TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Chitosan
Chitosan adalah senyawa polimer alam turunan chitin yang diisolasi dari
limbah perikanan, seperti kulit. udang dan cangkang kepiting dengan kandungan
kitin diantara sekitar 65-70%. Sumber bahan baku chitosan yang lain di antaranya
adalah kalajengking, jamur, cumi, gurita, serangga, laba-laba dan ulat sutera dengan
kandungan kitin antara 5-45%. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna
berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk lembaran yang tipis, berwarna
putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin yang
melalui proses kimia dengan menggunakan basa natrium hidroksida atau proses
enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna
dan tidak diserap tubuh. Sifat menonjol yang ada pada kitosan adalah
kemampuannya untuk dapat mengabsorpsi lemak sebanyak 4-5 kali beratnya.
Chitosan ditemukan C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara memasak
chitin dengan basa. Perkembangan penggunaan chitin dan chitosan meningkat pada
tahun 1940-an terlebih dengan semakin diperlukannya bahan alami oleh berbagai
industri sekitar tahun 1970-an. Penggunaan chitosan untuk aplikasi khusus, seperti
farmasi dan kesehatan dimulai pada pertengahan 1980 - 1990. Chitosan mempunyai
rumus kimia poli (2-amino2-dioksi-β-D-Glukosa) dan dapat dihasilkan dengan
proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat. Chitosan berbentuk serpihan putih
kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar
antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20%.
Chitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu
senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa. Kitin ini umumnya
diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca
sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp, dan beberapa dari kelompok jamur.
Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian
insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber
utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan
3
4
yang bercangkang lainnya, terutama asal laut. Sumber ini sangat diutamakan karena
memang bertujuan untuk memberdayakan limbah dari udang sehingga limbah
tersebut dapat dimanfaatkan dan tidak menyebabkan pencemaran.
Chitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer
alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada
serangga, krustasea, dan fungi. Diperkirakan lebih dari 109-1.010 ton kitosan
diproduksi di alam setiap tahunnya. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat
berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan
di Cirebon saja berkisar sampai 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20
industri kecil. Chitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan
menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang
memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah.
Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer
chitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $60.000/ton. Chitosan
merupakan senyawa turunan kitin, senyawa penyusun rangka luar hewan berkaki
banyak seperti kepiting, ketam, udang dan serangga. Kitosan dan kitin termasuk
senyawa kelompok polisakarida. Senyawa-senyawa lain yang termasuk kelompok
polisakarida yang sudah tidak asing bagi kita adalah pati dan selulosa. Polisakarida-
polisakarida ini berbeda dalam jenis monosakarida penyusunnya dan cara
monosakarida-monosakarida berikatan membentuk polisakarida. Pelarut Chitosan
yang baik adalah asam asetat. Chitosan dapat larut dalam larutan asam organik.
Chitosan juga dapat di artikan sebagai suatu polisakarida berbentuk linier
yang terdiri dari monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin
(GlcN). Bentukan derivatif deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah
jenis polisakarida terbanyak ke dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan
pada eksoskeleton invertebrata dan beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan
memiliki bentuk yang unik dan memiliki manfaat yang banyak bagi pangan,
agrikultur, dan medis. Namun, untuk melarutkan kitosan ini cukup sulit karena
kitosan dapat larut apabila dilarutkan pada asam dan viskositas yang tinggi.
Chitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi chitin, sedangkan chitin sendiri
dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi chitin biasanya dilakukan dalam tiga
5
terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3
kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu
chitosan. Multiguna chitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut
dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi.
Sifat kimia chitosan sama dengan chitin tetapi yang khas antara lain, bersifat
biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat
samping, tidak beracun, merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai
gugus amino aktif, mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam, tidak dapat
dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable), dapat berikatan dengan
sel mamalia dan mikroba secara agresif, mampu meningkatkan pembentukan yang
berperan dalam pembentukan tulang, bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal,
antitumor, antikolesterol, bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat.
Karakteristik chitosan yang lainnya yaitu karakteristik fisiko-kimia
chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam
organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Chitosan sedikit mudah
larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang sangat kuat, yang dimana dapat
mengikat muatan negatif dari senyawa lain serta mudah mengalami degradasi
secara biologis dan tidak beracun. Uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan
asin seperti, jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji riset yang dilakukan, chitosan
pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang
akan diawetkan dicelupkan beberapa saat kemudian ditiriskan.
2.2. Chitin
Kata chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu chiton, yang berarti baju rantai
besi. Chitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 yang dimana
menunjukkan dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fugine. Pada tahun
1823, Odier mengisolasi suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan
mengusulkan nama. Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan
yang bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam
pigmen. Chitin sebagai prekursor chitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811
oleh orang Prancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur.
Sedangkan chitin dari kulit serangga ditemukan kemudian pada tahun 1820.
7
Beberapa indikator atau parameter daya awet hasil pengujian, antara lain yaitu yang
pertama adalah pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap,
dimana pada konsentrasi chitosan 1,5% dapat mengurangi jumlah lalat secara
signifikan. Kedua, terdapat pada keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan
dan rasa, dimana hasil riset yang dilakukan menunjukkan bahwa penampakan ikan
asin dengan coating chitosan lebih baik dibandingkan dengan ikan asin kontrol
(tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin.
Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan
memiliki polikation yang bermuatan positif dimana sangat mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang. Hal itulah yang menyebabkan daya simpan ikan
asin yang diberikan perlakuan chitosan bisa dapat bertahan sampai tiga bulan
dibandingkan dengan ikan asin dengan penggaraman biasa yang hanya bisa
bertahan selama dua bulan. Sedangkan indikator terakhir atau keempat, yakni pada
kadar air, dimana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai delapan minggu
menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena sifat hidrofobik,
sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik bagi para pengelola ikan asin
dalam hal ekonomis. Chitosan juga dapat digunakan untuk penstabil pewarna
makanan, pengolah limbah logam berat, kesehatan seperti tumor, meningkatkan
kekebalan tubuh, pengontrol kolesterol, bioteknologi, seperti pemisah protein,
kromatografi, pertanian, seperti bahan pelapis bibit, pupuk, pemulihan lahan,
kosmetik, seperti pelembab, krim untuk wajah, tangan, badan, pulp dan kertas.
Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih enak
dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan perlakuan formalin
pada penyimpanan minggu ketiga dan ke delapan, adalah pada efektifan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Dimana nilai dari TPC (bakteri) sampai pada
minggu kedelapan perlakuan perlapisan chitosan, masih sesuai dengan SNI
(Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah seratus ribu koloni per gram
(1x 105 koloni/gram). Disitu dapat terlihat kerja dari formalin. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki plikation bermuatan
positif yang manpu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan
sebagai bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan
10
pengawet sintesis yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan
pengawet berbahaya. beberapa zat pengawet yang tidak berbahaya untuk digunakan
dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif, misalnya alergi jika
digunakan secara berlebihan antara lain, kalsium benzoat, sulfur dioksida, kalium
nitrit, kalsium propionat, natrium metasulfat, dan asam sorbat.
galah jantan mempunyai ciri-ciri yaitu, dapat mencapai ukuran yang lebih besar
dibandingkan udang galah betina, pasangan kaki jalan udang jantan yang kedua
tumbuh sangat besar dan kuat, bagian perut lebih ramping, alat kelamin terletak
pada baris pasanagan kaki jalan kelima, pada pasang kaki ini terlihat lebih rapat dan
lunak, apendix masculina (petanda jantan) terletak pada pasanag kaki renang kedua
yang merupakan cabang ketiga dari kaki renang pada udang galah.
Adapun udang galah betina mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ukuran
badan lebih kecil dari udang galah jantan. Pasangan kaki jalan keduanya tetap
tumbuh besar, tetapi ukurannya tidak sebesar kaki udang jantan. Bagian perut
tumbuh melebar bersama-sama dengan kaki untuk renang. Ruangan ini merupakan
tempat pengeraman telur (brood chamber) sehingga sangat tampak bentuk
tubuhnya membesar pada bagian perut. Alat kelamin betina terletak pada pangkal
dipasangan kaki jalan ketiga yang merupakan atau biasa disebut dengan lubang
thelicum. Jarak antara pasang kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat lebih
besar yang memungkinkan telur dapat berjalan ke kantng telur.
Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa
dang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva bersifat
planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai habitat
diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung
berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai
toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini berhubungan
erat dengan siklus hidupnya. Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan
bertelur di daerah air tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur
dibuahi hingga menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas
memerlukan air payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva
yang menetas dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau.
Larva berkembang dan memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca
larva diperairan payau dengan kadar garam berkisar antar 5-20%, setelah 45 hari
udang dapat hidup diperairan tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan
tawar. Udang galah memiliki pangsa pasar yang baik. Kecenderungan masyarakat
yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah. Peluang pasar
12
udang galah tidak hanya didalam negeri bahkan di mancanegara terbuka luas seperti
Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar yang besar serta
keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikannya salah satu
komoditi andalan dan mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Untuk
mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan udang galah dan
pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu alternatif yang diambil
agar udang galah dapat dijadikan sebagai sumber komoditi ekspor. Pemanfaatan
kulitnya dikarenakan jumlahnya yang berlimpah dan dapat mengurangi sampah.