Anda di halaman 1dari 38

i

DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI.........................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1. Anatomi Pleura...................................................................................3
2.2. Fisiologi Pleura..................................................................................4
2.3. Pneumothoraks...................................................................................5
2.3.1. Definisi....................................................................................5
2.3.2. Etiologi....................................................................................5
2.3.3. Patofisiologi ............................................................................6
2.3.4. Klasifikasi................................................................................7
2.3.5. Gejala Klinis..........................................................................11
2.3.6. Diagnosa................................................................................11
2.3.7. Penatalaksanaan.....................................................................19
2.3.8. Komplikasi............................................................................22
2.3.9. Edukasi..................................................................................22
2.3.10 Prognosis..............................................................................23
BAB 3 STATUS PASIEN..................................................................................25
BAB 4 FOLLOW UP RUANGAN...................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33
BAB 1
PENDAHULUAN

Paru merupakan salah satu organ terpenting dalam tubuh. Paru berfungsi
sebagai alat pernafasan dimana paru merupakan tempat terjadinya pertukaran
antara gas O2 dengan gas CO2. Banyak permasalahan yang bisa terjadi pada paru
yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap sistem pernafasan, salah satunya
pneumotoraks.
Trauma membunuh sekitar 150.000 orang setiap tahun dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama. Menurut data terbaru, lebih dari 10%
trauma dan kecelakaan menyebabkan kematian dan gangguan fisik yang berat.
Trauma toraks melingkupi seperempat dari kematian, dan dua-pertiga dari
kematian ini terjadi setelah pasien mencapai rumah sakit. Salah satu jenis trauma
thoraks yang mengancam jiwa adalah pneumothoraks.1
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara dalam rongga pleura.
Meskipun tekanan intrapleural negatif di sebagian besar siklus pernapasan, udara
tidak masuk ke dalam rongga pleura karena jumlah dari semua tekanan parsial gas
dalam rata-rata darah kapiler hanya 93,9 kPa (706 mmHg). Oleh karena itu, jika
udara hadir dalam ruang pleura, dapat dipastikan telah terjadi satu diantara tiga hal
berikut yaitu komunikasi antara ruang alveolar dan pleura, komunikasi langsung
atau tidak langsung antara atmosfer dan ruang pleura atau adanya organisme yang
memproduksi gas dalam rongga pleura2.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Pleura


Pleura merupakan membran serosa yang melingkupi parenkim paru,
mediastinum, diafragma serta tulang iga; terdiri dari pleura viseral dan pleura
parietal4. Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura
interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari
otot dada dan tulang iga serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal.
Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura
viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi
pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi saraf-saraf interkostalis dan nervus
frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura visceral dan pleura parietal
terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura.3

Gambar 2.1 Pleura visceral dan parietal4


Rongga pleura terisi sejumlah tertentu cairan yang memisahkan kedua
pleura tersebut sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan
selama proses respirasi. Cairan pleura berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler
pleura, ruang interstitial paru, kelenjar getah bening intratoraks, pembuluh darah
intratoraks dan rongga peritoneum. Jumlah cairan pleura dipengaruhi oleh
perbedaan tekanan antara pembuluh-pembuluh kapiler pleura dengan rongga
pleura sesuai hukum Starling serta kemampuan eliminasi cairan oleh sistem
pengaliran limfatik pleura parietal. Tekanan pleura merupakan cermin tekanan di
dalam rongga toraks4.

2.2. Fisiologi Pleura


Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan
menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi5.
Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan
cairan pleura dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura
mencerminkan dinamika aliran cairan melewati membran dan bernilai sekitar -10
cmH2O. Tekanan permukaan pleura mencerminkan keseimbangan elastic recoil
dinding dada ke arah luar dengan elastic recoil paru ke arah dalam. Nilai tekanan
pleura tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura; lebih negatif di apeks
paru dan lebih positif di basal paru. Perbedaan bentuk dinding dada dengan paru
dan faktor gravitasi menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal;
perbedaan tekanan pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat
mencapai 8 cmH2O. Tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal
sehingga gradien tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai
permukaan pleura. Gradien tekanan di apeks lebih besar dibandingkan basal
sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di apeks paru dan merupakan
penyebab pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan variasi distribusi
ventilasi5.
Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul
fosfolipid yang diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili
mesotel sehingga terbentuk lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi.
Proses tersebut bersama tekanan permukaan pleura, keseimbangan tekanan oleh
gaya Starling dan tekanan elastik rekoil paru mencegah kontak antara pleura
viseral dan parietal walaupun jarak antarpleura hanya 10 μm1. Proses respirasi
melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan
napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan
saluran napas tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang
melingkupi dan menekan saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan
jalan napas dikurangi tekanan pleura) disebut tekanan transpulmoner. Tekanan
transpulmoner memengaruhi pengembangan paru sehingga memengaruhi jumlah
udara paru saat respirasi5.

2.3. Pneumothoraks
2.3.1. Definisi
Pneumotoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura
antara paru-paru dan dinding dada.6 Hal ini dapat terjadi secara spontan pada
orang tanpa kondisi paru-paru kronis (primer) serta pada mereka dengan penyakit
paru-paru (sekunder), dan banyak pneumothoraks terjadi setelah trauma fisik
dada, cedera ledakan, atau sebagai komplikasi dari perawatan medis.7

2.3.2. Etiologi
1. Tension Pneumothoraks
Penyebab tersering tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilator dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang memiliki
kerusakan pada pleura visceral. Tension Pneumothoraks juga dapat timbul
sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat dari cedera
thoraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang tidak
menutup. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat
menyebabkan tension pneumotoraks. Tension Pneumothoraks juga dapat
terjadi pada fraktur tulang belakang thorax yang mengalami pergeseran.8
2. Pneumothoraks Terbuka
Defek atau luka yang besar pada dinding dada menyebabkan
pneumothoraks terbuka. Tekanan didalam rongga pleura akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika luka pada dinding dada lebih
besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir
melalui luka karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia atau hiperkapnia9.

