Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................4
1.2 Tujuan Laporan....................................................................................4
1.3 Manfaat Laporan..................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................3
2.1 Anatomi Jantung dan Sirkulasi Koroner..............................................5
2.1.1 Anatomi Jantung.........................................................................5
2.1.2 Anatomi Sirkulasi Koroner.........................................................6
2.2 Fisiologi Jantung..................................................................................8
2.3 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut..............................10
2.4 Epidemiologi......................................................................................13
2.5 Patofisiologi dan Etiologi...................................................................14
2.6 Manifestasi Klinis..............................................................................16
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................17
2.8 Stratifikasi Risiko pada Sindrom Koroner Akut ...............................18
2.9 Tatalaksana Sindroma Koroner Akut ................................................22
2.10 Definisi In-Stent Restenosis ............................................................22
2.11 Klasifikasi In-Stent Restenosis ........................................................22
2.12 Etiologi & Patogenesis In-Stent Restenosis ....................................22
2.13 Gejala Klinis In-Stent Restenosis ....................................................22
2.14 Faktor Risiko In-Stent Restenosis ...................................................22
2.15 Tatalaksana In-Stent Restenosis ......................................................22
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT .................................................................30
BAB 4 FOLLOW UP.......................................................................................36
BAB 5 DISKUSI KASUS................................................................................42
BAB 6 KESIMPULAN....................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................45

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan sebagai gambaran
EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T prominen dengan biomarker
nekrosis yang positif (misalnya: troponin) dengan tidak dijumpainya elevasi
segmen ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan gambaran klinis (rasa tidak
nyaman pada dada atau sesuai dengan angina). Sindrom koroner akut adalah suatu
kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran
darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada
Elektrokardiografi (EKG), dan perubahan biomarker jantung.12
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-Elevasi
(NSTEMI). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total
arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi
seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi
segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi
oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh miokardium, sehingga
pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST.12

Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan


penyebab utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ke tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
Sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang
bermakna. Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat
ketidakseimbangan antara suplai dan demand oksigen miokard. Mekanisme yang
paling sering terlibat dalam ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh
menurunnya suplai oksigen ke miokard.12
1.2 TUJUAN LAPORAN
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah:
1. Dapat mengerti dan memahami tentang NSTEMI dan ISR.
2. Dapat menerapkan teori terhadap pasien dengan NSTEMI dan ISR.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT LAPORAN

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami
tentang NSTEMI dan ISR
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI JANTUNG DAN SIRKULASI KORONER

2.1.1. Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ muskular berongga yang bentuknya mirip


piramid dan terletak di dalam perikardium di mediastinum. Basis kordis
dihubungkan dengan pembuluh- pembuluh darah besar, meskipun demikian tetap
terletak bebas di dalam perikardium. Batas kanan jantung dibentuk oleh atrium
kanan, batas kiri oleh auricula kiri dan di bawah oleh ventrikel kiri. Batas bawah
terutama dibentuk oleh ventrikel kanan tetapi juga oleh atrium

kanan dan apex oleh ventrikel kiri.1


Jantung dibagi menjadi 4 ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Jantung mendapatkan darah dari arteri coronaria kanan
dan kiri, yang berasal dari aorta asendens tepat diatas valva aorta. Arteri coronaria

4
5

dan cabang-cabang utamanya terdapat dipermukaan jantung, terletak di dalam


jaringan ikat subepicardial.2
Ada dua jalur besar sirkulasi, yaitu sirkulasi pulmonal dan sistemik sebagai
berikut:
1) Sirkulasi pulmonal : ventrikel kanan → arteri pulmonalis → kapiler pulmonalis
(pertukaran gas) → vena pulmonalis → atrium kiri.
2) Sirkulasi sistemik : atrium kiri → aorta → kapiler jaringan tubuh → vena kava
superior dan inferior → atrium kanan.1

2.1.2. Anatomi sirkulasi koroner

a. Right coronary artery (RCA)


6

b. Left main coronary artery (LMCA)

Left anterior descending artery (LAD)


LAD mengalir secara oblik menuju apeks jantung pada sulkus interventrikularis
anterior.3

Left circumflex artery (LCX)


LCX berasal dari bifurkasio LMCA, mengalir pada sulkus koronarius dan
mengalir ke aspek posterior jantung dan biasanya berakhir sebelum mencapai
sulkus interventrikular posterior.3

2.2 FISIOLOGI JANTUNG

Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait


fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-ventrikel
7

kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung tersebut,
pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan bagian pompa jantung
yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk seluruh tubuh. Kedua jenis
sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini adalah suatu proses yang
berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk asupan oksigen manusia demi
kelangsungan hidupnya5

Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke


jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari
sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke jantung
sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup trikuspid menuju
ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup pulmonal. Darah yang biru
tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami oksigenasi di paru-paru,
selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah. Darah merah ini kemudian menuju
atrium kiri melalui keempat vena pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke
ventrikel kiri melalui katup mitral dan selanjutnya dipompakan ke aorta. 5
Siklus jantung adalah siklus yang dimulai dari satu detakan jantung ke
awal dari detakan selanjutnya. Setiap siklus dimulai dari aksi potensial yang
terbentuk spontan dari SA node, yang terletak di dinding lateral superior dari
atrium kanan dekat dengan pintu masuk vena cava superior. Aksi potensial
berjalan dari SA node melalui kedua atrium dan kemudian melalui AV bundle ke
ventrikel. Karena suatu sistem rancangan dalam sistem konduksi dari atrium ke
ventrikel, ada perlambatan lebih dari 0,1 detik dari hantaran listrik dari atrium ke
ventrikel. Ini memungkinkan atrium untuk berkontraksi untuk mengisi darah ke
ventrikel sebelum kontraksi ventrikel yang kuat dimulai. Diastol merupakan suatu
keadaan dimana jantung, terutama ventrikel terisi darah diikuti periode kontraksi
yang dikenal sistol.1
Setelah itu, dilanjutkan sistol dari ventrikel yang disebabkan depolarisasi
ventrikel. Selama sistol ventrikel, yang berlangsung 0,3 detik, ventrikel
berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan, atrium mengalami relaksasi pada
diastol atrium. Ketika sistol ventrikel dimulai, tekanan meningkat di dalam
8

ventrikel dan mendorong darah melalui katup atrioventrikuler sehingga katupnya


tertutup. Untuk sekitar 0,05 detik, baik katup semilunar dan atrioventrikuler
tertutup, periode ini disebut kontraksi isovolumetrik. Kontraksi terus menerus
membuat tekanan dalam ventrikel terus meningkat dengan tajam sampai melewati
80 mmHg pada ventrikel kiri dan 20 mmHg pada ventrikel kanan. Pada saat itu,
darah dari jantung mulai dipompakan. Tekanan terus meningkat sampai 120
mmHg pada ventrikel kiri dan 25-35 mmHg pada ventrikel kanan. Periode ketika
katup semilunar terbuka disebut ejeksi ventrikuler dan berlangsung selama 0,25
detik. Darah yang dipompakan baik ke aorta maupun ke arteri pulmonaris
sebanyak 70 ml. Volume ini disebut volume sekuncup (stroke volume) dan
sisanya sebanyak 60 ml disebut volume akhir sistol (end-systolic volume).
Gelombang T dalam EKG menandakan awal dari repolarisasi ventrikel.6

2.3 DEFINISI DAN KLASIFIKASI SINDROMA KORONER AKUT


Sindrom koroner akut adalah merupakan kondisi klinis yang mengancam
jiwa akibat iskemi dan/atau infark miokard akut yang disebabkan oleh penurunan
aliran darah koroner atau peningkatan kebutuhan miokard yang terjadi secara tiba
tiba.7
Sindroma koroner akut merupakan spektrum klinis yang terdiri dari, infark
miokard dengan elevasi segmen ST (IMA-EST/STEMI), tanpa elevasi ST (IMA-
NEST/NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (APTS/UAP).7

1. Infark miokard akut8


Ditemukannya peningkatan dan / atau penurunan biomarker jantung (terutama
troponin) dengan setidaknya satu nilai diatas persentil 99 dari nilai batas atas,
disertai dengan salah satu dari:
• Gejala iskemia
• Perubahan gelombang ST-T atau blok cabang berkas kiri pada EKG yang
baru atau diduga baru
9

• Adanya gelombang Q patologis pada EKG


• Pada pemeriksaan imaging ditemukan hilangnya viabilitas miokardium
atau abnormalitas gerakan dinding jantung yang baru atau diduga baru
• Terdapat trombus intrakoroner yang terdeteksi pada pemeriksaan
angiografi atau autopsi

Terdapat 2 tipe infark miokard akut:


a. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST/STEMI)
IMA-EST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah koroner.
IMA-EST menandakan adanya iskemi transmural dan infark miokard yang
ditandai dengan perubahan EKG meliputi elevasi segmen ST atau LBBB baru,
diikuti oleh terbentuknya gelombang Q patologis. Keadaan ini memerlukan
tindakan revaskularisasi baik secara medikamentosa maupun mekanis secepatnya.
Diagnosa IMA-EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris disertai
elevasi segmen ST di 2 sadapan yang bersebelahan.8,9

b. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (IMA-NEST)


IMA-NEST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris akut tanpa elevasi
segmen ST dan pada pemeriksaan biomarka jantung terdapat peningkatan yang
bermakna8,9.

2. Angina pektoris tidak stabil (APTS)

APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris akut tanpa elevasi
segmen ST dan pada pemeriksaan biomarka jantung tidak terdapat peningkatan
yang bermakna8,9.
10

2.4 EPIDEMIOLOGI

Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan


penyebab utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ke tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
Sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang
bermakna.12 Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%,
sementara berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau
sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan diagnosis dokter estimasi jumlah penderita
di Provinsi Jawa Barat Sebanyak 0,5% atau sekitar 160.812 orang, sedangkan di
Provinsi Maluku Utara paling sedikit, yaitu 1.436 orang(0,2%). Berdasarkan
diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita terbanyak terdapat di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 375.1227 orang atau sekitar (1,3%), sedangkan jumlah penderita
paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang
(1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis di Jawa Tengah sebesar 0,5
persen, dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4 persen, sedangkan di
Kota Surakarta angka prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7 %.13

2.5 PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI


Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat ketidakseimbangan
antara suplai dan demand oksigen miokard. Mekanisme yang paling sering
terlibat dalam ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh menurunnya suplai
oksigen ke miokard, melalui lima mekanisme dibawah ini:10

1. Yang paling sering disebabkan oleh menyempitnya arteri koroner yang


disebabkan oleh trombus yang terdapat pada plak ateroskelotik yang terganggu
dan biasanya nonoklusif. Mikroemboli dari agregat trombosit dan komponen-
komponen dari plak yang terganggu tersebut diyakini bertanggung jawab terhadap
keluarnya markers miokard pada pasienpasien NSTEMI. Trombus/plak oklusif
juga dapat menyebabkan sindroma ini namun dengan suplai darah dari pembuluh
darah kolateral. Patofisiologi molekuler dan seluler paling sering yang
11

menyebabkan plak aterosklerotik terganggu adalah inflamasi arterial yang


disebabkan oleh proses non infeksi (mis, lipid teroksidasi), dapat pula oleh
stimulus proses infeksi yang menyebabkan ekspansi dan destabilisasi plak, ruptur
atau erosi, dan trombogenesis. Makrofag yang teraktivasi dan limfosit T yang
berada pada plak meningkatkan ekspresi enzim-enzim seperti metalloproteinase
yang menyebabkan penipisan dan disrupsi plak yang dapat menyebabkan
NSTEMI.
2. Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat dipicu oleh
spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner epicardial (Prinzmetal’s
angina). Spasme lokal ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos vaskular
dan atau disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah besar dapat terjadi pada
puncak obstruksi atau plak, yang mengakibatkan angina yang berasal dari
campuran kondisi tersebut atau NSTEMI/UA. Obstruksi koroner dinamik dapat
pula disebabkan oleh disfungsi mikrovaskular difus, sebagai contoh akibat
disfungsi endotel atau konstriksi abnormal dari pembuluh darah kecil intramural.
3. Penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Kondisi ini terjadi pada
pasien dengan atherosklerosis progresif atau akibat restenosis setelah
percutaneous coronary intervention (PCI).
4. Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada wanita-wanita
peripartum).
5. UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri koroner. Pasien
dengan UA sekunder biasanya, namun tidak selalu, memiliki penyempitan
atherosklerotik koroner yang membatasi perfusi miokard dan sering memiliki
angina kronik stabil. UA sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi seperti
peningkatan kebutuhan oksigen miokard (demam, takikardia, tirotoksikosis),
penurunan aliran darah koroner (hipotensi) atau penurunan pasokan oksigen
miokard (anemia atau hipoksemia).
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada akut adalah salah satu alasan utama pasien-pasien datang ke
unit gawat darurat dan diketahui pasien selama ini sebagai pertanda SKA, namun
setelah evaluasi lebih lanjut hanya sekitar 15-20% pasien dengan nyeri dada akut
12

yang betul-betul mengalami SKA. Sehingga perlu pula diketahui gejala-gejala


lain yang sering dialami namun kurang diwaspadai oleh pasien NSTEMI. Oleh
karena itu pendekatan yang tepat akan keluhan nyeri dada harus dilakukan.9

Presentasi klinis dari NSTEMI meliputi berbagai gejala yang cukup luas.
Presentasi klinis yang selama ini umum diketahui antara lain:9
- Nyeri angina yang berdurasi panjang (> 20 menit) saat istirahat
- Angina onset baru (kelas II atau III berdasarkan klasifikasi Canadian
Cardiovascular Society
(CCS))
- Destabilisasi baru dari yang sebelumnya angina stabil dengan setidaknya
memenuhi karakteristik angina kelas III CCS (crescendo angina), atau
- Angina post infark miokard
Gambaran klinis nyeri dada pada NSTEMI adalah rasa berat atau tekanan
pada daerah retrosternal (angina) yang menjalar hingga ke lengan kiri, leher, atau
rahang, yang dapat bersifat intermiten (umumnya berlangsung selama beberapa
menit) atau persisten. Keluhan ini dapat diikuti dengan keluhan lainnya seperti
fatik yang ekstrim, diaphoresis, nausea, nyeri perut, dyspnoea, dan syncope.
Dapat pula didapati keluhan tidak khas lainnya seperti epigastric pain, masalah
pencernaan, nyeri dada seperti ditikam, nyeri dada dengan ciri pleuritik, atau
bertambahnya sesak napas.9
13

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Gambar 2.2. Diagnosis Banding Sindrom Koroner Akut dengan keluhan nyeri dada12

2.7 STRATIFIKASI RISIKO PADA SINDROMA KORONER AKUT

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA.

Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah Thrombolysis In Myocardial


Infarction (TIMI) dan Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE),
sedangkan CRUSADE (Can Rapid Risk Stratification of Unstable Angina
Patinets Suppress Adverse Outcomes with Early Implementation of the ACC/AHA
Guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan.
Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan penggunaan
antitrombotik. Skor GRACE memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat
karena menilai risiko baik pada saat dirawat di rumah sakit maupun saat sudah
keluar dari rumah sakit.9 Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan
strategi penanganan selanjutnya (konservatif dengan medikamentosa atau
intervensi segera) pada pasien IMA.

Tabel 1. Skor TIMI untuk sindroma koroner akut tanpa elevasi segmen ST.
Parameter

Usia > 65 tahun 1


14

Lebih dari 3 faktor risiko (hipertensi, DM, merokok, riwayat penyakit jantung dalam 1
keluarga, dislipidemia )
Angiografi koroner sebelumnya menunjukkan stenosis > 50 % 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir 1

Deviasi segmen ST > 1 mm 1

Peningkatan marka jantung (CKMB, troponin) 1

Sementara skor GRACE memprediksi mortalitas saat perawat di rumah sakit

dan 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.

