Anda di halaman 1dari 33

Kasus

– Ny. S, 61 tahun, datang dengan keluhan sesak sejak reguler (+), murmur (-), gallop (-)
dua minggu yang lalu. Nyeri ulu hati dijumpai. Batuk – Abdomen : Inspeksi: Distensi (+)
dialami sejak dua minggu. Demam tidak dijumpai,
mual dijumpai, muntah tidak dijumpai. Kaki dan perut Auskultasi : BU (+)
dirasakan membesar sejak dua minggu yang lalu. DM Palpasi : NT (+) E
(+), HT (+).
Perkusi : Shifting dullness
(+)
– KU/Sens : Sedang/ CM GCS E4V5M6 – Anogenital : dbn
– TD : 130/90 mmHg RR : 24 x/menit – Ekstremitas/ Muskuloskeletal : akral hangat
– Nadi : 112 x/menit T : 36,80 C (+/+/+/+). Pitting edema pretibia (+/+)
– Kepala &Wajah: CA -/-, SI -/-, RP +/+ isokor +/+ – Pemeriksaan Neurologis : dbn
– Leher : TVJ meningkat (-), Pemb. KGB (-)
– Thorax : Inspeksi : simetris – USG : Lung : A/A Profile; Hepar : cairan bebas (+);
E- FAST: +1
Palpasi : SF +/+
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SP vesikuler +/+,
Rh -/-, Wh -/-, SJ S1S2 tunggal
Prosedur
Paracentesis

Oleh :

dr. Winda Wijayanti

RS. Manambai Abdulkadir


Pendahuluan

– Asites (hidroperitonia, hydrops abdominis) berasal dari bahasa Yunani “askos” yang
berarti "tas" atau "kantung“  akumulasi cairan abnormal di rongga perut.
– Etiologi : Sirosis hati terkait alkoholisme 75%, keganasan 10-12%, dan gagal jantung
5%.
– Aspirasi peritoneal cairan asites atau paracentesis pertama kali diperkenalkan oleh
Saloman pada awal abad ke-20. .
– Paracentesis adalah alat diagnostik penting untuk pasien asites onset baru untuk
menentukan etiologi dan pada pasien dengan asites lama untuk mendeteksi adanya
infeksi. Selain itu paracentesis dapat berfungsi sebagai terapeutik dalam
pengangkatan cairan asites yang besar untuk memperbaiki status pernapasan dan
tingkat kenyamanan pasien.
Anatomi
- Rongga abdomen dilapisi oleh
peritoneum dan terlindungi
oleh otot-otot dinding perut,
lemak, dan kulit.
- Otot rektus kanan dan kiri,
yang diperdarahi oleh
pembuluh darah epigastrik,
bertemu di midline linea alba
yang avaskular.
- Hati berada di kuadran
kanan atas
- Limpa normal berada pada
kuadran kiri atas.
- Usus menempati sebagian
besar rongga abdomen dan Rongga abdomen dibagi menjadi beberapa kompartemen sesuai lampiran
tidak melekat erat sehingga mesenterika. Cairan asites dapat ditemukan di rongga peritoneum manapun.
memungkinkan bergerak di Lokasi cairan asites terutama bergantung pada jumlah cairan dan posisi pasien,
rongga abdomen. mengikuti hukum gravitasi. Dalam jumlah sedikit cairan umumnya terakumulasi
- Kandung kemih berada pada
rongga pelvis namun dapat
di parit-parit cul-de-sac dan perikolik. Ultrasound dapat membantu dalam
masuk rongga abdomen saat mengidentifikasi, melokalisasi, dan mengukur cairan asites.
terisi penuh oleh urine.
Kontraindikasi

– Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk melakukan paracentesis. Kontraindikasi


relatif :
– pasien hamil
– pasien yang memiliki riwayat operasi abdomen
– pasien dengan obstruksi usus
– Koagulopati, disarankan menggunakan garis tengah infraumbilikal, linea alba, sebagai
pendekatan pada pasien koagulopati dikarenakan pada daerah ini bebas dari
vaskulatur, sehingga mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan.
Alat & Bahan
– Seldinger-type guidewire kit
– Kacamata pelindung
– Catheter-through-the-needle
– Sarung tangan steril
– Catheter-over-the-needle
– Baju,penutup kepala, dan masker steril
– Jarum 60 mL untuk pengumpulan cairan
– Larutan iodin povidon
– Intravenous tubing or blood collection tubing if
– Kasa steril 4x4 vacuum bottles are used
– Sterile drape – Collection bottles (vacuum) or collection bag
– Larutan anestesi lokal dengan epinefrin – Perban
– Jarum 25 gauge – 3-way stopcock
– Jarum suntik 10 mL – Tabung penampung darah ungu dan merah
– Jarum 18 gauge, jarum berukuran 3½ inci – Botol kultur darah
atau jarum spinal
– Wadah spesimen steril untuk sitologi (opsional)
Persiapan Pasien

