2.1 Definisi
Gangguan dismorfik tubuh merupakan pasien mempunyai perasaan
subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek penampilannya buruk padahal
penampilannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien
berkeyakinan kuat atau takut kalau dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan.
Rasa takut ini jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun
pasien yang khas dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.1
Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu perasaan merasa sedih atau
merusak karena membayangkan kecacatan atau sedikit kekurangan dalam
penampilan, telah dijelaskan selama lebih dari satu abad dan semakin dipelajari
selama beberapa dekade terakhir.2
Gangguan dismorfik tubuh adalah suatu preokupasi dengan suatu cacat
tubuh yang dikhayalan (sebagai contoh tidak memiliki hidung) atau suatu
penonjolan distorsi dari cacat yang minimal atau kecil. 2 Untuk dapatnya masalah
tersebut dianggap sebagai suatu gangguan mental, permasalahan harus
menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien atau disertai dengan
gangguan dalam kehidupan pribadi, sosial dan pekerjaan pasien.2
2.2 Etiologi
Penyebab gangguan ini tidak diketahui. Komorbiditas yang tinggi dengan
gangguan yang depresif, riwayat keluarga dengan gangguan mood dan gangguan
obsesif kompulsif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan,1 serta responsifitas
keadaan tersebut terhadap obat yang spesifik serotonin menunjukan bahwa
patofisiologi gangguan ini kemungkinan melibatkan serotonin dan dapat terkait
dengan gangguan jiwa lain.2
Konsep stereotipik mengenai kecantikan ditekankan pada keluarga tertentu
dan didalam budaya dapat mempengaruhi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
secara signifikan. Pada model psikodinamik, gangguan dismorfik tubuh dilihat
sebagai tindakan mementingkan konflik seksual atau emosional ke bagian tubuh
yang tidak berkaitan. Hubungan tersebut terjadi melalui mekanisme pertahanan
represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, proyeksi.2
2.3 Epidemiologi
Gangguan dismorfik tubuh merupakan keadaan yang sedikit dipelajari,
dikarenakan sebagian pasien lebih cenderung pergi ke dokter ahli penyakit kulit,
ahli penyakit dalam, atau ahli bedah plastik dibandingkan pergi ke dokter psikiatrik.
A. Prevalensi 1,2
Studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa
lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap
aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa memiliki
kekhawatiran tersebut, sedikitnya memiliki beberapa efek yang signifikan
terhadap perasaan dan fungsi mereka.
Studi epidemiologi telah melaporkan prevalensi titik 0,7% sampai 2,4% pada
populasi umum. Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan dismorfik tubuh
lebih sering terjadi daripada gangguan seperti skizofrenia atau anoreksia
nervosa. 3
B. Usia1,3
Awitan usia yang paling lazim ditemukan adalah antara usia 15 -30 tahun
(masa remaja dan dewasa muda).
Investigasi pada sampel siswa dewasa nonklinis telah menghasilkan tingkat
prevalensi yang lebih tinggi 2% sampai 13%. 3
C. Jenis Kelamin1,3
Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki. Pasien yang mengalami
gangguan ini cenderung tidak menikah.1 Terdapat dua studi berbasis populasi
terbesar menemukan prevalensi titik 2,5% wanita dan 2,2% laki-laki, dan 1,9%
perempuan dan 1,4% laki-laki.3 Jadi gangguan dismorfik tubuh mungkin agak
lebih umum pada wanita, tapi juga mempengaruhi banyak pria.3
Dua studi berbasis populasi yang dikutip sebelumnya menemukan bahwa
individu dengan gangguan ini cenderung tidak menikah dan lebih cenderung
bercerai.3
Gejala terkait yang wajib ditemukan mencakup gagasan atau waham rujukan
(biasanya mengenai orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh), baik
berkaca yang berlebihan maupun menghindari permukaan yang dapat memantul,
serta upaya menyembunyikan deformitas yang dianggap ( dengan tata rias atau
pakaian) efeknya pada kehidupan seseorang dapat signifikan, hampir semua pasien
dengan gangguan ini menghindari pajanan sosial serta pekerjaan.2
Bagian tubuh yang sering menjadi perhatian adalah rambut, buah dada, dan
genitalia. Varian lain terjadi pada pria adalah hasrat untuk membesarkan otot-otot
tubuhnya yang usaha tersebut sampai mengganggu kehidupan sehari-hari,
pekerjaan atau kesehatannya.2
2.9.Terapi
Terapi yang dapat mengurangi gejala gangguan dismorfik tubuh sedikitnya
50 % adalah obat dari golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),
contohnya fluoksetin dan obat dari golongan tricyclic antidepressant (TCA),
contohnya klomipramin. Tidak diketahui sampai kapan pengobatan dilakukan, oleh
karena itu pengobatan harus tetap di lanjutkan.2
2.9.1. Psikoterapi
Terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan
oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerja sama secara
profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk mengubah, menghilangkan
atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.2
2.9.2. Farmakoterapi
Pengobatan pasien dengan dismorfik tubuh dengan prosedur obat-obatan
yang bekerja pada serotonin misalnya klomipramin dan fluoksetin. Pemberian anti-
depresan trisiklik, penghambat monoamin oksidase dan pimozide bermanfaat pada
kasus-kasus individual.1 Walaupun penelitian tentang dosis yang sesuai untuk
pasien dismofik masih kurang, pasien dismorfik lebih sering membutuhkan dosis
yang lebih tinggi daripada dosis obat untuk pasien depresi dan membutuhkan
pengobatan jangka panjang.6
2.8 Prognosis
Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang
mengalami gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah mengenai
bagian tubuh tertentu sampai orang tersebut memperhatikan bahwa fungsinya
terganggu. Kemudian orang tersebut dapat mencari pertolongan medis atau bedah
untuk menyelesaikan masalah yang diduga. Tingkat kekhawatiran mengenai
masalah ini dapat memburuk dan membaik seiring waktu, walaupun gangguan ini
biasanya menjadi kronis jika tidak ditangani. 2
BAB 3
KESIMPULAN
1. Elvira S.D, Hadisukanto G, editors. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. p. 276-277
2. Sadock BJ, Sadock HI, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Jakarta: Binarupa
aksara; 2010. Chapter 26, Gangguan Kepribadian. p. 276-278.
3. Bjornsson A.S, Didie E.R, Phillips K.A. Body dysmorphic disorder. Dialogues
in Clinical Neuroscience. 2010;12(2):221-32
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed, Text Revision. Washington, DC: American
Psychiatric Association; 2000.
5. American Psychiatric Association. Body Dysmorphic Disorder. In: Diagnostic
and Stastical Manual of Mental Disorders. 5th ed, Text Revision. Washington,
DC: American Psychiatric Association, 2013. p.242-47.
6. Phillips K. Body dysmorphic disorder: recognizing and treating imagined
ugliness. World Psychiatry. 2004;3(1):12-17.