Anda di halaman 1dari 31

Seorang peneliti Belanda, W.F.

Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara


pada zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-
1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam
sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang
memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa
adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari
Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan
antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya
berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan
Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung )
dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada praktiknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan
Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda
mengemban misi terselubung yakni antara lain: 1). Mempertahankan segala peraturan Negara,
2). Melakukan penuntutan segala tindak pidana Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang
berwenang Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan
delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht
(WvS).

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali
oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian
diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu
berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung),
Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu,
secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran Menuntut Perkara Menjalankan putusan
pengadilan dalam perkara kriminal. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut
hukum. Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik
Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara
R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, dan dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur
Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus
sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya,
hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa
Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem
pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal


30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai
alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan
tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi
yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam
rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen,
disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan
perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan
mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada
adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.

Masa reformasi

Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta
lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami
perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut
gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka
dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan
bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai
pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan
hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat
diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya
instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran
Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.

Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan,
harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16
Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas
dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru
untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan
tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam
memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak
pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun
juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:

 Modus operandi yang tergolong canggih;


 Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya;
 Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan;
 Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan;
 Manajemen sumber daya manusia;
 Perbedaan persepsi dan interprestasi; (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
 Sarana dan prasarana yang belum memadai; dan
 Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta
pembakaran rumah penegak hukum.

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai
lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim
Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971,
dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan
hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan
lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik
tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa
diselesaikan oleh UU ini.

Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini
terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar
biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas,
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi,
mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime .

Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi.
Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat
bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan
masyarakat.

Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan.
Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk
penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai
perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.

Tugas dan wewenang kejaksaan

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang
Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

 Melakukan penuntutan;
 Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan bersyarat;
 Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
 Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam *pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:

 Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;


 Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
 Pengamanan peredaran barang cetakan;
 Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
 Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
 Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa,
atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan
oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah
lainnya.

Motto

Tri Krama Adhyaksa, adalah doktrin Kejaksaan Indonesia:

1. Satya, yang artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
2. Adhi, yang artinya kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa
tanggung jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga, dan terhadap
sesama manusi

2. a.
3. Wicaksana, yang artinya bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam
pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Republik_Indonesi
a#Sejarah
Beragam pengalaman dan pembelajaran telah ditempuh Kejaksaan RI sepanjang 54 tahun
usianya. Sejarah kejaksaan di Nusantara sendiri jauh lebih panjang. Selain sebagai Mahapatih
Kerajaan Majapahit, Gajah Mada juga dikenal sebagai adhyaksa.

Riwayat kejaksaan di Nusantara diperkirakan jauh melewati usia Kejaksaan Republik Indonesia
(RI) sendiri. Kata jaksa pada masa kini merujuk pada kata dhyaksa dari bahasa Sanskerta pada
era kerajaaan sebelum kolonialisme menguasai Nusantara.
Pada masa Kerajaan Majapahit, istilah-istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa dalam
bahasa Sanskerta mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Menurut W.F.
Stutterheim, peneliti Belanda, dhyaksa merupakan pejabat negara pada era Kerajaan Majapahit,
tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang
bertugas menangani masalah peradilan pada sidang pengadilan. Ketika bertugas, para dhyaksa
dipimpin seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para
dhyaksa.
Peneliti lain, H.H. Juynboll, menambahkan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau
hakim tertinggi (oppenrrechter). Sedangkan, sumber lain menyebut bahwa dharmaadyaksa
adalah hakim tertinggi. Bahkan, Krom dan Van Vollenhoven, juga peneliti Belanda, menyebut
Gajah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit, juga sebagai adhyaksa.
Tampaknya, dulu, jaksa punya kewenangan yang luas. Kewenangannya tak hanya sebagai
penuntut umum seperti sekarang karena lembaga penuntutan memang belum dikenal pada masa
itu. Fungsinya selalu dikaitkan dengan bidang yudikatif atau bahkan dengan bidang keagamaan,
sehingga seperti fungsi hakim dalam makna yang luas.

Sebelum Merdeka
Lembaga penuntutan baru hadir ketika Pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan
Rrechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie pada 18 April 1827 dengan mengadopsi
sistem yang berlaku di Prancis. Asas konkordansi juga kemudian diterapkan di negeri ini,
terutama setelah pemberlakuan paket perundang-undangan baru sejak 1 Mei 1848. Sejak itulah
dikenal procuceur general, jabatan seperti jaksa agung sekarang. Ada pula of ficieren van justitie,
yakni penuntut umum bagi golongan Eropa dan kelompok yang dipersamakan. Inlands
Reeglement memperkenalkan megistraat sebagai penuntut umum, tapi masih dalam kendali atau
perintah residen dan asisten residen.
Setelah Inlands Reeglement diubah menjadi Herziene Inlandsch Reglemeent (HIR) pada 1941,
barulah dikenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri di bawah procureur general. Tapi,
bagi kalangan Bumiputra, lantaran masih kurangnya sarjana hukum pada masa itu, jabatan
magistraat masih dirangkap asisten residen.
Para jaksa memiliki kembali statusnya sebagai penuntut umum yang sebenarnya sejak masa
Pemerintahan Jepang, sebagaimana tertuang pada undang-undang zaman pendudukan tentara
Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944,
dan Nomor 49/1944. Sejak itu, kejaksaan sudah berada pada semua jenjang pengadilan, mulai
pengadilan negeri (tihooo hooin), pengadilan tinggi (koootooo hooin), hingga pengadilan agung
(saikoo hooin).
Jabatan asisten residen pun dihapuskan, sehingga kedudukan jaksa mengalami perubahan
mendasar. Semua tugas dan wewenang asisten residen dalam penuntutan perkara pidana
diberikan kepada jaksa dengan jabatan tio kensatsu kyokuco atau kepala kejaksaan pada
pengadilan negeri dan berada di bawah pengawasan koo too kensatsu kyokuco atau kepala
kejaksaan tinggi.
Setelah Osamu Seirei Nomor 49 diberlakukan, kejaksaan dimasukkan dalam wewenang Cianbu
atau Departemen Keamanan. Dengan demikian, kejaksaan sudah memiliki fungsi mencari atau
menyidik kejahatan dan pelanggaran (penyidikan), menuntut perkara (penuntutan), serta
menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal (eksekutor).

Setelah Merdeka
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sistem hukum yang berlaku tidak serta-merta
berubah. Undang-undang ataupun berbagai peraturan yang ada sebelum Indonesia merdeka tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Fungsi kejaksaan juga masih dipertahankan, seperti yang tertuang pada Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Pasal tersebut diperjelas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. PP
tersebut mengamanatkan, sebelum RI membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri
sesuai dengan ketentuan UUD 1945, segala badan dan peraturan yang ada masih berlaku. Karena
itu, secara yuridis formal, Kejaksaan RI telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan,
yakni 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni 19 Agustus 1945, pada rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan kejaksaan dalam struktur
negara RI, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Saat itu, Jaksa Agung RI adalah
Gatot Taroenamihardja.

Perubahan Undang-Undang
Sejak proklamasi kemerdekaan, tugas openbaar ministerie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap
pengadilan negeri menurut HIR dijalankan magistraat. Kata magistraat pada HIR juga diganti
dengan kata jaksa, sehingga jaksa menjadi penuntut umum pada pengadilan negeri.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus-menerus
seiring perputaran waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Kedudukan pemimpin, organisasi,
dan tata cara kerja kejaksaan juga mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan zaman
dan sistem katatanegaraan.
Pada 22 Juli 1960, rapat kabinet memutuskan bahwa kejaksaan menjadi departemen dan
keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 204/1960 tertanggal 1
Agustus 1960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Sejak itu pula, Kejaksaan RI dipisahkan dari
Departemen Kehakiman. Pemisahan tersebut dilatarbelakangi rencana kejaksaan mengusut kasus
yang melibatkan Menteri Kehakiman. Tanggal 22 Juli itu kemudian ditetapkan sebagai Hari
Bhakti Adhyaksa atau ulang tahun institusi Kejaksaan Agung RI.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama terjadi pada
masa kepemimpinan Jaksa Agung R. Goenawan. Perubahan tersebut berawal pada 30 Juni 1961,
saat pemerintah mengesahkan UU Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan RI. Setelah UU tersebut diberlakukan, kejaksaan keluar dari Departemen Kehakiman
dan berdiri sendiri sampai dengan sekarang.
UU Nomor 15 Tahun 1961 tersebut menyorongkan perubahan mendasar karena mengesahkan
kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (Pasal 1),
penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan menteri/jaksa agung (Pasal 5), dan
susunan organisasi diatur oleh keputusan presiden (keppres).
Pada masa Orde Baru, UU Nomor 15 Tahun 1961 diubah dan diganti dengan UU Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Perubahan mendasar pada susunan organisasi dan tata cara
institusi kejaksaan berlaku sebagaimana diatur melalui Keppres Nomor 55 Tahun 1991
tertanggal 20 November 1991. Saat itu, orang nomor satu di Kejaksaan Agung adalah Jaksa
Agung Singgih.

Bebas Pengaruh
Pada masa reformasi, ketika Kejaksaan RI di bawah kepemimpinan Jaksa Agung M.A.
Rachman, fungsi dan peran Kejaksaan RI makin dikuatkan melalui pemberlakuan UU Nomor 16
Tahun 2004 untuk menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1991. UU yang disahkan pada 26 Juli
2004 tersebut menyematkan eksistensi kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah ataupun pihak lain. Pasal 2 Ayat (2) UU tersebut menegaskan bahwa
kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka. Artinya, pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain. Ketentuan tersebut bertujuan melindungi
profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Sebelumnya, Ayat (1) pasal yang sama menegaskan, “Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.” Sebagai pengendali proses perkara, kejaksaan memiliki
kedudukan sentral dalam penegakan hukum. Sebab, hanya institusi kejaksaan yang dapat
menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti
yang sah menurut hukum acara pidana. Selain sebagai penyandang dominus litis, kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itu,
Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan
dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara dan pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan.
Khusus di bidang pidana, Pasal 30 UU itu mengatur tugas dan wewenang kejaksaan, yakni
menuntut; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; mengawasi pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan bersyarat; menyidik tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang; serta melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, dengan kuasa khusus, kejaksaan dapat bertindak di
dalam ataupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Di bidang
ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan
kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran
barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara, pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, serta penelitian dan
pengembangan hukum statistik kriminal.
Sementara, Pasal 31-nya menegaskan, kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk
menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang
layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Pasal 32 menetapkan bahwa
kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 33 mengatur bahwa kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal berikutnya, Pasal 34,
menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instalasi pemerintah yang lain.

Undang-Undang Tipikor
Pada masa reformasi pula, kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya sejumlah lembaga baru
untuk berbagi peran dan tanggung jawab. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggung jawab yang spesifik ini mestinya dipandang
positif sebagai mitra kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum
yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja
dialami kejaksaan, tapi juga Kepolisian RI dan badan-badan lain.
UU Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1971, dianggap kurang
bergigi, sehingga diganti dengan UU Nomor 31 Tahun 1999. UU tersebut mengatur pembuktian
terbalik bagi pelaku korupsi dan pemberlakuan sanksi yang lebih berat, termasuk hukuman mati.
Namun, belakangan, UU itu juga dipandang lemah dan menjadi penyebab lolosnya para koruptor
karena tidak adanya aturan peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan
polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan UU ini.
Maka, UU itu diganti dengan UU Nomor 30 Tahun 2002. Penjelasan UU tersebut menegaskan,
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini
terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar
biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang punya kewenangan luas, independen, dan
bebas dari kekuasaan mana pun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi
sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime.
Karena itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan tindak pidana
korupsi (pengadilan tipikor). Pengadilan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi. Sedangkan, penuntutannya diajukan KPK. Kehadiran KPK
menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
KPK membawahi empat bidang, yakni pencegahan, penindakan, informasi dan data, pengawasan
internal, serta pengaduan masyarakat. Bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan
penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari kepolisian dan kejaksaan. Khusus untuk
penuntutan, tenaganya adalah pejabat fungsional kejaksaan.

Dulu, Kejaksaan RI dan Mahkamah Agung masih berkantor di lokasi yang sama. Arsitektur
Gedung Bundar yang unik itu, kabarnya, lebih disebabkan ukuran tanah yang tidak terlalu luas.

Bangunan kecil di Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat, itu kini dikenal sebagai
Gedung Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
(Kemenkeu RI). Dulu, sebelum pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan, di gedung itulah, Kejaksaaan Agung RI pertama kali
berkantor.
Karena sama-sama berada di bawah Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Mahkamah
Agung (MA) memang pernah berkantor di lokasi yang sama, tapi di gedung yang berbeda.
Gedung MA dulu terletak di sebelah gedung Kementerian Keuangan sekarang. Di belakang
gedung MA, di sebelah Kementerian Keuangan sekarang dengan posisi menghadap Jalan Budi
Utomo, ada bangunan kecil berarsitektur kuno dan antik. Di gedung tua peninggalan zaman
Belanda itu, sekitar 20 jaksa bekerja pada masa tersebut.
Sejak 1968, gedung tua itu sudah tak dipergunakan sebagai kantor Kejaksaan Agung.
Departemen Kejaksaan di bawah kepemimpinan Menteri/Jaksa Agung Soegih Arto berpindah
kantor ke Jalan Sultan Hasanuddin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gedung yang
peletakan batu pertamanya dilakukan Jaksa Agung R. Goenawan, 10 November 1961, ini
diresmikan oleh Soegih Arto pada 22 Juli 1968.
Saat itu, kantor Kejaksaan Agung belum selengkap sekarang. Hanya terdapat satu gedung utama
yang menjadi tempat kerja Jaksa Agung RI dan jaksa-jaksa lain. Masih banyak lahan kosong di
sekitar gedung tersebut. Termasuk, lahan kosong yang kemudian menjadi lokasi pendirian
gedung dua sekolah menengah atas (SMA), yakni SMA 6 dan SMA 70. Kejaksaan Agung
memang mengizinkan pembangunan kedua SMA tersebut di lahan tersebut.
Setahun setelah peresmian gedung utama Kejaksaan Agung itu, 22 Juli 1969, patung R.
Soeprapto, Jaksa Agung RI periode 1951-1959 sekaligus Bapak Kejaksaan RI, diresmikan.
Patung tersebut diletakkan di depan halaman gedung utama itu.
Pembangunan gedung-gedung lain di lingkungan kantor Kejaksaan Agung dilakukan secara
bertahap. Misalnya, gedung bidang Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), gedung bagian
rumah tangga, dan gedung poliklinik di belakang gedung utama.