2.3.3. Patofisiologi
Pada orang normal, tekanan di rongga pleura adalah negatif sehubungan
dengan tekanan alveolar selama siklus pernapasan. Seluruh tekanan gradien antara
alveoli dan ruang pleura atau disebut tekanan transpulmonary adalah hasil dari
elastisitas yang melekat dari paru-paru. Selama pernapasan spontan tekanan
pleura juga negatif terhadap tekanan atmosfer. Ketika terjadi komunikasi antara
alveolus atau rongga udara lain yang ada didalam paru dengan rongga pleura,
maka udara akan mengalir dari alveolus ke dalam rongga pleura sampai tidak ada
lagi perbedaan tekanan diantara keduanya9.
1. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi ketika terdapat gangguan yang melibatkan
pleura visceral, pleura parietal, atau cabang trakeobronkial. Gangguan
terjadi ketika terbentuknya sistem aliran katup satu arah, sehingga
memungkinkan aliran udara ke dalam rongga pleura, namun udara tidak
bisa mengalir kembali keluar. Volume udara yang nonabsorbable ini terus
meningkat di rongga pleura pada saat inspirasi. Akibatnya, tekanan
meningkat dalam hemithoraks yang terkena dampak, sehingga paru
ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia. Tekanan lebih lanjut
menyebabkan pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral dan terus
menekan paru-paru kontralateral dan pembuluh darah yang memasuki
atrium kanan jantung. Hal ini menyebabkan memburuknya hipoksia dan
aliran darah balik vena9.
Para peneliti masih memperdebatkan mekanisme yang tepat dari
kolapsnya sistem kardiovaskular, tetapi secara umum kondisi tersebut
dapat berkembang dari kombinasi efek mekanik dan hipoksia. Efek
mekanik bermanifestasi sebagai kompresi pada vena cava superior dan
inferior karena pendorongan mediastinum dan tekanan intrathoraks
meningkat. Hipoksia menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah
paru melalui vasokonstriksi. Jika tidak diobati akan menyebabkan
hipoksemia, asidosis metabolik, dan penurunan cardiac output yang dapat
menyebabkan serangan jantung dan kematian1.
2. Traumatic Pneumothoraks
Sebuah traumatik pneumothoraks dapat terjadi oleh karena adanya
penetrasi ke rongga dada ataupun adanya trauma dada non penetrating.
Dengan terjadinya trauma tembus pada dada, luka memungkinkan udara
masuk ke rongga pleura langsung melalui dinding dada atau melalui pleura
visceral dari cabang trakeobronkial. Pada trauma dada non penetrating,
pneumothoraks dapat berkembang karena pleura visceral terkoyak
dikarenakan adanya patah atau dislokasi tulang rusuk. Kompresi dada
secara tiba-tiba meningkatkan tekanan alveolar, yang dapat menyebabkan
pecahnya alveolar. Apabila alveolus pecah, maka udara memasuki ruang
interstitial dan berpindah menuju baik pleura visceral ataupun
mediastinum. Sebuah pneumothoraks terjadi ketika baik pleura visceral
maupun pleura mediastinal pecah, sehingga memungkinkan udara masuk
kedalam rongga pleura1.

2.4.4. Klasifikasi
Berdasarkan Penyebab
 Pneumothoraks Spontan
o Primer (tidak diketahui dengan pasti penyebabnya)
Pneumothoraks spontan primer diperkirakan terjadi karena ruptur
dari bleb emfisematous di subpleura, yang biasanya terletak pada
apeks paru-paru. Bleb dapat ditemukan pada lebih dari 75% pasien
yang menjalani thorakoskopi sebagai terapi dari pneumotoraks
spontan primer. Patogenensis terjadinya bleb subpelural ini masih
belum jelas. Bleb-bleb seperti ini dihubungkan dengan abnormalitas
congenital, inflamasi dari bronkiolus, dan gangguan pada ventilasi
kolateral. Angka kejadian pneumothoraks spontan berhubungan
dengan tingkat merokok seseorang. Sangat mungkin bahwa penyakit
yang diinduksi oleh merokok pada saluran napas kecil berkontribusi
terhadap terbentuknya bleb subpleural. Pasien dengan pneumotoraks
primer spontan biasanya memiliki profil tubuh yang lebih tinggi dan
kurus. Selain itu, terdapat suatu kecenderungan berkembangnya
pneumothoraks primer spontan karena faktor herediter.10
o Sekunder (latar belakang penyakit paru)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyebab tersering
pada pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, walau
sebenarnya hampir semua penyakit paru-paru telah diasosiasikan
dengan pneumothoraks spontan sekunder. Pada suatu penelitian
dengan 505 pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, 348
pasien memiliki PPOK, 93 memilki tumor, 25 sakoidosis, 9
tuberkulosis, 16 memiliki infeksi paru lainnya, dan 13 memiliki
penyakit lain. Pada pasien dengan PPOK, insidensi terjadinya
pneumothoraks spontan sekunder meningkat dengan progresifitas
keparahan PPOK. Salah satu penyebab tersering dari pneumothoraks
spontan sekunder adalah infeksi Pneumocystis jirovecii pada pasien
dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Selain itu,
terdajat insidensi tinggi pneumothoraks spontan pada pasien dengan
kistik fibrosis10.
 Pneumothoraks Traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumotorhaks yang terjadi akibat
suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru10.
 Iatrogenik (akibat tindakan medis)
Aksidental (terjadi karena kesalahan/komplikasi tindakan) terjadi
pada tindakan parasentesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial,
biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentralis, barotrauma
(ventilasi mekanik) 10.
 Bukan iatrogenik (akibat jejas kecelakaan)
Insidensi terjadinya pneumothoraks setelah adanya jejas tumpul
tergantung dari derajat keparahan trauma. Pneumothoraks traumatik
dapat terjadi karena trauma dada penetrasi maupun tidak penetrasi.
Pada trauma dada penetrasi, mekanisme pneumothoraks dapat
dengan mudah dimengerti karena luka terbuka menyebabkan udara
masuk ke dalam rongga pleura melalui rongga dada atau melalui
pleura viseralis dari pohon trakeobronkial. Pada trauma dada tanpa
penetrasi, suatu pneumothoraks dapat terjadi apabila pleura viseralis
mengalami laserasi secara sekunder karena adanya fraktur atau
dislokasi iga. Walaupun demikian, pada mayoritas pasien dengan
pneumothoraks sekunder akibat trauma tumpul tidak terdapat
asosiasi dengat fraktur iga. Pada kasus seperti itu, dipikirkan bahwa
kompresi dada tiba-tiba, secara mendadak meningkatkan tekanan
alveolar, yang dapat menyebabkan ruptur alveolar. Apabila sudah
terjadi rupture alveolar, udara dapat memasuki ruang interstitial dan
berjalan ke pleura viseralis atau mediastinum. Suatu pneumothoraks
terjadi baik saat ruptur pleura viseral maupun parietal yang
memperbolehkan udara untuk memasuki rongga pleura10.

