Anda di halaman 1dari 3

Peri dan Hutan Berkabut

Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali
bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan.
Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian
dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah
tersesat.
Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut
itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue, permen, coklat,
dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah
pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah
berkabut itu. Namun ia takut.
Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati
bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia mengarahkan
pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. Hei! Siapa
pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku, teriak Sheila penasaran.
Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak
tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya ada
sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka menghampiri Sheila. Anak kecil
pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu
bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.
Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka
saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, Pio, Plea, Plop. Mengapa
ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian
tinggal di hutan sebelah mana? tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga
peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya diketahui
para peri.
Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak
seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri penjaga
daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika ada tamu
yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat, jelas Pio, Plea, Plop.
Sheila terkagum-kagum mendengarnya. Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu? tanya
Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. Baiklah. Kami akan mengusahakannya, kata
mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila
membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh
ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang
masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus pada Sheila. Dengan
kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak
sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama. Dengan
bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di sana rumah tampak
mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang
berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacammacam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga Semua
tampak riang gembira.
Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui
Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan memberi tahu ratu
peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak
peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar
makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
Tiba-tiba ratu peri datang. Siapa itu? tanyanya penuh selidik. Ratu, dia adalah teman hamba dari
hutan utara, jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu peri

memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi
dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga
palsunya copot. Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah.
Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya? teriaknya mengelegar. Pio,
Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. Kami, Ratu, jawab mereka gugup. Ini pelanggaran.
Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,
teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. Mereka
tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari. Kalau begitu, kau
harus dihukum menggantikan mereka! gelegar ratu peri.
Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah
dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. Keluarlah! Kau lulus ujian, kata ratu peri. Ternyata
kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya
bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila
tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat mengingatnya di dalam
mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.

Ucapan Ajaib dari Peri


Dahulu, ada seorang janda yang memiliki dua anak perempuan. Anak yang sulung angkuh dan pemarah seperti
ibunya, sedangkan yang bungsu manis dan lemah lembut.
Sang ibu sangat memanjakan anaksulung nya yang memiliki sifat yang mirip dengannya, dan memperlakukan si
bungsu dengan sangat buruk. Si bungsu disuruhnya melakukan hamper semua pekerjaan di rumah. Salah satu dari
tugas si bungsu yang malang adalah berjalan kaki 1 kilometer jauhnya ke sebuah mata air dan membawa pulang
air dalam sebuah ember besar.
Pada suatu hari saat si bungsu sedang mengambil air di mata air, seorang wanita tua datang dan meminta air
untuk minum.
Tunggu sebentar, akan kuambilkan air yang bersih untuk Ibu, kata si bungsu kepada wanita tua itu. Diambilnya
air yang paling jernih dan bersih, lalu diberikannya kepada wanita tua itu dengan menggunakan teko air agar dapat
dengan mudah diminum.
Wanita tua yang sebenarnya adalah seorang peri itu berkata, Kamu sangat sopan dan suka menolong, jadi akan
kuberikan keajaiban untukmu. Setiap kata yang kamu ucapkan akan mengeluarkan sekuntum bunga, batu permata,
dan mutiara dari mulutmu.
Si bungsu tidak mengerti maksud wanita tua itu. Ia hanya tersenyum lalu berpamitan dan berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, ibunya memarahinya karena terlalu lama membawakan air. Si bungsu meminta maaf
kepada ibunya dan menceritakan kejadian yang dia alami, bahwa ia menolong seorang wanita tua yang kemudian
memberinya keajaiban. Selama si bungsu bercerita, bunga-bunga, batu permata dan mutiara terus berjatuhan
keluar dari mulutnya.
Kalau begitu, aku harus menyuruh kakakmu pergi kesana. Kata sang ibu. Lalu disuruhnya si sulung untuk pergi ke
mata air dan apabila bertemu dengan seorang wanita tua, disuruhnya si sulung untuk bersikap baik dan
menolongnya.
Si sulung yang malas tidak mau pergi berjalan kaki sejauh itu. Namun dengan tegas, ibunya menyuruhnya pergi,
Pergi kesana sekarang juga!!! sambil menyelipkan wadah air dari perak ke dalam tas si sulung.
Sambil menggerutu si sulung berjalan menuju mata air. Saat tiba disana, ia berjumpa dengan wanita tua itu. Tapi
kali ini wanita tua itu berpakaian indah bagaikan seorang ratu. Lalu, wanita tua itu meminta minum kepada si
sulung.
Apa kamu kira aku datang sejauh ini hanya untuk memberimu minum? Dan jangan pikir kamu bisa minum dari
wadah air perakku. Kalau mau minum ambil saja sendiri di mata air itu! kata si sulung kepada wanita tua itu.
Karena sikapnya yang kasar, wanita tua yang sebenarnya seorang peri itu mengutuknya. Untuk setiap kata yang
kamu ucapkan, seekor katak atau ular akan berjatuhan keluar dari mulutmu!
Saat tiba di rumah, si sulung menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya. Saat bercerita, beberapa ekor ular
dan katak berjatuhan keluar dari mulutnya.

Astaga!, teriak ibunya jijik. Ini semua gara-gara adikmu. Di mana dia?
Sang ibu lalu pergi mencari si bungsu. Karena ketakutan, si bungsu lalu lari dan bersembunyi di hutan.
Seorang Pangeran yang sedang berburu terkejut melihat seorang gadis yang sedang menangis sendirian di hutan.
Ketika Pangeran itu bertanya, dengan tersedu-sedu si bungsu menceritakan apa yang terjadi. Saat bercerita,
bunga-bunga, mutiara serta batu permata pun berjatuhan dari mulutnya.
Pangeran jatuh hati kepada gadis yang baik itu. Dan Pangeran juga tahu ayahnya tidak akan keberatan
mendapatkan seorang menantu yang baik seperti itu, apalagi dengan mutiara serta batu permata yang terus
dihasilkannya. Maka Pangeran pun membawa si bungsu ke istana, lalu mereka menikah dan hidup berbahagia.
Sementara itu di rumah, sikap si sulung menjadi semakin memuakkan, dan ia pun terus menerus mengeluarkan
katak serta ular dari mulutnya, sampai-sampai ibunya pun mengusirnya dari rumah.

Karena ia tidak tahu harus kemana dan tidak ada seorangpun yang mau menampungnya karena sifatnya yang
buruk, ditambah dengan katak-katak dan ular-ular yang terus keluar dari mulutnya, maka akhirnya ia pun tinggal
sendirian di tengah hutan.

Pulau Kakak-Beradik
Karena dianggap sudah cukup umur, Mina dan Lina dipanggil ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan
kakak-beradik itu.
Kalian sudah cukup dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga, kata sang ibu.
Kami mau dikawinkan dengan satu syarat, kata Mina dan Lina.
Apa syaratnya?
Karena kami kakak-beradik, suami kami juga harus kakak-beradik.
Sang ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak perkawinan. Menurut Mina dan Lina, perkawinan membuat orang
kehilangan segala sesuatu yang mereka cintai: orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung halaman.
Demikianlah, karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang menyunting Mina dan Lina, mereka tak kunjung menikah.
Waktu pun terus berlalu. Ibu Mina dan Lina meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya, gadis
kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu hari, sekelompok bajak laut menculik Lina. Pemimpin bajak laut itu ingin memperistri Lina. Lina menolak
dan meronta sekuat tenaga.
Penculikan itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin terpisah dari adiknya, Mina bertekad menyusul Lina. Dengan
perahu yang lebih kecil, Mina mengejar perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak dihiraukannya. Mina
terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba mendung datang. Tak lama kemudian hujan pun turun. Halilintar menggelegar, petir menyambar-nyambar.
Orang-orang berlarian ke rumah masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu penculik Lina, menelan
Lina, menelan Mina, menelan semuanya.
Ketika keadaan kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh dua pulau yang tiba-tiba muncul di kejauhan. Mereka
yakin, pulau itu adalah penjelmaan Mina dan Lina. Kedua pulau itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera dan
Sekijang Pelepah, tetapi kebanyakan orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.

Anda mungkin juga menyukai