Gedung Bundar
Pada era kepemimpinan Jaksa Agung Ismail Saleh, kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum (Jampidum) yang terletak di belakang gadung Jamwas mulai dibangun. Pembangunan
kantor Jampidum disusul dengan pembangunan Gedung Bundar yang kemudian difungsikan
sebagai kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Gedung Bundar dibangun
di sisi kanan lapangan Kejaksaan Agung.
Sebelum pembangunan Gedung Bundar rampung, Jampidsus sementara berkantor di sebuah
rumah di Jalan Adityawarman No. 6, Kebayoran Baru. Pembangunan gedung berbentuk unik itu,
kabarnya, lebih disebabkan ukuran tanah yang tidak terlalu luas.
Setelah pembangunan selesai, Jaksa Agung Hari Soeharto meresmikan pemakaian Gedung
Bundar itu dengan nama Graha Andhika Anuwika, yang berarti gedung nan indah tempat
pemeriksaan dan penyelidikan. Peresmiannya digelar pada Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-24, 22
Juli 1984.
Pada hari yang sama, Hari Soeharto meresmikan prasasti di depan kantor Pusat Pendidikan dan
Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan Agung di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Awalnya, di
Pusdiklat hanya ada tiga barak kecil. Pembangunan fasiltas-fasilitas lain dilakukan bertahap
hingga menjadi seperti sekarang.
Jamdatun
Sekitar tahun 1990, di bagian samping gedung Jampidum dibangun Rumah Tahanan (Rutan)
Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Kemudian, dibangun pula sejumlah jembatan penyambung
yang menghubungkan Jamwas, bagian rumah tangga, poliklinik, dan Jampidum.
Di belakang gedung Jamwas dibangun kantor Jamdatun. Berseberangan dengan lapangan
Kejaksaan Agung, dahulu berdiri masjid yang sekarang dipugar menjadi gedung Pusat Data
Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi. Di sebelahnya berdiri gedung Pusat Penyuluhan
Hukum yang sekarang menjadi Pusat Penerangan Hukum.
Bangunan masjid yang sebelumnya berada di belakang lapangan Kejaksaan Agung dipindahkan
ke sebelah rutan dengan nama Masjid Baitul Adli pada masa kepemimpinan Jaksa Agung Andi
Muhammad Ghalib. Pembangunan masjid tersebut tidak menggunakan dana anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), tapi dari sumbangan masyarakat.

Di Luar Kawasan
Sejumlah pembangunan fisik juga dilakukan di luar kawasan Kejaksaan Agung di Jalan Sultan
Hasanuddin No. 1, Kebayoran Baru. Misalnya, Jaksa Agung Singgih membangun Pusara
Adhyaksa di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di atas lahan seluas 10.000 meter persegi.
Pusara tersebut diperuntukkan sebagai tempat pemakaman para jaksa, pegawai kejaksaan, dan
pensiunan kejaksaan beserta keluarga yang meninggal dunia. Singgih meresmikannya pada 19
Juli 1997.
Pada 13 Desember 2010, Jaksa Agung Hendarman Supandji memulai pembangunan Adhyaksa
Loka di Ceger, Jakarta Timur, di atas lahan seluas 79.656 meter persegi. Pembangunannya
rampung pada akhir 2012. Di sana terdapat sejumlah fasilitas, seperti pusat pendidikan
pembentukan jaksa yang dilengkapi asrama, tempat peribadatan, sport center, Plaza Adhyaksa,
Monumen Nurani Adhyaksa, rumah sakit, Puri Adhyaksa beserta auditorium, disaster recovery
center,dan hutan kota Wana Adhyaksa.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif
pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum
(undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya
tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi
untuk mengambil tindakan.

Anda mungkin juga menyukai