Berdasarkan jenis fistula


 Pneumothoraks tertutup (simple pneumothorax)
Suatu pneumothoraks dimana tidak ada defek/ luka terbuka dari
dinding dada10.

Pneumothoraks terbuka
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu
pneumotoraks terbuka. Pneumothoraks terbuka/open pneumothorax/
sucking chest wound merupakan gangguan pada dinding dada karena
adanya hubungan langsung antara rongga pleura dan lingkungan
sehingga tekanan atmosfer dan intratorakal segera mencapai titik
seimbang11,12.
Keadaan pneumothoraks terbuka ini sering disebabkan oleh adanya
penterasi langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita
sehingga menimbulkan luka atau defek pada dinding dada. Dengan
adanya defek tersebut yang merobek pleura parietal, sehingga udara
dapat masuk ke dalam rongga pleura. Terjadinya hubungan antara
udara pada rongga pleura dan udara dilingkungan luar menyebabkan
tekanan pada rongga pleura dengan udara di diatmosfer menjadi sama.
Jika keadaan ini tidak segera ditangani akan sangat membahayakan
penderita13.

Tension pneumothoraks
Suatu tension pneumothoraks terjadi saat tekanan intrapleural melebihi
tekanan atmosfer selama ekspirasi dan terkadang saat inspirasi. Pada
kebanyakan pasien, tension pneumothoraks didapatkan dari
penerimaan tekanan positif ke dalam saluran nafasnya, baik dari
ventilasi mekanik atau saat resusitasi. Tension pneumotorax terjadi
karena adanya suatu mekanisme katup satu aliran sehingga lebih
banyak udara memasuki rongga pleura saat inspirasi daripada saat
ekspirasi, sehingga udara berakumulasi di rongga pleura pada tekanan
yang positif10.

2.3.5. Gejala Klinis


Gejala utama pada pneumothoraks adalah nyeri dada dan sesak napas,
yang terjadi pada 95% pasien14. Pasien biasanya mengalami sesak napas dengan
riwayat nyeri dada sebelumnya, kadang dapat disertai adanya batuk. Nyeri dada
yang dirasakan bersifat tajam seperti ditusuk dan sangat sakit. Nyeri biasanya
menjalar ke pundak ipsilateral dan memberat pada saat inspirasi (pleuritik) 16.
Sesak sering mendadak dan semakin lama semakin berat terutama setelah adanya
pencetus seperti batuk keras, bersin, mengangkat barang-barang berat, buang air
kecil atau mengejan16. Batuk, hemoptisis, orthopnea, dan sindroma Horner
merupakan manifestasi yang jarang terjadi pada pneumotoraks. Beberapa persen
pasien asimptomatik atau hanya mengeluhkan malaise menyeluruh14.

2.3.6. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang :
a. Anamnesis15
- Pneumothoraks spontan biasanya muncul saat istirahat.
- Tanyakan dan periksa faktor resiko: perokok, usia 18-40 tahun,
bertubuh tinggi dan kurus, atau kehamilan.
- Riwayat penyakit paru, baik akut maupun kronis. Tanyakan juga
mengenai trauma, jenis trauma, mekanisme, waktu terjadi, dan
sebagainya.
- Tanyakan riwayat pneumothoraks sebelumnya untuk kemungkinan
rekurensi.
- Eksplorasi gejala dan tanda dari manifestasi klinis pneumohtoraks.
b. Pemeriksaan Fisik16
- Pasien tampak sesak ringan-berat tergantung kecepatan udara yang
masuk. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek dengan mulut
terbuka.
- Sesak napas dengan/ tanpa sianosis
- Penderita tampak sakit ringan-berat. Badan tampak lemah dan dapat
disertai syok. Bila pneumothoraks baru terjadi penderita berkeringat
dingin.

Tabel 2.1. Pemeriksaan Fisik Pneumotoraks


Inspeksi - Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit.
- Pada waktu ekspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal.
- Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
Palpasi - Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar.
- Iktus terdorong ke sisi toraks yang sehat.
- Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.
Perkusi - Suara ketok pada sisi yang sakit hipersonor sampai timpani
dan tidak menggetar.
- Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi.
Auskultasi - Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang.
- Suara napas terdengar amforik bila fistel bronkopleura yang
cukup besar pada pneumotoraks terbuka.
- Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif.
-

c. Pemeriksaan Penunjang16,17

Foto Thoraks
Bagian pneumotoraks akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler yang
sesuai dengan lobus paru. Adakala rongga ini sangat sempit sehingga
hampir tidak tampak, sehingga perlu diamati dengan teliti.
Sebaliknya paru yang mengalami kolaps tersebut hanya tampak sepeti
massa yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps
paru yang sangat luas. Besar kolaps paru tidak berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada, pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumothoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan:


- Pneumomediastinum: terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks.
- Emfisema subkutan: dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah
kulit.
- Bila ada cairan di dalam rongga pleura: akan tampak permukaan
cairan sebagai garis datar di atas diafragma.
Gambar 2.2 Pneumothoraks dextra total akibat tusukan17

Menentukan luas pneumothoraks18


Foto thorax PA sering digunakan untuk menentukan luas
pneumotoraks, tetapi hasilnya sering kurang tepat karena sifatnya yang
hanya berupa gambar dua dimensi sedangkan rongga pleura berstruktur
tiga dimensi. Beberapa metode digunakan untuk mengukur luas kolaps
paru, misalnya metode Rhea, Colklins, indeks Light atau perkiraan luas
sesuai panduan British Thoracic Society (BTS) atau American College
of Chest Physicians (ACCP).
BTS dan ACCP membagi pneumothoraks menjadi pneumotoraks
kecil (small) dan luas (large). Pengukuran pneumotoraks menurut
ACCP dilakukan dengan mengukur jarak dari apeks paru hingga puncak
parietal kubah (cupola) rongga ipsilateral (a pada gambar) yang
ditentukan berdasarkan foto toraks posisi berdiri. Pneumotoraks luas
(large) bila didapatkan jarak a≥3cm, sedangkan pneumotoraks kecil
(small) bila jarak a <3cm. Kelemahan metode ini adalah cenderung
overestimasi bila terdapat pneumotoraks local di apeks paru.

Gambar 2.3 Penghitungan luas pneumotoraks18


Berbeda dengan ACCP, BTS menggunakan jarak intrapleura
setinggi hilus untuk menentukan luas pneumotoraks. Jarak 2 cm
diperkirakan setara dengan kolaps paru hingga 50% sehingga
digunakan sebagai nilai cut-off.
Pengukuran luas pneumotoraks berdasarkan index Light adalah dengan
cara mengukur diameter paru yang kolaps dibandingkan dengan
diameter toraks ipsilateral yang terkena. Diameter ini kemudian di-
cubing (digambarkan sebagai sebuah volume) untuk memperkirakan
persentase kolapsnya paru. Metoder Rhea menggunakan penjumlahan
tiga titik yang kemudian dicocokkan pada sebuah nomogram untuk
menentukan luas pneumotoraks.


Analisa Gas Darah
Pemeriksaan laboratorium ini untuk mengetahui keadaan hipoksemia
dan hiperkarbia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

Ultrasonografi paru19,20
Pemeriksaan ultrasonografi pleura dilakukan menggunakan probe
curved linear. Pemeriksaan dilakukan pada regio intrakosta kedua
sampai kelima pada bagian anterior dan lateral dada dengan penanda
garis parasternal, midclavicular, dan midaksila. Probe digerakkan secara
longitudinal dan transversal untuk memvisualisasikan permukaan paru.
Ultrasonografi dapat mendeteksi pneumotoraks dengan sensitivitas
98,1% dan spesifisitas 99,2%. Pergerakan jaringan paru (ocean) dengan
dinding dada yang statis (shore) disebut dengan seashore. Pada paru
normal, terdapat adanya pergerakan antara pleura visceral dan parietal
yang disebut sebagai lung sliding. Apabila terdapat udara pada
intrapleural, adesi pleura, efusi, dan gangguan parenkim, pneumotoraks
dapat terjadi sehingga lung sliding akan menghilang.
Pemeriksaan ultrasonografi paru normal
o Lung sliding: digambarkan sebagai garis hyperechoic yang bergerak
selama pernafasan yang menggambarkan pergerakan kedua lapisan
pleura.
o Seashore sign: merupakan tanda dinamis dari paru normal.
Digambarkan sebagai garis-garis parallel yang merepresentasikan
dinding toraks diatas garis pleura dan pola granular yang
merupakan gambaran dibawah garis pleura yang menggambarkan
parenkim paru normal.
o “A” line: garis hyperechoic horizontal, parallel terhadap garis pleura,
merupakan penanda paru normal. A line merupakan refleksi dari
kontak soft tissue dengan permukaan paru yang berisi udara.
 

Gambar 2.4 Ultrasonografi paru normal19

Tanda patologis
o “B” line: muncul minimal 3 buah, berupa garis hyperechoic
vertikal. Jumlah dari B line yang muncul tergantung pada derajat
hilangnya aerasi paru dan intensitas B line meningkat dengan
pergerakan ispirasi. Adanya B line menyingkirkan dugaan
pneumothorax. B line dapat muncul tunggal ataupun multipel,
terlokalisasi atau menyebar pada seluruh dinding dada anterior.
o Lung point: merupakan tanda spesifik untuk diagnosis
pneumotoraks. Lung point merupakan transisi antara tanda
pneumothorax (hilangnya lung sliding dan A line) dengan tanda
paru normal (adanya lung sliding). Pada kondisi pneumothorax,
terjadi hilangnya pergerakan 2 lapisan pleura karena adanya
udara pada rongga pleura.

