Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT ILMU

(Uang Panai’ : Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi)

OLEH:

Rahmita

18708251014

PRODI PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai Uang
Panai’. Makalah yang penulis susun bertujuan untuk pemenuhan tugas pada mata
kuliah Filsafat Ilmu. Penulis menyusun makalah ini dengan keinginan untuk
memberikan berbagai pengetahuan maupun informasi baru tentang salah satu
tradisi/kebudayaan yang ada di Indonesia.
Harapan yang ditujukan penulis adalah agar penyusunan makalah ini dapat
berguna bagi para pembaca untuk menambah pengetahuan maupun informasi
dalam berbagai hal tentang filsafat ilmu. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis menerima dan meminta berbagai saran dari para pembaca dan
penulis meminta maaf tentang kekurangan yang dilakukan penulis.

Yogyakarta, November 2018

Rahmita

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………..………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………... 1

A. Latar Belakang ………………………………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah …………………………………………………………… 2
C. Tujuan……………………………………………………………………....... 2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….....…... 3
A. Kajian Ontologi Uang Panai’……….....………………………………...……. 3
B. Kajian Epistemologi Uang Panai’….……………………………...………… 5
C. Kajian Aksiologi Uang Panai’…………...…………………………………. 11
D. Dampak Negatif Uang Panai’………………………………………...…….. 13
BAB III PENUTUP……………………………………………………………... 15
A. Kesimpulan……………………………………………………...………...... 15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak dapat kita pungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia yang
ada pada saat ini merupakan bentuk desakan dari pengaruh berkembangnya aspek-
aspek kehidupan di masa lalu. Manusia dengan alam pikirannya selalu melahirkan
inovasi baru yang pada akhirnya memberikan efek saling tular serta membentuk
sikap tertentu pada lingkungannya. Fenomena ini akan membawa kita kepada masa
depan manusia yang berbeda dan lebih kompleks.
Prediksi pada ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal
(organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi,
ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya,
saat ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur
sosial, politik, ekonomi, bahkan dalam teknologi. Manusia yang berpikir filsafati,
diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari
ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami
sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya
bagi masyarakat.
Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan pernah ada dalam kehidupan
dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya berupa gagasan, idea atau
nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan kebudayaan ini mungkin adalah
bagian dari tradisi semesta yang memiliki corak dan etnis tertentu. Budaya
merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-
kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya dapat
menggambarkan kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya dapat menjadi ukuran
bagi majunya suatu peradaban manusia.
Konsep budaya ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang
dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara
hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut
tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan kebudayaan merupakan

1
suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena tidak ada
kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya,
tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan
tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup.
Di Sulawesi Selatan, terdapat salah satu budaya atau tradisi yang menjadi
ciri khas dalam pernikahan yang akan dilangsungkan adalah uang naik atau oleh
suku Bugis-Makassar disebut uang panai’. Uang panai’ adalah bukanlah mahar,
melainkan sejumlah uang adat yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita yang merupakan bentuk penghargaan dan realitas
penghormatan terhadap norma dan strata sosial.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1. Apakah kajian ontologi pada uang panai’?
2. Bagaimanakah kajian epistemologi pada uang panai’?
3. Apakah kajian aksiologi pada uang panai’?
4. Apa sajakah dampak negatif yang ditimbulkan oleh uang panai’?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar dapat bermanfaat bagi
pembaca secara umum. Sedangkan tujuan khusus dari penulisan makalah ini, antara
lain :
1. Untuk mengetahui dan memahami aspek ontologi pada uang panai’.
2. Untuk mengetahui dan memahami aspek epistemologi pada uang panai’.
3. Untuk mengetahui dan memahami aspek aksiologi pada uang panai’.
4. Untuk memberi dan menambah pengetahuan mengenai dampak negatif dari
uang panai’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Ontologi Uang Panai’


Di Sulawesi Selatan, satu hal yang menjadi ciri khas dalam pernikahan yang
akan dilangsungkan adalah uang naik atau oleh suku Bugis-Makassar disebut uang
panai’. Uang panai’ adalah bukanlah mahar, melainkan sejumlah uang adat yang
diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang merupakan
bentuk penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial.
Uang panai’ merupakan tradisi yang telah ada sejak dahulu. Tradisi uang
panai’ merupakan salah satu persyaratan yang wajib dilakukan sebelum kedua
belah pihak calon pengantin melanjutkan pembicaraan lebih jauh mengenai
pernikahan.
Uang panai’ merupakan budaya yang telah berlangsung hingga saat ini,
sehingga masyarakat menyakini bahwa uang panai’ merupakan budaya. Dari segi
asal-usul uang panai’, sangat berbeda dan sangat jauh perbandingannya dari wujud
awal uang panai’, sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan berubah menjadi
sebuah uang belanja, persiapan pernikahan yang disepakati sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan perlengkapan pernikahan. Sebagai seorang lelaki yang
memandang hal ini sangatlah memberatkan jika lelaki tersebut dari keluarga
kalangan menengah kebawah akan sangat sulit bahkan merasa terbebani dengan
adanya uang panai’. Masyarakat umumnya beranggapan bahwa uang panai’ adalah
uang belanja, yang hanya digunakan untuk persiapan pernikahan dan biaya
pernikahan saja.
Uang Panai’ adalah uang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dari uang panai’
yang diserahkan oleh pihak laki-laki biasanya digunakan untuk biaya pernikahan
pada saat acara berlangsung dirumah mempelai wanita. Suatu pernikahan dalam
adat Bugis-Makassar diiringi dengan sejumlah uang pemberian dari pihak laki-laki
kepihak perempuan. Ada dua jenis pemberian yaitu Mahar/sunrang yang secara

3
simbolis berupa sejumlah uang atau barang yang sesuai dengan derajat perempuan
dan uang panai’‟ yang digunakan untuk biaya pernikahan.
Uang panai’‟ selalu terkait dengan wibawa keluarga mempelai. Semakin
tinggi status sosial pihak perempuan maka semakin besar uang panai’‟ yang akan
diberikan oleh pihak laki-laki. Panai’ dalam pernikahan di Sulawesi Selatan bukan
saja uang, tetapi ada juga tambahan dalam bentuk barang, hasil bertani (beras),
hewan ternak (sapi atau kambing), dan sebagainya. Biasanya pihak perempuan
menentukan panai’ ini berdasarkan latar belakang Pendidikan, latar belakang
perkejaan dan latar belakang sosial. Semakin tinggi latar belakangnya, maka
semakin mahal pula panai’ yang akan ditentukan.
Uang panai’ merupakan cerminan dari budaya ‘siri’ na pacce’ yang menjadi
karakter orang bugis-makassar. Cerminan budaya ‘siri na pacce’ seorang mempelai
atau keluarga mempelai laki-laki akan merasa malu apabila tidak bisa menyanggupi
permintaan ‘uang panai’’ dari keluarga mempelai prempuan. Begitu juga
sebaliknya, pihak keluarga prempuan akan merasa malu apabila anak prempuannya
dibawakan ‘uang panai’’ yang lebih renda dari tetangga-tetangganya. Hal ini tidak
lepas dari gensi strata sosial dalam masyarakat. Ini permasalahan yang hanagat di
perbincangkan oleh semua kalangan khususnya orang bugis-makassar.
Mahar dan uang panai’ adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
pernikahan itu sendiri, yaitu pemberian seorang suami kepada calon istri sebelum,
sesudah atau pada waktu berlangsungnya aqad nikah sebagai pemberian wajib yang
tidak dapat diganti dengan yang lainnya. Mahar atau sunrang, dalam adat Makassar
biasanya berupa uang, perhiasan, sejumlah pakaian atau alat perlengkapan shalat,
tanah, kebun atau benda material lainnya. Sedangkan uang panai’ adalah biaya
berupa uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang
jumlahnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak untuk dipergunakan dalam acara
pernikahan di Sulawesi selatan.
Keberadaan mahar dan uang panai’ dijadikan sebagai salah satu syarat
penting dalam menentukan dapat tidaknya dilaksanakan pernikahan, dan selalu
dikaitkan dengan wibawa keluarga mempelai. Mahar dan uang panai’ ditentukan
oleh pihak perempuan sepenuhnya. Besarnya nilai mahar dan uang panai’ pada

4
masyarakat merupakan pencerminan status sosial calon pengantin. Semakin tinggi
status sosial pihak perempuan, maka semakin besar mahar dan uang panai’ yang
dikeluarkan oleh pihak laki-laki. Hal ini terkadang menjadi masalah tersendiri
dalam masyarakat, sebab tidak jarang terjadi pembatalan pernikahan/perkawinan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan pernikahan, kerabat dan
keluarga calon mempelai ikut menentukan besarnya dan wujud mahar yang akan
diserahkan oleh mempelai pria kepada wanita. Masalah mahar dan uang panai’ ini
biasanya dibahas dalam suatu acara khusus yang disebut dengan pertemuan kedua
wakil kerabat calon mempelai dalam tahap pelamaran (a’suro). Pada saat a’suro
inilah mahar dan uang panai’ menjadi bahan perbincangan diantara kedua keluarga
calon mempelai, terutama calon mempelai perempuan yang lebih dominan
menentukan seberapa besar wujud dari mahar dan uang panai’ tersebut.
Secara sepintas, kedua istilah di atas memang memiliki pengertian dan
makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika
dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian kedua istilah tersebut
jelas berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin adalah kewajiban
dalam tradisi Islam, sedangkan Uang Panai’ adalah kewajiban menurut adat
masyarakat setempat.

B. Kajian Epistemologi Uang Panai’


1. Sejarah Uang Panai’
Asal muasal uang panai’ adalah karena apa yang terjadi pada zaman
penjajahan Belanda dulu. Pada zaman dahulu itu gadis bugis sangat dihina dan para
gadis ini tidak memiliki hak apapun terhadap dirinya sendiri jadi setiap gadis pada
saat itu harus merelakan dirinya untuk dinikahi oleh tentara belanda tanpa mahar
sedikit pun yang jadi masalah disini yaitu ketika telah dinikahi dan tentara itu
melihat ada yang lebih baik dari istrinya maka ia akan beralih kewanita lain tanpa
menghiraukan istri pertamanya disinilah letak ketidak adilan. Pada saat itu
kewenangan semua ada di tangan tentara belanda, sangat menyedihkan karena
orang tua gadis-gadis pada saat itu hanya bisa melihat anaknya diperlakukan

5
semena-mena mereka tidak bisa membela hak anaknya jadi si gadis ini hanya pasrah
dengan keadaan.
Pada saat menjelang kemerdekaan tentara belanda meninggalkan kampung
Bugis-Makassar karena berhasil diusir oleh para pemberontak. tapi kepergian
belanda bukan berarti menghilangkan semua jejaknya masih ada ajaran-ajaran atau
doktrin yang mereka tanamkan yaitu salah satunya tentang kebebasan untuk
menikahi siapa saja dan berhak meninggalkan begitu saja. Paham inilah yang masih
dianut para lelaki di kampung Bugis-Makassar. Jadi doktrin belanda yang
ditanamkan pada jiwa pemuda pada saat itu yakni seorang lelaki bisa berganti-ganti
wanita sesuai keinginannya. Dari permasalahan inilah ada seorang bangsawan
memiliki seorang anak gadis yang begitu iya sayangi dan ia tidak ingin melihat anak
gadisnya diperlakukan semena-mena oleh para pemuda yang jiwanya telah terdotrin
oleh belanda. Suatu ketika ada seorang pemuda yang terpikat melihat gadis
bangsawan ini, ia pun memberanikan diri untuk melamar dengan menggunakan
doktrin belanda yaitu tidak menggunakan mahar dan uang panai.
Namun orang tua si gadis bangsawaan ini tidak menerimanya karena hal
yang ia lakukan merupakan sebuah pelecehan terhadap perempuan. Tidak ada
sedikit pun bukti fisik keseriusan sang pemuda itu untuk menikahi sang gadis
bangsawan. Jadi pada saat itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang
pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar dan
uang panai yang telah ditentukannya. Mahar dan uang panai yang diajukan
sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material maupun non material.
Hal ini dilakukannya untuk menganggat derajat kaum wanita pada saat itu.
Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orangtua
si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela
melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan
untuk meminang gadis pujaannya. Setelah mencukupi persyaratan yang diajukan
oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan
pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan
anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut.

