Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep dasar teori


1. Pengertian
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Abses
peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu
abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula
dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari rung submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses
dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan
infeksi dari daerah kepala leher.

2. Etiologi/ Penyebab
Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut
atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Proses ini terjadi karena
komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber di
kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobik dan anaerobik
3. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori yang
mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif tonsilitis
menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadiumpermulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan
jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang diobati
maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa adanya
riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat terjadi akibat
infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan hubungan abses
peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini ditemukan pada
daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris dari tonsil. Jika
terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan terjadi pembentukan
abses maka terjadilah abses peritonsil
4. Minafestasi Klinis
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan
nyeri
faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise, lemah dan
sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada sebagian
tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot pengunyah
diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar
(trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri. Penyakit ini
biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini merupakan salah
satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat
infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut dengan
odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri
telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.

5. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum
besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
a. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
b. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis
dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
c. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
d. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
e. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense
di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim
enhancement”.
f. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
6. Penatalaksanaan Medis
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan
ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau
sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses,
dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat
insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase
dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-
gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud.
Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah
sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
a. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
b. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
c. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak
d. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis diabaikan.
Beratnya
e. komplikasi tergantung dari kecepatan progress penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
8. Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.
Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu setelah dilakukan insisi, Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi
B. Konsep dasar kasus
1. Pengkajian
Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah
salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis
akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi
dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada
pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasitonsil, dan
pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang
mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan
supraglotis.
a. Keluhan mengalami malaise, lemah dan sakit kepala.
b. Demam
c. Rasa penuh pada sebagian tenggorokan.
d. Nyeri, bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus.
e. Sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar (trismus).
f. Susah menelan
g. Pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri
h. Kemungkian juga terdapat nyeri telinga (otalgia),
i. muntah (regurgitasi),
j. mulut berbau (foetor ex ore),
k. banyak ludah (hipersalivasi),
l. suara sengau (rinolalia)
2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada antara lain :
a. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
b. Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis
c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit

3. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Gangguan menelan a. Nutritional status:  Kaji adanya alergi
Adequacy of nutrient
berhubungan dengan makanan
b. Nutritional Status : food
neomuskular  Kolaborasi dengan ahli
and Fluid Intake
Setelah dilakukan gizi untuk menentukan

tindakan keperawatan jumlah kalori dan nutrisi

gangguan menelan yang dibutuhkan pasien


 Yakinkan diet yang
teratasi dengan indikator
dimakan mengandung
: tinggi serat untuk
1. Dapat mencapai asupan
mencegah konstipasi
nutrisi yang adekuat  Ajarkan pasien
2. Mempertahankan hyiene
bagaimana membuat
mulut
catatan makanan harian.
3. Teknik Makan yang
 Monitor lingkungan
benar
selama makan
 Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
 Monitor turgor kulit
 Monitor kemampuan
mengunyah
 Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi Atur
posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama
makan
 Anjurkan banyak
minum
 Pertahankan terapi IV
line
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oval

Nyeri akut berhubungan a. Pain Level, Lakukan pengkajian


b. pain control,
dengan faktor biologis nyeri secara
c. comfort level
komprehensif termasuk
Setelah dilakukan
lokasi,
tindakan keperawatan
Pasien tidak karakteristik, durasi,
mengalami nyeri, frekuensi, kualitas dan
dengan kriteria hasil: faktor presipitasi
 Mampu mengontrol  Observasi reaksi
nyeri (tahu penyebab nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
 Bantu pasien dan
menggunakan tehnik
keluarga untuk mencari
nonfarmakologi untuk
dan menemukan
mengurangi nyeri,
dukungan
mencari bantuan)
 Kontrol lingkungan
 Melaporkan bahwa
yang dapat
nyeri berkurang dengan
mempengaruhi nyeri
menggunakan
seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri pencahayaan dan
(skala, intensitas, kebisingan
 Kurangi faktor
frekuensi dan tanda
presipitasi nyeri
nyeri)
 Kaji tipe dan sumber
 Menyatakan rasa
nyeri untuk menentukan
nyaman setelah nyeri
intervensi
berkurang
 Ajarkan tentang teknik
 Tanda vital dalam
non farmakologi: napas
rentang normal
 Tidak mengalami dala, relaksasi, distraksi,
gangguan tidur kompres hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri:
……...
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
4. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan
kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah :
a. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
b. Untuk melakukan pengkajian ulang
c. Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan
dengan prilaku klien :
1) Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan
pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
2) Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi
tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
3) Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan prilaku yang telah ditentukan
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah, Vol. 1 Fachruddin,
Darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-
Hidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC; Jakarta.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung
dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 200.
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan; Dengan Rencana Asuhan. Edisi 10.
Jakarta. EGC
Wilkinson, Judith. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai