Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis/ 28 Maret 2019

Teknologi Bioindustri Golongan : P2


Dosen : Dr. Purwoko, S.TP,M.Si
Asisten :
1. Febriyanti Irawan (F34150044)
2. Muhammad Nasrullah (F34150144)

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA
(KULTIVASI CAIR DAN PADAT)

Disusun oleh
Rizki Stevanni F34160039
Rohmat Dwi Hastanto F34160047
Bening Pratiwi F34160070

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu produk penting dalam dunia pertanian adalah bioinsektisida.
Pada masa sekarang, para petani tidak begitu gelisah dengan hama serangga yang
menyerang tanaman pertanian mereka. Hal itu disebabkan telah banyak produk
hasil teknologi yang banyak beredar untuk membasmi hama serangga yang sering
disebut pestisida. Pestisida biologi saat ini banayak dipakai adalah jenis insektisisda
biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi
(mikroorganisme pengendali jamur)
Insektisida biologi dapat dibuat dari beberapa macam tumbuhan, hewan,
bahkan mikroorganisme. Insektisida yang dibuat dari mikroorganisme umumnya
termasuk dalam insektisida hayati karena mikroorganisme tersebut tdak diubah
dalam tubuh mikroorganisme tersebut terdapat substansi atau bahan aktif yang
dapat membunuh hama atau serangga sejenisnya apabila bahan aktif tersebut masuk
ke dalam tubuh hama atau serangga.
Insektisida mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertanian dan
perindustrian, khususnya untuk melindungi hasil pertanian. Meskipun demikian,
penggunaan insektisida yang tidak terbatas selama beberapa dekade telah
mengakibatkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan spesies non-target.
Selain itu, insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan
serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia yang
menyebabkan serangga target tetap hidup dan merusak hasil-hasil pertanian. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, maka bioinsektisida merupakan salah satu
alternatifnya.
Mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai bionsektisida yaitu bakteri
dan virus. Virus merupakan mikroorganisme yang memberi harapan sebagai
pemberantas hama atau pengendali hama. Virus hanya bekerja terhadap satu atau
beberapa spesies dan tidak merusak organism lain dalam lingkungannya. Namun
kendala dari pengembangan virus adalah harus dikembangkan pada inang yang
hidup, yang berarti harus memelihara spesies tersebut (Hadioetomo dan Ratna
1993).
Dari kendala pengembangan virus tersebut menimbulkan banyak insktisida
kimia yang diproduksi dan telah beredar di masyarakat. Namun penggunaan
insektisida kimia secara terus menerus untuk membasmi hama serangga dapat
menyebabkan hama serangga tersebut menjadi kebal (resisten), Tetapi dengan
insektisida bakteri yang dibuat secara bioteknologi maka problem resisten ini dapat
diatasi. Selain itu, insektisida bakteri ini tidak berbahaya terhadapa lingkungan.
Salah satu jenis bakteri yang digunakan untuk membuat insektisida adalah Bacillus
thuringiensis.

Tujuan
Praktikum bertujuan mengetahui produksi bioinsektisida dalam kultivasi
padat dan cair.
METODOLOGI
Alat dan Bahan
Pada praktikum kali ini alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator
goyang, labu erlenmayer, PH meter, spektrofotometer, petri dish, dan oven.
Sementara bahan yang digunakan adalah nutrient broth, Bacillus thuringiensis
aizawai, urea, MgSO4.7H20, FeSO4.7H20, Zn SO4.7H20, Mn SO4.7H20, dan
CaCO3.
Metode
1. Tahap Propagasi

Start

Nutrient Broth 50 ml.

Disterilkan pada otoklaf 121oC, 15 menit.

Bacillus thuringiensis diinokulasikan satu lup


secara aseptis.

Diinkubasi pada incubator goyang 150 rpm


selama 12 jam.

End
2. Tahap Fermentasi

Start

5 Media fermentasi 50 ml (yang


telah dipisahkan antara glukosa
dengan urea/mineral.

pH diatur menjadi 7.00 + 0.1 untuk masing-masing media.

Disterilkan pada otoklaf 121oC, 15 menit dan didinginkan.

Glukosa dan urea/mineral dicampurkan secara aseptis.

Sebelum inokulasi, diambil sebanyak 50 ml dan disimpan di


kulkas untuk blanko saat mengukur OD 660 nm.

Diinokulasi dengan hasil tahap propagasi sebanyak 5%.

Diinkubasi pada suhu kamar dengan agitasi 150 rpm.


Diambil sampel 0 sampai 4 hari.

End
3. Pengambil Sampel dan Pengamatan

a. pH

Start

Semua sampel.

Diukur pH dengan pH meter.

Nilai pH sampel.

End

b. OD 660 nm

Start

Semua sampel.

Diukur OD dengan spektrofotometer 660 nm.

Nilai OD sampel.

End
c. Biomassa Kering

Start

Semua sampel.

Disentrifugasi 13000 rpm, 15 menit.

Endapan diambil dan dikeringkan dalam wadah yang


telah diketahui bobotnya pada oven 50oC, 24 jam.

Filtrat hasil sentrifugasi digunakan untuk


pengukuran kadar gula sisa.

Nilai biomassa kering.

End
d. Viable Spore Count (VSC)

Start

Sampel 1 ml.

Diberi rejatan panas 70oC, 15 menit.

Dilakukan pengenceran berseri.

Diinokulasi 0.1 ml ke dalam media Nutrient agar


steril dalam petri dish.

Diinkubasi selama 24 hingga 48 jam.

Diamati dan dihitung jumlah koloni yang terbentuk.

Nilai VSC.

End
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
[Terlampir]
Pembahasan

Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan


mikroorganisme seperti bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp,
Metarrhizium sp, dan virus Spodotera litura nuclea polyhidrosis. Bioinsektisida
merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk
membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan
oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri,
dan jamur. Sifat insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan
lingkungan. Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh
bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida
mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman
karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi
(kekebalan) pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah
satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida
microbial (Behle 1999).
Keunggulan bioinsektisida menurut Behle (1999) yaitu spesifik terhadap
hama serangga, aman dan ramah lingkungan, dan tidak mengakibatkan residu pada
hasil pertanian dan tanah. Proses infeksi bakteri Bacillus thuringiensis pada hama
tanaman dimulai dengan larva ulat memakan tanaman yang telah mengandung
spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis. Lalu dalam beberapa menit kristal
protein berikatan dengan reseptor spesifik pada dinding usus dan ulat berhenti
makan. Beberapa menit kemudian dinding usus pecah sehingga spora dan bakteri
masuk ke dalam jaringan tubuh, toksin pun larut dalam darah, maka dalam 1-2 hari
ulat akan mati.
Bioinsektisida memiliki kelebihan dan kelemahan dibanding dengan
insektisida kimia. Kelebihan tersebut diantaranya aktifitas dengan spektrum luas,
tidak memberikan efek negatif pada vertebrata termasuk manusia serta tanaman,
mudah diproduksi, memiliki respon cepat terhadap serangga target, sifat relatif
stabil selama penyimpanan, dan sejauh ini belum dilaporkan adanya resistensi.
Sementara kelemahan bioinsektisida dibanding dengan insektisida kimia yaitu tidak
tahan terhadap sinar ultraviolet dan spora dan kristal harus termakan agar berefek
insektisida.
Cara produksi bioinsektisida terdiri dari media pertumbuhan, kondisi
kultivasi, dan pemanenan. Media merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Menurut Dulmage et al.
(1990) medium basal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam,
glukosa, dan asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan alanin dalam
konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus
thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk
sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi
bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis dengan fermentasi terendam adalah
glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak kedelai, dan molase
dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971).
Produksi bioinsektisida dapat dilakukan dengan kultivasi padat maupun
cair. Fermentasi yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif
bioinsektisida dengan menggunakan kultur Bacillus thuringiensis adalah
fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam
(submerged fermentation). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi
cair lebih disukai karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan
pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana. Selain
itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil
fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada kecenderungan
menggumpal.
Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup
pada fermentor. Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor
tangki berpengaduk karena merupakan jenis fermentor yang paling sederhana.
Fermentor ini digunakan untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi dan
berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim terimobilisasi
dengan aktivitas rendah. Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga
cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan
fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu
atau semi kontinyu (fed batch process). Bernhard dan Utz (1993) menyatakan
bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan
dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yang diharapkan adalah spora
dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage dan
Rhodes (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus
thuringiensis adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba
seperti pH, oksigen dan temperatur.
Kualitas dan kuantitas δ-endotoksin yang dihasilkan selama proses
fermentasi sangat dipengaruhi oleh metode produksinya. Menurut Bernhard dan
Utz (1993), jumlah δ-endotoksin yang dihasilkan setiap sel yang sedang
bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam kultur fermentasi
tersebut. Sedangkan menurut Luthy et al. (1992), konsentrasi yang ditetapkan untuk
produksi skala besar antara 5 x 109 sampai 1 x 1010 spora per ml. Kondisi
fermentasi Bacillus thuringiensis dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32oC,
pH awal medium kultur sekitar 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm dan dipanen pada
waktu inkubasi 24-48 jam (Vandekar & Dulmage 1982).
Pada saat pemanenan, bahan aktif insektisida Bacillus thuringiensis dipanen
dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-
proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan
menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung
pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu.
Kultivasi padat adalah proses yang menggunakan bahan tidak larut air untuk
pertumbuhan mikroba tanpa menggunakan air bebas. Pada proses produksi
bioinsektisida ini, digunakan media padat berupa onggok yang berguna sebagai
sumber karbon karena pada onggok masih mengandung pati yang berkisar 60 –
70% berat kering onggok. Onggok sendiri merupakan limbah padat yang berasal
dari proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka. Onggok merupakan limbah
utama hasil proses pengepresan. Onggok memiliki daya tahan yang relatif lama
pada saat keadaan kering dibandingkan pada saat keadaan basah. Hal ini
dikarenakan pada saat keadaan basah onggok mudah sekali ditumbuhi oleh kapang
dan terjadi pembusukan (Winarno 1985). Kultivasi substrat cair adalah proses yang
menggunakan bahan larut air untuk pertumbuhan mikroba dengan keberadaan air
bebas. Sedangkan, media cair yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida ini
adalah campuran dari glukosa, urea, MgSO4,FeSO4,ZnSO4,MnSO4, ,CaCO3.
Kandungan nutrisi tersebut menyebabkan substrat tersebut mempunyai potensi
sebagai media untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis (Silvina 2012).
Isu lingkungan dalam pengelolaan pertanian, memberikan dampak pada
upaya yang serius untuk memproduksi biopestisida hayati, sebagai pengganti
pestisida kimia sintetik yang saat ini digunakan. Pemanfaatan agensia mikrobia
pengendali hayati hama serangga, diakui sebagai cara yang tepat dan efektif di
berbagai negara dalam mengendalikan hama pertanian yang penting. Kendala
utama dalam upaya pemanfaatan mikroba pengendali hayati adalah pada
formulasinya. Bentuk dan formula produk untuk kebutuhan tiap negara, akan
berbeda-beda sesuai dengan sumber daya dukung yang ada. Apalagi untuk
kepentingan komersial, harus diupayakan dengan bahan yang semurahmurahnya,
namun layak guna dan layak jual di daerah setempat (Suwahyono dan Wahyudi
2008). Hingga tahun 2016 lalu produksi pestisida Indonesia masih tetap meningkat,
meski dalam dua tahun 2015 dan 2016 terjadi penurunan. Penurunan produksi
terjadi hampir pada semua jenis pestisida. Penurunan produksi tertinggi terjadi pada
tahun 2015 untuk jenis insektisida, dan herbisida. Sedangkan penurunan tahun 2016
tertinggi terjadi pada jenis fungisida dan pestisida jenis lainnya. Penurunan
produksi pestisida di Indonesia dalam periode 2015-2016 terutama disebabkan
karena permintaan pasar ekspor mengalami penurunan yang cukup signifikan
seiring dengan krisis ekonomi global. Sementara impornya relatif meningkat meski
tidak terlalu besar. Industri bioinsektisida cukup potensial untuk dikembangkan di
Indonesia (Purnawati dkk. 2015). Hal ini didukung oleh adanya galur lokal dan
bahan media tumbuh berbasis agroindustri yang melimpah dan murah.
Pengamatan yang dilakukan pada produksi bioinsektisida kultivai cair
berupa PH, biomassa kering, OD (Optical Density), dan VSC (Viable Spore Count).
Sementara pada kultivasi padat dilakukan pengamatan pada kadar air. Prinsip cara
uji derajat keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH meter adalah sebuah
metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen secara
potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter (SNI 2004). Untuk
mencatat optical density (OD) atau % transmitans digunakan galvanometer. Makin
besar intensitas cahaya artinya semakin sedikit jumlah sel dalam suspensi. Sebelum
digunakn alat tersebut harus dikalibrasi terlebih dahulu untu menetapkan 100% T.
Setelah dikalibarasi maka kekeruhan sampel biakn dapat dibaca dengan menaruh
tabung berisi biakan tersebut kedalm sampel alat tersebut. Melalui perhitungan,
nilai %T kemudian diubah dan dinyatakan sebagai nilai absorbans (A) atau rapat
optik (optical density atau OD). Prinsip biomassa kering yakni pada alat
sentrifugasi, dihasilkan endapan karena hasil dari perputaran dalam kecepatan
tinggi yang memisahkan berdasarkan massa jenis. Bobot hasil endapan sentrifugasi
yang telah dikeringkan per jumlah sampel semula dalam satuan g/L disebut
biomassa. Prinsip Viable Spore Count (VSC) untuk memperoleh jumlah spora
maka kultur bakteri Bacillus thuringiensis aizawai berada dalam media
pengembangbiakan pada masing-masing pengenceran 10-4 s.d 10-7dipanaskan
selama 30 menit pada suhu 60°C. Maksud pemanasan adalah untuk mematikan
kuman-kuman yang tidak berspora seperti Pseudomonas, Streptococcus dan
Staphylococcus. Dari masing-masing pengenceran formulasi cair B. thuringiensis,
sebanyak 0,1 ml dan ditaburkan ke dalam plat Petri. Kemudian ditambahkan agar
nutrien, diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30°C. Setelah itu dihitung jumlah
spora B.thuringiensis yang tumbuh pada plat petri (Hadioetomo dan Ratna 1993).
Prinsip penentuan kadar air dengan pengeringan oven adalah penguapan air yang
ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian dilakukan penimbangan
terhadap bahan hingga berat konstan yang mengindikasikan bahwa semua air yang
terkandung dalam bahan sudah teruapkan semua.
Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji pH menggunakan pH meter
baik pada media kultivasi padat ataupun cair. Hasil pembacaan pH yang didapatkan
untuk media kultivasi cair adalah 7,7 untuk semua kelompok, kecuali kelompok 1
yang mendapatkan hasil 8,6. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), pH merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan produk bioinsektisida. Hal ini
dikarenakan Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada kisaran standar pH 5.5-8.5
dan tumbuh optimal pada pada pH 6.5-7.5. Berdasarkan literatur tersebut dapat
dinyatakan bahwa hasil uji telah sesuai dengan literatur dimana pH 7,7 dan 8,6
termasuk kedalam rentang tumbuh dari bakteri tersebut. Untuk pH 8,6 masih bisa
ditolerir karena memiliki perbedaan 0.1. Walaupun secara keseluruhan bakteri tidak
mendapatkan pH optimum untuk pertumbuhannya, namun hasil uji menunjukan
medium yang kami sediakan dapat digunakan dengan baik karena memiliki pH
dalam kisaran standar.
Uji selanjutnya adalah uji biomassa. Menurut Gumbira (1987), semakin
lama produk terfermentasi maka akan terbentuk hasil biomassa yang banyak pula
hingga mulai memasuki tahap stasioner, dimana pertumbuhan mulai statis. Hasil
uji menunjukkan peningkatan biomassa terjadi pada hari ke 0 sampai hari ke 2
dengan nilai 0.02g, 0.04g, dan 0.29g. Sedangkan pada hari ke 3 terdapat penurunan
yang tidak wajar dengan nilai 0.01g. Pada hari ke 4 dan ke 5 didapatkan nilai 0.2
dan 0.19. Hasil uji menunjukkan kesesuaian dengan literatur dimana terjadi
peningkatan biomassa seiring lamanya waktu fermentasi yang terjadi pada hari ke
0 sampai hari ke 2. Hari ke 3 didapatkan hasil yang tidak wajar, hal ini dikarenakan
media yang digunakan mungkin terkontaminasi dengan bakteri lain sehingga
biomassanya menjadi tidak maksimal. Hari ke 4 dan ke 5 mulai memasuki fase
statis sehingga perbedaan nilai biomassanya menjadi tidak berbeda jauh karena
nutrisi pada media sudah mulai habis.
Uji yang berikutnya adalah penilaian Optical Density (OD) pada panjang
gelombang 660 nm. Menurut Gumbira (1987), nilai optical density tertinggi berada
pada jam ke-36 Sampai jam ke-48. Hasil uji menunjukkan nilai OD pada kelompok
6-1 secara berurutan dengan nilai 0.042, 0.195, 0.076, 0.091, 0.083, dan 0.080.
Hasil uji menunjukan kesesuaian dengan literatur dimana nilai OD tertinggi
didapatkan pada jam ke-48 dengan nilai 0.91. Nilai OD kelompok 5 dapat dikatakan
tidak sesuai karena memiliki nilai yang sangat tinggi dan memiliki rentang yang
jauh dari kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena kontaminasi dengan bakteri
lain sehingga sampel uji menjadi lebih keruh dari kelompok lainnya dan nilai OD
menjadi lebih tinggi.
Terakhir dilakukan pengujian untuk mencari nilai Viable Spore Count
(VSC) pada kultivasi cair. Menurut Mummigatti dan Raghunathan (1990), nilai
tertinggi spora terjadi pada hari ke 3 sampai hari ke 4. Hasil uji menunjukkan
kesesuaian, pada hari ke 4 didapatkan nilai tertinggi dengan nilai 111x103 dan nilai
tertinggi kedua pada hari ke 3 dengan nilai 76 x103. Sedangkan pada hari ke 1 pada
kelompok 5 didapatkan nilai VSC TBUD yang menandakan terjadinya kontaminasi
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan spora hingga mencapai TBUD.
Pengujian pada kultivasi padat adalah pengujian kadar air. Menurut
Maheswari (2005) jumlah air yang terkandung dalam substrat merupakan faktor
penting dalam media padat. Kadar air yang baik berkisar antara 35-80%. Kadar air
yang terlalu rendah menyebabkan aktivitas mikroba turun dan mikroba menjadi
dorman, sedangkan pada kadar air yang tinggi akan menghambat pergerakan udara
dalam substrat. Hasil uji menunjukkan pada kelompok 6 sampai kelompok 1 secara
berurutan memiliki nilai 81.03, 78.34, 74.97, 79.67, 81.79, dan 79.75. Hasil ini
menunjukkan kesesuaian dengan literatur dimana kadar air yang didapatkan masih
dalam kadar yang baik karena masih berada pada rentang 35-80%. Kadar air
kelompok 6 dan 2 berada pada nilai 81.03 dan 81.79 yang melebihi nilai kadar yang
baik yaitu dengan batas 80, namun karena perbedaannya sangat sedikit sehingga
kadar air pada kelompok 6 dan 2 masih dapat diterima.
PENUTUP
Simpulan
Bioinsektisida merupakan pestisida yang membunuh dan menghambat
organisme pengganggu tanaman seperti virus, bakteri, dan jamur. Bioinsektisida
bekerja spesifik sehingga hanya akan menyerang serangga yang menjadi sasaran.
Praktikum kali ini melakukan beberapa uji paramater, pH, OD (optical density),
biomassa, VSC (Viable Spore Count), dan kadar air. Uji pH dilakukan untuk
melihat kesiapan media, sementara uji OD, biomassa, dan VSC untuk melihat
perkembangan sel. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, uji pH telah sesuai
dengan literatur karena pH media berada dalam rentang 5.5-8.5. Pada pengujian
lainnya juga seperti uji OD, biomassa, VSC, telah didapatkan hasil yang sesuai
literatur. Namun, pada beberapa kelompok seperti kelompok 3 pada uji biomassa
dan kelompok 5 pada uji OD dan VSC didapatkan hasil yang tidak sesuai literatur
karena terjadi kontaminasi. Diharapkan penggunaan bioinsektisida dapat
mengurangi pemakaian insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian
bagi lingkungan.
Saran
Sebaiknya dalam melakukan penyiapan media kultivasi benar-benar
dilakukan secara aseptis agar tidak terjadi kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Behle. 1999. Makalah Formulations Forum ’99 Formulating Bionsecticides To
Improve Residual Activity. Illinois (UK): University Peoria.

Bernhard K, Utz R. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for


Experimental and Commercial Uses. London (UK): John Wiley & Sons
Chichester.

Dulmage HT, Rhodes RA. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media.


New York (US): Acad Press.

Dulmage HT, Correa JA, Morales GG. 1990. Potential of Improved Formulation of
Bt through Standardization and Cultivation Development. New Jersey
(US): Rutgers University Press.
Gumbira SE. 1987. Bioindustri. Jakarta (ID): Mediatama Sarana Perkasa.
Hadioetomo, Ratna S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Luthy R, Bowie JU, Eisenberg D. 1992. Assessment of protein models with three-
dimensional profiles. London (UK): Nature press.
Maheswari. 2006. Sifat Fisik Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) Hasil Fermentasi
Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum. Bogor (ID): IPB.

Purnawati R, Sunarti T C, Syamsu K, Rahayuningsih M. 2015. Produksi


Bioinsektisida oleh thuringiensis Menggunakan Kultivasi Media Padat.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol. 25 (3):205-214.

SNI 06-6989.11-2004. Air dan Air Limbah-Bagian 11: Cara Uji Derajat Keasaman
(pH) dengan Menggunakan Alat pH Meter[internet]. [diakses pada tanggal
14 April 2019]. Tersedia di:http://klh.solokkota.go.id/file/1412111737_sni
06-6989.11-2004.pdf
Silvina D. 2012. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk
Memproduksi Spora Bacillus Thuringiensis Serovar Israelensis Dan
Aplikasinya Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk. [Karya Tulis]. Denpasar
(ID): Universitas Udayana.
Suwahyono U, Wahyudi P. 2008. Produksi dan Formulasi Bioinsektisida dari
Propagul Aktif Jamur Beauveria bassiana. Jurnal Teknik Lingkungan . Vol.
9(1): 85-91.
Vandekar M, Dulmage HT. 1982. Guideliness for Production of
Bacillus thuringiensis H-14.Geneva (US): Special Programme for Research
and Training inTropical Disease.
Winarno F G. 1985. Monografi Limbah Pertanian. Jakarta (ID): Kantor Menteri
Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.

Anda mungkin juga menyukai