Gambar 2.5 Ultrasonografi pada pneumotoraks19


 CT-Scan Thorax
Dengan pemeriksaan radiologi ini akan lebih spesifik dalam
membedakan antara emfisema bulosa dengan pneumothoraks, batas
antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumothoraks spontan dan primer.17

Gambar 2.5 Gambaran CT Scan dengan PSS17

2.3.7. Penatalaksanaan
1. Tension Pneumothoraks
Tension Pneumothoraks membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran
besar (14-16 G) pada sela iga 2 garis midklavikula pada hemithoraks yang
terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothoraks menjadi
pneumothoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi
definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada pada sela iga
ke 5 di anterior garis midaxilaris9.
2. Pneumotoraks spontan18
Pasien dengan pneumotoraks spontan primer yang kecil dan tanpa keluhan
dapat ditangani cukup dengan observasi dan suplementasi oksigen.
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
direabsorbsi. Laju reasorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari.
Tindakan aktif seringkali diperlukan untuk pasien dengan pneumotoraks
spontan yang luas dan dengan keluhan sesuai kriteria BTS atau apabila
dari index Light didapatkan luas pneumotoraks ≥ 15% atau 20%. Studi
lain menyebutkan tindakan diperlukan untuk kasus pneumotoraks dengan
luas >30% untuk PSP dan 20% untuk SSP berdasarkan metode Rhea.
Tatalaksana awal yang paling disarankan untuk mayoritas pasien dengan
PSP luas adalah aspirasi manual. Dengan prosedur ini, jarum 14-16 G
dengan kateter polyethylene internal ditusukkan pada sela antar iga kedua
sejajar garis midklavikula setelah pemberian anestesi lokal. Kemudian,
jarum dihubungkan dengan three-way dan spuit 60 ml yang dilanjutkan
dengan aspirasi manual hingga tidak ada udara yang keluar atau terasa
tahanan. Observasi selama 4 jam dilanjutkan dengan foto toraks.
Pneumotoraks spontan sekunder selalu disertai dengan penyakit paru yang
mendasari sehingga adanya kebocoran udara yang terbentuk sulit untuk
menutup secara spontan dan membutuhkan intervensi aktif. Selain itu,
pneumotoraks berulang pada pasien dengan penyakit paru dapat bersifat
mengancam jiwa sehingga tatalaksana kasus pneumotoraks spontan
sekunder tidak cukup hanya mengeluarkan udara dari rongga pleura tetapi
juga mengatasi penyakit dasarnya. Keberhasilan aspirasi manual pada
pneumotoraks spontan sekunder masih diragukan.
3. Pneumothoraks Terbuka
Penilaian dan tatalaksan awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari
primary survey, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan
penanganan definitif. Mengingat hipoksia adalah manifestasi paling serius
pada trauma toraks maka intervensi awal ditujukan untuk mencegah atau
memperbaiki hipoksia. Secondary survey dilakukan berdasarkan
anamnesis trauma dan kecurigaan tinggi akan adanya trauma yang
spesifik. Primary survey pada pasien trauma toraks dimulai dari saluran
pernafasan. Permasalahan utama harus segera diatasi saat teridentifikasi12.
Pada trauma dada ada 3 faktor penyebab yang menyebabkan nyawa
korban terancam yaitu, perdarahan, penurunan cardiac output, dan distress
pernapasan. Pada perdarahan sangat sulit untuk diidentifikasi, akibat
trauma tumpul atau trauma tajam yang mengenai pembuluh darah pada
rongga toraks. Penurunan cardiac output mungkin diakibatkan
penekananan yang disebabkan oleh udara yang menumpuk pada rongga
pleura dan mendesak mediastinum sehingga menekan dari cabang vena
cava, penurunan dari aliran darah balik vena sehingga cardiac output
menurun. Distress respirasi disebabkan oleh desakan dari penumpukan
udara pada rongga pleura sehingga paru-paru yang terdesak akan menjadi
kolaps. Pada penderita dengan dengan trauma dada, fokus utama yang kita
perhatikan pada breathing, gejala harus dapat ditangani pada awal
penilaian13.
Bantuan hidup dasar yang diberikan, pertama, melihat lapang tidaknya
jalan napas (airway), dengan melakukan manuver head tilt, chin lift, dan
jaw thrus jika korban dicurigai mengalami cedera cervical. Disini dilihat
apakah ada sumbatan jalan napas, yang diakibatkan oleh trauma, dilihat
pergerakan napas korban ada atau tidak, terdapat sumbatan atau tidak dari
jalan napas korban seperti benda asing atau cairan, sehingga sumbatan
jalan napas dari benda asing dapat dihilangkan. Setelah itu kita berlanjut
pada breathing, disini kita evaluasi dari pergerakan dada korban apakah
simetris atau tidak, kita lihat juga distensi dari pembuluh darah vena pada
leher, luka yang terbuka, penderita biasanya akan terlihat gelisah akibat
kesulitan bernapas. Pemberian oksigen terapi sangat diperlukan pada
keadaan ini, karena pemberian terapi oksigen 100% dapat meningkatkan
absropsi udara pada pleura, oksigen terapi 100% diberikan untuk
menurunkan tekanan alveolar terhadap nitrogen, sehingga nitrogen dapat
dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui sistem vaskular, terjadi
perbedaan tekanan antara pembuluh kapiler jaringan dengan udara pada
rongga pleura, sehingga terjadi peningkatan absorpsi dari udara pada
rongga pleura13.
Pada pneumothoraks terbuka, terdapat luka yang menganga pada dinding
dada dan udara masuk melalui perlukaan tersebut. Penanganan awal yang
dapat dilakukan ialah penutupan luka terbuka tersebut dengan lapisan
penutup steril yang cukup lebar menutupi tepi defek dan diplester pada
tiga sisi membentuk efek flutter-type valve. Saat inspirasi, kassa akan
menutup defek dan mencegah udara luar masuk, sedangkan saat ekspirasi
bagian terbuka kassa akan membuka sehingga udara keluar dari rongga
pleura. Karena jika kita tutup pada ke empat sisinya, pneumothoraks
terbuka ini akan berubah menjadi pneumothoraks terdesak/tension
pneumothorax, akibat udara yang masuk tidak dapat keluar, dan
terperangkap di rongga pleura13.
Tata laksana berikutnya adalah pemasangan pipa torakostomi digunakan
pada pneumothoraks dengan gejala klinis sulit bernapas yang sangat berat,
nyeri dada, dan hipoksia. Pada penggunaannya pipa torakostomi
disambungkan dengan alat yang disebut WSD (water seal drainage). WSD
mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water seal yang berfungsi
sebagai katup satu arah berisi pipa yang ditenggelamkan dibawah air,
untuk mencegah air masuk kedalam pipa pada tekanan negatif rongga
pleura. dan ruang pengendali suction. WSD dilepaskan bila paru-paru
sudah mengembang maksimal dan kebocoran udara sudah tidak ada.
Pemasangan WSD ialah tidak berdekatan dengan lokasi defek. Lokasi
ideal pemasangan WSD adalah setingkat puting payudara, yakni sela iga V
sebelah anterior pada linea midaksilaris ipsilateral11.
Pada sirkulasi (circulation) kita menilainya dengan meraba denyut nadi,
untuk mengevaluasi kemungkinan tanda-tanda syok pada korban (denyut
nadi cepat dan lemah, akral dingin, laju pernafasan,dll) jika denyut nadi
tidak teraba langsung berikan kompresi sebanyak 30 kali dengan
memberikan 2 kali napas bantuan13.
Pemberian terapi cairan secara intravena dilakukan untuk resusitasi awal
pada penderita pneumotoraks dengan keadaan syok, dengan pemasangan
kateter intravena ukuran besar (minimum 16 gauge) dengan pemberian
larutan elektrolit isotonik, untuk menstabilkan volume vasukuler dengan
mengganti cairan pada ruang interstisial dan intraseluler13.
2.3.8 Komplikasi3

Kesalahan diagnosis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi


dalam prosedur needle decompression. Apabila needle decompression
dilakukan pada kasus pneumotoraks dan bukan tension pneumothorax,
makan tindakan dekompresi akan menyebabkan terbentuknya
pneumotoraks terbuka. Selain itu, apabila ternyata tidak ada pneumotoraks
pada pasien, insersi jarum dapat menyebabkan terjadinya pneumotoraks.
Selain itu, jarum dapat menyebabkan laserasi pada paru yang dapat
menyebabkan perlukaan pada jaringan paru ataupun hemotoraks. Apabila
insersi jarum dilakukan terlalu medial dari sternum, needle decompression
dapat menyebabkan hemotoraks karena mengenai pembuluh darah
interkosta atau arteri mamari interna.

Perlukaan pada neurovaskular interkosta dan parenkim paru dapat


juga terjadi pada pemasangan selang torakostomi, terutama apabila trokar
digunakan, selain itu terdapat juga risiko perdarahan postoperatif. Pada
penggunaan Heimlich valves, posisi yang salah dan terputusnya katup
dapat memperberat komplikasi pada pasien pneumotoraks.

Komplikasi pneumotoraks terdiri dari gagal nafas, henti jantung


atau henti nafas, hemopneumotoraks, fistula bronkopulmoner, edema
pulmonal, emfiema, pneumomediastinum, pneumoperikardium,
pneumoperitoneum, dan piopneumotoraks.

2.3.9. Edukasi20

Pada pasien dengan pneumotoraks spontan primer, perlu dilakukan


edukasi tentang observasi setelah tindakan aspirasi. Pasien dapat
dipulangkan apabila ukuran pneumotoraks tidak bertambah dalam 3
sampai 6 jam dan keluhan sesak dan nyeri dada menghilang. Pasien dapat
dirawatnapkan dengan pertimbangan ukuran pneumotoraks, terapi yang
dilakukan, dan kondisi klinis.
Pada pasien dengan riwayat pneumotoraks, perjalanan dengan
menggunakan pesawat tidak disarankan dalam 7-14 hari setelah terjadi
penyembuhan karena meningkatkan risiko rekurensi. Selain itu, kegiatan
menyelam tidak disarankan pada pasien dengan riwayat pneumotoraks
spontan.

2.3.10 Prognosis3

Prognosis pasien bervariasi tergantung dari jenis pneumotoraks.


Pada pneumotoraks spontan tanpa komplikasi penyembuhan total dapat
terjadi dalam 10 hari. Umumnya pneumotoraks spontan primer dapat
sembuh sendiri tanpa banyak intervensi medis. Kekambuhan biasanya
dapat terjadi dalam 6 bulan sampai 3 tahun sejak terjadinya pneumotoraks.
Persentase kekambuhan selama 5 tahun sekitar 28-32% pada
pneumotoraks spontan primer dan 43% pada pneumotoraks spontan
sekunder.

Kekambuhan lebih umum terjadi pada pasien dengan faktor risiko


seperti merokok, PPOK, AIDS, fibrosis pulmonal, usia muda, dan pasien
yang memiliki tubuh tinggi kurus. Pasien dengan pemasangan chest tube
dan pleurodesis memiliki tingkat kekambuhan kumulatif sebanyak 13%
dalam 6 bulan, 16% dalam 1 tahun, dan 27% dalam 3 tahun.

Pneumotoraks spontan sekunder memiliki tingkat mortalitas yang


lebih tinggi daripada pneumotoraks spontan primer, yaitu sebanyak 1-17%.
Pasien dengan PPOK memiliki risiko mortalitas 3-5 kali lebih tinggi
daripada pasien dengan pneumotoraks spontan primer. Sebuah hasil
penelitian menunjukkan tingkat kematian sebanyak 5% pada pasien
pneumotoraks dengan PPOK sebelum dilakukan pemasangan selang dada.

Tension pneumotoraks disebabkan oleh banyak hal dan dapat


menyebabkan gagal nafas, henti jantung, dan kematian apabila tidak
didiagnosis dan ditangani dengan tepat. Karena itu, apabila terdapat gejala
tension pneumotoraks pada pasien, harus segera dilakukan penanganan
untuk mencegah terjadinya ketidakstabilan hemodinamik dan kematian.

BAB 3
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
No Rekam Medis : 028544
Nama Pasien : Tn. Andi Sunardi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia Pasien : 29 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani

Primary Survey
KU : penurunan kesadaran
A : paten
B : spontan, simetris, tachypnea,
RR 40x/m, SpO2 98%,
C : nadi 130x/m, reguler isi kuat, kulit normal, akral hangat
D : GCS E1M5V1

Terapi Primary Survey


- Triage P1
- O2 15 lpm via NRBM
- Infus NS loading 2000 cc

Secondary Survey
Masuk Rumah Sakit :
Kamis, 18 November 2017, pukul 11.20 WITA

Metode Pemeriksaan : Alloanamnesis


Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSHL Manambai dengan keluhan kejang disertai
penurunan kesadaran. Kejang sebanyak 11 kali, setelah kejang pasien tidak sadar
penuh. Malam sebelumnya pukul 23.00 pasien menyelam mencari ikan dengan
kedalaman 15 meter selama 30 menit. dan naik ke permukaan karena nyeri kepala
hebat. Sampai di darat pasien kejang sebanyak 2 kali, muntah (+) sebanyak 2 kali.
Riw kejang sebelumnya tidak dijumpai.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak ada
Riwayat Pengobatan:
Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada

 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit Berat
Kesadaran : Sopor
GCS : E1M5V1

Tanda vital:
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 130 x/menit; reguler, kuat angkat, isi cukup
Pernafasan : 40x/menit
Suhu Badan : 40 oC
Saturasi O2 : 98%

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik(- /-), pupil 4mm/4mm


Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar
Thoraks:
o Inspeksi
Dinding dada simetris
 Palpasi
 Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra
 Fremitus taktil/vokal kanan = kiri
 Perkusi
 Sonor
 Perenjakan paru positif, batas jantung kanan pada ICS V
linea sternalis dextra
 Batas jantung kiri pada ICS VI satu jari medial linea
midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis
dextra

 Auskultasi
 S1(N) S2(N) normal reguler Murmur (-) Gallop (-)
 Vesikuler di kedua hemitoraks, Rh +/+ Wh -/-
Abdomen
 Inspeksi : Permukaan datar, simetris.
 Auskultas : Bising usus ( + )
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomnen.
 Palpasi : Hepar, lien, dan ginjal tidak teraba adanya
pembesaran. Nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral Hangat, CRT <2”, edema ekstremitas bawah (-/ -)
Neurologis:
RF: N/ meningkat
RP: +/-
Motorik : Lateralisasi kiri

 Resume:
Pasien datang ke IGD RSHL Manambai dengan keluhan kejang
disertai penurunan kesadaran. Kejang sebanyak 11 kali, setelah kejang
pasien tidak sadar penuh. Malam sebelumnya pukul 23.00 pasien
menyelam mencari ikan dengan kedalaman 15 meter selama 30 menit. dan
naik ke permukaan karena nyeri kepala hebat. Sampai di darat pasien
kejang sebanyak 2 kali, muntah (+) sebanyak 2 kali. Riw kejang
sebelumnya tidak dijumpai.
TD 110/70, nadi 130/m, RR 40/m, suhu 40 SpO2 98%.
Pada pemeriksaan fisik regio thorax ditemukan terdapat rhonki di
hemitoraks kiri dan kanan. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai refleks
fisiologis kanan normal, kiri meningkat. Refleks patologis kanan (-), kiri
(+), Meningeal sign: kaku kuduk (-). Motorik: lateralisasi kiri.
 Pemeriksaan Penunjang:
- Lab
- Foto Rontgen Thorax
- EKG
- USG

Laboratorium IGD

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 12.8 g% 11,7–15,5
Leukosit (WBC) 14.18 x 103/mm3 4,5–11,0x103
Hematokrit 36.6% 38–44%
Trombosit (PLT) 203 x103 150–450x103

Apusan Tebal Malaria Negatif

BGA
PH
PCO2
PO2
BE
TCO2
SO2
GINJAL
Ureum 35 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 1.7 mg/dL 0,50–0,90 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 142.3mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 3.94 mEq/L 3,6–5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 109.3 mEq/L 96–106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 238 mg/dL <200 mg/dL
Pembacaan foto thoraks:

Corakan bronkovaskular prominen pada lapangan paru kiri. Tidak tampak


gambaran pneumothorax. Cor ukuran dalam batas normal. Kedua sinus dan
diafragma baik. Gambaran fraktur pada costa III kiri lateral. Densitas lusen pada
soft tissue bahu kiri.

Kesan: Gambaran kontusio paru kiri dengan fraktur costa III kiri lateral.
Emfisema subkutis regio shoulder kiri.

USG:
Area I, II kiri Lung Sliding (-)

Lung point (+)

 Diagnosa Kerja :
Observasi status epileptikus ec Decompression Sickness type III
 Terapi :
- O2 15 lpm via NRBM
- Inj Diazepam 1 Amp IV (11.25)
- Infus NS 2000 RL (11.30)
- Drip Phenytoin 20 cc dalam 100cc NS 50 tpm (11.30)
- Drip PCT 1000 mg IV
- Injeksi Omeprazole 1 Amp IV (12.25)
- Rujuk Pasien untuk terapi oksigen hiperbarik
 Prognosis :
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad fungsionam : Dubia ad malam
- Ad sanationam : Dubia ad malam
Status pasien

• Nama : Andi Sunardi

• Usia : 26 tahun

• Jenis Kelamin : Laki Laki

• Alamat : Sumbawa

• MRS : 19/11/2017 (00.39)

