Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surat Al Faatihah (Pembukaan) yang diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat adalah
surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap diantara surat-surat yang ada dalam Al
Quran dan termasuk golongan surat Makkiyyah. Surat ini disebut Al Faatihah(Pembukaan),
karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al Quran. Dinamakan ummul Qur’an atau
ummul kitab karena ia merupakan induk dari semua isi Al-Qur’an, karena itu diwajibkan
membacanya tiap-tiap shalat. Dinamakan pula Ash-Habul Matsany (tujuh berulang-ulang)
karena ayatnya Tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penafsiran Surah Al-Fatihah Menurut Ibnu Katsir ?

2. Bagaimana Penafsiran Al-Fatihah Menurut Qurais Syihab ?

3. Bagaimana Penafsiran Al-Fatihah Menurut Buya Hamka ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penaf siran surah Al-Fatihah menurut Ibnu Katsir

Ayat ke-1
‫الر ِحي ِْم‬
َّ ‫من‬
ِ ْ‫الرح‬
َّ ِ‫ِبس ِْم هللا‬

1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].

[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap
pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum,
menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak
disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang
membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi
pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang ar
Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat rahmah yang
menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

Ibnu abbas R.A. berkata, “adanya rosulullah saw. Tidak mengetahui selesainya surat sehingga
turun bismillahirohmanirrohim”. (H.R. Abu daud, al-hakim)

Sahabat nabi selalu memulai bacaan kitab dengan membaca basmalah.


Imam Syafi’i dan Al-hakim meriwayatkan dari Anas r.a, bahwa mu’awiyah ketika
sembahyng di madinah sebagai imam tidak membaca bismillahirohmanirrohim, maka ditegur
oleh sahabat muhajirin yang hadir, kemudian ketika sembahyang lagi beliau membaca basmalah.
Adapun dalam madzhab imam malik tidak membaca basmalah berdasarkan hadits dari ‘Aisyah
r.a, yang berkata :”biasa rosulullah saw memulai shalat dengan takbir dan bacaanya dengan
alhamdulillahirobbil ‘alamin. Dan sunat membaca basmalah pada setiap perkataan dan
perbuatan, dan juga sunat ketika menyembelih binatang, juga sunat ketika makan, karena
rosulullahbersabda : bacalah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah
dari yang dekat-dekat kepadamu”. Dan juga membaca basmalah ketika hendak berjima’.

2
Ayat ke-2
‫الحمد هلل رب العلمين‬

Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].

[2] Alhamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena
perbuatanNya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan
seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. Kita menghadapkan segala puji bagi Allah.

[3] Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara.
Lafal rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya.
'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan
macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan
sebagainya. Allah pencipta semua alam-alam itu.

Ibn jarir berkata,: Alhamdulillah, syukur yang ikhlas hanya kepada allah semata, tidak
kepada yang lainya daripada makhluk-makhluknya, syukur itu karena nikmatnya yang diberikan
kepada hamba dan makhluk-makhluknya yang tidak dapat terhitung dan tidak terbatas, seperti
alat anggota manusia untuk menunaikan kewajiban taat kepadanya, disamping rizqi yang
diberikan kepada semua makhluk manusia, jin, dan binatang dari berbagai perlengkapan hidup,
karena itulah maka pujian itu sejak awal hingga akhirnya tetap pada Allah semata. Alhamdulillah
pujian Allah pada dirinya, yang mengandung tuntunan kepada hambanya supaya mereka memuji
Allah seakan-akan perintah Allah,”bacalah olehmu alhamdulillah”.alhamdulillah pujian dengan
lidah terhadap sifat-sifat pribadi, maupun sifat yang menjalar kepada orang lain, sebaliknya
syukur itu pujian terhdap sifat yang menjalar, tetapi syukur dapat dilaksanakan dengan hati, lidah
dan anggota badan.alhamdu berarti memuji sifat keberanian, kecerdasanNya atau karena
pemberianNya.syukur khusus untuk pemberianNya.
Jabir bin Abdullah berkata, rosul bersabda : “seutama-utama dzikir adalah
“lailahailallah”, dan seutama-utamanya do’a adalah”Alahamdulillah”. Sengaja Allah memulai
kitabNya denagn kaimat alhamdulillah, untuk menuntun kepada hambaNya . jika sudah
mengucap kedau kalimat syahadat, bahwa tiada tuhan selain allah, harus merasa bahwa segala
puja dan puji hanya kepada allah semata, sebab Al dalam kalimat alhamdu brarti semua jenis
puja dan puji bagi allah. Seperti ysng tersebut dalam hadits yang berarti “Ya Allah bagiMu
segala puji semuanya, dan bagi Mu kerajan semuanya, dan di tanganMu kebaikan semuanya, dan
kepadamu segala urusan semuanya”. Rabb berarti yang berhak sepenuhnya, juga berarti majikan,
juga yang memelihara serta menjamin kebaikan dan perbaikan , dan semua makhluk alam
semesta ini.

3
Ayat ke-3
‫الرحمن الرحيم‬
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Ar-rahman yang memberi nikmat yang sebesar-besarnya. Ar-rahim yang memberi nikmat
yang halus sehingga tidak terasa, padahal nikmat itu besar, dan semua nikmat Allah itu besar ,
hanya saja ada yang berupa langit, bumi, matahari, dan ada yang berupa penglihatan,
pendengaran, panca indra, dan lain sebagainya. Abu huroiroh berkata, rosul bersabda,
”Andaikata orang mukmin mengetahui persediaan siksa Allah pasti takkan mengharap untuk
dapat mencapai surganya. Demikian pula andaikan si kafir mengetahui besar nikmat rahmat
Allah, takkan putus harpan dari rahmat seorangpun.(H.R muslim).

Ayat ke-4
‫مالك يوم الدين‬

4. Yang menguasai[4] di Hari Pembalasan[5].

[4] Maalik (Yang Menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik.


[5] Yaumiddin (Hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima
pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga
yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.

Dapat di baca malik: raja, dan Maaliki: pemilik-yang memiliki. Maaliki sesuai dengan
surat maryam ayat: 40
”Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya
kepada Kamilah mereka dikembalikan”.

Sedangkan maliki sesuai dengan surat an-nas ayat 1-2


1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia
2. Raja manusia

4
Ayat ke-5
‫اياك نعبدواياك نستعين‬

5. Hanya Engkaulah yang kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan[7].

[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh
perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah.

[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Ibadat berarti, menurut dengan perasaan rendah diri, mengabdi merasa abadi, hamba yang
patuh dengan tunduk. Sedangkan ibadat menurut istilah agama, ialah menghimpun rasa
kecintaan dan merendah serta takut. Dalam kalimat ini sengaja didahulukan maf’ulnya yaitu
iyyaka dan diulang untuk mendapatkan perhatian dan mengurung yang berarti: kami tiada
mnyembah kecuali engkau, tidak berserah diri kecuali kepada-Mu. Sebenarnya kesimpulan
pengertian beragama itu hanya dalam dua kalimat ini, sehingga ulama-ulama dahulu
mengatakan, “rahasia al-qur’an ada di dalam Fatihah dan rahasia fatihah ada dalam ayat ini,
sebab yang pertama berarti bebas dari syirik dan yang ke dua merasa bebas dari daya dan
kekuatan dan menyerah bulat pada Allah Ta’ala”. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Hud
ayat 123 yang berbunyi :

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-
Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.

Ayat ke-6
‫اهدنا الصراط المستقيم‬

6. Tunjukilah[8] kami jalan yang lurus,

Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang
dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.

5
Shiraathal mustaqim, jalan yang lurus yang jelas dan tidak berliku-liku. Shiraathal
mustaqim ialah, mengikuti tuntunan Allah, dan rasulullah . juga berarti kitab Allah, sebagaimana
riwayat dari Ali yang mengatakan “Asshiratul mustaqiim kitabullah”.
Allah berfirman dalam surat an-nisa ayat 136,

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
Dalam ayat ini orang mu’min diperinthkan untuk beriman, yang maksudnya terus-
menerus tetap imannya dan terus melakukan semua perintah dan menjauhi segala larangannya,
jangan berhenti di tengah jalan, yakni istiqomah hingga mati.

Ayat ke-7
‫صراط الذين انعمت عليهم غير المغضوب وال الضا لين‬
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Inilah yang dimaksud jalan yang lurus, yaitu yang dahulu sudah ditempuh oleh orang-
orang yang mendapat ridho dan nikmat dara Allah ialah mereka yang disebut dalam surat an-nisa
ayat 69 :

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin , orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Bukan jalan orang-orang dimurkai atas mereka, yaitu mereka yang telah mengetahui
kebenaran hak dan tidak melaksanakannya seperti orang-orang yahudi, mereka telah mengetahui
kitab Allah, tetapi tidak melaksanakanya, juga bukan jalan orang-orang yang sesat karena
mereka tidak mengetahui. Dan pada siapa yang membaca al-fatihah maka disunatkan untuk
membaca/mengcapkan amin.
Abu huroiroh berkata, rosul saw bersabda, “jika imam membaca amin maka sambutlah
(bacalah)amiin, maka barang siapa yang bertepatan bacaan aminya dengan malaikat maka
diampunkan baginya dosa-dosa yng telah lalu’.(H.R bukhori muslim) Abu musa meriwayatkan
rasul bersabda : jika imam membaca waladha dhalliin, maka bacalah amin niscayaAllah
menerima dan menyambut kamu.(H.R muslim).

6
B. Penafsiran Surah Al-Fatihah Menurut Qurais Syihab

AYAT ke-1

‫الر ِحي ِْم‬


َّ ‫ان‬
ِ ‫الرحْ َم‬
َّ ِ‫بِس ِْم هللا‬
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."

Ayat pertama Surah Al Fatihah adalah lafadz Basmalah seperti yang tertulis di atas,ini
menurut pendapat Imam Syafi'i yang sudah masyhur di kalangan para Ulama'. Walaupun ada
sebagian ulama' seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa Basmalah bukan termasuk ayat
pertama Surah Al Fatihah, sehingga tidak wajib dibaca ketika shalat saat membaca Surah Al
Fatihah. Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia, pesan agar manusia
memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf "‫"ب‬
pada lafadz "‫"بسم‬. Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim adalah dua sifat yang berakar dari kata yang
sama. Agaknya kedua sifat ini dipilih karena sifat inilah yang paling dominan. Para ulama'
memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat
sementara di dunia ini, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di
dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara
mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat
kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi
kepada-Nya.

AYAT ke-2

ََ‫ب ْال َعال َميْن‬


ِ ‫ْال َح ْمدُ هلل َر‬
"Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."

Kata Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau
perbuatannya yang baik walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji. Inilah bedanya
antara hamd dengan syukur. Ada tiga unsure dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang
dipuji sehingga dia wajar mendapat pujian, yaitu : indah(baik), dilakukan secara sadar, dan tidak
terpaksa atau dipaksa. Kata al-hamdu, dalam surah al-Fatihah ini ditunjukkan kepada Allah. Ini
berarti bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsure tersebut di atas.

Kalimat Robbil 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala
puji hanya bagi Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-hamdu lillahi
robbil'alamin dalam surah al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna. Pertama berupa pujian

7
kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur kepada Allah dalam bentuk
perbuatan.

AYAT ke-3

‫الر ِحي ِْم‬


َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ
"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Pemeliharaan tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai
dengan rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, ayat ini sebagai penegasan kedua setelah Allah
sebagai Pemelihara seluruh alam. Pemeliharaan-Nya itu bukan atas dasar kesewenangan-
wenangan semata, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.

AYAT ke-4

‫الدي ِْن‬
ِ ‫َما ِل ِك يَ ْو ِم‬
"Pemilik hari pembalasan."

"Pemelihara dan Pendidik yang Rahman dan Rahiim boleh jadi tidak memiliki (sesuatu).
Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kakuasaan. Karena itu
kapemilikan dan kakuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Inilah yang dikandung oleh ayat
keempat ini,maaliki yaumiddin." Demikian al-Biqa'i menghubungkan ayat ini dan ayat
sebelumnya. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah adalah Pemilik atau Raja hari kemudian.
Paling tidak ada dua makna yang dikandung oleh penegasan ini, yaitu:

Pertama, Allah yang menentukan dan Dia pula satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya
hari tersebut.

Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi dan apapun yang terdapat ketika itu.
Kekuasaan-Nya sedemkian besar sehingga jangankan bertindak atau bersikap menentang-Nya,
berbicara pun harus dengan seizin-Nya.

AYAT ke-5

‫اِيَّاكَ نَ ْعبُدُ َواِيَّاكَ نَ ْست َ ِعي ُْن‬


"Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya kepada-Mu Kami meminta pertolongan."

Kalimat "Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya kepada-Mu Kami meminta
pertolongan", adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah pengajaran. Allah
mengajarkan ini kepada kita agar kita ucapkan, karena mustahil Allah yang Maha Kuasa itu
berucap demikian, bila bukan untuk pengajaran. Banyak sekali pesan yang dikandung kata
iyyaka dan na'budu. Secara tidak langsung penggalan ayat ini mengecam mereka yang

8
mempertuhan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat Arab ketika itu maupun selainnya.
Penggalan ayat mengecam mereka semua dan mengumandangkan bahwa Allah lah yang patut
disembah dan tidak ada sesembahan yang lain.