– Jelaskan prosedur, risikonya, dan manfaatnya kepada pasien dan / atau wali
mereka. Dapatkan informed consent.
– Kantung kemih pasien harus kosong, jika perlu pasang kateter Foley untuk
dekompresi kandung kemih.
– Pemasangan selang nasogastrik direkomendasikan untuk mencegah perforasi
lambung iatrogenik terutama jika ada obstruksi usus bersamaan.
– Ada dua area yang
direkomendasikan untuk lokasi
penusukan jarum paracentesis.
– Lokasi utama ada di garis tengah
dan 2 cm di bawah umbilikus.
– Alternatif lain yang dapat
digunakan yaitu pada 4 sampai 5
cm superior dan sedikit ke medial
spina iliaka anterosuperior di salah
satu kuadran bawah.
– Ultrasound sangat berguna untuk
mengidentifikasi cairan dalam
kasus-kasus sulit.
– Posisikan pasien duduk tegak untuk pendekatan lokasi midline atau linea alba
– Berbaring posisi dekubitus lateral kanan untuk pendekatan kuadran kanan
bawah, atau berbaring posisi dekubitus lateral kiri untuk pendekatan kuadran kiri
bawah.
– Siapkan pasien. Bersihkan kulit di sekitar tempat tusukan Oleskan larutan
yodium povidone dan biarkan sampai kering  Pasang linen penutup untuk
menggambarkan bidang steril Suntikkan 2 sampai 5 mL larutan anestesi lokal
secara subkutan dan sepanjang jalur insersi Biarkan 3 sampai 5 menit agar
anestesi lokal mulai bekerja.
Teknik

Teknik Z-Tract
– Teknik "Z-tract" digunakan untuk mengurangi kemungkinan kebocoran cairan
asites, terutama pada pasien dengan ascites tegang.
– Lakukan traksi pada kulit bagian atas atau bawah tempat penyisipan jarum
sehingga kulit ditarik kencang saat jarum masuk ke peritoneum. Tujuannya
adalah ketika regangan kulit dilepaskan, kulit kembali ke posisi normal dan
menutup jalur jarum paracentesis.
– Gunakan jarum 18 gauge, jarum 3 1/2 inci atau jarum spinal ke spuit 60 mL. Perlahan masukkan dan
mendorong jarum dengan posisi tegak lurus terhadap kulit atau posisi 45 derajat terhadap kulit secara
kaudal.
– Berikan tekanan negatif pada spuit saat sedang didorong. Hilangnya hambatan dirasakan saat jarum
memasuki rongga peritoneum.
– Berhenti mendorong jarum saat cairan asites memasuki spuit. Lanjutkan aspirasi sampai jarum suntik terisi
setengah atau tiga perempat oleh cairan.
– Omentum atau lingkaran usus dapat menutupi jarum jika cairan asites berhenti mengalir ke spuit. Lepaskan
plunger spuit, dan coba untuk aspirasi kembali. Jika cairan tetap tidak mengalir, masukkan 1 sampai 2 mL
cairan asites, lalu coba aspirasi kembali.
– Reposisi jarum jika cairan asites tetap tidak mengalir ke spuit dengan cara tarik jarum ke dermis kemudian
reposisi lalu dorong kembali ke dalam rongga peritoneum. Jangan sekali-kali memposisikan jarum sementara
ujungnya berada di dalam rongga peritoneum karena jarum bisa mengoyak usus, omentum, atau pembuluh
darah.
– Perhatikan warna dan kejernihan cairan asites.
– Aspirasi 30 sampai 50 mL jika prosedur dilakukan untuk tujuan diagnostik.
Tarik jarum setelah mendapatkan cairan. Segera masukkan cairan ke dalam
tabung.
– Jika paracentesis bertujuan untuk terapeutik dan ada banyak sekali cairan
yang harus dikeringkan, pegang jarum dengan aman dan lepaskan
spuitnya Hubungkan jarum ke tabung intravena Sambungkan ujung
tabung intravena ke dalam botol isap atau kantong untuk mengalirkan
jumlah cairan asites yang diinginkan Lepaskan jarum setelah prosedur
selesai  Aplikasikan perban pada bekas tusukan kulit.
Teknik Seldinger