Primary Survey

• Ax : tidak sadar, rujukan dengan dekompresi sicknes

A : terpasang ETT

B : nafas tidak spotan, terbagging, sat : 100%

C : t 120/70, n 82 x/m, akral hangat

D : GCS 111 (tersedasi fentanyl, midazolam)

Tx awal : taruh zona M

Pasang ventilator mode ASV

Pemeriksaan fisik

• KU lemah, kesadaran E1V1M1

• Tanda vital:

– TD 110/70 mmHg

– HR 82 x/menit (Reguler, kuat angkat)

– RR Ventilator

– T 38 drajat

• SpO2 : 99% dengan ventilator

• Kepala leher: konjungtiva anemis (-), ikterik (-), JVP normal. Pupil Reflek
cahaya (+/+) Isokor

• Thoraks : retraksi (-) Suara vesikuler (+/+), ronki (+/+) , whezing (-),
ekspirasi memanjang (-). Suara jantung tambahan (-)
• Abdomen: Soepel(+), bunyi usus kesan normal, Nyeri tekan (-), Jejas (-),
timpani (+)

• Akral : edema (-), hangat (+), crt<2 detik, sianosis (-)

• Status neurologi

– Meningeal sign : kaku kuduk (-)

– Refleks patologis babinski (+) sinistra

• Diagnosis kerja

– Dekompresi Sickness type 3

– Rencana

– IVFD RL 20 tpm

– Inj. Paracetamol 1 gram

– Stop Sedasi

– Ventilator

– Monitor TTV dan keluhan

– Foto Rontgen : Thoraks dan CT Scan Kepala

– Laboratorium

– Aktifasi Hiperbarik terapi

– Konsultasi DPJP Sp.Saraf

Laboratorium tgl 19/11/2017 Pukul 02.02

• Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 12.7 g% 11,7–15,5
Leukosit (WBC) 12,99 x 103/mm3 4,5–11,0x103
Hematokrit 34,8% 38–44%
Trombosit (PLT) 180 x103 150–450x103

GINJAL
Ureum 27,5 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 0,72 mg/dL 0,50–0,90 mg/dL
BGA
PH 7,460 135–155 mEq/L
PCO2 31,0 3,6–5,5 mEq/L
PO2
HCO3
BE
SO2 109.3 mEq/L 96–106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 170 mg/dL <200 mg/dL
3.1.5. Follow Up
6-9 Oktober 2017
S Nyeri dada kanan (+) sesak napas (+)
O Hemodinamik Stabil
Thorax :
I: Asimetris, ketinggalan gerak pada hemitorax kiri
P: Nyeri tekan (+) hemithorax (S), teraba krepitasi pada ICS III,
teraba emfisema subkutis
P: Hemithorax dextra sonor, Hemithorax sinistra redup
A: hemithorax dextra vesikuler, hemithorax sinistra vesikuler
menurun, Rh(-/-), Wh (-/-)
A Fr costae III lateral (S) + Contusio Pulmonum
P IVFD RL 20gtt/I
IVFD petidine : ketorolac (100:60) / 24 jam
Inj Ceftriaxone 2gr
Inj.Omeprazole 40mg/24 jam

10 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-)
O Hemodinamik stabil
A Fr costae III lateral (S) + Contusio Pulmonum
P Cefixime Tab 2x1
As Mefenamat Tab 3x1

DAFTAR PUSTAKA

1. Sharma, A., Jinda, P., 2008, Principles of Diagnosis and Management of


Traumatic Pneumothorax, J Emerg Trauma Shock. 2008 Jan-Jun; 1(1): 34–41.
2. Noppen, M, 2010, Spontaneous Pneumothorax: Epidemiology,
Pathophysiology and Cause, Europian Respiratory Review.
3. Mary C Mancini. 2011.Pneumothorax.
http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview#a0156
4. Pratomo, IP., 2013. Anatomi dan Fisiologi Pleura. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUP Persahabatan, Jakarta, Indonesia
5. Fildes, John. Head Trauma. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors
ATLS Student Course Manual. 8th Edition. Chicago: American College of
Surgeons Committee on Trauma. 2010.131-156.
6. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995
7. Fildes, John. Head Trauma. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors
ATLS Student Course Manual. 8th Edition. Chicago: American College of
Surgeons Committee on Trauma. 2010.131-156.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
9. ATLS, 2004. Advance Trauma Life Support For Doctors. American College of
Surgeons Committee on Trauma. Student Course Manual 7th Edition
10. Mason, R J, et al. 2005. Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory
Medicine, 4th ed. Saunders.
11. Wibisono, E., Budianto, IR, 2014. Pneumotoraks. Dalam Tanto, C., 2014.
Kapita Selekta Kedokteran. Media Auesculapius: Jakarta
12. ATLS. Student Course Manual. Eight Edition. American of Surgeon
Committee on Trauma.
13. Punarbawa, IWA., Suarjaya, PP., Identifikasi Awal dan Bantuan Hidup Dasar
Pada Pneumotoraks. FK Udayana: Bali.
14. Fishman, A.P., et al., 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders.
Edisi 4, Philadelphia: McGraw-Hill.
15. Tanto, C. et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
16. Alsagaff, H dan Isnu Pradjoko, 2010. Pneumotoraks Dalam: Alsagaff, H dan
Abdul Mukty, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
17. Malueka, Rusdy, dan Ghazali, 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press
18. Syafa’ah, Irmi. 2017. Pneumotoraks Spontan: Aspirasi Jarum vs Drainase
Kateter Toraks. FK Unair: Surabaya.
19. Stefanidis, K. 2011. Lung Sonography in the Diagnosis of Pneumothorax.
European Society of Radiology.
20. Tintinalli, J. E. 2016. Tintinalli’s Emergency Medicine. Edisi 8, New York:
McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai