NIM : 18.901.1985
KELOMPOK : 3
DENPASAR
2018
A. KONSEP DASAR PENYAKIT PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR
1. Pengertian
2. Epidemiologi
pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita
tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik,
trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar
intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki – laki
disekolah.
3. Etiologi
4. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit(Smeltzer Suzanne, 2002). Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah an ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment(Smeltzer Suzanne, 2002).
Fraktur femur
Peningkatan tek
Pergeseran fragmen tulang Nyeri akut Kurang pengetahuan
kapiler
Pelepasan histamin
Tekanan sumsum tulang
deformitas
lebih tinggi kapiler
edema
Gangguan fungsi gerak
Reaksi stress muncul
Penekanan pembuluh
darah Hambatan mobilitas fisik
Melepaskan katekolamin
Penurunan suplay O2
ke jaringan Mobilisasi asam lemak
Fraktur femur
f. Fraktur Intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
7. Manifestasi Klinis
Biasanya terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan
menggunakan tungkai yang mengalami cedera, fraktur tidak selalu dari
tempat yang cedera suatu pukulan dapat menyebebkan fraktur pada kondilus
femur, batang femur, pattela, ataupun acetabulum. Umur pasien dan
mekanisme cedera itu penting, kalau fraktur terjadiakibat cedera yang ringan
curigailah lesi patologik nyeri, memar dan pembengkakan adalah gejala yang
sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera
jaringan lunak, deformitas jauh lebih mendukung.
(Lewis & Heitkemper, 2007)menyampaikan gejala klinis dari fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma.Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi.Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian
yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan.Ini terjadi pada
fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian
tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
k. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci)
8. Komplikasi
a. Early :
1) Lokal :
a) Vaskuler : Compartement syndrome, Trauma vaskuler
b) Neurologis : lesi medulla spinalis atau saraf perifer
2) Sistemik : emboli lemak
a) Crush syndrome
a) Emboli paru dan emboli lemak
b. Late :
1) Malunion : Bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal
(angulasi, perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal
2) Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari
normal
3) Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu
4) Kekakuan sendi/kontraktur
9. Penatalaksanaan
a. Reduksi
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit dilakukan bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan
imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan, mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dilakukan manipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat
lain dipasang. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Reduksi terbuka digunakan pada fraktur tertentu dengan memakai
alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Traksi
dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b. Traksi
Traksi adalah cara penyembuhan fraktur yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat
mungkin
Metode Pemasangan traksi:
1) Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, pada keadaan
emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
2) Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
- Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain,
misalnya: otot. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5
kg.
- Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
1) Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas
untuk mengikat puncak iliaka.
3) Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan
spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
4) Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang
juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi
kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.Traksi ini dibuat sebuah
bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan
vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
(a) (b)
Gambar 4. Metode Pemasangan Traksi (a. Skletal traksi. b. Skin
traksi)
c. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau
eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu. Metode fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku, atau batangan logam.
Gambar 5. Area-area yang tertekan menggunakan Gips
Ket: Teknik fiksasi interna. (A) Plat dan sekrup untuk fraktur transversal
atau oblik pendek; (B) Sekrup untuk fraktur oblik dan spiral
panjang; (C) sekrup untuk fragmen butterfly panjang; (D) Plat dan
enam sekrup untuk fragmen butterfly pendek; (E) Nail moduler
untuk fraktur segmental
d. Pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini
disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang
bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma
fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka.
Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang
normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini
dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
Indikasi ORIF :
1) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
3) Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
4) Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi
5) Excisional Arthroplasty
6) Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi
7) Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
8) Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
1) Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
3) Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4) Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5) Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada
kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan
mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama
penatalaksanaan dijalankan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas: (Muttaqin, 2008)
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
2) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur
femur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi
berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien
biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam penampilan,
klien mengalami emosi yang tidak stabil.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
gangguan citra diri.
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus
menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan
menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur
lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil
melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma pada
sisi cedera.
f. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang
(4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Muttaqin,
2008 )
2. Diagnosa Keperawatan
Pre-op
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur femur ditandai
dengan peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit, RR: 24
X/menit, S: 36,5oC), wajah tampak meringis, mengungkapkan nyeri di
bagian kaki dengan skala 8 ( skala 1-10), diaphoresis, dilatasi pupil.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan
temperatur kulit.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal
dan neuromuscular ditandai dengan klien tidak mampu menggerakkan
kedua kakinya, tonus otot klien pada ekstremitas bawah adalah 0.
d. Kurang pengetahuan klien dan keluarga berhubungan dengan kurangnya
informasi mengenai fraktur femur ditandai dengan klien tidak dapat
menyebutkan penyebab penyakitnya, klien tidak dapat menyebutkan
peengobatan penyakitnya, dan klien dapat menyebutkan prognosis
penyakitnya (Nanda Nic-Noc, 2013).
Post-op
a. Risiko Infeksi pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (luka post
ORIF sepanjang 15 cm)
3. Intervensi Keperawatan
Pre-op
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur femur
ditandai dengan peningkatan TTV (TD: 140/90mmHg, N:110 x/menit,
RR: 24 X/menit, S: 36,5oC), wajah tampak meringis, mengungkapkan
nyeri di bagian kaki dengan skala 8 ( skala 1-10), diaphoresis, dilatasi
pupil.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri
klien dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
1) Pain Control
- Menjelaskan faktor penyebab nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated).
- Menggunakan teknik non analgetik untuk mengontrol nyeri, skala 5
(Consistently demonstrated).
- Menggunakan analgetik sesuai rekomendasi, skala 5 (Consistently
demonstrated).
2) Pain Level
- Pelaporan nyeri, skala 5 (none)
Intervensi :
Kontrol nyeri
1) Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Mengurangi rasa nyeri pada area yang sakit secara
nonfarmakologi.
2) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri secara non farmakologi pada
klien seperti distraksi, relaksasi, guided imagery, terutama jika nyeri
sudah mulai berkurang untuk mengontrol nyeri
Rasional : mengalihkan nyeri yang dialami klien secara nonfarmakologi.
3) Berikan lingkungan yang nyaman, misalnya tingkat kebisingan,
pencahayaan, suhu ruangan.
Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensivitas
pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi.
4) Kurangi atau hilangkan faktor pencetus atau yang meningkatkan nyeri
pada klien.
Rasional : untuk mengurangi perasaan nyeri yang dialami klien.
Pain Level
1) Kaji skala nyeri serta faktor yang memperberat nyeri klien.
Rasional : Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan
oleh klien. Bantu klien untuk menilai nyeri dengan membandingkannya
dengan pengalaman lain.
2) Kaji tanda – tanda vital klien, seperti : nadi, RR, dan tekanan darah.
Rasional : Peningkatan nilai nadi, RR, dan tekanan darah
mengindikasikan nyeri.
Exercise promotion
3) Bersama pasien lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada
bagian tubuh yang paraplegi dan tidak fraktur
Rasional : untuk mencegah terjadinya atropi pada otot dan untuk
melancarkan aliran darah klien
Post-op
1. Risiko Infeksi pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (luka
post ORIF sepanjang 15 cm)
a. Infection Severity (Keparahan infeksi)
- Tidak ada kemerahan (Skala 5 = None)
- Tidak terjadi hipertermia (Skala 5 = None)
- Tidak ada nyeri (Skala 5 = None)
- Tidak ada pembengkakan (Skala 5 = None)
b. Risk Control (Kontrol resiko)
- Klien mampu menyebutkan factor-faktor resiko penyebab infeksi
( Skala 5 = Consistenly demonstrated)
- Klien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
- Klien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
- Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
c. Penyembuhan Luka : primer
- Pendekatan kulit, skala 5 (extensive)
- Pendekatan tepi luka, skala 5 (extensive)
- Pembentukan Scar, skala 5 (extensive)
- drainase purulen, skala 5 (none)
Intervensi:
Infection control (kontrol infeksi)
1) Bersihkan lingkungan setelah digunakan oleh klien.
Rasional: Agar bakteri dan penyakit tidak menyebar dari lingkungan
dan orang lain.
2) Jaga agar barier kulit yang terbuka tidak terpapar lingkungan dengan
cara menutup dengan kasa steril.
Rasional: Mengurangi paparan dari lingkungan.
3) Ajarkan klien dan keluarga teknik mencuci tangan yang benar.
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme yang ada di
tangan.
4) Pergunakan sabun anti microbial untuk mencuci tangan.
Rasional: Mencuci tangan menggunakan sabun lebih efektif untuk
membunuh bakteri.
5) Anjurkan klien untuk tetap menjaga personal hygiene
Rasional: Meminimalkan penularan agen infeksius
6) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
Rasional: Mencegah infeksi nosokomial.
7) Terapkan Universal precaution.
Rasional: Mencegah infeksi nosokomial.
8) Pertahankan lingkungan aseptik selama perawatan.
Rasional: untuk meminimalkan terkontaminasi mikroba atau bakteri.
9) Anjurkan klien untuk memenuhi asupan nutrisi dan cairan adekuat.
Rasional: Menjaga ketahanan sistem imun.
10) Ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari infeksi.
Rasional: infeksi lebih lanjut dapat memperburuk resiko infeksi pada
klien.
11) Kolaborasi pemberian antibiotik bila perlu.
Rasional: untuk mempercepat perbaikan kondisi klien
Wound care
1) Luka dibersihkan dan diganti dressingnya minimal 1 x sehari.
Rasional :Lingkungan luka yang bersih menurunkan risiko invasi
bakteri.
2) Monitor karakteristik luka meliputi (ada tidaknya cairan, ukuran, warna,
bau).
Rasional: Perubahan karakteristik luka menandakan ada tidaknya
infeksi misalnya, luka terdapat pus, berbau, ukuran meluas, warna
sekitar luka menjadi kemerahan tanda-tanda tersebut menyatakan
adanya infeksi.
3) Pertahankan teknik steril dalam membersihkan luka.
Rasional:Teknik steril dalam perawatan luka mencegah transmisi
kuman dari tangan perawat ke area luka.
4) Catat kondisi luka secara teratur setiap melakukan rawat luka.
Rasional :Mengevaluasi kondisi luka untuk mengetahui tanda-tanda
infeksi sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat.
5) Ajarkan kepada klien tanda dan gejala infeksi.
Rasional : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda infeksi sehingga
dapat melaporkan dengan segera kepada perawat.
4. Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang diberikan atau dialukan yang
mengacu pada intervensiyang telah dibuat.
5. Evaluasi
Pre-op
1. Nyeri akut
a. Pain Control
- Menjelaskan faktor penyebab nyeri, skala 5.
- Menggunakan teknik non analgetik untuk mengontrol nyeri, skala 5.
- Menggunakan analgetik sesuai rekomendasi, skala 5.
b. Pain Level
- Pelaporan nyeri, skala 5.
2. Gangguan perfusi jaringan perifer
a. Warna kulit tidak pucat
b. Tidak ada perubahan sensasi
c. Tidak ada masalah dengan capillary refill
d. Tidak ada sianosis
3. Hambatan mobilitas fisik
Mobilitas :
4. Kurang pengetahuan
Kepedulian terhadap penyakit :
- Spesifik proses penyakit ( 5 = extensive knowledge ).
- Prosedur pengobatan ( 5 = extensive knowledge ).
- Regimen pengobatan ( 5 = extensive knowledge ).
Post -op
1. Risiko Infeksi
Tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil:
Infection Severity (Keparahan infeksi)
- Tidak ada kemerahan (Skala 5 = None)
- Tidak terjadi hipertermia (Skala 5 = None)
- Tidak ada nyeri (Skala 5 = None)
- Tidak ada pembengkakan (Skala 5 = None)
Risk Control (Kontrol resiko)
- Klien mampu menyebutkan factor-faktor resiko penyebab infeksi
( Skala 5 = Consistenly demonstrated)
- Klien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
- Klien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
- Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan (Skala 5 =
Consistenly demonstrated)
Penyembuhan Luka : primer
- Pendekatan kulit, skala 5 (extensive)
- Pendekatan tepi luka, skala 5 (extensive)
- Pembentukan Scar, skala 5 (extensive)
- drainase purulen, skala 5 (none)
DAFTAR PUSTAKA
NYERI AKUT
LeMone, P. &. (2008). Medical-Surgical nursing: critical thingking in
client care (4th ed). . New Jersey: Pearson Prentice Hall.