Anda di halaman 1dari 22

UNIVERSITAS JEMBER

TUGAS UJIAN KEPERAWATAN BEDAH


MOBILISASI POST OPERASI LOWER EXTREMITY DAN FASCIOTOMY

oleh:
Faridatul Isniyah
NIM 182311101031

PROGRAM STUDI PENDIDIKANPROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
DESEMBER, 2018
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mobilisasi Dini Post Operasi
1. Pengertian Mobilisasi Dini Post Operasi
a. Mobilisasi setelah operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan setelah operasi
dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur sampai dengan bisa turun dari
tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan ke luar kamar (Brunner &
Suddarth, 2002).
b. Menurut Carpenito (2000), Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting
pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian.
Konsep mobilisasi dini sebenarnya daalh untuk mencegah komplikasi paska
operasi. Dari Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara
membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
c. Mobilisasi dini juga didefenisikan sebagai suatu pergerakan, posisi atau adanya
kegiatan yang dilakukan pasien setelah beberapa jam post/pasca operasi.
2. Tujuan Mobilisasi Dini Post Operasi
Beberapa tujuan dari mobilisasi menurut Susan J. Garrison (2004), antara lain:
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
d. Mempertahankan tonus otot
e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine
f. Mempercepat proses penutupan jahitan operasi
g. Mengembalikan aktivitas tertentu, sehingga pasien dapat kembali normal dan atau
dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
h. Memberikan kesempatan perawat dan pasien berinteraksi atau berkomunikasi.
3. Macam-Macam Mobilisasi
Menuruit Priharjo (2000) mobilisasi dibagi menjadi dua yakni :
a. Mobilisasi secara pasif. Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuhnya
dengan cara dibantu dengan orang lain secara total atau keseluruhan.
b. Mobilisasi secara aktif. Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuh
dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain.
4. Rentang Gerak Dalam Mobilisasi
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif. Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan
otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional. Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan
melakukan aktifitas yang diperlukan.
5. Manfaat Mobilisasi Dini
Menurut Mochtar (2005), manfaat mobilisasi bagi anak post operasi adalah penderita
merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan bergerak, otot-otot perut
dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan
dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian anak merasa sehat dan membantu
memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan, terutama penutupan luka jahitan. Faal
usus dan kandung kencing lebih baik. Dengan bergerak akan merangsang peristaltic usus
kembali normal. Aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja
seperti semula. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi
sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli
dapat dihindarkan.
6. Kerugian Bila Tidak Melakukan Mobilisasi
Berikut beebrapa kerugian bila tidak melakukan mobilisasi post operasi :
a. Penyembuhan luka menjadi lama
b. Menambah rasa sakit
c. Badan menjadi pegal dan kaku
d. Kulit menjadi lecet dan luka
e. Memperlama perawatan dirumah sakit
Indikasi Dilakukannya Mobilisasi Dini Post Operasi Latihan mobilisasi biasanya
diberikan pada pasien dengan :
a. Fraktur extremitas bawah yang telah diindikasikan untuk latihan mobilisasi
b. Post pengobatan kompresi lumbal,
c. Pasien pasca serangan stroke dengan kerusakan mobilitas fisik, serta
d. Pasien post operasi yang memerlukan latihan mobilisasi, seperti kolostomi atau
laparostomi.
Kontraindikasi Dilakukannya Mobilisasi Dini. Pada kasus tertentu istirahat di tempat
tidur diperlukan dalam periode tidak terlalu lama seperti pada pada kasus infark Miokard
akut, Disritmia jantung, atau syok sepsis, kontraindikasi lain dapat di temukan pada
kelemahan umum dengan tingkat energi yang kurang.
7. Pedoman Pelaksanaan Mobilisasi
Penilaian tolerasi aktifitas sangat penting terutama pada klien dengan gangguan
kardiovaskuler atau jantung atau pada klien dengan immobiliasi yang lama akibat
kelumpuhan. Hal tersebut biasanya dikaji pada waktu sebelum melakukan mobilisasi, saat
mobilisasi dan setelah mobilisasi. Tanda - tanda yang dapat di kaji pada intoleransi
aktifitas antara lain (Gordon, 1976) :
a. Denyut nadi frekuensinya mengalami peningkatan, irama tidak teratur
b. Tekanan darah biasanya terjadi penurunan tekanan sistol/hipotensi orthostatic
c. Pernafasan terjadi peningkatan frekuensi, pernafasan cepat dangkal
d. Warna kulit dan suhu tubuh terjadi penurunan
e. Kecepatan dan posisi tubuh.disini akan mengalami kecepatan aktifitas dan ketidak
stabilan posisi tubuh
f. Adanya keluhan pusing atau kelemahan luar biasa
g. Status emosi labil.
8. Tahap-tahap Mobilisasi Dini
Menurut Kasdu (2003) mobilisasi dini dilakukan secara bertahap berikut ini akan
dijelaskan tahap mobilisasi dini antara lain :
a. Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien harus tirah baring dahulu. Mobilisasi
dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan
ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan
otot betis serta menekuk dan menggeser kaki
b. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan
mencegah trombosis dan trombo emboli
c. Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk
d. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar berjalan. Kebanyakan dari
pasien masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu
pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh yang
baru saja selesai dikerjakan. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu
dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi
atau pergerakan badan sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan
keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa
pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat
dipersingkat. Dan tentu ini akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan
pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress psikis.
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga juga
mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan
metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya
justru akan mempercepat penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali
otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi
dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap
pemulihan fisik. Pengaruh latihan pasca pembedahan terhadap masa pulih ini, juga telah
dibuktikan melalui penelitian penelitian ilmiah. Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8
jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat
digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional.
Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan
menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan
otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan
lainnya, miring ke kiri atau ke kanan. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan
lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan
fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan
di lantai sambil digerak-gerakan. Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang
dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya
memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya
berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar luka
operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan dengan tubuh, seperti; infus,
cateter, pipa nasogastrik (NGT=nasogastric tube), drainage tube, kabel monitor dan lain-
lain. Perangkat ini pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun
paling tidak dokter bedah akan mengintruksikan susternya untuk membuka atau melepas
perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini. Untuk
operasi di daerah kepala, seperti trepanasi, operasi terhadap tulang wajah, kasus THT,
mata dan lain-lain, setelah sadar baik, sudah harus bisa menggerakkan bagian badan
lainnya. Akan diperhatikan masalah jalan nafas dan kemampuan mengkonsumsi makanan
jika daerah operasinya di sekitar rongga mulut, hidung dan leher. Terhadap operasi yang
dikerjakan di daerah dada, perhatian utama pada pemulihan terhadap kemampuan otot-
otot dada untuk tetap menjamin pergerakan menghirup dan mengeluarkan nafas. Untuk
operasi di perut, jika tidak ada perangkat tambahan yang menyertai pasca operasi, tidak
ada alasan untuk berlama-lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan kapan diit
makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh saluran
pencernaan. Yang luka operasinya berada di areal punggung, misalnya pada pemasangan
fiksasi pada tulang belakang, kemampuan untuk duduk sedini mungkin akan menjadi
target dokter bedahnya. Sedangkan operasi yang melibatkan saluran kemih dengan
pemasangan cateter dan atau pipa drainage sudah akan memberikan keleluasaan untuk
bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi. Apalagi operasi yang hanya memperbaiki
anggota gerak, seperti operasi patah tulang, sudah menjadi kewajiban pasien untuk
menggerakkan otot dan persendian di sekitar areal luka operasinya secepat mungkin.
B. Mobilisasi Dini Post Operasi Lower Extremity
Problematika yang dapat muncul pada pasca operasi fraktur lower extremity adalah
impairment meliputi :
1) Oedem di sekitar daerah fraktur. Oedem yang terjadi karena adanya luka bekas operasi,
sehingga tubuh memberikan respon radang atas kerusakan jaringan di dekat daerah
fraktur.
2) Nyeri di sekitar luka operasi. Adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat
daerah fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial sehingga
akan menekan nociceptor, lalu menyebabkan nyeri.
3) Keterbatasan lingkup gerak sendi. Karena oedem dan nyeri yang disebabkan oleh luka
fraktur dan luka operasi menyebabkan pasien takut untuk bergerak, sehingga lama-lama
akan mengalami gangguan atau penurunan lingkup gerak sendi.
4) Penurunan kekuatan otot. Oedem dan nyeri karena luka bekas operasi dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan anggota
geraknya dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan disused atrophy.
5) Functional Limitation. Adanya oedem dan nyeri menyebabkan pasien mengalami
penurunan kemampuan fungsionalnya, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri, naik
turun tangga, keterbatasan melakukan Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil
(BAK). Hal ini disebabkan adanya rasa nyeri, oedem, dan karena penyambungan tulang
oleh callus yang belum sempurna, sehingga pasien belum mampu menumpu berat badan
dan melakukan aktifitas sehari-hari secara optimal.
6) Disability. Oleh karena nyeri, oedem dan keterbatasan fungsional, pasien tidak mampu
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya atau bersosialisasi dengan orang lain.
a. Teknologi Intervensi Fisioterapi. Teknologi Fisioterapi yang digunakan dalam
kasus ini adalah terapi latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam
fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik
secara aktif maupun pasif (Priatna,1985). Pada umumnya, sebelum dan setelah
pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi yaitu dalam keadaan
dielevasikan sekitar 30o.
b. Tujuan Fisioterapi
Tujuan jangka pendek fisioterapi yang akan diberikan pada kasus ini
1. Mengurangi nyeri pada tungkai kanan sekitar luka incisi
2. Mengurangi bengkak pada kaki kanan
3. Menambah LGS sendi yang bersangkutan
4. Meningkatkan kekuatan otot
Tujuan jangka panjangnya yaitu meningkatkan kemampuan fungsional dari pasien.
c. Pelaksanaan Fisioterapi
Terapi latihan sangat berperan dalam program rehabilitasi terhadap penderita post
operasi fraktur lower extremity.
1. Static Contraction.
Static Contraction bermanfaat untuk
mereleksasikan otot-otot melancarkan
peredaran darah dan menjaga fisiologi otot.
a. Otot gatrocnemius tungkai kanan.
Pasien posisi tidur terlentang, tangan
terapis diletakkan pada bawah tumit
kanan pasien. Lalu pasien diminta
untuk menekankan tumitnya kebawah
dilakukan pengulangan 8 kali.
b. Otot Quadriceps femoris dextra. Pasien
posisi tidur terlentang tangan terapis
diletakkan pada bawah lutut kanan, lalu
pasien diminta untuk menekankan lutut
ke bawah dilakukan pengulangan
hingga 8 kali.
c. Otot Gluteus. Pasien posisi tidur
terlentang tangan terapis diletakkan
pada bawah gluteal untuk mengecek
lalu pasien diminta untuk merapatkan
pantatnya seperti menahan buang air
besar dilakukan pengulangan hingga 8
kali.
2. Active Movement anggota yang sehat
Gerakan yang dilakukan posisi tidur
terlentang meliputi:
a. Gerak aktif sendi bahu. Pasien diminta
untuk menggerakan lengan kiri maupun
kanan kearah flexi-extensi secara bersama
sama dan kembali ke posisi semula,
gerakan abduksi-adduksi, gerakan
horizontal adduksi-abduksi, gerakn
eksternal dan interanal rotasi dilakukan
pengulangan masing-masing 8 kali.
b. Gerak aktif sendi siku. Pasien diminta
menggerakan siku kanan maupun siku kiri
kearah flexi-extensi dan dilakukan
pengulangan hingga 8 kali.
c. Gerak aktif kombinasi. Flexi-extensi sendi
lutut dan sendi panggul kanan masing-
masing dilakukan pengulangan 8 kali.
d. Gerak aktif pergelangan kaki.
3. Relaxed Passive Movement
a. Passive movement sendi pergelangan kaki
untuk gerakan dorsal dan plantar flexi.
Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis
disebelah kanan bed dengan tangan kiri
memfiksasi pada pergelangan kaki pasien,
sedangkan tangan kanan menggerakkan
ankle kearah dorsal dan plantar flexi
dilakukan pengulangan 8 kali (Kisner,
1996)
b. Passive movement sendi lutut untuk
gerakan flexi-extensi knee. Posisi pasien
tidur terlentang, posisi terapis memfiksasi
pada sendi pergelangan kaki sedangkan
tangan satunya berada di bawah lutut
kemudian digerakkan flexi- extensi sendi
knee gerakan dilakukan dengan hati-hati
sebatas toleransi pasien dilakukan
pengulangan 8 kali (Gardiner, 1981).
c. Passive movement sendi panggul untuk
gerakan flexi-extnesi. Posisi pasien tidur
terlentang, posisi terapis berada disamping
kanan bed tangan kiri terapis memegang
lutut kanan pasien dan tangan kanan
terapis memfiksasi pada tumit kanan
pasien kemudian terapis menggerakan
tungkai kanan pasien kearah flexi sebatas
nyeri kemudian ke posisi semula
pengulangan 8 kali.
d. Passive Movement sendi panggul untuk
gerkaan abduksi-adduksi.Posisi pasien
tidur terlentang, posisi terpis berada
disaping kanan bed, tangan kiri terapis
menyangga dibawah lutut kanan pasien
tangan kanan memegang tumit kanan
pasien kemudian terapis menggerakan
tungkai kanan kearah luar abduksi
kemudian ke arah semula abduksi
disarankan tidak melewati midline
dilakukan pengulangan 8 kali (Kisner,
1996).
e. Latihan duduk long sitting. Pasien dalam
keadaan tidur terlentang terapis
menjelaskan cara duduk yang aman yaitu
kedua siku untuk menumpu berat badan
data persatu siku diluruskan dan kedua
lengan menyangga tubuh dari belakang
terapis membiarkan bantuan mengangkat
badan.
f. Latihan duduk ongkang-ongkang. Posisi
awal duduk half flying dengan long sitting
dan terapis berdiri disamping kanan pasien
tungkai kanan pasien, atau yang sehat
disuruh menekuk tungkai yang kanan atau
yang sakit disangga oleh terapis kemudian
pasien agar menggunakan kedua tangan.
Sebagai tumpuan lalu perlahan-lahan
pasien agar menggeser pantatnya diiringi
terapis menggeser atau membawa tungkai
kanan pasien kesamping kanan bed, ke tepi
bed dan pasien tetap menyangga dengan
kedua tangan menumpu belakang
kemudian perlahan-lahan terapis
menurunkan tungkai kiri pasien
menggantung.
g. Strengthening Otot Quadriceps. Posisi
awal pasien duduk ongkang-ongkang,
terapis berdiri didepan pasien tangan kiri
terapis memfiksasi bagian lutut, tangan
kanan terapis memegang ankle atau
pergelangan kaki pasien. Kemudian pasien
diminta mengangkat tungkai ke atas dan
kebawah (fleksi-ekstensi lutut) dengan
terapis memberikan tahanan pada saat
pasien mengangkat tungkai ke atas
diberikan 8 kali pengulangan.
C. Ankle Pumping Exercise
a. Definisi Ankle Pumping Exercise
Latihan Ankle Pumping merupakan suatu latihan isometrik untuk otot betis dan
pergelangan kaki. Ankle pump dapat dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk
melakukan fleksi (dorsofleksi) dan ekstensi (plantarflexi) pergelangan kaki dan kontraksi
otot–otot betis (latihan pemompaan betis), kemudian instruksikan pasien
mempertahankan posisi ini selama 5–10 detik dan biarkan pasien rileks. Ulangi latihan
ini, 10 kali dalam satu jam ketika pasien terjaga (Smeltzer & Bare, 2002).
Sementara menurut Scott (2011), Ankle pumping dilakukan dengan mengelevasikan
kaki dan mendorong sendi pada pergelangan kaki fleksi–ekstensi secara berulang–ulang
atau menggambarkan huruf A–Z dengan menggunakan pergelangan kaki diulang 3–4
menit selama 3–5 kali perhari. Pollak (2013) menambahkan ankle pumping exercise
dilakukan dengan menggerakkan pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke bawah
dan mengelevasikan kaki apabila ada pembengkakan distal untuk melancarkan aliran
darah balik. Gerakan mendorong kaki ke atas atau ekstensi akan mengkontraksikan otot
tibial dan mendorong kaki ke bawah atau fleksi akan mengkontraksikan otot betis yang
mana akan berpengaruh terhadap massa otot plantar flexor itu sendiri (Pollak, 2013).
b. Manfaat Latihan Ankle Pumping
Adapun manfaat dari ankle pumping adalah
1. Latihan pergelangan kaki bermanfaat dalam melancarkan sirkulasi darah balik dari
distal. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pembengkakakn distal akibat
sirkulasi darah yang lancar. Selain itu, sirkulasi darah balik yang baik dapat
mencegah kejadian atrofi otot dimana atrofi otot dapat disebabkan oleh aliran darah
yang buruk (Kwon, et al, 2003).
2. Latihan pergelangan kaki dapat mencegah penyakit-penyakit vena, seperti DVT
(Deep Vein Thrombosis), hipertensi vena dan lainnya. Ankle pumping dilakukan
untuk meminimalkan statis vena dan mencegah thrombosis vena dalam (Eldawati,
2011; Dixy; Brooke; McCollum, 2003).
3. Latihan ankle pumps sebagai salah satu jenis latihan yang dapat mengembalikan
fungsi aktivitas normal otot post operasi penggantian tulang lutut (Scott, 2011).
c. Pengaruh Latihan Ankle
Atrofi otot plantar flexor pada pasien fraktur dengan traksi disebabkan
akibat penggunaan traksi yang menyebabkan pasien mengimobilisasikan bagian
tubuh yang fraktur sehingga mengakibatkan seluruh otot ekstremitas bawah tidak
dapat berkontraksi. Latihan akan meningkatkan koordinasi intermuskular dengan
meningkatkan kerjasama antara kelompok otot yang berbeda agar terjadi
peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi pada jaringan otot
sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Hipertrofi otot secara langsung
berhubungan dengan sintesis material seluler, tertama pada protein elemen
kontraktil yang berhubungan dengan peningkatan jumlah volume mitokondria
dalam sel otot (Hardjono, 2008).
Terdapat dua macam adaptasi dari hasil latihan yaitu pengaruh terhadap
mitokondra, adanya peningkatan aktivitas atau konsentrasi enzim yang terlibat
dalam siklus kreb’s dan sistem transpor elektron (Fox & Bowers, 1993). Latihan Ankle
Pumping berfungsi untuk menggantikan aktivitas otot plantar flexor sehari-hari yang
berfungsi untuk berdiri dan berjalan. Kontraksi otot yang dilakukan melibatkan sebanyak
mungkin motor unit dalam kelompok otot tersebut, terjadi aktivitas pemendekan jembatan
silang komponen aktinmiosin yang diaktifasi oleh refluk kalsium dalam kepala aktin,
serta terjadi tranformasi ATP menjadi ADP dan Fosfat sebagai sumber energi serta
peningkatan aliran darah sebagai mekanisme kompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.
Aktivitas ini memberi stimulasi kepada sel satelit untuk menyeimbangkan proses
remodeling otot sehingga terjadi eleminasi dan dekomposisi protein kontraktil dengan
jumlah yang sama. Secara klinis otot akan dapat mempertahankan kekuatan, massa dan
ketahanannya (Barton & Morris, 2003; Guyton & Hall, 2008; Braddom, 2011).
d. Indikasi dan kontarindikasi Ankle Pumping Exercise
1. Indikasi Ankle Pumping Exercise
a) Terapi Rehabilitasi Post Operasi
Ankle pumping merupakan salah satu jenis terapi yang dapat
mengembalikan fungsi aktivitas normal kaki post operasi penggantian
tulang lutut (Scott, 2011).
b) Pasien dengan pembengkakan.
Ankle pumping membantu melancarkan aliran vena balik sehingga dapat
mengurangi statis pada aliran darah dan mengurangi pembengkakan pada
ekstremitas distal (Kwon, 2003).
c) Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama.
Pasien dengan bedrest/imobilisasi beresiko tinggi mengalami penurunan
masa otot sehingga perlu dilakukan latihan pergerakan untuk mengurangi
penurunan massa otot (Smeltzer & Bare, 2002).
d) Pasien dengan DVT.
Trombosis/DVT beresiko menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
sehingga akan menimbulkan penurunan konsentrasi oksigen dan
penurunan kadar hemoglobin. Perawat membantu pasien pascaoperatif
fraktur femur melakukan Latihan isometrik (ROM, Ankle Pumping,
Gluteal Set) dan mengatur posisi kaki lebih tinggi, sehingga akan
meningkatkan aliran darah ke ekstermitas dan stasis berkurang. Kontraksi
otot kaki bagian bawah akan meningkatkan aliran balik vena sehingga
mempersulit terbentuknya bekuan darah atau DVT (Eldawati, 2011;
Smeltzer & Bare, 2002).
2. Kontraindikasi Ankle Pumping Exercise
Ankle pumping merupakan latihan yang cukup aman dan mudah untuk
dilakukan pada sebagian besar kondisi. Namun menurut Potter and Perry (2006) ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan ini antara lain:
a) Nyeri. Pasien yang mengalami nyeri sedang sampai dengan berat akan
mengalami penurunan toleransi terhadap pergerakan.
b) Kondisi kesehatan pasien. Kondisi emosi pasien dapat meningkatkan perubahan
perilaku yang dapat
menurunkan kemampuan untuk melakukan mobilisasi dengan baik. Orang
yang depresi, khawatir, dan cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas
sehingga cepat mengalami kelelahan akibat pengeluaran energi yang besar
dari ketakutan dan kecemasannya.
c) Perdarahan. Prinsip penanganan pada kasus perdarahan adalah Rest,
Imobilization,Compress, Elevation (RICE) dimana salah satu tindakan penangan
perdarahan adalah imobilisasi. Latihan ataupun mobilisasi dengan menggerakkan
sebagian anggota tubuh akan meningkatkan perfusi ke daerah yang digerakkan
sehingga dapat meningkatkan tingkat perdarahan itu sendiri.
3. SOP

Ankle Pumping Exercise

PSIK
Universitas Jember
Prosedur tetap No No. Revisi: - Halaman:
Dokumen:
Tanggal Ditetapkan Oleh Ketua PSIK Universitas Jember
terbit:
1. Pengertian ankle pumping exercise merupakan suatu bentuk ambulasi dini yang
dilakukan dengan mengintervensi pergelangan kaki dengan gerakan
fleksi dan ekstensi
2. Tujuan untuk menggerakkan otot yang diimobilisasikan dan
melancarkan peredaran darah distal untuk mencegah atrofi
otot akibat imobilisasi
3. Indikasi 1. Terapi rehabilitasi post operasi
2. Pasien dengan pembengkakan
3. Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama
4. Pasien dengan DVT
4. Kontra indikasi -
5. Persiapan pasien 2. Memberikan salam, memperkenalkan diri anda.
3. Menjelaskan tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
4. Memberi privasi kepada klien
6. Persiapan alat -
7. Cara kerja 1. Atur posisi dengan nyaman
2. Lakukan gerakan mendorong kaki ke atas

3. Lakukan gerakan mendorong kaki ke bawah

4. Lakukan gerakan di atas secara diulang 10 kali


8. Evaluasi
1. Evaluasi respon klien
2. Berikan Reinforcement positif
3. Lakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik

D. WEIGHT BEARING
Pembebanan berat badan (weight-bearing) pada kaki ditentukan oleh dokter
bedah. Weight Bearing adalah jumlah dari beban seorang pasien yang dipasang pada kaki
yang dibedah. Tingkatan Weight Bearing dibedakan menjadi 5 (lima) yaitu:
1. Non weight bearing (NWB)
a. Kaki tidak boleh menyentuh lantai
b. NWB adalah 0 % dari beban tubuh, dilakukan selama 3 Minggu pasca operasi.
2. Touch Down Weight Bearing (TDWB). Berat dari kaki pada lantai saat melangkah
tidak lebih dari 5% beban tubuh.
3. Partial Weight Bearing (PWB)
a. Berat dapat berangsur ditingkatkan dari 30-50 % beban tubuh.
b. Dilakukan 3-6 vMinggu pasca opersi.
4. Weight Bearing as Tolerated (WBAT)
a. Tingkatannya dari 50 – 100 % beban tubuh
b. Pasien dapat meningkatkan beban jika merasa sanggup melakukannya.
5. Full Weight Bearing (FWB)
a. Kaki dapat membawa 100 % beban tubuh setiap melangkah
b. Dilakukan 8-9 bulan pasca operasi (Prerson, 2002)
E. KOMPARTEMEN SINDROM
1. Definisi
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang
tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan
intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam
kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, parestesia,
paresis, disertai denyut nadi yang hilang. (Azar& DeLee 2003,Argenta, 2004)
Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik, tergantung dari
penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan lamanya gejala. Penyebab umum terjadinya
sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan arteri, dan luka
bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik dapat disebabkan oleh aktivitas yang
berulang misalnya lari (Azar, 2003).
2. Anatomi
Fascia memisahkan serabut otot dalam satu kelompok. Kompartemen adalah merupakan
daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran dan fascia yang melibatkan
jaringan otot, saraf dan pembuluh darah (Cameron, 2006).
a. Pada regio brachium, kompartemen dibagi menjadi 2 bagian yaitu (Marc, 2001.,
Preston, 2002):
1) Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar
dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus
interosseous posterior.
Pada regio antebrachium, kompartemen dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Marc,
2001., Preston, 2002):
1) Kompartemen volar : otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar
dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal : otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus
interosseous posterior.
3) Mobile wad : otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor carpi radialis
brevis, otot brachioradialis. Pada regio wrist joint, kompartemen dibagi menjadi 6
bagian yaitu (Marc, 2001., Preston, 2002):
a) Kompartemen I : otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis.
b) Kompartemen II : otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi
radialis longus.
 Kompartemen III : otot ekstensor pollicis longus.
 Kompartemen IV : otot ekstensor digitorum communis, otot ekstensor indicis.
 Kompartemen V : otot ekstensor digiti minimi.
b. Kompartemen VI : otot ekstensor carpi ulnaris.
Pada regio cruris, kompartemen dibagi menjadi 4 bagian yaitu (Marc, 2001., Preston,
2002):
1) Kompartemen anterior : otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari kaki, nervus
peroneal profunda.
2) Kompartemen lateral : otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal superfisial.
3) Kompartemen posterior superfisial : otot gastrocnemius dan soleus, nervus sural.
4) Kompartemen posterior profunda : otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki,
nervus tibia.
3. Etiologi
Penyebab terjadinya sindroma kompartemen adalah tekanan di dalam kompartemen yang
terlalu tinggi, lebih dari 30 mmHg. Adapun penyebab terjadinya peningkatan tekanan
intrakompartemen adalah peningkatan volume cairan dalam kompartemen atau penurunan
volume kompartemen. Peningkatan volume cairan dalam kompartemen dapat disebabkan
oleh (Marc, 2001). Peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka bakar, trauma
langsung. Peningkatan tekanan kapiler, akibat latihan atau adanya obstruksi vena. Hipertrofi
otot. Pendarahan. Infus yang infiltrasi. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan
oleh balutan yang terlalu ketat (Marc, 2001).
4. Etiology
Perkembangan sindroma kompartemen tergantung tidak hanya pada tekanan
intrakompartemen tapi juga tekanan sistemik darah. Patofisiologi sindroma kompartemen
melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia Azar
2003). Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan
menyebabkan kapiler kolaps, nutrisi tidak dapat mengalir keluar ke sel-sel dan hasil
metabolisme tidak dapat dikeluarkan. Hanya dalam beberapa jam, sel-sel yang tidak
memperoleh makanan akan mengalami kerusakan. Pertama-tama sel akan mengalami
pembengkakan, kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan
terjadi pembengkakan lebih lanjut. Pembengkakan yang terus bertambah menyebabkan
tekanan meningkat. (Anglen, 1994 dan Kearns, 2004). Aliran darah yang melewati kapiler
akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya
hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif (misal : histamin,
serotonin) yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi
kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat kerusakan
disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis (Rasul, 2005).
5. Diagnosis
Sindroma kompartemen dapat didiagnosis berdasarkan pengetahuan tentang faktor resiko,
keluhan subjektif dan adanya suatu tanda-tanda fisik dan gejala klinis. Adapun faktor resiko
pada sindroma kompartemen meliputi fraktur yang berat dan trauma pada jaringan lunak,
penggunaan bebat (Townsend, 2004&Pink, 2005). Gejala klinis yang umum ditemukan pada
sindroma kompartemen meliputi 5 P, yaitu (McRae, 2002):
1. Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan pasif pada otot-
otot yang terkena, ketika ada trauma langsung.
2. Pallor (pucat) : kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat, abu-abu
atau keputihan.
3. Parestesia : biasanya memberikan gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi,
merupakan tanda yang lambat diketahui.
5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) : akibat adanya gangguan perfusi
arterial. Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam
membantu menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen
dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari pemeriksaan fisik tidak
memberi hasil yang memuaskan. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter(Townsend, 2004&Pink, 2005).
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain (Amendola, 2009).
a. Teknik injeksi. Jarum ukuran 18 dihubungkan dengan spuit 20 cc melalui saluran
salin dan udara. Saluran ini kemudian dihubungkan dengan manometer air raksa
standar. Setelah jarum disuntikkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam
spoit akan meningkat sehingga meniskus salin-udara tampak bergerak. Kemudian
tekanan dalam kompartemen dapat dibaca pada manometer air raksa.
b. Teknik Wick kateter. Wick kateter dan sarung plastiknya dihubungkan ke
transducer dan recorder. Kateter dan tabungnya diisi oleh three-way yang
dihubungkan dengan transducer. Sangat perlu untuk memastikan bahwa tidak ada
gelembung udara dalam sistem tersebut karena memberi hasil yang rendah atau
mengaburkan pengukuran. Ujung kateter harus dapat menghentikan suatu
meniskus air sehingga dapat dipastikan dan diketahui bahwa dalam jaringan
tersebut dilewati suatu trocar besar, kemudian jarumnya ditarik dan kateter dibalut
ke kulit.
6. TERAPI
Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
a. Terapi medikal / non bedah. (11)
 Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia.
 Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas.
 Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah.
 Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik.
b. Terapi pembedahan / operatif. Fasciotomi adalah pengobatan operatif pada sindroma
kompartemen dengan stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam (Wallace, 2007) Terapi untuk
sindroma kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang
dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka
tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi
kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft
mungkin diperlukan untuk menutup luka ini (Andrew,2007& Brian) Adapun indikasi
untuk melakukan fasciotomi adalah (Kalb, 2003):
 Ada tanda-tanda klinis dari sindroma kompartemen.
 Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg.
a) FASCIOTOMI PADA REGIO CRURIS
Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio cruris : fibulektomy,
fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi
adalah prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi
pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan
lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif (Azar&
Amendola, 2003). Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal
caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada
bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat
fasciotomy longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit
dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior
superficial. Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini
diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah
peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior
ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal (Azar& Amendola, 2003).
Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) : Insisi sepanjang 20-25 cm
dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi
subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi tranversal
dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah
proksimal dan distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi
pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena
dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk
mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial.
Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain
pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen
posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi
kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada
kompartemen ini, segera dibuka (Azar& Amendola, 2003).
b) FASCIOTOMI PADA REGIO ANTEBRACHIUM
Pendekatan volar (Henry) dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan
superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari
proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal.
Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi
dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke
tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan
diperpanjang kea rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar.
Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm
di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan(Azar& Amendola, 2003).
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya
kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis
ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor
pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom
kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus
dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa
dekompresi yang adekuat telah dilakukan (Azar& Amendola, 2003). Pendekatan
Volar Ulnar Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan
pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas
tendon bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan
bawah, dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial
pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke
carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris
dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat
arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada
kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi (Azar& Amendola, 2003).
Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah
didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal
(ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan
kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor.
Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus meningkat,
fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari
epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas antara ekstensor carpi
radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian
dilakukan fasciotomi (Azar& Amendola, 2003).
7. KOMPLIKASI (Kalb, 2003)
 Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan
nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia
pada jaringan tersebut.
 Kontraktur volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan
kelanjutan dari sindroma kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih
dari beberapa minggu atau bulan.
 Infeksi.
 Hipestesia dan nyeri.
 Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika
terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi ,(2008). Tehnik Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta : Salemba medika
DeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s orthopaedic
sports medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003. p : 13-4
Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic sciense for surgeons. Saunders.
Philadelphia. 2004. p : 143-4
Brunner & Sudart (2002). Buku Ajar KeperawatanMedikal Bedah.( Alih Bahasa Rini, MA).
Jakarta EGC.
Beyer, Dudes (1997). The Clinical Practice Of Medical Surgical Nursing 2nd: Brown Co
Biston. Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on May 28th 2007.
Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com. Accessed
on May 29th 2007.
Cameron Peter, Jelinek George. Compartment syndrome in Textbook of adult emergency
medicine. Ed 2nd. Churchill Livingstone. New York. 2004. p : 84-5
2007.
Andrew L, Chen. Compartment syndrome. Available at http://www.medlineplus.com.
Accessed on May 28th 2007.
Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of orthopaedics. Ed 5th.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2001. p : 20-8
Preston R Miller, John M Kane. Compartment syndrome and rhabdomyolysis in The trauma
manual. Ed 2nd. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2002. p : 335-7
Wallace Stephen. Compartment syndrome, lower extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on June 4th 2007.
Anglen J, Banovetz. Pathophysiology of compartment syndrome in The well leg resulting
from fracture table positioning. Clinical Orthopaedics & Related Research. 1994. p :
239-42
Kearns, Daly, Sheehan, Murray. Oral vitamin C reduces the injury to skeletal muscle caused
by compartment syndrome. Journal of Bone and Joint Surgery. Aug 2004.
Solomon Louis, Warwick David. Compartment syndrome in Appley`s system of
orthopaedics and fractures. Ed 8th. Oxford University Press. New York. 2001. p : 563-4
Townsend M Courtney, Beau Champ. Acute compartment syndrome in Textbook of surgery.
Ed 17th. Elsevier Saunders. USA. 2004. p : 554-7
Pink P Mitchell, Abraham Edward. Compartment syndrome in Textbook of critical care. Ed
5th. Elsevier Saunders. USA. 2005. p : 2099
McRae Ronald, Esser Max. Compartment syndromes in Practical fracture treatment.
Churchill Livingstone. New York. 2002. p : 99
Flandry Fred. Compartment syndrome : swelling out of control. Available at
http://www.hughston.com. Accessed on May 28th 2007.
Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic science,
management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92
Brian J Awbrey, Shingo Tanabe. Chronic exercise-induced compartment syndrome of the leg.
Harvard Orthopaedic Journal.\
Kalb L Robert. Compartment syndrome evaluation in Procedures for primary care. Mosby.
USA. 2003. p : 1419-29
Frederick A. Compartmental syndromes. Available at http://www.wikipedia.org. Accessed on
June 4th 2007.
Braver Richard. Surgical pearls : How to test and treat exertional compartment syndrome.
American College of Foot and Ankle Surgeons. May 2002. p : 22-4
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2.Jakarta : EGC.
Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed
10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57
Kisner, et.al.(1996). TherapeuticExercise Foundation and Techniques. Edisi 3. F.A, Davis
Company, Phyladelpia. HAL 339-412.
Gardiner, M. Denna.(1996), The Principle of Exercise Therapy. Fourth Edition. Bel and
Hyman. London.

Anda mungkin juga menyukai