6
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni
menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti. Apalagi
sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah
sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Mahalnya mahar dan uang panai gadis
Bugis-Makassar bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk
penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan
menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya
karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini serta sebagai bukti nyata bahwa
kedepannya calon suaminya mampu mmeberikan kehidupan yang layak bagi calon
istrinya.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Uang Panai’’(Bride Pricing) adalah
harga pengganti produktifitas wanita (Goody dan Tambiah 1973) atau sebagai biaya
martabat perempuan (Osuna 2003), bahkan ada yang mengganggap sebagai biaya
penukaran hak perempuan (Macdonald-levy dan Mc Millan 2005).
2. Tata Cara Pemberian Dan Penentuan Uang Panai’
Dalam adat perkawinan Bugis terdapat beberapa tahapan untuk
melangsungkan perkawinan dan salah satunya adalah penyerahan uang panai’.
Adapun proses pemberian Uang Panai’ tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak
keluarga perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal Uang
Panai’ (A’suro). Pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa (orang
yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah, kakek, paman, dan
kakak tertua.
b. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan. Selanjutnya
pihak keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan dalam garis
keluarganya untuk menemui utusan dari pihak laki-laki. Setelah berkumpul
maka pihak keluarga perempuan menyebutkan harga Uang Panai’ serta mahar
yang dipatok. Jika pihak keluarga calon suami menyanggupi maka selesailah
proses tersebut. Akan tetapi jika merasa terlalu mahal maka terjadilah tawar
menawar berapa nominal yang disepakati antara kedua belah pihak.

7
c. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya
adalah membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk
menyerahkan sejumlah Uang Panai’ yang telah disepakati.
d. Tahap selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak
keluarga perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya dan
menyerahkan Uang Panai’ tersebut (a’panai’ doe balanja/mappetu’ada).
e. Setelah Uang Panai’ diserahkan selanjutnya membahas mahar apa yang akan
diberikan kepada calon istri nantinya. Adapun masalah mahar tidak serumit
proses Uang Panai’. Mahar pada umumnya disesuaikan pada kesanggupan
calon suami yang akan langsung disebutkan saat itu juga. Dalam perkawinan
suku Bugis pada era sekarang ini umunya mahar tidak berupa uang, akan tetapi
berupa barang seperti tanah, rumah, perhiasan, mobil atau barang material
berharga lainnya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uang Panai’
‟Penentuan mahar dan uang panai’‟ pada adat pernikahan masyarakat tidak
terlepas dari beberapa faktor. Selanjutnya mengenai tingkatan mahar dan uang
panai’‟ agak berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi mahar dan uang panai’‟ pada masyarakat antara
lain:
a. Stratifikasi Sosial
Masyarakat Sulawesi Selatan agak ketat memegang adat yang berlaku,
utamanya dalam hal pelapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam
merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Sulawesi Selatan mudah mengenal
stratifikasi sosial. Disaat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh
dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat Sulawesi
Selatan.
Stratifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara
golongan atas dengan golongan bawah. Pelapisan sosial ini memberlakukan
stratifikasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari terutama pada upacara-upacara
adat seperti pernikahan. Demikian halnya dalam penentuan mahar dan uang
panai’‟, karena hal itu dianggap mempengaruhi kewibawaan keluarga.Penggunaan

8
tingkatan mahar dan uang panai’‟ disamping sebagai implikasi klasifikasi
masyarakat juga menggambarkan stratifikasi calon pengantin perempuan menurut
adat berdasarkan keturunan.Namun hal tersebut mulai bergeser, sehingga
stratifikasi sosial masyarakat Bugis Makassar tidak lagi diukur dari kekayaan dan
jabatan yang disandang oleh keluarga calon mempelai perempuan.
b. Adat Istiadat
Dalam segala tempat dan waktu, manusia terpengaruh oleh adat isiadat
lingkungannya, karena dia hidup dalam lingkungan, melihat dan mengetahui, dan
melakukan perbuatan.Sedangkan kekuatan memberi hukum kepada sesuatu belum
begitu jelas, sehingga kebanyakan orang melakukan sesuatu disesuaikan dengan
adat istiadat daerah setempat.
Uang panai’ tercipta karena dipengaruhi oleh stratifikasi social dan adat
istiadat. Namun terlepas dari itu yang menentukan tinggi rendahnya uang panai’
sangat dipengaruhi oleh status sosial perempuan, diantaranya:
a. Keturunan Bangsawan atau Berasal dari Golongan Darah Biru
Perempuan dari keluarga bangsawan memiliki uang panai’ yang tinggi.
Dalam masyarakat masyarakat Bugis-Makassar dikenal bangsawan dengan sebutan
Puang, Andi dan Karaeng yang menandakan kebangsawanannya. Serta berasal dari
golongan darah biru yakni keturunan Raja Gowa atau Bone.
b. Status ekonomi (Dari Keluarga Berada dan Terpandang)
Semakin kaya wanita yang akan dinikahi dan berasal dari keluarga yang
terpadang serta dihormati, maka semakin tinggi pula uang belanja yang harus
diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri dan begitu sebaliknya,
jika calon istri tersebut hanya dari keluarga yang pada umumnya kelas ekonomi
menengah kebawah maka jumlah uang belanja yang dipatok relatif kecil. Masalah
besarnya jumlah uang belanja yang di butuhkan dalam pesta perkawinan.

c. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka uang panai’’nya
semakin tinggi pula, begitupun sebaliknya.Ada salah seorang warga yang
mengatakan bahwa uang panai’’, memiliki patokan harga.

9
Daftar Jumalah Uang Panai’’ Menurut Tingkatan Pendidikan.
Tingkatan Pendidikan Harga Uang Panai’
SD Rp 20 juta
SMP Rp 20-25 juta
SMA Rp 30 juta
S1 Rp 50 juta Keatas
S2/Dr/Prof Rp 100 juta Keatas
d. Kondisi Fisik
Tidak hanya beberapa faktor yang telah disebutkan diatas yang menjadi
tolak ukur besar kecilnya jumlah nominal uang belanja yang dipatok oleh pihak
keluarga perempuan, akan tetapi kondisi fisik perempuan yang akan di lamar pun
menjadi tolak ukur penentuan uang belanja. Semakin sempurna kondisi fisik
perempuan yang akan dilamar maka semakin tinggi pula jumlah nominal uang
belanja yang dipatok. Kondisi fisik yang dimaksud seperti paras yang cantik, tinggi
dan kulit putih.
e. Pekerjaan
Perempuan yang memiliki pekerjaan akan mendapatkan uang panai’ yang
tinggi dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki pekerjaan. Laki-laki
menilai perempuan yang memiliki pekerjaan akan mengurangi beban
perekonomian kelak (PNS, Dokter, Guru dll).
f. Jumlah Saudara Kandung
Jumlah saudara kandung juga menjadi faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya uang panai’. Semakin sedikit saudara perempuan yang akan di lamar
maka semakin tinggi uang panai’ yang harus di keluarkan, apalagi jika perempuan
tersebut merupakan anak tunggal. Mengapa demikian karena segala harapan orang
tua berada pada anak tersebut.
g. Hajjah
Perempuan yang telah memiliki gelar Hajjah memiliki uang panai’ yang
mahal karena hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan tinggi
rendahnya uang panai’. Karena diharapkan ia telah paham agama sehingga kelak
jika membina rumah tangga ia dapat menjadi istri yang sholehah dan perspektif

10
masyarakat Bugis-Makassar bahwa orang yang bergelar Hajjah atau Hj merupakan
golongan orang yang berada.

C. Kajian Aksiologi Uang Panai’


Bagi masyarakat suku bugis - makassar, Uang panai’ dimaknai sebagai
sebuah penghormatan kepada perempuan bukan sebagai bentuk jual beli.
Perempuan merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan untuk dihormati dan
dihargai, mereka bukan manusia kedua atau manusia pendukung, tetapi sebagai
sumber kehidupan. Serta menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal
untuk disakiti. Sehingga tidak dapat sembarang lelaki dapat mempersunting
perempuan suku bugis - makassar. Panai’ juga dimaknai sebagai keseriusan calon
mempelai pria, kalau dia menyanggupi kesepakatan yang telah ditetapkan maka,
dia dianggap telah serius dalam pernikahan begitu pula sebaliknya, sehingga
menikah dengan perempuan bugis - makassar itu bukan suatu hal yang main-main.
Selain itu, tingginya uang panai’ itu juga untuk menghindari persoalan cerai
yang saat ini marak terjadi. Laki-laki yang menikahi perempuan bugis - makassar
akan berpikir berkali-kali lipat untuk menceraikan istrinya, mengingat dia telah
berkorban banyak untuk mempersunting buah hatinya. Tingginya panai’ dimakanai
sebagai tingginya penghargaan kepada seorang gadis, sehingga menjadi pelajaran
bagi kita bahwa pernikahan dan perempuan bukalah hal yang main-main.
Mengingat di saat ini banyaknya kasus menikah kemudian cerai, atau nikah siri
yang hanya akan merugikan pihak perempuan. Serta menjadi bukti kesiapan dalam
berumah tangga untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya kedepan bersama calon
istrinya.
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Budaya Uang Panai’
Nilai-nilai yang terkandung dalam uang panai’’, memberikan manfaat
tersendiri kepada masyarakat jika hal tersebut dapat diketahui sebagai pelajaran
sebelum memutuskan sebuah pernikahan. Berikut ini merupakan nilai-nilai yang
terkandung dalam uang panai’:
1. Nilai Sosial

11
Uang panai’ mengandung nilai sosial yang sangat memperhatikan derajat
sosial atau strata sosial seseorang, sebagai tolak ukur dari uang panai’. Nilai derajat
sosial seseorang sangat mempengaruhi tinggi rendahnya uang panai’ yang
merupakan budaya pernikahan masyarakat Makassar. Karena nilai sosial tersebut
maka hubungan antara keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan
menciptakan keluarga yang bervariasi dan kaya akan perbedaan, namun sama akan
tujuan.
2. Nilai kepribadian
Uang panai’memiliki nilai atau pandangan pribadi masyarakat yang
menurut sebagian besar masyarakat adalah sebagai bentuk bersatunya dua insan
dalam pernikahan yang mewah. Ada kepuasan tersendiri dalam diri masyarakat
yang mempunyai uang panai’ tinggi, seperti bagi pihak laki-laki tidak akan menjadi
beban sebab semuanya dapat terpenuhi, dan bagi pihak perempuan tidak akan
mengalami kesusahan dalam pernikahan semuanya berjalan lancar serta dapat
mengundang keluarga besar jika uang panai’ mencukupi persiapan pernikahan
tersebut.
3. Nilai religius
Uang panai’ bukan merupakan bagian yang ada dalam ajaran agama, tetapi
merupakan sebuah budaya. Sebagai sebuah budaya, uang panai’ memiliki dampak
yang ditimbulkan, segi positif dari adanya uang panai’ yaitu berjalan lancarnya
suatu pernikahan. Selain itu dengan adanya uang panai’ pihak-pihak dapat berbagi
satu sama lain, sehingga salah satu sunnah rasulullah dapat dilaksanakan karena
bernilai ibadah.
4. Nilai pengetahuan
Pengetahuan dari Uang panai’ tersebut dapat menambah wawasan
masyarakat dalam memaknai dan menjadi pelajaran bagi perempuan, serta motivasi
bagi laki-laki sebab makna sesungguhnya dari Uang panai’ adalah bentuk
penghargaan pihak laki-laki terhadap pihak perempuan dengan usaha dan kerja
keras. Sebagai pelajaran dalam mengambil keputusan yang tidak hanya
memandang dari strata sosial masyarakat namun dari usaha dan kerja keras laki-
laki tersebut. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai pelajaran dimasa sekolah

12
sebagai bentuk pengenalan budaya yang memiliki sudut pandang dan nilai-nilai
yang sangat beragam.

D. Dampak Negatif Budaya Uang Panai’


Tradisi uang panai’’ dalam masyarakat Bugis memang banyak
menimbulkan berbagai pro-kontra. Pada akhirnya, tradisi uang panai’ akan selalu
menjadi sebuah ajang pengukuhan kedudukan dan gengsi semata yang senantiasa
akan menggiring potensi konflik dan berbagai dampak negatif diantaranya:
1. Uang panai’ yang terlalu tinggi bisa saja membuat orang tidak jadi menikah,
telah banyak bukti nyata akibat uang panai’ terlalu tinggi dan keluarga tidak
mampu memenuhinya sehingga pernikahan dibatalkan dan akhirnya
menimbulkan konflik antar dua keluarga atau salah satu dari mereka harus
melihat orang yang ia sayangi menikah dengan orang lain.
2. Pihak laki-laki memaksakan diri untuk memenuhi permintaan uang panai
karena menjaga siri’ dengan cara berhutang namun negatifnya karena setelah
berumah tangga kedua mempelai harus banting tulang untuk melunasi hutang-
hutang tersebut sehingga bukannya hidup bahagia malah sengsara.
3. Silariang (kawin lari) dimana jika tidak terjadi kesepakatan uang panai’ antara
kedua belah pihak yang menyebabkan pernikahan dibatalkan namun anaknya
tidak dapat menerima pembatalan tersebut dikarenakan faktor cinta maka
mereka berdua akan kabur dan menikah tanpa restu kedua keluarga,
4. Terjadinya pernikahan beda usia, dimana laki-laki lebih memilih menikah
dengan perempuan yang lebih tua usianya karena berpikiran uang panai’ nya
akan lebih rendah dan perempuan yang usia nya lebih tua rela membiayai hidup
laki-laki yang akan menikahinya.
5. Memilih jalan yang salah yakni dengan merusak dirinya sendiri contohnya
hamil diluar nikah sehingga kedua keluarga akan dengan terpaksa menikahkan
anaknya dengan mengesampingkan uang panai’ demi menutupi siri yang telah
diciptakan anaknya serta melakukan percobaan bunuh diri.
6. Tidak sesuai dalam pernikahan dalam agama Islam. Dimana Mahar dan Uang
Panai’ sangat berbeda. Herannya sekarang Uang panai’ lebih tinggi daripada

13
Mahar, padahal dalam agama Islam Mahar yang penting. Sesungguhnya
pernikahan yang paling besar pahalanya adalah yang paling ringan biayanya.”
(HR. Ahmad, no. 23388 dari Aisyah ra). Hadits ini dha’if karena ada rawi
bernama Ibnu Sakhbarah, tapi maknanya dikuatkan oleh hadits lain yang juga
dari Aisyah yaitu, ”Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah yang ringan
maharnya, mudah menikahinya, dan baik budi pekertinya.” (HR. Ahmad, Al-
Hakim dalam Al-Mustadrak dan Ibnu Hibban dalam shahihnya). Al-Albani
menganggap hadits ini hasan dalam Shahih Al-Jami’, no. 2235. Namun
faktanya pernikahan dengan uang panai’ lebih memberatkan.
Salah satu contoh uang panai’ yang sulit diterima oleh akal yakni
Pernikahan Anjas Malik-Kurnia Amaliah Hambali di Kabupaten Jeneponto,
Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah uang panai’ mencapai Rp 1 miliar, beras 1 ton,
emas 3 kilogram, tanah 1 hektar, satu unit mobil Alphard warna putih tipe 25 G dan
sebuah rumah mewah berlantai dua. Anjas Malik-Kurnia Amaliah Hambali adalah
anak dari pengusaha sukses di kabupaten berjuluk Bumi Turatea itu. Malik,
orangtua Anjas, adalah pengusaha beras dan jagung kuning. Profesi ini pun
diwariskan kepada Anjas, alumnus Universitas Muslim Indonesia
(UMI). Sementara orangtua Kurnia Amaliah Hambali pengusaha yang bergerak di
bahan material bangunan dan properti di Jeneponto. Kurnia adalah alumni Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar yang saat ini berprofesi sebagai
dokter rumah sakit di Makassar.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa point
penting, antara lain :
1. Uang panai’ adalah sejumlah uang adat yang diberikan oleh calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita yang merupakan bentuk penghargaan dan
realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial. Dari segi asal-usul uang
panai’, sangat berbeda dan sangat jauh perbandingannya dari wujud awal uang
panai’, sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan berubah menjadi
sebuah uang belanja, persiapan pernikahan yang disepakati sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan perlengkapan pernikahan.
2. Asal muasal Uang Panai’ adalah apa yang terjadi pada zaman penjajahan
Belanda dulu. Pemuda Belanda seenaknya menikahi perempuan Bugis yang ia
inginkan, setelah menikah ia kembali menikahi perempuan lain dan
meninggalkan istrinya itu karena melihat perempuan lain yang lebih cantik
daripada istrinya. Budaya seperti itu membekas di Bugis setelah Indonesia
Merdeka dan menjadi doktrin bagi pemuda Indonesia sehingga mereka juga
dengan bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah dinikahinya
seenaknya. Itu membuat perempuan Bugis seolah-olah tidak berarti. Budaya itu
berubah sejak seorang pemuda mencoba menikahi seorang perempuan dari
keluarga bangsawan. Pihak keluarga tentu saja menolak karena mereka
beranggapan bahwa laki-laki itu merendakan mereka karena melamar anak
mereka tanpa keseriusan sama sekali. Mereka khawatir nasib anak mereka akan
sama dengan perempuan yang lainnnya sehingga pihak keluarga meminta bukti
keseriusan pada pemuda atas niatannnya datang melamar. Jadi pada saat itu
orang tua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin
menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah
ditentukannya. mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus
menyediakan material maupun non material. hal ini dilakukannya untuk

15
mengangkat derajat kaum wanita pada saat itu. Pergilah sang pemuda itu
mencari persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis. Bertahun-tahun
merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela melakukan apa saja
asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan untuk meminang
gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua
si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan pada saat itu
melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan anaknya
menjadi milik sang pemuda tersebut.
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran
yakni menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti
apalagi sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri
itulah sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Jadi mahalnya mahar gadis
Bugis bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk
penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan
menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya
karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini.
Uang panai’ tercipta karena dipengaruhi oleh stratifikasi sosial dan adat
istiadat. Namun terlepas dari itu yang menentukan tinggi rendahnya uang panai’
sangat dipengaruhi oleh status sosial perempuan, diantaranya: Keturunan
Bangsawan atau Berasal dari Golongan Darah Biru, Pendidikan, Status
ekonomi (Dari Keluarga Berada dan Terpandang), Kondisi Fisik, Pekerjaan,
Jumlah Saudara Kandung, dan Hajjah.
3. Uang panai’ dimaknai sebagai sebuah penghormatan kepada perempuan bukan
sebagai bentuk jual beli. Perempuan merupakan makhluk Tuhan yang
diciptakan untuk dihormati dan dihargai, mereka bukan manusia kedua atau
manusia pendukung, tetapi sebagai sumber kehidupan. Serta menghargai wanita
karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti. Sehingga tidak dapat
sembarang lelaki dapat mempersunting perempuan suku bugis - makassar.
Panai’ juga dimaknai sebagai keseriusan calon mempelai pria, kalau dia
menyanggupi kesepakatan yang telah ditetapkan maka, dia dianggap telah

16
serius dalam pernikahan begitu pula sebaliknya, sehingga menikah dengan
perempuan bugis - makassar itu bukan suatu hal yang main-main.
Selain itu, tingginya uang panai’ itu juga untuk menghindari persoalan
cerai yang saat ini marak terjadi. Serta menjadi bukti kesiapan dalam berumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya kedepan bersama calon
istrinya. Nilai-nilai yang terkandung dalam uang panai’’, memberikan manfaat
tersendiri kepada masyarakat jika hal tersebut dapat diketahui sebagai pelajaran
sebelum memutuskan sebuah pernikahan. Berikut ini merupakan nilai-nilai
yang terkandung dalam uang panai’: Nilai Sosial, Nilai kepribadian, Nilai
religious, dan Nilai pengetahuan.
4. Tradisi uang panai’ dalam masyarakat Bugis memang banyak menimbulkan
berbagai pro-kontra. Pada akhirnya, tradisi uang panai’ akan selalu menjadi
sebuah ajang pengukuhan kedudukan dan gengsi semata yang senantiasa akan
menggiring potensi konflik serta menimbulkan berbagai dampak negatif
diantaranya: Uang panai’ yang terlalu tinggi bisa saja membuat orang tidak jadi
menikah, Pihak laki-laki memaksakan diri untuk memenuhi permintaan uang
panai karena menjaga siri’ dengan cara berhutang, Silariang (kawin lari),
Terjadinya pernikahan beda usia, Memilih jalan yang salah yakni dengan
merusak dirinya sendiri contohnya hamil diluar nikah dan melakukan percobaan
bunuh diri, dan Tidak sesuai dalam pernikahan dalam agama Islam. Dimana
Mahar dan Uang Panai’ sangat berbeda. Herannya sekarang Uang panai’ lebih
tinggi daripada Mahar, padahal dalam agama Islam Mahar yang penting.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Budaya Mahar dan Uang Panai’.


https://bugiesmakassar.blogspot.com/2014/02/budaya-mahar-uang-panai’-
gadis-suku.html. Diakses Pada Tanggal 12 November 2018.

Aini, Nurul. 2017. Potensi Konflik Dalam Proses Perkawinan Adat Bugis (Kasus
Uang Panai’ Pada 5 Keluarga Di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau
Kabupaten Barru) Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Nensi, Suria. 2018. Persepsi Masyarakat Terhadap Mahar Dan Uang Panai’ Pada
Adat Pernikahan Di Desa Tanete Kabupaten Gowa . Skripsi. Makassar:
Universitas Islam Negeri.

Rahmat, Asep. 2009. Materialisme Kebudayaan.


http://rukawahistoria.blogspot.com/2009/07/materialisme-
kebudayaan.html. Diakses Pada Tanggal 12 November 2018.

Rakyatku News. 2017. Uang Panai’ Termahal.


http://news.rakyatku.com/read/48454/2017/05/12/heboh-uang-panai’-
termahal-di-jeneponto-ayah-anjas-bilang-begini. Diakses Pada Tanggal 12
November 2018.

Yansa, Hajra., Basuki, Yayuk., Yusuf K. M., Perkasa, Wawan Ananda. 2014. Uang
Panai’ Dan Status Sosial Perempuan Dalam Perspektif Budaya Siri’ Pada
Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan. Jurnal PENA.
(Volume 3|Nomor 2|ISSN 2355-3766 ).

18

Anda mungkin juga menyukai