma
bronchial dan rhinitis alergi. 1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari: 1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh
16
2.1.8 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu: 1
1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
17
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.1.9 Diagnosis
2.1.9.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. 1
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat
berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang
dikeluhkan.4
2.1.9.2 Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
18
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1
19
Gambar 8. Facies Adenoid
20
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (³Challenge Test´).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan. 1
1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang
disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,
kadar antibodi IgE spesifik serum).
21
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari
penyebabnya, antara lain:
- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal
2.1.11 Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 1
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 1,4
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
22
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4
23
Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg
untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk
dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini
yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 4
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. 1
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).
24
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap
rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 1
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 1
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek
yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup
pasien. 8
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 1
25
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 1
1. Polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif
3. Sinusitis paranasal.
26
Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus,
dan tuba eustakhius.9,13,14
1. MembranTimpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang
vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan
ketebalannya rata-rata 0,1 mm .Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap
liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan
membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membran timpani berbentuk
kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol ke arah kavum timpani yang
dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah tampak refleks cahaya (cone of ligt).
Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yakni pars tensa
dan pars flaksida :9
a. Pars tensa
Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
27
nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus timpani cabang dari nervus
glossofaringeal.
Aliran darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri
timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stilomastoid cabang
dari arteri aurikula posterior.
2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding
yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.
28
2. Prosesus mastoideus
4. Tuba eustakhius.9,13,14
Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah,
depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan
pendek (1/3 bagian), bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang
(2/3 bagian).
Perasat Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil mulut dipencet
serta mulut ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara yang masuk ke
telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh
dilakukan kalau ada infeksi pada jalur nafas atas.5Perasat Toynbee dilakukan dengan
cara menelan ludah sampai hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka
maka akan terasa membran timpani tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.13
2.2.2 Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronik telinga tengah
29
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.9,10,12
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi
otitis media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh
pasien yang rendah (gizi kurang), dan higiene yang buruk.11,12
2.2.3 Epidemiologi
Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum insiden OMSK dipengaruhi
oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering dijumpai pada orang
Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di
Afrika Selatan.
Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul
oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa
daerah minoritas di Pasifik.Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan
kumuh, dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi
dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang.11
Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa beban dunia akibat OMSK
melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, dimana 60% di antaranya (39–
200 juta) menderita kurangnya pendengaran yang signifikan.
30
THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK
merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.11
2.2.4 Klasifikasi
1. Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rinogen)
Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa
saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya
perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan
keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama
patensi tuba eustakhius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping itu
campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi sekunder dari epitel skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini.
Sekret mukoid kronik berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari
mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini
letaknya marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars flaksida. Karakteristik
utama dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi yang berisi tumpukan keratin
sampai menghasilkan kolesteatom.
31
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:
a. Kongenital16
32
b. Didapat13
33
factor alpha, dan transforming growth factor. Zat- zat ini dapat menstimulasi sel-sel
kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruktif dan mampu berangiogenesis.
2.2.5 Patogenesis
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus
atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan dan
sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat infeksi
telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa dan
kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi jalan
napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut
(OMA).9,11
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses
inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan
merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi
biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara proses
inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini berlanjut terus
akan merusak jaringan sekitarnya.9,11
34
Gambar 15 Patogenesis Otitis Media13
1. Lingkungan9,11
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
terdapat hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana
kelompok sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah
hampir dipastikan, bahwa hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
dan tempat tinggal yang padat.
2. Genetik9,11
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
35
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
Secara umum dikatakan otitis media kronik merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronik.
4. Infeksi 9,11
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronik sering disebabkan oleh
campuran mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar
yang ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah
Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus aureus
25%. Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan
kebanyakan infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada
umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
6. Autoimun 9,11
7. Alergi 9,11
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronik yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita
yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun
hal ini belum terbukti kebenarannya.
36
8. Gangguan fungsi tuba eustakhius9,11
Hal ini terjadi pada otitis kronik aktif, dimana tuba eustakhius sering
tersumbat oleh edema. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran
timpani menetap pada OMSK :1Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid
yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut, berlanjutnya obstruksi
tuba eustakhius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi, beberapa
perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel.
2.2.7 Gejala
1. Telinga berair (otore)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan
sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara
luas. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.9,11
2. Gangguan pendengaran
37
labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan
terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.9,11
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat
hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.11
4. Vertigo
38
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:
2. Pemeriksaan otoskopi9,11,14
3. Pemeriksaan audiologi9,11,14
4. Pemeriksaan radiologi9,11
39
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada
atau tidaknya tulang–tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada
kanalis semisirkularis horizontal.9,11
5. Pemeriksaan bakteriologi
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan ini
agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih sering
berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.
2.2.9 Tatalaksana
Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronik, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.
Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -
obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.9,11,13
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat
dibagi atas: konservatif dan operasi.
40
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):9
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri
antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga
dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap
hari sampai telinga kering.
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian
dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini
sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan
penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian serbuk antibiotik dalam
jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat
diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan iodine.
