Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chitosan
Chitosan adalah senyawa polimer alam turunan chitin yang diisolasi dari
limbah perikanan, seperti kulit. udang dan cangkang kepiting dengan kandungan
kitin diantara sekitar 65-70%. Sumber bahan baku chitosan yang lain di antaranya
adalah kalajengking, jamur, cumi, gurita, serangga, laba-laba dan ulat sutera dengan
kandungan kitin antara 5-45%. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna
berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk lembaran yang tipis, berwarna
putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin yang
melalui proses kimia dengan menggunakan basa natrium hidroksida atau proses
enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna
dan tidak diserap tubuh. Sifat menonjol yang ada pada kitosan adalah
kemampuannya untuk dapat mengabsorpsi lemak sebanyak 4-5 kali beratnya.
Chitosan ditemukan C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara memasak
chitin dengan basa. Perkembangan penggunaan chitin dan chitosan meningkat pada
tahun 1940-an terlebih dengan semakin diperlukannya bahan alami oleh berbagai
industri sekitar tahun 1970-an. Penggunaan chitosan untuk aplikasi khusus, seperti
farmasi dan kesehatan dimulai pada pertengahan 1980 - 1990. Chitosan mempunyai
rumus kimia poli (2-amino2-dioksi-β-D-Glukosa) dan dapat dihasilkan dengan
proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat. Chitosan berbentuk serpihan putih
kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar
antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20%.
Chitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu
senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa. Kitin ini umumnya
diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca
sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp, dan beberapa dari kelompok jamur.
Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian
insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber
utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan

3
4

yang bercangkang lainnya, terutama asal laut. Sumber ini sangat diutamakan karena
memang bertujuan untuk memberdayakan limbah dari udang sehingga limbah
tersebut dapat dimanfaatkan dan tidak menyebabkan pencemaran.
Chitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer
alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada
serangga, krustasea, dan fungi. Diperkirakan lebih dari 109-1.010 ton kitosan
diproduksi di alam setiap tahunnya. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat
berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan
di Cirebon saja berkisar sampai 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20
industri kecil. Chitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan
menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang
memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah.
Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer
chitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $60.000/ton. Chitosan
merupakan senyawa turunan kitin, senyawa penyusun rangka luar hewan berkaki
banyak seperti kepiting, ketam, udang dan serangga. Kitosan dan kitin termasuk
senyawa kelompok polisakarida. Senyawa-senyawa lain yang termasuk kelompok
polisakarida yang sudah tidak asing bagi kita adalah pati dan selulosa. Polisakarida-
polisakarida ini berbeda dalam jenis monosakarida penyusunnya dan cara
monosakarida-monosakarida berikatan membentuk polisakarida. Pelarut Chitosan
yang baik adalah asam asetat. Chitosan dapat larut dalam larutan asam organik.
Chitosan juga dapat di artikan sebagai suatu polisakarida berbentuk linier
yang terdiri dari monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin
(GlcN). Bentukan derivatif deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah
jenis polisakarida terbanyak ke dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan
pada eksoskeleton invertebrata dan beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan
memiliki bentuk yang unik dan memiliki manfaat yang banyak bagi pangan,
agrikultur, dan medis. Namun, untuk melarutkan kitosan ini cukup sulit karena
kitosan dapat larut apabila dilarutkan pada asam dan viskositas yang tinggi.
Chitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi chitin, sedangkan chitin sendiri
dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi chitin biasanya dilakukan dalam tiga
5

tahap yaitu, tahap deproteinasi, penghilangan protein, tahap demineralisasi,


penghilangan mineral, dan tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan chitosan
diperoleh dengan deasetilasi chitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi
tinggi. NaOH 50% dapat digunakanuntuk deasetilasi kitin dari limbah kulit udang.

Gambar 1. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin


(Sumber: Tatang, 2015)

Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu


amida oleh basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-
mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3
kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu
chitosan. Sumber chitosan karena merupakan hasil ekstrak dari kulit udang, lobster
dan kepiting, juga cangkang kerang. Chitosan merupakan senyawa berserat yang
dapat menghalangi penyerapan lemak makanan dan kolesterol.
Fungsi dari Chitosan sendiri adalah chitosan sangat dapat digunakan untuk
mengobati obesitas, kolesterol tinggi, penyakit Chron. Juga digunakan untuk
mengobati komplikasi yang biasa dihadapi pasien gagal ginjal pada dialisis
termasuk kolesterol tinggi, anemia, kehilangan kekuatan serta nafsu makan, dan
sulit tidur (insomnia). Beberapa orang menggunakan kitosan langsung ke gusi
mereka untuk mengobati peradangan yang dapat menyebabkan hilangnya gigi
(periodontitis) atau mengunyah permen karet yang mengandung chitosan untuk
mencegah karies gigi. Banyak sekali manfaat chitosan untuk sehari-hari. Reaksi
pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh
suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula
6

terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3
kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu
chitosan. Multiguna chitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut
dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi.
Sifat kimia chitosan sama dengan chitin tetapi yang khas antara lain, bersifat
biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat
samping, tidak beracun, merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai
gugus amino aktif, mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam, tidak dapat
dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable), dapat berikatan dengan
sel mamalia dan mikroba secara agresif, mampu meningkatkan pembentukan yang
berperan dalam pembentukan tulang, bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal,
antitumor, antikolesterol, bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat.
Karakteristik chitosan yang lainnya yaitu karakteristik fisiko-kimia
chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam
organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Chitosan sedikit mudah
larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang sangat kuat, yang dimana dapat
mengikat muatan negatif dari senyawa lain serta mudah mengalami degradasi
secara biologis dan tidak beracun. Uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan
asin seperti, jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji riset yang dilakukan, chitosan
pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang
akan diawetkan dicelupkan beberapa saat kemudian ditiriskan.

2.2. Chitin
Kata chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu chiton, yang berarti baju rantai
besi. Chitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 yang dimana
menunjukkan dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fugine. Pada tahun
1823, Odier mengisolasi suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan
mengusulkan nama. Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan
yang bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam
pigmen. Chitin sebagai prekursor chitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811
oleh orang Prancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur.
Sedangkan chitin dari kulit serangga ditemukan kemudian pada tahun 1820.
7

Urutan chitin merupakan polimer kedua terbesar di bumi setelah selulosa.


Chitin adalah senyawa amino polisakarida yang berbentuk polimer gabungan.
Chitin (C8H13NO5)n merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa dan
mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan
β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Chitin tidak mudah
larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi
struktur kimiawinya maka akan diperoleh senyawa turunan chitin yang mempunyai
sifat kimia yang lebih baik. Chitin dapat dibentuk menjadi susu bubuk putih
(powder) apabila sudah dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya.
Akan tetapi tidak larut dalam air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan
alkali akan menghasilkan suatu zat yang menerupai selulosa. Pelarut chitin
tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur. Di negara Jepang chitin
sudah lama dikomersilkan dengan cara memintalnya menjadi benang yang
berfungsi sebagai penutup luka sehabis operasi, karena didukung oleh sifatnya yang
non alergi dan juga menunjukkan aktivitas penyembuhan luka. Chitosan mudah
didapat dari chitin dengan menambahkan NaOH dan pemanasan sekitar 120 oC.
Chitin dapat diekstraksi melalui dua tahap yaitu tahapan deproteinasi dan tahapan
demineralisasi. Kedua tahap ini, tidak hanya bisa dilakukan secara kimia melainkan
dapat pula dilakukan secara biologi yaitu dengan memanfaatkan bakteri proteolitik
pada proses deproteinasi dan bakteri asam laktat untuk proses demineralisasi.
Deproteinasi merupakan tahap awal dari isolasi chitin. Deproteinasi
bertujuan mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan
pemanasan yang cukup. Larutan alkali encer yang digunakan seperti NaOH dan
KOH. Namun lebih sering digunakan NaOH karena lebih mudah dan efektif.
Larutan NaOH digunakan untuk melarutkan protein yang terkandung di dalam kulit
udang. Efektifitas prosesnya tergantung pada suhu dan konsentrasi NaOH yang
digunakan. Demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3)
dengan menggunakan asam konsentrasi rendah seperti asam klorida, untuk
mendapatkan chitin. Mineral organik yang terikat pada bahan dasar, yaitu CaCO3
sebagai mineral utama dan Ca(PO4)2 dalam jumlah sedikit. Pada proses
demineralisasi perbandingan antara pelarut dan cangkang udang adalah 6 : 1.
8

Selanjutnya diaduk sampai merata dan didiamkan selama 13 jam. Kemudian


dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan
sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai
mendapatkan pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam atau
dijemur sampai kering. Chitin dari hasil isolasi berbentuk serbuk maupun serpihan.

2.3. Kegunaan Chitosan


Chitosan adalah bahan alami sebagai pengawet makanan yang ditemukan
para ilmuwan dari Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Bahan alami tersebut dapat menjadi alternatif
pengganti formalin yang secara salah oleh masyarkat dimana telah dipakai untuk
pengawet makanan. Dengan sifat polikationiknya, chitosan dapat dimanfaatkan
sebagai agensia penggumpal (coagulating agent) dalam penanganan limbah,
terutama limbah berprotein, karena dapat menggumpalkan protein yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Selain itu, pada penanganan limbah cair,
berdasarkan sifat konfigurasinya dalam sistem berair maka chitosan dapat
digunakan sebagai agensia pengelat yang dapat mengikat logam beracun seperti
merkuri, timah, tembaga, plutonium, dan uranium dalam perairan, dan juga
digunakan untuk mengikat zat warna tekstil yang ada dalam air limbah.
Chitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain industri
farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah, kosmetik,
agroindustri, industri tekstil, industri perkayuan, industri kertas dan industri
elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dipunyainya antara lain untuk:
pengolahan limbah cair terutama bahan sebagai bersifat resin penukar ion untuk
minimalisasi logam–logam berat, mengoagulasi minyak/lemak, serta mengurangi
kekeruhan, penstabil minyak, rasa dan lemak dalam produk industri pangan.
Dalam bidang pangan dan farmasi, chitosan banyak digunakan karena
sifatnya dapat mengikat asam, mengikat air, mengikat lemak, serta memiliki
aktivitas hipokolesterolemik dan aktivitas kekebalan tubuh. Chitosan telah
digunakan untuk menurunkan kadar asam pada buah-buahan, sayuran, dan ekstrak
kopi. Chitosan bersifat nontoksik sehingga aman digunakan pada bidang pangan.
9

Beberapa indikator atau parameter daya awet hasil pengujian, antara lain yaitu yang
pertama adalah pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap,
dimana pada konsentrasi chitosan 1,5% dapat mengurangi jumlah lalat secara
signifikan. Kedua, terdapat pada keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan
dan rasa, dimana hasil riset yang dilakukan menunjukkan bahwa penampakan ikan
asin dengan coating chitosan lebih baik dibandingkan dengan ikan asin kontrol
(tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin.
Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan
memiliki polikation yang bermuatan positif dimana sangat mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang. Hal itulah yang menyebabkan daya simpan ikan
asin yang diberikan perlakuan chitosan bisa dapat bertahan sampai tiga bulan
dibandingkan dengan ikan asin dengan penggaraman biasa yang hanya bisa
bertahan selama dua bulan. Sedangkan indikator terakhir atau keempat, yakni pada
kadar air, dimana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai delapan minggu
menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena sifat hidrofobik,
sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik bagi para pengelola ikan asin
dalam hal ekonomis. Chitosan juga dapat digunakan untuk penstabil pewarna
makanan, pengolah limbah logam berat, kesehatan seperti tumor, meningkatkan
kekebalan tubuh, pengontrol kolesterol, bioteknologi, seperti pemisah protein,
kromatografi, pertanian, seperti bahan pelapis bibit, pupuk, pemulihan lahan,
kosmetik, seperti pelembab, krim untuk wajah, tangan, badan, pulp dan kertas.
Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih enak
dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan perlakuan formalin
pada penyimpanan minggu ketiga dan ke delapan, adalah pada efektifan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Dimana nilai dari TPC (bakteri) sampai pada
minggu kedelapan perlakuan perlapisan chitosan, masih sesuai dengan SNI
(Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah seratus ribu koloni per gram
(1x 105 koloni/gram). Disitu dapat terlihat kerja dari formalin. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki plikation bermuatan
positif yang manpu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan
sebagai bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan
10

pengawet sintesis yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan
pengawet berbahaya. beberapa zat pengawet yang tidak berbahaya untuk digunakan
dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif, misalnya alergi jika
digunakan secara berlebihan antara lain, kalsium benzoat, sulfur dioksida, kalium
nitrit, kalsium propionat, natrium metasulfat, dan asam sorbat.

2.4. Udang Galah


Populasi udang galah di Indonesia bersifat unik. Berdasarkan distribusi
geografisnya dapat diprediksikan bahwa Indonesia menjadi centre of origin dari
galah karena terdapat 19 spesies dari marga Macrobrachium (udang galah). Apabila
ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, eksistensi dari udang galah sekarang yang
merupakan salah satu komoditas yang dapat diandalkan sebagai sumber
penghasilan, khususnya bagi masyarakat perikanan atau daerah pantai.
Udang galah mempunyai pangsa pasar yang baik. Kecenderungan
masyarakat yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah.
Peluang pasar udang galah tidak hanya di dalam negeri bahkan di mancanegara
terbuka luas seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar
yang besar serta keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikannya
salah satu komoditi andalan dan mamu bersaing dengan produk dari negara lain.
Untuk mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan udang galah dan
pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu alternatif yang diambil.
Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax,
badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus
dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan.
Cephalothorax dibungkus oleh kulit yang keras disebut carapace. Pada bagian
kepala terdapat penonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum. Gigi
terdapat pada rostrum dengan jumlah gigi pada rostrum atas 11-13 dan jumlah gigi
pada rostrum bagian bawah 8-14. Udang galah mempunyai sepasang mata yang
bertangkai yang terletak pada pangkal rostrum, jenis matanya temasuk jenis mata
majemuk (facet). Udang galah jantan dan betina mempunyai perbedaan yang
mencolok sehingga mudah untuk diketahui/dikenal dengan kasat mata. Udang
11

galah jantan mempunyai ciri-ciri yaitu, dapat mencapai ukuran yang lebih besar
dibandingkan udang galah betina, pasangan kaki jalan udang jantan yang kedua
tumbuh sangat besar dan kuat, bagian perut lebih ramping, alat kelamin terletak
pada baris pasanagan kaki jalan kelima, pada pasang kaki ini terlihat lebih rapat dan
lunak, apendix masculina (petanda jantan) terletak pada pasanag kaki renang kedua
yang merupakan cabang ketiga dari kaki renang pada udang galah.
Adapun udang galah betina mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ukuran
badan lebih kecil dari udang galah jantan. Pasangan kaki jalan keduanya tetap
tumbuh besar, tetapi ukurannya tidak sebesar kaki udang jantan. Bagian perut
tumbuh melebar bersama-sama dengan kaki untuk renang. Ruangan ini merupakan
tempat pengeraman telur (brood chamber) sehingga sangat tampak bentuk
tubuhnya membesar pada bagian perut. Alat kelamin betina terletak pada pangkal
dipasangan kaki jalan ketiga yang merupakan atau biasa disebut dengan lubang
thelicum. Jarak antara pasang kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat lebih
besar yang memungkinkan telur dapat berjalan ke kantng telur.
Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa
dang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva bersifat
planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai habitat
diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung
berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai
toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini berhubungan
erat dengan siklus hidupnya. Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan
bertelur di daerah air tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur
dibuahi hingga menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas
memerlukan air payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva
yang menetas dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau.
Larva berkembang dan memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca
larva diperairan payau dengan kadar garam berkisar antar 5-20%, setelah 45 hari
udang dapat hidup diperairan tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan
tawar. Udang galah memiliki pangsa pasar yang baik. Kecenderungan masyarakat
yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah. Peluang pasar
12

udang galah tidak hanya didalam negeri bahkan di mancanegara terbuka luas seperti
Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar yang besar serta
keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikannya salah satu
komoditi andalan dan mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Untuk
mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan udang galah dan
pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu alternatif yang diambil
agar udang galah dapat dijadikan sebagai sumber komoditi ekspor. Pemanfaatan
kulitnya dikarenakan jumlahnya yang berlimpah dan dapat mengurangi sampah.

2.5. Pembuatan Chitosan


Proses pembuatan chitosan itu sendiri melalui beberapa tahapan, yakni
pengeringan bahan baku mentah chitosan (kulit udang). Penggilingan, penya-
ringan, deproteinasi, pencucian, dan penyaringan, demineralisasi (penghilangan
mineral Ca), pencucian, deasilitisasi, pengeringan dan selanjutnya akan berbentuk
produk akhir berupa chitosan. Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi
penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut
dengan deproteinasi dan demineralisasi, yang masing-masing dilakukan
menggunakan larutan asam dan basa. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui
proses deasetilasi, yaitu dengan cara memanaskan larutan basa.
Pembuatan chitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-
COCH3) pada gugusan asetil amino chitin menjadi gugus amino bebas chitosan
dengan menggunakan larutan basa. Chitin mempunyai struktur kristal yang panjang
dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses
deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40-50% dan suhu
yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari chitin.
Dalam kondisi optimal, chitosan dapat menyerap lemak sejumlah 4-5 kali
berat chitosan. Beberapa penelitian telah berhasil membuktikan bahwa chitosan
dapat menurunkan kolesterol tanpa menimbulkan efek samping. Hanya satu saja
yang harus diperhatikan, konsumsi chitosan harus tetap terkontrol, karena chitosan
juga dapat menyerap mineral kalsium dan vitamin yang ada di dalam tubuh. Selain
itu, orang yang biasanya mengalami alergi terhadap makanan laut sebaiknya
13

menghindari dari mengkonsumsi tablet/pil chitosan untuk menghindari efek yang


tidak baik dari penggunaan tablet/pil dari senyawa chitosan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai