Anda di halaman 1dari 14

Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai

Anti-Malaria

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakognosi


Dosen Pengampu : Weka Sidha Bhagawan, M. Farm., Apt

Disusun oleh :
Nama : Hamidah Nur’aini Muslim
NIM : 17930027
Kelas : Farmasi A 2017

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupalan penyakit akut dan kronik yang mayoritas sering
menyerang masyarakat pada daerah tropis dan subtropis, seperti di Indonesia. Di
Indonesia sampai saat ini malaria masih termasuk masalah kesehatan masyarakat
yang cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan Bali seperti di Papua. Malaria
merupakan penyakit yang disebabkan oleh plasmodium yang dibawa oleh nyamuk
anopheles yang hidup pada beberapa tempat dengan berbagai kelembapan.
Nyamuk anopheles dapat berkembang biak pada beberapa kondisi air yang ada
dilingkungan kita.
Tanaman sambiloto (Andrographis Paniculata) adalah salah satu tanaman yang
digunakan sebagai obat tradisional. Bagian tanaman dipergunakan untuk pengobatan
akibat gigitan ular atau serangga, demam, disentri, rematik, tuberculosis, infeksi
pencernaan, dan lain-lain. Sambiloto juga dimanfaatkan sebagai anti radang, anti
inflamasi, anti piretik anti mikroba atau anti bakteri, anti sesak napas dan untuk
memperbaiki fungsi hati. Mengingat kandungan dan fungsi tanaman tersebut, saat ini
sambiloto banyak diteliti untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat modern,
diantaranya pemanfaatan sambiloto sebagai obat HIV dan anti kanker.
Perubahan gambaran morfologi parasit malaria, serta variasi galur (strain),
yang kemungkinan disebabkan oleh pemakaian obat antimalaria secara tidak tepat
(irasional), membuat masalah semakin sulit terpecahkan bila hanya mengandalkan
teknik diagnosis mikroskopis. Ditambah lagi rendahnya mutu mikroskop dan
pereaksi (reagen) serta kurang terlatihnya tenaga pemeriksa, menimbulkan
kendala dalam memeriksa parasit malaria secara mikroskopis yang selama ini
merupakan standar emas (gold standard) pemeriksaan laboratoris malaria.
Sehingga makalah ini akan membantu untuk meneliti bahwa tanaman Sambiloto
berpotensi untuk menjadi Fitofarmaka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
A. Definisi Malaria
Malaria adalah salah satu penyakit menular yang bersifat akut maupun kronis.
Terdiri dari kata “mal” dan “area” yang berarti udara yang busuk, diambil dari
kondisi yang terjadi yaitu suatu penyakit yang banyak diderita masyarakat yang
tinggal di sekitar rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit malaria
merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria, suatu protozoa darah
genus plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk anopheles betina yang terinfeksi
(Nugroho, 2000).

B. Penyebab Malaria
Penyebab malaria adalah parasit yang merupakan anggota genus plasmodium.
Penyakit malaria pada manusia umumnya disebabkan oleh 4 jenis plasmodium
yaitu Vivax, ovale, malariae dan falciparum, sedangkan plasmodium knowlesi
yang kebanyakan ditemukan pada kera atau orang utan kecil jumlahnya
ditemukan pada manusia (Kemenkes, 2011). Parasit plasmodium knowlesi selain
menyerang hewan mamalia seperti kera,monyet, dan orang utan, juga menyerang
hewan lain seperti reptil, hewan pengerat, dan burung.
Nyamuk yang menjadi penyebar dari parasit ini adalah nyamuk Anopheles
betina, yang mana nyamuk ini menjadi terinfeksi sebelumnya dengan menggigit
orang yang telah terinfeksi oleh parasit plasmodium. Nyamuk ini akan membawa
parasit ini dalam tubuhnya selama satu minggu sampai waktu makan selanjutnya,
yang mana nyamuk tersebut akan menggigit orang lain sekaligus menyuntikan
parasit plasmodium kedalam darah orang itu.
Penyakit malaria yang tinggal di dalam sel darah merah dapat juga ditularkan
melalui transfusi darah, jarum suntik yang telah terkontaminasi, atau transplantasi
organ. Penyakit malaria juga dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayinya. Dari
seluruh jenis plasmodium yang menyerang manusia, plasmodium vivax paling
sering ditemukan dalam kasus penyakit malaria di seluruh dunia, sementara
plasmodium falciparum paling sering ditemukan sebagai penyebab malaria akut
yang menyebabkan kematian di seluruh dunia dengan angka sekitar 90% dari total
kematian akibat penyakit malaria di seluruh dunia.

C. Gejala Malaria
1. Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi)
Meskipun disebut malaria ringan, sebenarnya gejala yang dirasakan
penderitanya cukup menyiksa. Gejala malaria yang utama yaitu: demam dan
menggigil, juga dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri
otot atau pegal-pegal. Gejala-gejala yang timbul dapat bervariasi tergantung daya
tahan tubuh penderita dan gejala spesifik dari mana parasit berasal. Gejala
malaria ini terdiri dari tiga stadium berurutan yang disebut trias malaria, yaitu
a) Stadium dingin (cold stage)
Berlangsung kurang kebih 15 menit sampai dengan 1 jam. Dimulai
dengan menggigil dan perasaan sangat dingin, gigi gemeretak, denyut nadi
cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik), kulit
kering dan terkadang disertai muntah.
b) Stadium demam (hot stage)
Berlangsung lebih dari 2 hingga 4 jam. Penderita merasa kepanasan
(fever). Muka merah, kulit kering, sakit kepala dan sering kali muntah.
Nadi menjadi kuat kembali, merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat
meningkat hingga 41oC atau lebih. Pada anak-anak, suhu tubuh yang
sangat tinggi dapat menimbulkan kejang-kejang.
c) Stadium berkeringat (sweating stage)
Berlangsung lebih dari 2 hingga 4 jam. Penderita berkeringat sangat
banyak. Suhu tubuh kembali turun, kadang-kadang sampai di bawah
normal. Setelah itu biasanya penderita beristirahat hingga tertidur. Setelah
bangun tidur penderita merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain sehingga
dapat kembali melakukan kegiatan sehari-hari.
2. Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi)
Penderita dikatakan menderita malaria berat bila di dalam darahnya
ditemukan parasit malaria melalui pemeriksaan laboratorium Sediaan Darah Tepi
atau Rapid Diagnostic Test (RDT) dan disertai memiliki satu atau beberapa
gejala/komplikasi berikut ini:
a) Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat (mulai dari koma sampai
penurunan kesadaran lebih ringan dengan manifestasi seperti: mengigau,
bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah laku berubah)
b) Keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
c) Kejang-kejang
d) Panas sangat tinggi
e) Mata atau tubuh kuning
f) Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang,
bibir kering, produksi air seni berkurang) Perdarahan hidung, gusi atau
saluran pencernaan
g) Nafas cepat atau sesak nafas

2.2 Fitofarmaka
A. Kategori Obat
1. Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang berdasarkan dari pengalaman empiris
secara turun temurun, dan telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya dari generasi
ke generasi. Bentuk obat umumnya disediakan dalam berbagai bentuk serbuk,
minuman, pil, cairan dari berbagai tanaman. Jamu umumnya terdiri dari 5-10
macam tumbuhan bahkan lebih, bentuk jamu tidak perlu pembuktian ilmiah
maupun klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris saja.

2. Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar adalah obat tradisional yang telah teruji berkhasiat
secara pra-klinis (terhadap hewan percobaan), lolos uji toksisitas akut maupun
kronis, terdiri dari bahan yang terstandar (seperti ekstrak yang memenuhi
parameter mutu), serta dibuat dengan cara higienis.

3. Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji
pra-klinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia), serta terbukti
aman melalui uji toksisitas, bahan baku terstandar, serta diproduksi secara
higienis, bermutu, sesuai dengan standar yang ditetapkan.

B. Pengertian Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis
bahan baku serta produk jadinya telah distandarisasi. Dengan uji klinik akan lebih
meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana
pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong menggunakan herbal karena
manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah (BPOM RI, 2005).

C. Kriteria Fitofarmaka (BPOM RI, 2005)


Berikut adalah kriteria-kriteria sebuah tanaman obat dapat berubah menjadi
fitofarmaka menurut BPOM RI (2005)
1. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan,
2. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik,
3. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi,
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

D. Proses Standardisasi Fitofarmaka


Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka menurut Depkes RI
(1985), yaitu :

1. Tahap Seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala
prioritas sebagai berikut:
a) Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
b) Jenis obat alami yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar
pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
c) Jenis obat alami yang diperkirakan dapat sebagai alternatif pengobatan
untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas
pengobatannya.

2. Tahap Biological Screening


Proses ini brtujuan untuk menyaring:
a) Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke
khasiat terapeutik (pra klinik in vivo)
b) Ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas
jika ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek
keracunan tersebut (pra klinik, in vivo)

3. Tahap Penelitian Farmakodinamik


Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem
biologis organ tubuh
a) Pra klinik, in vivo dan in vitro,
b) Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk
mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.

4. Tahap Pengujian Toksisitas Lanjut (multiple doses)


a) Toksisitas Subkronis
b) Toksisitas akut
c) Toksisitas khas/ khusus
5. Tahap Pengembangan Sediaan (formulasi)
Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan,
dan estetika untuk pemakaian pada manusia
a) Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
b) Teknologi farmasi tahap awal
c) Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
d) Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA

6. Tahap Uji Klinik Pada Manusia


Terdapat 4 fase pada tahap Uji Klinik pada Manusia yaitu :
a) Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat
b) Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
c) Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
d) Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek
samping yang tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik
fase 1-3.

2.3 Tanaman Sambiloto


A. Definisi Sambiloto
Sambiloto (Andrographis panuculata Ness.) dikenal sebagai “King of
Bitters” merupakan tanaman asli India dan Cina. Sambiloto termasuk dalam jenis
tumbuhan family Acanthaceae yang telah digunakan selama beberapa abad di
Asia dalam sistem pengobatan. Dalam buku resmi tanaman obat Indonesia, herba
sambiloto digunakan sebagai diuretika, anti malaria dan antipiretika. Saat ini
sambiloto telah ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan sebagai obat
fitofarmaka. Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai
sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam (Fauziah,
Mukhlisah, 2002).
B. Klasifikasi Sambiloto
Berikut ini adalah klasifikasi dari tanaman sambiloto:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Solanaceae
Familia : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Species : Andrographis paniculataNess.
(Depkes RI, 1989)

C. Kandungan Kimia
Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen
utamanya adalah andrographolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari
tanaman ini. Andrographolide sudah diisolasi dalam bentuk murni dan menunjuk-
kan berbagai aktivita farmakologi. Zat aktif herba ini dapat ditentukan dengan
metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography
[HPLC]. Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan, kandungan yang di-
jumpai pada tanaman sambiloto diantaranya diterpene lakton dan glikosidanya,
seperti andrographolide, deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-eoxyandro-
grapholide, dan neoandrographolide (Widyawati, Tri, 2007).
Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pada tanaman ini. Daun dan
percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid
dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin,
mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain komponen lakton dan
flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga terdapat komponen alkane, keton,
aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan damar. Di dalam
daun, kadar senyawa andrographolide sebesar 2,5-4,8% dari berat keringnya. Ada
juga yang mengatakan biasanya sambiloto distandarisasi dengan kandungan
andrographolide sebesar 4-6%. Senyawa kimia lain yang sudah diisolasi dari daun
yang juga pahit yaitu diterpenoid viz-deoxyandro-grapholide-19β-D-glucoside,
dan neo-andrographolide (Gembong, 1993).
D. Manfaat Sambiloto
Ekstra herba sambiloto telah diketahui mempunyai empat komponen aktif
yang bersifat anti-malaria dan telah dibuktikan terhadap Plasmodium berghei
secara in vivo pada binatang percobaan. Serta terhadap Plasmodium falciparum
secara in vitro. Inilah yang menjadi dasar bahwa ekstrak ini mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan parasit dan sebagai alasan untuk
melakukan uji klinik terhadap pasien malaria falciparum tanpa komplikasi. Dua
dari komponen Andrographis paniculata, yaitu neoandrografolida dan
deoxyandrografolida disebut yang paling efektif dari keempat komponen (Acang,
N, 2002).
BAB III
PEMBAHASAN
Sambiloto (Andrographis panuculata Ness.) dikenal sebagai “King of
Bitters” merupakan tanaman asli India dan Cina. Sambiloto termasuk dalam jenis
tumbuhan family Acanthaceae yang telah digunakan selama beberapa abad di
Asia dalam sistem pengobatan. Dalam buku resmi tanaman obat Indonesia, herba
sambiloto digunakan sebagai diuretika dan antipiretika. Saat ini sambiloto telah
ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan sebagai obat fitofarmaka.
Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai sampai dataran
tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam (Yusron, 2005).
Andrographis paniculata mengandung diterpene, laktone, dan flavanoid.
Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman, tetapi juga ditemukan pada bagian
daun. Bagian batang dan daun mengandung alkana, ketone dan aldehid. Meskipun
di awal diduga bahwa senyawa yang menimbulkan rasa pahit adalah senyawa
lakton andrographolide, lebih lanjut diketahui bahwa daun sambiloto
mengandung dua senyawa yang menimbulkan rasa pahit yakni andrographolide
dan senyawa yang disebut dengan kalmeghin. Empat senyawa lakton yang
ditemukan dalam daun sambiloto adalah deoxyandrographolide, andrographolide,
neoandrographolide dan 14-deoxy-12-didehydroandrographolide (Akbar, 2011).
Potensi andrographolide yang besar sebagai senyawa anti malaria harus
terus digali dan ditingkatkan. Sambiloto memiliki khasiat antara lain untuk
menyembuhkan gatal-gatal, keputihan, antipiretik, dan diuretik serta mengobati
beberapa penyakit degeneratif seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan
reumatik (Harti dkk, 1991).
Berdasarkan hasil yang didapatkan, Sambiloto memiliki kandungan alkaloid
andrographolide yang bermanfaat karena memiliki potensi sebagai anti
malariayang mampu menurunkan jumlah radikal bebas sebagai alternatif
pengobatan malaria, Penelitian ini dapat dikembangkan lagi sehingga tanaman
Sambiloto ini dapat berpotensi menjadi salah satu obat tradisional Fitofarmaka
yaitu suatu obat yang sudah diuji khasiatnya baik pra-klinis ( hewan percobaan )
dan klinis (manusia).
BAB IV
PENUTUP

Sambiloto memiliki kandungan alkaloid andrographolide yang bermanfaat


karena memiliki potensi sebagai anti malariayang mampu menurunkan jumlah
radikal bebas sebagai alternatif pengobatan malaria, Penelitian ini dapat
dikembangkan lagi sehingga tanaman Sambiloto ini dapat menjadi salah satu obat
tradisional Fitofarmaka yaitu suatu obat yang sudah diuji khasiatnya baik pra-
klinis ( hewan percobaan ) dan klinis (manusia).
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S., 2011,” Andrographis paniculata: A Review of Pharmacological


Activities and Clinical Effect”, Alternative Medicine Review, Vol 16 No
1:66-77

Acang, N. 2002. Kasus Malaria Resisten Klorokuinon di Bagian Penyakit Dalam


Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang. Majalah Kedokteran Indonesia (11)

BPOM RI., 2005a , Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985, Pemanfaatan Tanaman Obat,.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

Gembong Tjitrosoepomo. 1993. Taksonomi Umum. 1993. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press

Fauziah, Mukhlisah. 2002. Tanaman Obat Keluarga. Depok : PT. Penebar


Swadaya

Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia Edisi I-V. Jakarta :
Kementrian Kesehatan

Harti, S. S. Zuraina dan E.Sukarti, 1991. Survey Produsen Jamu Gendong


di Surabaya. Pusat Penelitian Obat Tradisional. Unika Widya Mandala :
Surabaya.

Nugroho. 2000. Keperawatan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika


Yusron, M., 2005, “ Dukungan Teknologi Budidaya Untuk Pengembangan
Sambiloto”, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Anda mungkin juga menyukai