– Pertama kali dikenalkan oleh Seldinger pada tahun 1953, teknik ini menggunakan
kateter (sheath) dan kawat. Kawat yang digunakan harus lebih panjang dari kateter
(sheath) . Jarum yang digunakan untuk memasukkan kawat bisa pendek dan
berukuran lebih kecil dari pada kateter (sheath) . Teknik Seldinger paling sering
digunakan untuk insersi kateter vena sentral.
– Pilih tempat tusukan dan persiapkan pasien untuk prosedur.
– Masukkan jarum dengan cara Z-tract, jarum introducer memiliki hub runcing pada
ujung proksimal untuk memandu kawat ke dalam lumen jarum. Hindari
menggunakan jarum suntik standar, karena tidak memungkinkan masuknya
guidewire. Kilatan cairan di hub jarum menandakan bahwa ujung jarum berada di
dalam rongga peritoneum  Dorong jarum sedikit 1 sampai 2 mm  Pegang jarum
pada tempatnya dengan aman dan lepaskan syringe.
– Tutup hub jarum dengan jari bersarungtangan steril  Masukkan guidewire melalui hub dari jarum. Dorong
guidewire ke kedalaman yang diinginkan. Jangan pernah melepaskan guidewire.  Pegang guidewire dengan
aman di tempatnya. Lepaskan jarum melewati guidewire. Buatlah sayatan kecil di kulit di sekitar guidewire
dengan pisau bedah  Masukkan dilator dan sheath, dorong dilator dan sheath sekaligus melalui guidewire
sampai masuk ke rongga peritoneum (twisting motion), dorong hub kateter (sheath) sampai menempel pada
kulit. Pegang hub sheath dengan kuat. Lepaskan guidewire dan dilator bersamaan  Pasang syringe ke hub
kateter (sheath)
– Aspirasi cairan dari kateter untuk mengkonfirmasi penempatan intraperitoneal  Pegang hub kateter
dengan aman dan lepaskan syringe  Berikan spuit ke asisten untuk menempatkan sampel ke dalam wadah
laboratorium Hubungkan kateter ke tabung intravenaSambungkan ujung tabung intravena ke dalam
botol isap atau kantong untuk mengalirkan jumlah cairan yang diinginkanLepaskan kateter setelah
prosedur selesai  Aplikasikan perban ke bekas tusukan kulit.
Catheter-through-the-Needle
Technique
– Sistem ini paling sering digunakan untuk akses vena sentral. Pilih ukuran kateter
yang sesuai untuk pasien dan tempat insersi. Jarum akan memiliki diameter dalam
yang sedikit lebih besar dari diameter luar kateter. Pilih tempat tusukan dan
persiapkan pasien untuk prosedur.
– Masukkan jarum melalui kulit dengan cara Z-tract dan masuk ke rongga peritoneal
sambil menerapkan tekanan negatif pada spuit. Kilatan cairan di alat suntik
menandakan bahwa ujung jarum berada di dalam rongga peritoneum Dorong
sedikit jarum 2 atau 3 mm untuk memastikan ujung jarum benar-benar berada di
dalam rongga peritoneum  Pegang dengan aman dan tahan jarum dengan tangan
kiri Lepaskan spuit dengan tangan kanan. Segera letakkan jempol kiri di atas hub
jarum agar udara tidak masuk dan cairan tidak keluar.
– Masukkan kateter melalui hub jarum  Dorong kateter melalui jarum sampai panjang kateter yang
diinginkan berada di dalam rongga peritoneum. Jika kateter tidak bisa maju, lepaskan kateter dan jarum
sekaligus. Jangan sekali-kali menarik kateter melalui jarum karena jarum bisa memotong kateter saat
ditarik dan menghasilkan emboli kateter di rongga peritoneum.
– Tarik jarum melalui kateter, terus tarik jarum hingga ujungnya benar-benar berada di luar kulit  Pasang
pelindung jarum  Pasang spuit ke hub kateter  Aspirasi cairan dari kateter untuk mengkonfirmasi
penempatan di intraperitoneal  Pegang hub kateter dengan aman dan lepaskan spuitnya  Berikan spuit
ke asisten untuk menempatkan sampel ke dalam wadah laboratorium  Hubungkan kateter ke tabung
intravena  Sambungkan ujung tabung ke dalam botol isap atau kantong untuk mengalirkan cairan yang
diinginkan  Lepaskan kateter setelah prosedur selesai  Aplikasikan perban pada bekas tusukan kulit.
– Kerugian utama teknik ini adalah kemungkinan ujung jarum geser dari kateter dan menghasilkan emboli
kateter. Hal ini dapat dicegah dengan tidak menarik kateter melalui jarum dan segera memasang pelindung
jarum setelah jarum ditarik dari kulit. Kelemahan lainnya adalah jarum yang telah terkontaminasi
berpotensi cedera jarum suntik.
Catheter-over-the-Needle
Technique
– Teknik Catheter-over-the-needle adalah yang paling umum digunakan untuk akses vena perifer.
Kelebihannya murah dan tersedia dalam berbagai ukuran (12 sampai 24 gauge) dan tersedia secara
luas.Pemasangan kateter ini biasanya cepat dan mudah.
– Pilih tempat tusukan dan persiapkan pasien untuk prosedur  Masukkan kateter melalui kulit
dengan cara Z-tract hingga masuk ke rongga peritoneal  Cairan di hub jarum menandakan bahwa
ujung jarum berada di dalam rongga peritoneum  Dorong kateter kira-kira 2 atau 3 mm untuk
memastikan kateter berada di dalam rongga peritoneum  Pegang hub jarum dengan kencang 
Dorong kateter di melalui jarum sampai hub nya menempel pada kulit  kemudian tarik jarum.
– Pasang syringe ke hub kateter  Aspirasi cairan dari kateter untuk mengkonfirmasi penempatan
intraperitoneal Pegang hub kateter dengan aman dan lepaskan syringe. Berikan syringe ke asisten
untuk menempatkan sampel ke dalam wadah laboratorium. Hubungkan kateter ke tabung
intravena  Sambungkan ujung tabung ke dalam botol isap atau kantong untuk mengalirkan cairan
yang diinginkan  Lepaskan kateter setelah prosedur selesai  Aplikasikan perban pada bekas
tusukan kulit.
– Ada 2 teknik penggunaan USG pada prosedur parasentesis.
– Teknik Statik : teknik ini menggunakan USG untuk
memberikan tanda lokasi yang tepat dilakukannya
parasenteis. Setelah lokasi ditemukan, probe USG
diangkat.
– Teknik Dinamik: menggunakan USG dengan probe steril
untuk memandu dan memonitor insersi jarum ke rongga
peritoneal.
USG pada prosedur Parasentesis

– Studi randomized control trial oleh J.Ennis dkk, “traditional blind paracentesis vs. US-guided
paracentesis”. Didapatkan hasil 95% berhasil dengan USG guidence, 61% berhasil dengan
teknik tradisional.
– Penilaian awal dapat menggunakan probe 3 MHz, panjang gelombang lebih besar,
memungkinkan melihat lebih dalam pada rongga abdomen atau pelvis, dan menghasilkan
gambaran global
– Asites akan menunjukkan gambaran hitam (anechoic) pada USG. Usus dengan mesenteri
terlihat melayang akan bergerak saat pasien bergerak atau menarik napas.
– Word Gastroenterology Organization menyebutkan bahwa paling sedikit 20 mL cairan asites
diperlukan untuk tujuan diagnostik. Studi lain 50-100 ml.
– Langkah selanjutnya melihat lebih dekat area penusukan dengan menggunakn probe 10 MHz.
– Struktur vaskular
dapat diidentifikasi
menggunakan B-
mode, akan tampak
gambaran bundar
dari arteri dan vena.
– Color Doppler US
dapat digunakan
untuk
mengkonfirmasi
keberadaan vaskula
yang harus dihindari.
Dan menentukan
“zona aman asites”.
Rehabilitasi
– Setelah prosedur selesai, lokasi tusukan paracentesis harus dibalut. Lokasi tusukan terkadang
akan memancarkan cairan pada pasien dengan asites masif. Pada kasus ini disarankan untuk
mengganti dressing secara teratur. Terkadang, jahitan sederhana diperlukan untuk
mengendalikan drainase.
– Pasien dapat dipulangkan jika tujuan paracentesis untuk meredakan asites yang tegang tercapai
dan tidak ada tanda atau gejala peritonitis bakteri spontan. Pasien harus segera kembali ke
Instalasi Gawat Darurat jika mereka menderita sakit perut, mual, muntah, distensi abdomen,
atau demam.
– Pasien memerlukan rawat inap dan antibiotik intravena jika didiagnosa peritonitis bakteri
spontan. Antibiotik empiris yang mencakup bakteri gram negatif ( Escherichia coli yang paling
mungkin) seperti sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim) dan ampisilin untuk streptokokus
(termasuk Enterococcus) harus diberikan di Instalasi Gawat Darurat.
Komplikasi
– Komplikasi dari paracentesis abdomen jarang terjadi dan jarang serius.
– Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi :
– Hematoma dinding abdomen,
– hemoperitoneum, Hemoperitoneum spontan sekunder akibat perdarahan varises mesenterika telah dilaporkan
terjadi pada pasien dengan volume asites besar (> 4000 mL) (riwayat sirosis lanjut dengan asites refrakter,
paracentesis volume besar sebelumnya, dan syok hemoragik tanpa bukti perdarahan gastrointestinal).
– perforasi usus, jarang terjadi. Selain itu, sebagian besar luka akan sembuh sendiri dan tidak menimbulkan masalah
lebih lanjut
– infeksi
– kebocoran cairan asites yang persisten, dibutuhkan jahitan sederhana pada lokasi kebocoran. Pasien dengan
kebocoran persisten harus dievaluasi kemungkinan jatuh ke peritonitis.
– Bahaya hemodinamik sistemik. Pengambilan sejumlah cairan asites secara cepat telah dilaporkan dapat
menyebabkan bahaya hemodinamik.
– Komplikasi vaskular lainnya yaitu pseudoaneurysm arteri epigastrik inferior telah dilaporakan sebagai komplikasi
paracentesis terapeutik
Analisa Cairan Asites

