Anda di halaman 1dari 9

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Rabu, 27 Maret 2019

Teknologi Bioindustri Golongan : P1


Dosen : Drs. Purwoko, M.Si
Asisten : Wiwit I F34150030
Christoper P F34150084

PRODUKSI BIOETANOL

Oleh:
Qismah Aunillah F34160011
Havis Muhammad R F34160019
Yusuf Fahrur R M F34160025

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat
mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus pemasok
energi nasional. Bioetanol dapat diperoleh dari fermentasi bahan-bahan yang
mengandung amilum, sukrosa, glukosa maupun serat. Etanol memiliki banyak
manfaat yaitu dapat dikonsumsi manusia sebagai bahan minuman beralkohol,
bahan baku farmasi dan kosmetika, dan bahan bakar alternatif. Etanol juga
dimanfaatkan sebagai bahan cita rasa, obat-obatan dan komponen anti beku.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar menjadi sangat penting.
Semakin sedikitnya sumber energi fosil yang ada di bumi dan semakin tingginya
pencemaran lingkungan menjadi faktor utama dibutuhkannya energi alternatif yang
lebih ramah lingkungan. Penggunaan bioetanol menjadi bahan bakar kendaraan
dapat menjadi sebuah alternatif yang aman karena sumbernya berasal dari
tumbuhan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Penggunaan etanol
sebagai bahan bakar dapat menurunkan ketergantungan pada minyak bumi yang
berasal dari luar negeri, mengurangi defisit perdagangan, menciptakan lapangan
kerja di daerah pedesaan, mengurangi polusi udara, dan mengurangi perubahan
iklim global akibat bertambahnya karbon dioksida.
Tidak seperti bensin, etanol adalah bahan bakar yang mengandung 35%
oksigen yang dapat mengurangi partikulat dan emisi NOx dari proses pembakaran.
Bahan baku bioetanol dapat terbagi menjadi 3 bagian yaitu : Bahan berpati, berupa
singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji sorgum, gandum,
kentang, ganyong, garut, umbi dahlia ; Bahan bergula, berupa molase (tetes tebu),
nira tebu, nira kelapa, nira batang sorgum manis, nira aren (enau), gewang, nira
lontar; dan bahan berselulosa, berupa limbah logging, limbah pertanian seperti
jerami padi, ampas tebu, janggel (tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang
pisang, serbuk gergaji (grajen). Bahan baku bioetanol harus mudah diperoleh dan
selalu tersedia sepanjang tahun dalam jumlah besar. Selain itu, substrat harus
mengandung gula sederhana yang cukup tinggi, yaitu glukosa, fruktosa, atau
sukrosa, sehingga dapat digunakan oleh Rhizopus oryzae, Zymomonas mobilis,
maupun Saccharomyces cerevisiae dalam tahap fermentasi. Di Indonesia, produksi
bioetanol sebagian besar menggunakan tetes tebu (molasses) yang merupakan hasil
samping dari produksi gula. Sehingga tidak akan mempengaruhi ketersediaan tebu.

Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses produksi bioetanol dari moleases serta mengetahui kualitas mutu dari
bioetanol yang diproduksi.

1
BAB II. METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah labu erlenmeyer, pH meter, gelas ukur, otoklaf,
lup inokulasi, leher angsa, spektrofotometer, sentrifugasi, dan oven. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah biakan Saccharomyces cerevisiae, air, molases,
larutan urea, dan asam sulfat.

Metode

Molases

Dicampur
Air (Perbandingan Molases 1 : 4 Air)
(P
(
Asam Sulfat pH diatur menjadi 4.5

Disterilisasi dalam otoklaf 121˚C Larutan Urea


selama 15 menit 1 g/L 50 mL

Inokulasi dengan biakan khamir


sebanyak 1 lup

Labu erlenmeyer ditutup dengan


leher angsa

Diinkubasi dalam suhu kamar

Diamati parameter
pengamatannya

Bioetanol

2
BAB III. PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Bioetanol merupakan salah satu energi alternatif pengganti bahan bakar


fosil. Bioetanol dapat diperoleh dari fermentasi bahan-bahan yang mengandung
amilum, sukrosa, glukosa maupun serat (Putro dan Ardhyani 2013). Penggunaan
bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan dapat menjadi sebuah alternatif yang
aman karena sumbernya berasal dari tumbuhan dan dapat mengurangi pencemaran
lingkungan. Penggunaan etanol sebagai bahan bakar dapat menurunkan
ketergantungan pada minyak bumi yang berasal dari luar negeri, mengurangi defisit
perdagangan, menciptakan lapangan kerja di daerah pedesaan, mengurangi polusi
udara, dan mengurangi perubahan iklim global akibat bertambahnya karbon
dioksida.
Bahan baku bioetanol dapat terbagi menjadi 3 bagian yaitu : Bahan berpati,
berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji sorgum,
gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia ; Bahan bergula, berupa molase
(tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang sorgum manis, nira aren (enau),
gewang, nira lontar; dan bahan berselulosa, berupa limbah logging, limbah
pertanian seperti jerami padi, ampas tebu, janggel (tongkol) jagung, onggok (limbah
tapioka), batang pisang, serbuk gergaji (grajen). Bahan baku bioetanol harus mudah
diperoleh dan selalu tersedia sepanjang tahun dalam jumlah besar. Selain itu,
substrat harus mengandung gula sederhana yang cukup tinggi, yaitu glukosa,
fruktosa, atau sukrosa, sehingga dapat digunakan oleh Rhizopus oryzae,
Zymomonas mobilis, maupun Saccharomyces cerevisiae dalam tahap fermentasi.
Di Indonesia, produksi bioetanol sebagian besar menggunakan tetes tebu
(molasses) yang merupakan hasil samping dari produksi gula. Sehingga tidak akan
mempengaruhi ketersediaan tebu.
Pembuatan etanol dengan bahan baku tetes memerlukan tahap penyiapan
terlebih dahulu. Hal ini meliputi sterilisasi dan penyiapan ragi. Etanol hasil proses
fermentasi mempunyai konsentrasi sekitar 8-12% (b/b). Ragi setelah digunakan
dapat juga didaur-ulang atau langsung dibuang. Tetes yang berasal dari pabrik gula
keadaannya masih pekat dan mengandung banyak kotoran sehingga sangat sulit
dibersihkan. Oleh karena itu, sebelum tetes ini digunakan maka tetes perlu diencerkan
terlebih dahulu. Kemudian fermentasi dilakukan dalam fermentor yang dapat
berbentuk tangki berpengaduk secara sinambung atau menara. Proses fermentasi
dilakukan dengan metode curah atau sinambung. Fermentasi pembuatan etanol
merupakan proses metabolisme anaerob. Reaksi yang terjadi secara keseluruhan
pada kondisi anaerob mengikuti persamaan Gay-Lussac berikut ini:

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 + energi

Artinya setiap 1 gram glukosa menghasilkan 0,51 gram etanol. Hasil


samping yang terbentuk dari proses fermentasi antara lain asetaldehid (sebagian

3
kecil eter) dan minyak fusel yang merupakan campuran senyawa alkohol tingkat
tinggi dengan komposisi tergantung bahan baku (Jutono et al 1972).
Fermentasi yang dilakukan dalam pembuatan bioetanol akan menghasilkan
gas CO2 sebagai hasil samping. Gas CO2 akan bertambah seiring berjalannya proses
fermentasi dan akan menghambat aktivitas dari Saccharomyces cereviseae (Juwita
2012). Oleh karena itu, gas CO2 harus dialirkan ke luar. Untuk menyalurkan gas
CO2, maka digunakanlah leher angsa yang dipasang di atas fermentor. Selain fungsi
tersebut menurut Muchtar (2011), leher angsa berfungsi untuk mencegah udara dari
luar agar tidak masuk ke dalam tabung yang dapat menyebabkan kekosongan di
dalam tabung. Leher angsa tersebut didesain sehingga dapat menampung air netral
dan dipasang kapas untuk menghambat mikroba pengkontaminan dari luar.
Asam sulfat merupakan komponen utama hujan asam yang terjadi karena
oksidasi sulfur dioksida di atmosfer karena keberadaan air (oksidasi asam sulfit).
Reaksi asam sulfat dengan air dapat menimbulkan pembentukan ion hidronium
yang mengakibatkan terjadi reaksi eksoterm sehingga temperatur larutan menjadi
meningkat. Selain dengan air, asam sulfat juga dapat bereaksi dengan kebanyakan
basa dan menghasilkan garam sulfat. Asam sulfat juga digunakan dalam pembuatan
bioetanol. Asam sulfat ini berfungsi untuk mencegah masuknya gas oksigen dan
kontaminasi bakteri dari lingkungan (Muchtar 2011).
Salah satu permasalahan utama pada proses pembuatan bioetanol adalah
proses pemisahan air dengan etanol untuk mendapatkan etanol kering (99,5%). Hal
ini karena campuran etanol air akan membentuk azeotrop pada 96% etanol,
sehingga sulit untuk mendapatkan etanol kering (Villarul et al. 2017). Kadar etanol
yang diperoleh dari hasil fermentasi terdiri dari campuran etanol-air maupun
senyawa pengotor sehingga perlu dilakukan pemurnian untuk meningkatkan kadar
bioetanol hasil fermentasi.
Distilasi merupakan metode pemisahan komponen-komponen dari
campuran liquid pada fase liquid dan uap. Dasar pemisahan menggunakan distilasi
adalah bahwa komposisi uap berbeda dengan komposisi liquid dengan
kesetimbangan pada titik didihnya. Pada proses distilasi ini, akan dihasilkan etanol
dengan tingkat kemurnian 90%. Walaupun dimurnikan dengan distilasi secara
terus-menerus, kadar etanol yang diperoleh tidak akan melebihi 90% volume. Oleh
karena itu, untuk memurnikan etanol, maka perlu dilakukan adsorpsi menggunakan
adsorben yang bertindak sebagai molecular sieve (Prihandana et al. 2007). Untuk
mendapatkan etanol dengan kadar 90% atau lebih, perlu dilakukan proses khusus
karena campuran etanolair memiliki sifat azeotrop yang menyebabkan kadar etanol
akan tetap berada pada titik tertentu meskipun suhu dan tekanan sistem diubah.
Adsorpsi merupakan pemisahan dimana molekul-molekul terdifusi dari bahan
fluida ke permukaan dari solid adsorben membentuk fase teradsorb. Biasanya
adsorber gas digunakan untuk memisahkan sejumlah komponen dari campuran gas.
Pemisahan dengan adsorpsi bergantung pada lebih mudahnya salah satu komponen
teradsorp daripada komponen lain. Akan tetapi, proses adsorpsi ini memiliki
kelemahan bahwa kapasitas adsorben untuk mengikat adsorbat terbatas. Namun,
adsorben dapat diregenerasi dan dikembalikan seperti kondisi semula. Molecular
sieve merupakan salah satu adsorber yang menggunakan zeolite (aluminosilicate
sintesis) (Retnaningtyas et al. 2017).
Banyak faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembuatan bioethanol
seperti pH, waktu fermentasi, gas yang terbentuk, suhu dan sebagainya. pH medium

4
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme dan pembentukan produk dalam proses fermentasi karena setiap
mikroorganisme mempunyai kisaran pH optimal. Semakin dalam waktu fermentasi
juga akan mempengaruhi jumlah etanol yang terbentuk dan semakin banyak juga
gas yang akan terbentuk. Menurut Azizah (2012) bahwa kisaran pertumbuhan
mikroba Saccharomyces cerevisiae yaitu pH 3,5-6,5 dan pada pH 4,5 adalah kondisi
pH yang maksimal dapat dicapai. Banyaknya gula sisa tergantung pada konsentrasi
etanol yang dihasilkan. Semakin besar gula yang dimanfaatkan oleh mikroba
(Saccharomyces cerevisiae) maka semakin tinggi pula konsentrasi etanol yang akan
dihasilkan dan semakin kecil gula yang dimanfaatkan oleh Saccharomyces
cerevisiae maka akan semakin rendah pula konsentrasi etanol yang dihasilkan. Hal
ini disebabkan gula yang terdapat pada substrat sudah mulai habis terkonversi
menjadi etanol dan sebagian digunakan sebagai sumber karbon (C) untuk proses
pertumbuhan mikroorganisme (Retno dan Nuri 2011).
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data pada waktu 0 jam
kadar alkohol sebesar 1 % dengan pH 3.9, kadar alkohol terus meningkat seiring
bertambahnya waktu inokulasi, kadar alkohol meningkat pada waktu 24 jam
menjadi 5 %, begitupun seterusnya data kadar alkohol yang didapatkan terus
meningkat seiring bertambahnya waktu hingg pada waktu 76 jam kadar alkohol
mencapai 8% dengan pH yang sama dari waktu 24 jam hingga waktu 76 jam yakni
4.0. Hasil pengamatan sudah sesuai literatur, sebab lamanya waktu fermentasi
merupakan salah satu kondisi yang mempengaruhi kadar bioetanol/alkohol. Seperti
halnya penilitian yang dilakukan oleh u et al. (2013) menunjukkan bahwa semakin
lama waktu fermentasi maka bioetanol yang dihasilkan akan semakin banyak. Ini
terlihat dari hasil penilitiannya dimana hari ke 6 dan hari ke 8 kadar bioetanol yang
dihasilkan semakin banyak.
Hal yang lain yang berpengaruh pada proses adalah pH, dalam penilitian
yang dilakukan oleh Minarni et al. (2013) terlihat bahwa pH akan mempengaruhi
hasil bioetanol yang dihasilkan, pH 4 merupakan pH yang optimum untuk
mendapatkan bioetanol(alkohol) yang tinggi yaitu sekitar 10%. Makin lama proses
fermentasi akan diikuti oleh kenaikan pH. Peningkatan pH lebih dari 4 akan
membuat kadar bioetanol yang dihasilkan akan menurun. Berdasarkan literatur
yang ada, maka hasil pengamatan yang dilakukan pada semua jam sudah sesuai
dengan literatur, sebab pH akan semakin meningkat seiring lamanya proses
fermentasi.
Proses fermentasi bioetanol tidak hanya menghasilkan etanol tetapi juga
hasil samping (by product) yang berupa gas CO2 yang akan meningkat seiring
dengan lama fermentasi. Semakin lama proses Produksi gas CO2 juga semakin
bertambah meskipun hasilnya tidak signifikan. Semakin lama proses fermentasi
maka gas CO2 yang terbentuk semakin banyak. Kondisi ini tidak baik utuk
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dan juga mempengaruhi proses fermentasi
bioetanol ( Datar dkk 2004).
Hasil pengamatan pada gula sisa yang telah dilakukan, menunjukan bahwa
kadar gula pada tiap perlakuan cenderung meurun. Berdasarkan dengan literatur,
pada proses fermentasi terjadi penurunan kadar gula akibat terurainya glukosa
menjadi etanol, pada konsentrasi gula tinggi tidak didapatkan hasil etanol yang
maksimal dikarenakan sel S. cerevisiae tidak dapat bertahan hidup (Sa’id 1990).

5
BAB IV PENUTUP

Simpulan
Proses pembuatan bioetanol dengan substrat molasses dan biakkan S.
cerevisiae dipengaruhi beberapa faktor, yaitu lamanya fermentasi dan pH. Semakin
lama proses fermentasi kadar etanol yang dihasilkan semakin besar. Biakkan S.
cerevisiae memiliki pH optimum untuk tumbuh yaitu pH 4.0 dan semakin lama
proses fermentasi berlangsung, pH semakin meningkat. Namun dalam praktikum
ini pH cenderung konstan.

Saran
Sebaiknya peralatan yang akan digunakan (incubator dan clean batch)
diperiksa dulu kondisinya sebelum dipakai. Kondisi alat ini juga akan
mempengaruhi proses fermentasi dan keakuratan hasil pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah et al. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, Dan
Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan
Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1(2): 72-77.
Bestari K, Sutrisno I, Sumiyati S. 2013. Pengaruh lama fermentasiterhadap kadar
bioetanol dari limbah kulit pisang kepok dan raja. Jurnal Teknik Lingkungan
vol 3, no 5. 54-60.
Datar M, Shenkman B, Cateni L, Huhnke R, Lewis. 2004. Fermentation Of
biomass-generated producer gas to ethanol. Biotechnology And
Bioengineering. 86(5):587–594.
Jutono et al. 1972. Dasar-Dasar Mikrobiologi (Untuk Perguruan Tinggi).
Yogyakarta (ID): UGM Press.
Juwita R. 2012. Studi Tentang Asam Sulfat terhadap Reaksi Bioetanol . Makassar
(ID): Universitas Hasanuddin
Minarni N, Ismuyanto B, Sutrisno. Pembuatan bioetanol dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae dari glukosa hasil hidrolisis biji durian (Durio
zhibetinus) . Jurnal Kimia. 1 (1): 36-42.
Muchtar J.2011. Pengertian terhadap fungsi leher angsa dengan proses fermentasi.
Yogyakarta (ID): Fakultas Teknobiologi: Universitas Atmajaya
Yogyakarta.
Putro ANH, Ardhyani SA. 2013. Proses pengambilan kembali bioethanol hasil
fermentasi dengan metode adsorpsi hidrophobik. Jurnal Teknologi Kimia
dan Industtri. 2(2) : 56-60.

6
Prihandana R, Noerwijan K, Adinurani G A, Setyaningsih D, Setiadi S, Hendroko
R. (2007). Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta(ID) :
Agromedia.
Retnaningtyas, Hidayat R R, Widiyastuti, Winardi A. 2017. Studi awal proses
fermentasi pada desain pabrik bioethanol dari molasses. Jurnal Teknik ITS.
6 (1): 123-126.
Retno D T, Nuri W. 2011. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang. Yogyakarta (ID):
UPN Veteran.
Sa’id, E. G. (1990). Teknologi Fermentasi. Jakarta (ID): CV. Rajawali.
Villarul T N, Chairul, Yenti S R. 2017. Pemurnian bioethanol hasil fermentasi nirah
nipah menggunakan proses destilasi-adsorpsi menggunakan adsorben CaO.
Jom FTEKNIK. 4 (2) : 1-6.

7
8

Anda mungkin juga menyukai