Selain itu dalam meminta pertolongan kita tidak dapat mengabaikan Allah dalam
peranan-Nya. Permohonan bantuan kepada Allah agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu
diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Para ulama mendefinisikannya sebagai
"Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah pencapaian apa yang
diharapkan." Dari penjelasan di atas terlihat bahwa permohonan bantuan itu, bukan berarti
berlepas tangan sama sekali. Tetapi Kita masih dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak,
sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

AYAT ke-6

‫ط ْال ُم ْست َ ِقي َْم‬


َ ‫الص َرا‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا‬
"Bimbing (antar)lah Kami (memasuki) jalan lebar dan luas."

Setelah mempersembahkan puja puji kepada Allah dan mengakui kekuasaan dan
kepemilikan-Nya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan tentang ketulusan-Nya beribadah serta
kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Maka dengan ayat ini sang hamba mengajukan
permohonan kepada Allah, yakni bimbing dan antarkanlah Kami memasuki jalan yang lebar dan
luas. Shiroth di sini bagaikan jalan tol yang lurus dan tanpa hambatan, semua yang telah
memasukinya tudak dapat keluar kecuali setelah tiba di tempat tujuan. Shiroth adalah jalan yang
lurus, semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Sehingga shiroth menjadi jalan
utama untuk sampai kepada tujuan utama umat manusia, yaitu keridloan Allah dalam setiap
tingkah laku.

AYAT ke-7

َ‫علَ ْي ِه ْم َوالَ الض َِّاليْن‬


َ ‫ب‬ ُ ‫غي ِْر ْال َم ْغ‬
ِ ‫ض ْو‬ َ َ‫ط الَّ ِذيْنَ أ َ ْن َع ْمت‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
"(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat."

Kata ni'mah/nikmat yang dimaksud di sini adalah nikmat yang paling bernilai yang tanpa
nikmat itu, nikmat-nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat
menjadi niqmah atau bencana jika tidak bisa mensyukuri dan menggunakannya dengan benar.
Nikmat tersebut adalah nikmat memperoleh hidayah Allah serta ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi yang merupakan nikmat terbesar
itu, mereka itulah yang masuk dan bisa melalui shiroth al-mustaqim. Mengenai yang disebut
dengan al-maghdhub 'alaihim,ayat ini tidak menjelaskan siapakah orang-orang tersebut, tetapi

9
rasulullah telah memberi contoh konkret,yaitu orang-orang Yahudi yang mengerti akan
kebenaran tetapi enggan melaksanakannya.

Demikian ayat terakhir surah al-Fatihah ini mengajarkan manusia agar bermohon kepada
Allah, kiranya ia diberi petunjuk oleh-Nya sehingga mampu menelusuri Shiroth al-mustaqim,
jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sukses di dunia maupun di akhirat. Ayat ini juga
mengajarkan kaum muslimin agar selalu optimis menghadapi hidup ini, bukankah nikmat Allah
selalu tercurah kepada hamba-hamba-Nya?

C. Penafsiran Surah Al-Fatihah Menurut Buya Hamka

Ayat ke-1

َّ ‫الرحْ َٰ َم ِن‬
‫الر ِح ِيم‬ َّ ‫ِبس ِْم‬
َّ ِ‫َّللا‬
“Dengan nama Allah yang Maha Pemurah, Maha Penyayang” (Ayat 1).

Artinya, aku mulailah pekerjaanku ini, menyiarkan wahyu Ilahi kepada insan, di atas nama Allah
itu sendiri, yang telah memerintahkan daku menyampaikannya.

Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan
penting dengan nama Allah. Laksana yang teradat bagi suatu kerajaan bila menurunkan suatu
perintah, menjadi kuatlah dia kalau dia disampaikan “di atas nama penguasa tertinggi”, raja atau
kepala negara, sehingga jelaslah kekuatan kata-kata itu yang bukan atas kehendak yang
menyampaikan saja, dan nampak pertangganganjawab. Nabi Muhammad SAW disuruh
menyampaikan wahyu itu di atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah lebih dari manusia
biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas kehendaknya sendiri,
tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang empunya nama itu dia mengambil kekuatan.

ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan Maha Kuasa. Zat pencipta
seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. DIA adalah yang
wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada. Menurut keterangan Raghib
orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa
itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakal oleh bangsa Arab untuk Yang Maha Esa itu.
Kalimat ALLAH itu — demikian kata Raghib — adalah perkembangan dari kalimat Al-Ilah.
Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan. Segala sesuatu yang mereka
anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau hendak menyebutkan
banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama’ yaitu AL-ALIHAH. Tetapi pikiran murni mereka telah
sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak
itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia.

10
Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat
ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya
ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta’rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH. Lalu mereka
buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-L-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama
Allah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Yang
Berdiri Sendirinya itulah, dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun
yang mereka namai ALLAH.

Dalam AL QUR’AN banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan, jika Nabi


Muhammad SAW bertanya kepada musyrikin penyembah berhala itu siapa yang menjadikan
semuanya ini pasti mereka akan menjawab : “Allahlah yang menciptakan semuanya!”

َّ ‫س َو ْالقَ َم َر لَ َيقُولُ َّن‬


َ‫َّللاُ فَأَنَّ َٰى يُؤْ فَ ُكون‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ َّ ‫سأ َ ْلت َ ُهم َّم ْن َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َولَئِن‬
“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan

semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah

mereka akan menjawab: “Allah!” Maka bagaimanakah masih dipalingkan

mereka.” (Surat 29 AL ‘ANKABUUT Ayat 61)

Dan banyak lagi Surat-surat lain mengandung Ayat seperti ini.

Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi)
tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam
hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekall-kali tidak
memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat Yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang
Berdiri Sendirinya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus- ratus berhala
yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah, mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang
mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul SAW supaya
bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang
Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.

Ayat ke-2

َ‫ب ْال َعالَ ِمين‬


ِ ‫ْال َح ْمدُ ِ ََّلِلِ َر‬
“Segala puji-pujian untuk Allah,…” (pangkal Ayat 2).

Hamdan, artinya pujian, sanjungan. Di pangkalnya sekarang diletakkan Al atau Alif-lam,


sehingga menjadilah bacaannya Al-hamdu. Al mencakup segala jenis. Dengan sebutan Alhamdu,
beratilah bahwa segala macam pujian, sekalian apa juapun macam pujian, baik puji besar
ataupun puji kecil, atau ucapan terimakasih karena jasa sescorang, kepada siapapun kita

11
memberikan puji, namun pada hakikatnya, tidaklah seorang juga yang berhak menerima pujian
itu, melainkan Allah: LILLAHI, hanya semata-mata untuk Allah. Jadi dapatlah dilebih-tegaskan
lagi ALHAMDULILLAHI, segala puji-pujian hanya untuk Allah. Tidak ada yang lain yang
berhak mendapat pujian itu. Meskipun misalnya ada seseorang berjasa baik kepada kita,
meskipun kita memujinya, namun hakikat puji hanya kepada Allah. Sebab orang itu tidak akan
dapat berbuat apa-apa kalau tidak karena Tuhan Yang Maha Pemurah dan Penyayang tadi.

Kita puji seorang insinyur atau arsitek karena dia mendapat ilham mendirikan sebuah
bangunan yang besar dan indah. Tetapi kalau kita pikirkan lebih mendalam, dari mana dia
mendapat ilham perencanaan itu kalau bukan dari Tuhan. Oleh sebab itu kalau kita sendiri
dipuji-puji orang, janganlah lupa bahwa yang empunya puji itu ialah Allah, bukan kita. Nabi kita
Muhammad SAW ketika dengan sangat jayanya telah dapat menaklukkan negeri Mekkah, bellau
masuk ke dalam kota itu dengan menunggang untanya yang terkenal, al-Qashwa’. Sahabat-
sahabat beliau gembira dan bersyukur karena apa yang dicita-citakan selama ini telah berhasil.
Namun beliau tidaklah mengangkat muka dengan pongah karena kemenangan itu, melainkan
dirundukkannya wajahnya ke bawah, lekat kepada leher unta kesayangannya itu, mensyukuri
nikmat Allah dan mengucapkan puji-pujian.

“…Pemelihara semesta alam” (ujung Ayat 2) Atau “…Tuhan dari sekalian makhluk“, atau
“…Tuhan seru sekalian alam“.

Pada umumnya arti alam ialah seluruh yang ada ini, selain dari Allah. Setelah dia menjadi
jama’ ini, yaitu menjadi kalimat ‘alamin, berbagailah dia ditafsirkan orang. Setengah panafsiran
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘alamin lalah makhluk insani, ditambah dengan
malaikat, jin, dan syaitan. Tetapi di dalam AL QUR’AN sendiri pernah bertemu kata ‘alamin itu
hanya dikhususkan maksudnya untuk manusia saja (lihat Surat AL HIJR, Ayat 70). Yaitu ketika
kaum Nabi Luth menyatakan kepada Luth, mengapa dia menerima tetamu dengan tidak setahu
mereka, padahal dia telah dilarang menerima kedatangan orang-orang. Setelah terlebih dahulu
kita dikenalkan kepada Allah sebagal Allah yang Tunggal, sekarang kita dikenalkan lagi kepada
Allah sebagai Rabbun. Kata Rabbun ini meliputi segala macam pemeliharaan, penjagaan dan
juga pendidikan dan pengasuhan. Maka kalau di dalam Ayat yang lain kita bertemu bahwa Allah
itu Khalaqa, artinya menjadikan dan menciptakan, maka di sini dengan menyebut Allah sebagai
Rabbun, kita dapat mengerti bahwa Allah itu bukan semata-mata pencipta, tetapi juga
pemelihara. Bukan saja menjadikan, bahkan juga mengatur.

Seumpama matahari, bulan, bintang-bintang dan bumi ini: sesudah semuanya dijadikan,
tidaklah dibiarkan sehingga begitu saja, melainkan dipelihara dan dikuasai terus menerus.
Betapalah matahari, bulan dan bintang-bintang itu akan beredar demikian teraturnya, dari tahun
ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, dan detik ke detik, berjalan
teratur telah berjuta-juta tahun, kalau bukan pemeliharaan darl Allah sebagai Rabbun?.
Manusiapun begitu. Dia bukan semata-mata dijadikan bahkan sejak masih dalam keadaan
nuthfah (air setitik kecil), sampai menjadi alaqah dan mudhqhah, sampal muncul ke dunia,

12
sampal menjadi makhluk yang berakal dan sampai juga meninggal kelak, tidaklah lepas dari
tilikan Allah sebagai Pencipta dan sebagal Pemelihara.

Untuk semua pemellharaan, peniagaan, pendidikan, dan perlindungan itulah kita diajar
mengucapkan puji kepada-Nya: “Rabbul ‘Alamin“, Tuhan seru sekallan alam. Kalau kita
pertalikan lagi dengan beberapa penafsiran tentang ‘alamin tadi — bahwa yang dimaksud ialah
makhluk manusia — dapatlah kita pahamkan betapa tingginya kedudukan insan, sebagal khalifah
Allah, di tengah-tengah alam yang luas itu. Maka di dalam Ayat pembukaan ini, kita telah
bertemu langsung dengan tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu tauhid Uluhiyah pada
ucapan Alhamdu Lillahi. Dan tauhid Rububiyah pada ucapan Rabbil’Alamin. Dan sudahlah jelas
sekarang bahwa dalam Ayat “Segala puji-pujian adalah kepunyaan Allah, Pemelihara dari
sekalian alam” itu telah mengandung dasar tauhid yang dalam sekali. Tidaklah ada yang lain
yang patut dipuji, melainkan Allah ?

Ayat ke-3

َّ ‫الرحْ َٰ َم ِن‬
‫الر ِح ِيم‬ َّ
“Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang” (Ayat 3).

Atau bisa juga diartikan “Yang Pengasih, lagi Penyayang“.

Ayat ini menyempurnakan maksud dari Ayat yang sebelumnya. Jika Allah sebagai Rabb,
sebagai pemelihara dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan itu,
melainkan karena Kasih Sayang-Nya semata dan karena murah-Nya belaka, tidaklah dalam
memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu menuntut keuntungan bagi diri-Nya sendiri. Bukan
sebagai sesuatu pemerintahan mengadakan suatu pendidikan “kader” dan latihan pegawal, ialah
karena mengharapkan apabila orang-orang yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan
dapat dipergunakan menjadi pegawal yang baik.

Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya ialah bila
sifat Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hamba-Nya. Bertambah tinggi
kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa Ar-Rahman Allah terhadap dirinya, dan
sifat Ar-Rahim ialah sifat yang tetap pada Allah. Maka Ar-Rahman ialah setelah sifat itu
terpaksa pada hamba, dan Ar-Rahim ialah pada keadaannya yang tetap dan tidak pernah padam-
padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu
Rahmat. Nanti dalam berpuluh Ayat AL QUR’AN, kita akan bertemu keterangan betapa
Rahman- dan Rahim-Nya bagi seluruh makhluk, terutama bagi kita manusia. Bukankah matahari
dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu rahmat dari Tuhan kepada kita? Bagaimana jadinya
kita hidup di dunia, kalau misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbit? Kita manusia
kadang-kadang lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dipisahkan dari Rahmat.

13
Demikianlah beratnya penderitaan mengandung: bidan telah sedia menolong, dan setelah
ditunggu dengan harap dan cemas, lahirlah anak itu, kedengaran tangisnya, si buyung atau si
upik. Dengan kedengaran tangis itu, kelihatanlah wajah si ibu lega, hilang kepayahannya,
kadang-kadang matanya tertidur sejenak, diliputi oleh Rahmat Ilahi. Dia sudah lupa sama sekali
akan kepayahannya, diobati oleh tangis anaknya yang baru lahir itu. Dan si suami yang telah
mondar-mandir sejak tadi di luar kamar bersalin, setelah diberitahu bahwa anaknya sudah lahir,
anak dan ibu selamat, kadang-kadang menangislah dia karena sangat terharu. Rahmat Tuhan
telah dimasukkan ke dalam jiwa mereka semuanya.

Ayat ke-4

َِ ‫ك يَ ْو ِم ال ِدين‬
ِ ‫َما ِل‬
“Yang menguasai Hari Pembalasan” (ayat 4).

Kita artikan “Yang menguasai”, apabila Maliki kita baca dengan memanjangkan Ma pada
Maliki. Dan kita artikan “Yang Empunya Hari Pembalasan”, kalau kita baca hanya Maliki saja
dengan tidak memanjangkanya. Di sini dapatlah kita memahamkan betapa arti ad-din. Kita hanya
biasa memberi arti ad-din dengan agama. Padahal diapun berati pembalasan. Memang menurut
Islam segala gerak-gerik hidup kita yang kita laksanakan tidak lepas dari lingkungan agama, dan
tidak lepas dari salah satu hukum yang lima: wajib, sunnat, haram, makruh, dan jaiz. Dan
semuanya kelak akan diperhitungkan dihadapan hadirat Tuhan di akhirat: baik akan diberi
pembalasan yang baik, buruk akan diberl pembalasan yang buruk. Dan yang memberikan itu
adalah Tuhan sendirl, dengan jalan yang seadil-adilnya.

Apabila kita telah membaca sampai di sini, timbulah perimbangan perasaan dalam kalbu
kita. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim
Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapapun Rahman- dan Rahim-Nya
namun Dia adil juga. Memang ada manusia yang karena amat mendalam rasa Rahmat dalam
dirinya, dan meresap ke dalam jiwanya kasih sayang yang balas membalas, memberi dan
menerima dengan Tuhan, lalu dia beribadat kepada Tuhan dan berbuat bakti. Tetapi ada juga
manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan, jiwanya
diselimuti oleh rasa benci, dengki, khizit dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima-
kasih. Jahatnya lebih banyak dari baiknya. Kadang-kadang pandai dia menyembunyikan keadaan
yang sebenarnya. Sampai dia mati keadaan tetap demikian. Tentu ini pasti mendapat
pembalasan.

Di dunia ini yang ada hanya penilaian, tetapi tidak ada pembalasan manusia. Banyak
manusia tercengang melihat orang zalim dan curang, tetapi oleh karena “pandainya” main, tidak
berkesan meskipun orang tahu juga. Dan banyak pula orang yang jujur, berbuat baik, namun
penghargaan tidak ada. Atau sengaja tidak dihargai karena pertarungan-pertarungan politik.

14
Ayat ke-5
ُ ‫إِيَّاكَ نَ ْعبُدُ َوإِيَّاكَ نَ ْست َ ِع‬
‫ين‬
“Engkaulah yang kami sembah, dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan” (Ayat 5).

Kalimat lyyaka, kita artikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi maknanya
dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Di sini terdapat iyyaka dua kali:
hanya Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya Engkau saja tempat kami memohonkan
pertolongan. Kata Na’budu kita artikan, kami sembah dan Nasta’inu kita artikan tempat kami
memohon pertolongan. Kalau ada lagi kata lain dalam bahasa kita yang lebih mendekati maksud
yang terkandung di dalamnya, bolehlah kita usahakan juga. Sebab dalam hati sanubari kita
sendiripun terasa bahwa arti itu belum tepat benar, meskipun sudah mendekati. Kata na’budu
berpangkal dari kalimat ibadat dan nasta’inu berpangkal darl kalimat isti’anah. Lebih murnilah
kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadat saja. Karena meskipun telah kita pakai arti dalam
bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah,
sedangkan dalam bahasa kita kalimat sembah itu terpakai juga kepada raja: di Minangkabau
kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mereka namai juga sembah-
menyembah.

Jadi kalau kita artikan “Hanya kepada Engkau kami beribadat” barangkali lebih tepat,
apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi bahasa kita. Kalimat Isti’anah pun menghendaki
keterangan yang panjang. Kalau menurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada
seorang teman menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta
tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa disebut
isti’anah juga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh agama. Kita bukakan hal ini untuk
mengetahui betapa sukarnya menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi
bahasa agama, terutama lagi Arab dalam AL QUR’AN yang turun sebagai Wahyu Ilahi.
Makanya kita menguatkan pendapat sebagian besar Ulama agar disamping terjemah atau tafsir,
tidak boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang mengerti
dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.

Ayat ke-6

ْ ‫ط ْال ُم‬
ََ‫ست َ ِقيم‬ َ ‫الص َرا‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Ayat 6).

Memimta ditunjuki dan dipimpim supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan
setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu
ialah: Pertama al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat
membedakan yang salah dengan yang benar.

15
Kedua at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang direncanakan Tuhan.

Ketiga al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit.

Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat berbahaya, di
mana yang tidak boleh dilalui dan sebagainya. Seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi
jalan, berbagai macamnya, untuk memberi alamat petunjuk bagi pengendara kendaraan
bermotor. Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim darl Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud
dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamamu yang
benar.

Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli Hadits, daripada Jabir bin Abdullah yang
dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut beberapa riwayat lagi,
Ibnu Mas’ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Kitab Allah
(AL QUR’AN). Menurut yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Jarir,
Ibnul Mundzir, Abu Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi sebuah Hadits
Rasulullah SAW diriwayatkan daripada an-Nawwas Ibnu Sam’an, pernah Rasulullah SAW
berkata, bahwasanya Allah Ta’ala telah membuat satu perumpamaan tentang Shirathal Mustaqim
itu: bahwa di kedua belah jalan itu ada dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu
ada beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup (gordiyn).

Ayat ke-7

َ‫علَ ْي ِه ْم َو َال الضَّا ِلين‬


َ ‫ب‬ ُ ‫غي ِْر ْال َم ْغ‬
ِ ‫ضو‬ َ َ‫ط الَّذِينَ أ َ ْن َع ْمت‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
“Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka,…” (pangkal Ayat 7).

Kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu dari kita, Tuhan Allah telah pernah
mengaruniakan nikmatnya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu, sebab
itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kepada kita ditunjukkan pula jalan itu. Telah ada Nabi-
nabi dan Rasul-rasul yang diutus Tuhan, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid
dan telah ada pula orang-orang yang shalih: semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan karena
menempuh jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab itu maka kita
memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita menempuh jalan itu
dengan selamat. Inilah yang kita mohonkan dengan Isti’anah kepada Tuhan, dengan berpedoman
kepada AL QUR’AN. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar
hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan ahlak, budi
bahasa, pergaulan hidup, filsafat, lqtishad (perekonomian), ijtima’ (kemasyarakatan), dan siasat
(politik) dan sebagainya.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Surah Al-fatihah adalah surah yang begitu istimewa yang biasa kita kenal dengan sebutan
pembuka surah yang dimana seluruh kandungan isi Al-Qur’an ada di dalam Surah Al-Fatihah.
Ini adalah salah satu bukti bahwa ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan
Maha Kuasa. Zat pencipta seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang
ada. DIA adalah yang wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada. Menurut
keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat
Yang Maha Kuasa itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakal oleh bangsa Arab untuk
Yang Maha Esa itu. Kalimat ALLAH itu — demikian kata Raghib — adalah perkembangan dari
kalimat Al-Ilah. Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan. Segala
sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau
hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama’ yaitu AL-ALIHAH. Tetapi
pikiran murni mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa
yang mereka katakan banyak itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia.

Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat
ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya
ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta’rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH. Lalu mereka
buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-L-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama
Allah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Yang
Berdiri Sendirinya itulah, dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun
yang mereka namai ALLAH.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua, dan Allah senantiasa memudahkan
kita dalam menuntut Ilmunya aamiin…..

17
DAFTAR PUSTAKA
www.Tafsir surah Al-fatihah Menurut Ibnu Katsir.google.com

www.Tafsir surah Al-fatihah Menurut Qurais Syihab.google.com

www.Tafsir surah Al-fatihah Menurut Buya Hamka.google.com

18

Anda mungkin juga menyukai