– Cairan asites normal berwarana kuning jernih.


– Jika keruh dapat kemungkinan adanya infeksi, tingkat trigliserida yang meningkat, atau
komponen partikulat lainnya.
– Cairan sanguinous didapati pada pasien dengan keganasan, perdarahan intraperitoneal dari
organ intraabdomen (spontan atau iatrogenik), atau peritonitis tuberkulosis
– Analisis cairan meliputi jumlah sel, kultur rutin, dan konsentrasi albumin, total kadar protein,
glukosa, LDH, amilase, trigliserida, dan bilirubin tidak membantu kecuali dalam keadaan
tertentu dan tidak dibenarkan secara rutin.
– Gradien albumin serum asites 97% akurat dalam menunjukkan hipertensi portal. Gradien
dihitung dengan mengurangi konsentrasi albumin asites cairan dari konsentrasi albumin serum
yang diukur secara bersamaan. Gradien 1,1 gm / dL menunjukkan hipertensi portal sebagai
etiologi asites. Gradien <1,1 gm / dL menunjukkan bahwa pasien tidak memiliki hipertensi
portal dan asites berasal dari etiologi lain.
– Pasien dengan asites tanpa komplikasi sekunder akibat sirosis memiliki hitung
sel darah putih asites (WBC) <500 sel/mm3. Sel-sel dominan limfosit dan
seharusnya tidak ada bukti klinis peritonitis.
– Jika ada dugaan infeksi, jumlah WBC> 250 sel/mm3 dengan leukosit
polimorfonuklear lebih dari 50 persen maka tegak peritonitis bakteri spontan.
Ringkasan

– Paracentesis adalah prosedur yang aman yang biasa dilakukan dalam praktik
kedokteran emergensi. Ada beberapa kontraindikasi terhadap kinerjanya. Hal ini
paling sering dilakukan secara diagnostik untuk mendeteksi peritonitis bakteri
spontan. Tindakan ini juga dapat dilakukan secara terapeutik untuk
menghilangkan gejala pada pasien dengan asites yang tegang. Komplikasi dapat
terjadi, namun jarang.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai