Anda di halaman 1dari 17

DRAF FINAL

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN
NOMOR : 3 TAHUN
TENTANG RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan hasil produksi yang


diusahakan oleh masyarakat, Pemerintah Daerah
berkewajiban menyediakan bibit, benih, dan bahan
lainnya yang berkaitan dengan proses produksi, yang
telah melewati proses pengujian mutu dan/atau proses
pemeriksaan;

b. bahwa disamping bibit dan benih, Pemerintah Daerah


juga dapat melayani permintaan masyarakat akan jenis-
jenis produksi usaha daerah sesuai kewenangan
pemerintah daerah;

c. bahwa produksi usaha daerah sebagaimana dimaksud


pada huruf a dan b adalah merupakan potensi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah;

d. bahwa penyediaan bibit, benih, dan bahan lainnya yang


berkaitan dengan proses produksi, yang telah melewati
proses pengujian mutu dan/atau proses pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 11 Tentang Retribusi Penjualan
Produksi Usaha Daerah sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan dinamika sosial ekonomi masyarakat;

e. sehubungan dengan huruf a, b, c, dan d, maka Peraturan


Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 1999
tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah perlu
ditinjau dan dicabut ;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, b, c, d dan e, perlu membentuk
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
2
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 47, Prp Tahun 1960 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara
dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2102 ) Juncto Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan mengubah
Undang-Undang Nomor 47, Prp Tahun 1960 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2687);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang


Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274);

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem


Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina


Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3482);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang


Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4048);

7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888);

8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang


Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara
3
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);

9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);

10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang


Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4411);

11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433);

12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);

13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang


Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983


tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3258);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997


tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3102);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001


tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik
4
Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4139);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005


tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4503);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005


tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4576);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005


tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang


Pengelolaan Barang Negara / Daerah ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang


Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4614);

22. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang


Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
Pemerintah, Laporan Pertanggung jawaban Daerah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4693);

23. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007


tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

24. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun


1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi
Daerah ;

25. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun


1997 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Retribusi
Daerah;
5
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
sebagai mana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;

27. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi


Selatan Nomor 6 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai
Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tahun 1987 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Nomor 50);

28. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor


13 Tahun 2006 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2006 Nomor 13, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 230);

29. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4


Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Daerah
(Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007
Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor 231);

30. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2


Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Pemerintah Pemerintah Daerah provinsi
Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

dan

GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

MEMUTUSKAN :

Mengingat : PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN


TENTANG RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA
DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan;

2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah


sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
6
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan;

4. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan;

5. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang


retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

6. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran


atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan;

7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang


merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap serta bentuk badan lainnya;

8. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan


oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial
karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta;

9. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah yang selanjutnya


dapat disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan;

10. Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah penjualan


produk yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah baik berupa
alat, barang, maupun komoditas yang dapat diperjualbelikan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;

11. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang


menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan
untuk melakukan pembayaran retribusi;

12. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari


penghimpunan data obyek dan subyek retribusi, penentuan
besarnya Retribusi yang terutang, sampai kegiatan penagihan
retribusi kepada Wajib retribusi, serta pengawasan
penyetorannya;

13. Pemungut adalah Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan


pada Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan pemungutan
atas Penjualan Produksi Usaha Daerah;

14. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya


disingkat SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang
menentukan besarnya pokok retribusi;
7

15. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya


disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan
retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau
denda;

16. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang


selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan
retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada
retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;

17. Bibit dan Benih adalah hasil dari reproduksi induk, atau
bagian tanaman dan ternak yang layak untuk
dikembangbiakkan;

18. Produk Olahan adalah produk yang dihasilkan melalui


proses pencampuran beberapa bahan untuk menghasilkan
produk baru yang berbeda dengan bahan asalnya;

19. Produk Spesifik adalah produk yang khusus dibuat


berdasarkan pesanan dan kebutuhan;

20. Penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah


adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang retribusi daerah
yang terjadi serta menemukan tersangkanya;

21. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih dan


bibit setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan
pengawasan pemasangan label serta memenuhi semua
persyaratan untuk diedarkan/digunakan;

22. Standarisasi adalah proses merumuskan, merevisi,


menetapkan, dan menerapkan standar, dilaksanakan secara
tertib dan kerja sama dengan semua pihak.

BAB II
NAMA, OBYEK DAN WAJIB RETRIBUSI

Pasal 2
Pungutan terhadap Penjualan Produksi Usaha Daerah disebut
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

Pasal 3
Obyek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah yang meliputi :
a. benih dan bibit di bidang Perikanan dan Kelautan, Perkebunan,
Kehutanan, Peternakan, Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura;
b. hasil-hasil di bidang Perikanan dan Kelautan, Perkebunan,
Kehutanan, Peternakan, Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura, Industri dan Pertambangan;
c. produk olahan; dan
d. produk spesifik.
8

Pasal 4
Wajib Retribusi adalah Orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembelian atas hasil produksi usaha daerah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

BAB III
GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 5
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah digolongkan sebagai
Retribusi Jasa Usaha.

BAB IV
PRINSIP PENETAPAN TARIF RETRIBUSI

Pasal 6
(1) Prinsip dan Sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya
tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan atas tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Penetapan struktur dan besarnya tarif memperhitungkan
biaya produksi dan kemampuan masyarakat.

BAB V
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 7

(1) Struktur tarif retribusi digolongkan berdasarkan hasil


standarisasi berupa jenis, kelas, dan satuan ukuran hasil
produksi usaha daerah yang dijual, sedangkan produksi
usaha daerah berupa benih dan bibit tanaman yang
bersertifikat.
(2) Besarnya tarif ditetapkan berdasarkan tarif pasar yang
berlaku di Wilayah Daerah atau di tempat lain dimana obyek
retribusi itu berada.
(3) Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan Peraturan Daerah ini.
(4) Struktur dan besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat ditinjau kembali pada waktu tertentu
untuk dilakukan penyesuaian sesuai harga pasar yang
berlaku.

BAB VI
WILAYAH PEMUNGUTAN DAN
SAAT RETRIBUSI TERUTANG

Pasal 8
Pemungutan retribusi terhadap penjualan produk hasil usaha
daerah dilakukan dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Pasal 9
9
(1) Retribusi terutang dipungut oleh masing-masing Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melakukan penjualan
produksi usaha daerah.
(2) Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya
SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

BAB VII
CARA PENETAPAN RETRIBUSI

Pasal 10
(1) Besarnya retribusi yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa.
(2) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung berdasarkan jenis dan jumlah hasil produksi
yang dijual.
(3) Retribusi ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(4) Bentuk, isi dan tatacara penerbitan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

BAB VIII
CARA PEMUNGUTAN
Pasal 11
(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
(2) Retribusi dipungut berdasarkan jumlah ketetapan dalam
SKRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2).
(3) Pemungutan retribusi dilakukan oleh petugas pemungut
yang penunjukannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.

BAB IX
PEMBAYARAN DAN PENYETORAN RETRIBUSI
Pasal 12
(1) Pembayaran retribusi yang terutang harus dilakukan secara
tunai dan lunas.
(2) Pembayaran dilakukan di Kas Daerah atau ditempat
pelayanan dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(3) Setiap pembayaran Retribusi diberikan tanda bukti
pembayaran retribusi dan dicatat dalam buku penerimaan
retribusi daerah.

Pasal 13
(1) Dalam hal pembayaran Retribusi dilakukan ditempat
pelayanan, maka seluruh hasil penerimaan retribusi harus
disetor di Kas Daerah paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak
saat diterimanya pembayaran retribusi, atau dalam waktu
yang ditentukan oleh Gubernur.
(2) Tata cara pembayaran dan penyetoran retribusi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.

BAB X
TATA CARA PENAGIHAN
10
Pasal 14
(1) Tindakan penagihan dilakukan terhadap Wajib Retribusi pada
saat terjadi transaksi penjualan produksi usaha daerah
berlangsung dengan menggunakan STRD .
(2) Bentuk dan isi STRD, serta tata cara penagihan lebih lanjut
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

BAB XI
KEBERATAN

Pasal 15
(1) Wajib retribusi hanya dapat mengajukan keberatan atas
suatu SKRD atau STRD kepada Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis disertai alasan-alasan
yang jelas, dan dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung
yang dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan
retribusi.
(3) Keberatan disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
diterimanya SKRD atau STRD oleh wajib retribusi, kecuali
apabila yang bersangkutan dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhinya karena
keadaan yang di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat
keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.

Pasal 16
(1) Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima, Gubernur harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Gubernur atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah
besarnya retribusi yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini telah lewat dan Gubernur tidak memberikan suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.

BAB XII
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 17
(1) Apabila wajib retribusi tidak membayar tepat waktu, atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi
yang terutang atau kurang dibayar yang ditagih dengan
menggunakan STRD.
(2) Pembayaran atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disetor ke Kas Daerah.
11
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 18
(1) Dalam rangka pembinaan atas pelaksanaan pemungutan
retribusi, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pengelola
pendapatan daerah bersama SKPD terkait melakukan
kegiatan pembinaan teknis, monitoring, dan pengendalian.
(2) Dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan Peraturan
Daerah ini lembaga pengawasan fungsional melakukan
tindakan pengawasan dan pemeriksaan.
(3) Tata cara pemeriksaan di bidang retribusi daerah
berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 19

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan


Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang retribusi daerah dengan mengikuti tata cara
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan


mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana retribusi daerah;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi


atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
retribusi daerah;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-


dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
retribusi daerah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan


bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
12
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang


meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana pada huruf e;

h. memotret dan mengambil sidik jari seseorang yang


berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan


diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan dan segera melaporkannya


kepada penyidik Polri dan Penuntut Umum; dan

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran


penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah
menurut hukum yang bertanggung jawab.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 20
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya
sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi terutang.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pelanggaran.

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 1999 tentang Retribusi
Penjualan Produksi Usaha Daerah beserta peraturan
pelaksanannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 22
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dengan
Peraturan Gubernur.

Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
13
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Ditetapkan di Makassar
pada tanggal

GUBERNUR SULAWESI SELATAN

Dr. H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH,


Msi, MH

Diundangkan di Makassar
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI


SULAWESI SELATAN,

H. A. M U A L L I M, SH, MSi

(LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 3 )

PENJELASAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

NOMOR 3 TAHUN 2008

TENTANG

RETRIBUSI PENJUALAN PRODUKSI USAHA DAERAH


14

I. PENJELASAN UMUM

Untuk melaksanakan amanah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, dimana salah satu pungutan Retribusi
Daerah yang menjadi kewenangan Provinsi adalah Retribusi Penjualan Produksi
Usaha Daerah yang digolongkan kedalam jenis Retribusi Jasa Usaha. Untuk
teknis pelaksanaan secara umum akan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.

Potensi dari Retribusi ini sangat besar sehingga untuk meningkatkan


produksi daerah diperlukan pengaturan produksi apa saja yang dihasilkan
Pemerintah Daerah guna memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada
masyarakat, sehingga Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Disamping itu, Pemerintah Daerah
berhak pula untuk mendapatkan keuntungan yang layak sebagaimana yang
diperoleh oleh pihak non Pemerintah yang bergerak dibidang yang sama.

Sebagai konsekuensi dari adanya pungutan retribusi ini, Pemerintah


Daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih baik, lebih
profesional, dan mampu bersaing dengan pihak lain yang bergerak dibidang
yang sama.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 : Cukup jelas.

Pasal 2 : Cukup jelas.

Pasal 3 :
a. cukup jelas;
b. cukup jelas;
c. cukup jelas
d. Produk spesifik adalah produk yang khusus dibuat
berdasarkan pesanan dan kebutuhan;

Pasal 4 : Cukup jelas.

Pasal 5 : Cukup jelas.

Pasal 6 :
Ayat (1) : Yang dimaksud keuntungan yang layak adalah sebagaimana
keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta
sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada
harga pasar.r.
Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 7 :
Ayat (1) : Produksi Usaha Daerah yang distandarisasi adalah seluruh
usaha produksi daerah yang berasal dari Perikanan,
Perkebunan, Kehutanan, Pertanian Tanaman Pangan,
Hortikultura, serta yang berupa bibit dari peternakan.
15
Produksi Usaha Daerah yang disertifikasi adalah benih dan bibit
Perikanan, Perkebunan, Kehutanan, Pertanian Tanaman Pangan
dan Hortikultura;
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.
Ayat (4) : Cukup jelas.

Pasal 8 : Cukup jelas.

Pasal 9 :
Ayat (1) : Yang dimaksud Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Satuan
Kerja Perangkat Daerah dilingkungan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan yang melakukan penjualan produksi usaha
daerah.
Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 10 :
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.
Ayat (4) : Cukup jelas

Pasal 11 :
Ayat (1) : Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah proses
kegiatan pemungutan retribusi yang meliputi pendataan,
penetapan besarnya Retribusi, pembayaran, penyetoran,
pelaporan, penagihan sampai dengan pengawasan dan
pembinaan tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
Namun dalam pengertian ini bukan berarti bahwa Pemerintah
Daerah tidak boleh bekerjasama dengan pihak ketiga. Dengan
sangat selektif dalam pemungutan retribusi, Pemerintah Daerah
dapat mengajak bekerjasama badan-badan tertentu yang
karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut
melaksanakan sebagian tugas pemungutan retribusi secara
lebih efisien.

Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat


dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan
penghitungan besarnya retribusi yang terutang, pengawasan
penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.

Pasal 12 :
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.

Pasal 13 :
16
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 14 :
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.

Pasal 15 :
Ayat (1) : Cukup jelas
Ayat (2) : Keberatan dilakukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Ayat (3) : Yang dimaksud keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu
keadaaan yang terjadi diluar kehendak/kekuasaan wajib
retribusi. Misalnya karena wajib retribusi sakit atau terkena
musibah bencana alam.
Ayat (4) : Cukup jelas
Ayat (5) : Cukup jelas.

Pasal 16 :
Ayat (1) : Ayat ini men-cerminkan adanya kepastian hukum bagi wajib
retribusi, bahwa dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak surat keberatan diterima harus sudah ada
keputusan.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.

Pasal 17 :
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas

Pasal 18 :
Ayat (1) : Cukup jelas.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas.

Pasal 19 :
Ayat (1) : Penyidik di bidang retribusi daerah adalah pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah yang di
angkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Penyidikan dibidang retribusi daerah dilaksanakan menurut
ketentuan yang diatur dalam ketentuan-ketentuan Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Cukup jelas
Pasal 20 : Cukup jelas.
17
Pasal 21 : Cukup jelas.
Pasal 22 : Cukup jelas.
Pasal 23 : Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 236

Anda mungkin juga menyukai