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan mikroskopis operasi adalah
metode yang paling populer saat ini. Setelah itu dilakukan pengangkatan mukosa
yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan.
Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang
kooperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anestesi.
Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
“displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
41
2). Pemberian antibiotika :9,11
a) Antibiotik topikal
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Irigasi
dianjurkan dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam yang merupakan media
yang buruk untuk tumbuhnya kuman.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :
42
dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta
laktam.
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari
jaringan patologik. Tujuannya adalah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair
lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
b. Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau kolesteatom yang
sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari
semua jaringan patolgik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah
dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi
satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
43
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh berenang seumur hidupnya dan harus
kontrol teraut ke dokter.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur pada rongga operasi serta
membuat meatoplasti yang lebar sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi
terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga luar menjadi lebar.
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum
merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior
liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih ada
d. Miringoplasti
Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan
timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di membran timpani. Tujuan
operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe
aman dengan perforasi yang menetap. Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman
fase tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran
timpani.
e. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih berat atau
OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan pengobatan medikamentosa.
Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan
juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang
pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V.
Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani
dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak
jarang operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12 bulan.
44
f. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus
OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan operasi ini ialah untuk
menyembuhkan penyakit dan memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik
mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di membran timpani, dikerjakan
melalui 2 jalan (combine approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid
dengan melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini pada OMSK tipe
bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering kambuhnya kolesteatom
kembali.
45
Gambar 16. Pedoman tatalaksana OMSK20
2.2.10 Komplikasi
Cara penyebaran infeksi dapat dengan penyebaran hematogen, penyebaran
melalui erosi tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam
lintasan :9,11
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya
infeksi.
46
3. Masuk ke jaringan otak.
Akibat infeksi telingan tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada membran
timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus, akan
menyebabkan tuli konduktif yang berat.
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronik, kerusakan terjadi oleh erosi tulang
oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis
fasialis tersebut.
Pada otitis media supuratif kronik, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa
harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik. Derajat kelumpuhan nervus fasialis
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen
(%) :
47
Pemeriksaan Fungsi Saraf Motorik :
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimik
dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara
berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut :
Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan
kiri :Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka 3
48
• Sinkinesis ringan dapat terjadi.
• Simetris normal saat istirahat.
• Gerakan dahi sedikit sampai baik.
• Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
• Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
49
• Tidak ada gerakan.
Apabila peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi, ada kemungkinan
produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui tingkap bulat (fenestra
rotundum). Selama kerusakan hanya sampai bagian basalnya saja biasanya tidak
menimbulkan keluhan pada pasien. Akan tetapi apabila kerusakan telah menyebar ke
koklea akan menjadi masalah. Hal ini sering dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang tidak membaik
dalam 48 jam dengan pengobatan medikamentosa saja.
Penyebaran oleh proses destruksi seperti oleh kolesteatom atau infeksi langsung ke
labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan pendengaran, misalnya
vertigo, mual, muntah serta tuli saraf. Komplikasi telinga dalam antara lain :
a. Fistula Labirin
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan memberikan
tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui otoskop siegel atau
corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang
dimasukkan ke dalam liang telinga. Balon karet dipencet dan udara di dalamnya
menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi
masih paten akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif
akan terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya sudah
tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/ paresis kanal.
50
Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks
kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan
daerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping tulang/ tulang
rawan.
b. Labirinitis
3. Komplikasi ke Ekstradural
a. Petrositis
Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini jarang
terjadi. Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu menjadi berat yang
51
disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas kecuali terjadi abses perisinus. Kultur
darah positif terutama saat demam.
c. Abses Ekstradural
d. Abses Subdural
Biasanya tromboflebitis melalui vena. Gejala berupa demam, nyeri kepala dan
penurunan kesadaran sampai koma, gejala SSP berupa kejang, hemiplegia dan tanda
kernig positif.
4. Komplikasi ke SSP
a. Meningitis
Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta nyeri kepala
hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS kadar gula menurun dan
protein meninggi. Meningitis diobati terlebih dahulu kemudian dilakukan
mastoidektomi.
b. Abses Otak
52
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau fossa
kranial media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau
meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid
atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses ekstradural.
c. Hidrosefalus Otitis
Penatalaksanaan
53
Pemeriksaan laboratorium, foto mastoid, tomografi computer kepala untuk melihat
adanya abses otak serta konsultasi bedah syaraf atau syaraf anak. Bila terdapat tanda
ensefalitis atau abses intrakranial maka akan dilakukan bedah otak untuk drainase
segera. Mastoidektomi dapat dilakukan bersama atau kemudian. Mastoidektomi
dilakukan sebelum atau sesudah operasi otak. Bila keadaan umum pasien buruk atau
suhu tinggi, mastoidektomi dilakukan dengan anestesi local. Jika tindakan bedah
tidak segera dilakukan pengobatan dilanjutkan sampai 2 minggu, kemudian konsul
lagi ke bedah syaraf.
Idealnya terapi bedah pada stadium dini komplikasi, tapi prakteknya sulit. Hal yang
menentukan adalah diagnosis, kondisi pasien, dan respon pasien terhadap antibiotika.
Seringkali drainase empiema subdural atau abses otak mendahului mastoidektomi.
Rangsangan kontinyu kolesteatom di mastoid dapat menyebabkan meningitis
berulang atau progresivitas abszes otak.
Tujuan operasi ialah mengeradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Untuk itu
diperlukan mastoidektomi modifikasi radikal. Tulang yang melapisi sinus sigmoid
harus ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura posterior pada segitiga Trautman harus
ditipiskan dan tegmen mastoid harus dikupas
54
BAB III
LAPORAN KASUS
Nomor RM : 718024
Umur : 43 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : Menikah
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bersin-bersin dipagi hari sejak kurang lebih 4 bulan sebelum
konsul ke poli THT
55
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa, riwayat kencing
manis (-), hipertensi (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah melakukan pengobatan di puskesmas atau pun
ke rumah sakit lain.
Nadi : 74x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36ºC
B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, tidak ada bekas trauma
56
Hidung : Status lokalis
Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah bening
dan tiroid (-), nyeri tekan (-)
Thorax
Jantung
Paru
Abdomen
Inspeksi : Supel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
57
Status lokalis
Telinga
Dextra Sinistra
Normotia, benjolan (-), nyeri tarik (-), Daun telinga Normotia, benjolan (-), nyeri tarik (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-), Preaulikula Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-),
sikatriks (-) sikatriks (-)
Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-), Retroaulikula Hiperemis (-), fistula (-), oedem (-),
sikatriks (-), nyeri tekan mastoid (-) sikatriks (-), nyeri tekan mastoid (-)
Lapang, Hiperemis (-), oedem(-), Kanalis akustikus Lapang, Hiperemis (+), oedem(-),
discharge(-) ekstrenus discharge(+) : encer
Retraksi (+) warna keruh pucat Membran timpani Perforasi (+) Sentral
Sinus paranasalis
58
Hidung
Dextra Sinistra
Deviasi (-) , benjolan (-), Septum nasi Deviasi (-) , benjolan (-),
hiperemis (- /-), nyeri tekan (-/-) , hiperemis (- /-), nyeri tekan (-/-) ,
undulasi (-/-) undulasi (-/-)
59
Orofaring
Detritus: -/-
Perlekatan : -
Kemampuan menelan Makanan padat (+), makanan lunak (+), air (+)
60
3.5 Diagnosis
a. Diagnosis Banding
Rhinitis Alergi
Rhinitis Vasomotor
NARES
OMSK Tipe Benigna
b. Diagnosis kerja
Rhinitis alergi dengan komplikasi otitis media supuratif kronik tipe benigna
3.6 Penatalaksanaan
3.7 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : dubia ad Malam
Ad sanationam : dubia ad Bonam
61
BAB IV
PEMBAHASAN
Rhinitis alergi yang lama dan tidak ditangani akan menyebabkan obstruksi
tuba, sumbatan akan menyebabkan gangguan pada telinga tengah seperti otitis media
yang derajatnya tergantung dari lama dan beratnya rhinitis serta faktor lain.
62
dapatkan tampak keluar cairan, dan tampak perforasi (+) sentral. Adanya perforasi
sentral merupakan tipe benigna.
63
BAB V
KESIMPULAN
Rhinitis alergi di tandai dengan gejala bersin-bersin dipagi hari dan apabila
terpapar debu, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, rhonore dan gejala tersebut
dapat berkomplikasi terjadinya sumbatan pada tuba eutachius yang nantinya akan
menyebabkan OMSK
Pada kasus ini pasien mengalami rhinitis alergi persisten sedang-berat dengan
otitis media supuratif kronik aurikula sinistra. Terapi pada pasien ini adalah
medikamaentosa dengan edukasi dan medikamentosa yaitu pemberian antibiotik:
ciprofloxacin tablet 2x 500 mg, dekongestan: pseudoephedrine tablet 2x1, anti
histamin: cetirizine tablet 2 x 10 mg, anti inflamasi: metilprednisolone tablet 2 x4 mg.
64
DAFTAR PUSTAKA
65
13. Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.
14. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
15. Anonim. Otitits Media Kronik. 2009. Diunduh dari
http://www.medicastore.com pada tanggal 17 September 2018.
16. Meyer TA, Strunk CL, Lambert PR. Cholesteatoma. In : Newlands SD et.al
(editor). Head & neck surgery otolaryngology. 4th ed. 2006. Philadelphia :
Lippincolt williams & wilkins. h. 2081-91.
17. Anonim. Ear Discharge. 2008. Diunduh dari
http://www.myhealth.gov.my/myhealth pada tanggal 17 September 2018.
18. Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif
Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.
19. Parry D. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Medical Treatment:Follow-
Up.Diunduhdari http://www.emedicine.medscape/otolaryngology pada
tanggal 17 September 2018.
20. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6. 2009.
Jakarta : FKUI. h.86.
21. Menkes. Permenkes Nomor 5 tahun 2014 tentag Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Faslitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014;250-54.
22. Sathe N. Zygomatic Abcess as a complication of otitis media.Nahonal Journal
of maxillofacial Surgery. 2011;2(2) : 181-3
66