Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ........................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 1
1.3. Manfaat Penulisan ...................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1. Definisi ....................................................................................................... 3
2.2. Etiologi ....................................................................................................... 3
2.3. Epidemiologi................................................................................................ 4
2.4. Gambaran Klinis .......................................................................................... 5
2.5. Diagnosis ..................................................................................................... 8
2.6. Diagnosis Banding ....................................................................................... 9
2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................... 9
2.8. Prognosis ..................................................................................................... 9
BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................................... 10
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh.
Gangguan ini merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen
utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi
tubuh-pikiran(body-mind).1 Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan
adanya kaitan dengan keluhan pasien. Gangguan ini meliputi: gangguan somatisasi,
gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, gangguan nyeri.1
Gangguan dismorfik tubuh mulai dikenal dan diberi nama dismorfofobia
sejak lebih dari 100 tahun yang lalu oleh Emil Kraepelin, yang menganggap
gangguan ini sebagai neurosis kompulsif. Pierre Janet menyebutnya obsession de
la honte du corpus (obsesi rasa malu akan tubuh). Freud menulis keadaan pada
diskripsi mengenai wolf-man yang peduli akan hidungnya secara berlebihan.
Meskipun dismorfofobia dikenali dan dipelajari secara luas di Eropah, tidak sampai
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders third edition (DSM-3)
di Indonesia 1980 bahwa dismorfofobia, sebagai contoh gangguan somatoform
khas, secara khusus disebutkan dalam kriteria diagnostik The Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition text revision (DSM-IV-TR),
kondisinya dikenal sebagai gangguan dismorfik tubuh, karena penerbit DSM
percaya bahwa istilah dismorphophobia secara tidak akurat menyiratkan adanya
perilaku pola penghindaran fobia dalam edisi kelima The Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders fifth edition (DSM-5), Kelainan tubuh dismorfik
termasuk dalam spektrum gangguan obsesif-kompulsif karena kesamaannya
dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD).2
Gangguan dismorfik tubuh merupakan pasien mempunyai perasaan
subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek penampilannya buruk padahal
penampilannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien
berkeyakinan kuat atau takut kalau dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan.
Rasa takut ini jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun
pasien yang khas dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.1
Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu perasaan merasa sedih atau
merusak karena membayangkan kecacatan atau sedikit kekurangan dalam
penampilan, telah dijelaskan selama lebih dari satu abad dan semakin dipelajari
selama beberapa dekade terakhir.2

1.2. Tujuan Makalah


Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, diagnosis,
diagnosis banding, terapi, dan prognosis gangguan dismorfik tubuh.
2. Sebagai tugas makalah untuk melengkapi kepaniteraan klinik di
Departemen Psikiatri.

1.3. Manfaat Pembuatan Makalah


Manfaat pembuatan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan
mengenai gangguan dismorfik tubuh.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan dismorfik tubuh merupakan pasien mempunyai perasaan
subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek penampilannya buruk padahal
penampilannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien
berkeyakinan kuat atau takut kalau dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan.
Rasa takut ini jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun
pasien yang khas dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.1
Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu perasaan merasa sedih atau
merusak karena membayangkan kecacatan atau sedikit kekurangan dalam
penampilan, telah dijelaskan selama lebih dari satu abad dan semakin dipelajari
selama beberapa dekade terakhir.2
Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu preokupasi dengan suatu cacat
tubuh yang dikhayalan (sebagai contoh tidak memiliki hidung) atau suatu
penonjolan distorsi dari cacat yang minimal atau kecil. 2 Untuk dapatnya masalah
tersebut dianggap sebagai suatu gangguan mental, permasalahan harus
menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien atau disertai dengan
gangguan dalam kehidupan pribadi, sosial dan pekerjaan pasien.2

2.2 Etiologi
Penyebab gangguan ini tidak diketahui. Komorbiditas yang tinggi dengan
gangguan yang depresif, riwayat keluarga dengan gangguan mood dan gangguan
obsesif kompulsif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan,1 serta responsifitas
keadaan tersebut terhadap obat yang spesifik serotonin menunjukan bahwa
patofisiologi gangguan ini kemungkinan melibatkan serotonin dan dapat terkait
dengan gangguan jiwa lain.2
Konsep stereotipik mengenai kecantikan ditekankan pada keluarga tertentu
dan didalam budaya dapat mempengaruhi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
secara signifikan. Pada model psikodinamik, gangguan dismorfik tubuh dilihat
sebagai tindakan mementingkan konflik seksual atau emosional ke bagian tubuh
yang tidak berkaitan. Hubungan tersebut terjadi melalui mekanisme pertahanan
represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, proyeksi.2

2.3 Epidemiologi
Gangguan dismorfik tubuh merupakan keadaan yang sedikit dipelajari,
dikarenakan sebagian pasien lebih cenderung pergi ke dokter ahli penyakit kulit,
ahli penyakit dalam, atau ahli bedah plastik dibandingkan pergi ke dokter psikiatrik.
A. Prevalensi 1,2
Studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa
lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap
aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa memiliki
kekhawatiran tersebut, sedikitnya memiliki beberapa efek yang signifikan
terhadap perasaan dan fungsi mereka.
Studi epidemiologi telah melaporkan prevalensi titik 0,7% sampai 2,4% pada
populasi umum. Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan dismorfik tubuh
lebih sering terjadi daripada gangguan seperti skizofrenia atau anoreksia
nervosa. 3
B. Usia1,3
Awitan usia yang paling lazim ditemukan adalah antara usia 15 -30 tahun
(masa remaja dan dewasa muda).
Investigasi pada sampel siswa dewasa nonklinis telah menghasilkan tingkat
prevalensi yang lebih tinggi 2% sampai 13%. 3
C. Jenis Kelamin1,3
Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki. Pasien yang mengalami
gangguan ini cenderung tidak menikah.1 Terdapat dua studi berbasis populasi
terbesar menemukan prevalensi titik 2,5% wanita dan 2,2% laki-laki, dan 1,9%
perempuan dan 1,4% laki-laki.3 Jadi gangguan dismorfik tubuh mungkin agak
lebih umum pada wanita, tapi juga mempengaruhi banyak pria.3
Dua studi berbasis populasi yang dikutip sebelumnya menemukan bahwa
individu dengan gangguan ini cenderung tidak menikah dan lebih cenderung
bercerai.3

2.4 Gambaran Klinis


Bagian tubuh yang menjadi keprihatinan umumnya ketidaksempurnaan
wajah, terutama meliputi anggota tubuh tertentu (contohnya hidung). Kadang-
kadang, kekhawatiran ini bersifat samar dan sulit dimengerti seperti kekhawatiran
yang berlebihan terhadap dagu yang bergumpal.2

Gejala terkait yang wajib ditemukan mencakup gagasan atau waham rujukan
(biasanya mengenai orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh), baik
berkaca yang berlebihan maupun menghindari permukaan yang dapat memantul,
serta upaya menyembunyikan deformitas yang dianggap ( dengan tata rias atau
pakaian) efeknya pada kehidupan seseorang dapat signifikan, hampir semua pasien
dengan gangguan ini menghindari pajanan sosial serta pekerjaan.2

Bagian tubuh yang sering menjadi perhatian adalah rambut, buah dada, dan
genitalia. Varian lain terjadi pada pria adalah hasrat untuk membesarkan otot-otot
tubuhnya yang usaha tersebut sampai mengganggu kehidupan sehari-hari,
pekerjaan atau kesehatannya.2

Pengaruhnya terhadap kehidupan pasien sangat bermakna, seperti


penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Sepertiga pasien dengan gangguan ini
tak sanggup keluar rumah kerana khawatir diejek karena kecacatannya, dan
seperlimanya berusaha untuk bunuh diri.1,2 Selain berkomorbid dengan gangguan
depresif dan cemas, kebiasaan pasien- pasien ini juga memiliki kepribadian obsesif-
kompulsif , skizoid dan narsisistik.1,2
2.5 Diagnosis dan karakteristik
2.5.1 Kriteria diagnosis The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fourth Edition (DSM-4):3,4
a. Preokupasi dengan cacat yang dibayangkan dalam penampilan. Jika ada
sedikit anomali fisik, perhatian orang itu sangat berlebihan. Preokupasi yang
paling umum adalah fokus pada kulit (misalnya, jaringan parut, jerawat,
warna kulit), rambut (misalnya, botak, wajah berlebihan atau rambut tubuh),
atau hidung (Misalnya, ukuran atau bentuk), meskipun bagian tubuh pun
bisa menjadi fokus perhatian. 3 Preokupasi dalam kriteria A tidak
dioperasionalkan, namun sering didefinisikan sebagai pemikiran tentang
cacat penampilan yang dirasakan paling sedikit 1 jam sehari (serupa dengan
gangguan obsesif-kompulsif). 1,3,4
b. Preokupasi tersebut menyebabkan gangguan atau penurunan klinis yang
signifikan di area kerja sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya. Seperti
pada gangguan lain, tekanan dan penurunan fungsi berbeda dalam hal
tingkat keparahan. Tapi biasanya, pasien mengalami gangguan substansial
dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan akademik, seperti yang akan dibahas
kemudian dalam tinjauan ini.
c. Preokupasi tidak diperhitungkan dengan gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk tubuh dan ukuran anoreksia nervosa). Kriteria
ini menunjukkan bahwa jika seseorang hanya memperhatikannya adalah
berat badannya terlalu banyak atau terlalu banyak. Lemak, dan orang
tersebut memenuhi kriteria diagnostik untuk anoreksia nervosa atau bulimia
nervosa, maka kelainan makan, bukan gangguan dismorfik tubuh,
didiagnosis. Namun, gangguan dismorfik tubuh dan gangguan makan sering
komorbid, dalam hal mana kedua kelainan tersebut harus didiagnosis. 1,3,4

2.5.2 Kriteria diagnosis The Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders Fifth Edition (DSM-5): 5
a. Preokupasi pada satu atau lebih bagian tubuh yang mengalami kekurangan
atau kecacatan yang tidak terlihat atau terlihat normal bagi orang lain
b. Dalam suatu waktu pada saat terjadinya penyakit, seseorang berperilaku
berulang (berkaca, berdandan berlebihan, mengorek kulit) atau perilaku
mental (membandingkan penampilan dengan orang lain) sebagai tanggapan
terhadap kekhawatiran terhadap penampilan.
c. Preokupasi ini menyebabkan gangguan yang secara klinis bermakna dan
hendaya dalam fungsi sosial, perkerjaan dan area fungsi penting lain.
d. Preokupasi ini tidak diakibatkan oleh kekhawatiran akan lemak tubuh atau
berat badan pada individu dengan gangguan makan. Spesifik jika : Dengan
dismorfia otot : seseorang dengan preokupasi bahwa badannya sangat kecil
atau kekurangan otot. Spesifik ini digunakan bahkan jika seseorang
preokupasi dengan area badan yang lain. Spesifik jika : Tingkatan tilikan
berdasarkan kepercayaan gangguan dismorfik tubuh (saya terlihat jelek atau
saya cacat). Dengan tilikan yang baik : Sesorang menyadari bahwa
kepercayaan gangguan dismorfik tubuh adalah salah atau kemungkinan
salah. Dengan tilikan buruk : seseorang berpikir bahwa kepercayaan tentang
gangguan dismorifk tubuh adalah kemungkinan benar . Dengan tilikan
absen / waham kepercayaan : seseorang sangat percaya bahwa gangguan
dismorfik tubuh adalah benar.

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis gangguan dismorfik tubuh tidak boleh dilakukan jika distorsi citra
tubuh terjadi seperti kekhawatiran tentang menjadi gemuk dalam anoreksia
nervosa. atau rasa salah tentangnya, atau karakteristik seks primer dan sekundernya
terjadi pada jenis kelamin gangguan identitas; dan untuk kognisi mood-kongruen
yang melibatkan penampilan itu terjadi secara eksklusif selama depresi besar
episode.2
Individu dengan gangguan kepribadian menarik diri atau fobia sosial
mungkin khawatir akan malu dengan imajinasi atau kenyataan cacat dalam
penampilan, namun kekhawatiran ini biasanya tidak menonjol, gigih, menyedihkan,
atau mengganggu.2 Diagnosis Taijin kyofusho, di Jepang, mirip dengan fobia sosial
namun memiliki beberapa gambaran itu lebih konsisten dengan gangguan dismorfik
tubuh, seperti keyakinan bahwa orang tersebut memiliki bau menyinggung atau
bagian tubuh yang ada menyinggung orang lain.2
Meski individu dengan gangguan dismorfik tubuh kelainan memiliki
tentang penampilan mereka dan mungkin terkait perilaku obsesif- kompulsif
(misalnya, cermin), Pemeriksaan diagnosis gangguan obsesif- kompulsif terpisah
atau tambahan dibuat hanya bila obsesi atau dorongan tidak dibatasi kekhawatiran
tentang penampilan.2
Tambahan diagnosis gangguan delusi, tipe somatik, dapat dilakukan orang
dengan gangguan tubuh dismorfik hanya jika kesibukannya dengan cacat yang
dibayangkan dalam penampilannya dipegang dengan intensitas delusional. Tidak
seperti kekhawatiran normal tentang penampilan, keasyikan dengan penampilan
dan cacat imajinasi khusus di gangguan dismorfik tubuh dan perilaku yang berubah
karena keasyikan terlalu memakan waktu dan terkait dengan tekanan atau
penurunan signifikan.2

2.9.Terapi
Terapi yang dapat mengurangi gejala gangguan dismorfik tubuh sedikitnya
50 % adalah obat dari golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),
contohnya fluoksetin dan obat dari golongan tricyclic antidepressant (TCA),
contohnya klomipramin. Tidak diketahui sampai kapan pengobatan dilakukan, oleh
karena itu pengobatan harus tetap di lanjutkan.2
2.9.1. Psikoterapi
Terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan
oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerja sama secara
profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk mengubah, menghilangkan
atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.2
2.9.2. Farmakoterapi
Pengobatan pasien dengan dismorfik tubuh dengan prosedur obat-obatan
yang bekerja pada serotonin misalnya klomipramin dan fluoksetin. Pemberian anti-
depresan trisiklik, penghambat monoamin oksidase dan pimozide bermanfaat pada
kasus-kasus individual.1 Walaupun penelitian tentang dosis yang sesuai untuk
pasien dismofik masih kurang, pasien dismorfik lebih sering membutuhkan dosis
yang lebih tinggi daripada dosis obat untuk pasien depresi dan membutuhkan
pengobatan jangka panjang.6

2.8 Prognosis
Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang
mengalami gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah mengenai
bagian tubuh tertentu sampai orang tersebut memperhatikan bahwa fungsinya
terganggu. Kemudian orang tersebut dapat mencari pertolongan medis atau bedah
untuk menyelesaikan masalah yang diduga. Tingkat kekhawatiran mengenai
masalah ini dapat memburuk dan membaik seiring waktu, walaupun gangguan ini
biasanya menjadi kronis jika tidak ditangani. 2
BAB 3
KESIMPULAN

Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu preokupasi dengan suatu cacat


tubuh yang dikhayalkan atau suatu penonjolan distorsi dari cacat yang minimal atau
kecil. Onset ganggguan ini terjadi paling sering pada usia antara 15 dan 30 tahun,
dan wanita lebih banyak daripada pria. Perjalanan penyakit dari gangguan
dismorfik tubuh belum jelas sepenuhnya. Namun, diketahui ada beberapa faktor
yang berperan seperti faktor biologis, faktor psikososial (contoh: isolasi sosial,
kehilangan), strategi koping, stres kronik, gangguan medis kronik, riwayat
keluarga, dan stressor sosial.
Gejala gangguan dismorfik tubuh biasanya individu akan diliputi dengan
bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di
bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau
bentuk dan ukuran hidung. Diagnosa gangguan dismorfik tubuh mengharuskan
suatu preokupasi dengan kecacatan dalam penampilan yang tidak nyata atau
penekanan yang berlebihan terhadap kecacatan ringan.
Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien atau
disertai dengan gangguan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan pekerjaan pasien.
Tatalaksana gangguan dismorfik tubuh ialah obat-obatan yang bekerja pada
serotonin misalnya fluoxetine , pemberian obat antidepresan trisiklik misalnya
clomipramin. Tingkat keprihatinan dalam gangguan ini mungkin hilang dan timbul
dengan berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya
merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tanpa diobati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira S.D, Hadisukanto G, editors. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. p. 276-277
2. Sadock BJ, Sadock HI, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Jakarta: Binarupa
aksara; 2010. Chapter 26, Gangguan Kepribadian. p. 276-278.
3. Bjornsson A.S, Didie E.R, Phillips K.A. Body dysmorphic disorder. Dialogues
in Clinical Neuroscience. 2010;12(2):221-32
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed, Text Revision. Washington, DC: American
Psychiatric Association; 2000.
5. American Psychiatric Association. Body Dysmorphic Disorder. In: Diagnostic
and Stastical Manual of Mental Disorders. 5th ed, Text Revision. Washington,
DC: American Psychiatric Association, 2013. p.242-47.
6. Phillips K. Body dysmorphic disorder: recognizing and treating imagined
ugliness. World Psychiatry. 2004;3(1):12-17.

Anda mungkin juga menyukai