Tabel 2. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip 9

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalit


as
I Tidak terapat gagal jantung (tidak terdapat ronkhi maupun S3) 6%
Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi basah
II pada setengah lapangan paru 17 %
Terdapat edema paru ditandai dengan ronkhi basah diseluruh lapangan paru
III 38 %

IV Terdapat syok kardiogenik ditandai dengan tekanan darah 81 %


sistolik < 90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis buruk pada IMA non ST elevasi,

sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa

mungkin9. Variabel-variabel yang dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat

risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam skor risiko perdarahan

CRUSADE. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan

perdarahan yang tinggi9.

Tabel 3. Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE.


Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan
15

1–20 Sangat rendah 3,1 %


21–30 Rendah 5,5 %
31-40 Moderate 8,6 %
41–50 Tinggi 11,9 %
>50 Sangat tinggi 19,5 %

Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan diatas, untuk tujuan


revaskularisasi dan strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok
risiko, yaitu risiko sangat tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini
berperan dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan angiografi dan waktu dari
tindakan tersebut.9

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan


strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi (Roffi et al., 2015).
Strategi invasif melibatkan dilakukannya angiografi, ditujukan pada pasien
dengan risiko tinggi hingga saat tinggi.

Risiko sangat tinggi


Instabilitas hemodinamik atau syok kardiogenik
Nyeri dada rekuren atau sedang berlangsung
Aritmia atau henti jantung yang mengancam jiwa
Komplikasi mekasis IM
Gagal jantung akut
Perubahan gelombang ST-T yang dinamis rekuren, terutama dengan elevasi ST
intermiten

Risiko tinggi
Peningkatan atau penurunan troponin
Perubahan gelombang ST atau T yang dinamis (simtomatis atau asimtomatis)
Skor GRACE > 140

Risiko intermediet
16

DM Insufisiensi ginjal (eGFR < 60 mL/menit/1.73 m2)


LVEF < 40% atau gagal jantung kongestif
Angina pasca infark dini
IKP atau BPAK
Skor risiko GRACE >109 dan < 140

Risiko rendah
• Karakteristik lain yang tidak disebutkan di atas

Risiko Strategi Invasif Kelas level


Risiko sangat tinggi Strategi invasif segera (< 2 jam) I C
Risiko tinggi Strategi invasif dini (<24 jam) I A
Risiko intermediate Strategi invasif (≤ 72 jam) I A
Risiko rendah Tes stress non-invasif I A

2.9 TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT


1. Evaluasi Awal
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik terarah
serta gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari:
STEMI, NSTEMI dan kemungkinan bukan SKA.12

2. Tindakan umum dan Penanganan Awal

Rekomendasi Kelas Level


Tirah baring I C
Pengukuran saturasi oksigen perifer pada kasus SKA I C
Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia I C
(SaO2 < 90% atau PaO2 <60 mmHg)
Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan III
SaO2 ≥ 90%
Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien I A
yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin
Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi I C
sublingual lebih cepat
17

Dosis awal ticagrelol yang dianjurkan adalah 180 mg I B


dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali
pada pasien IMA-EST yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik
Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan I C
dosis pemeliharaan 75mg/hari (pada pasien yang
direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghampat reseptor ADP yang dianjurkan adalah
clopidogrel)
Nitrofliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien I C
dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang
gawat darurat
Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak I C
responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual
Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang 10-30 menit, IIa C
bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG
sublingual

3. Terapi Anti Iskemik


a. Penghambat Reseptor Beta
Penghambat beta harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien-
pasien yang tidak memiliki tanda gagal jantung ataupun low-output state,
peningkatan resiko syok kardiogenik atau kontraindikasi relatif lain terhadap
penghambatan reseptor beta (interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2 atau
3, asma aktif, penyakit saluran nafas reaktif).12, 14

Rekomendasi Kelas Level


Penyekat beta (beta blocker)
Penyekat beta direkomendasikan pada APTS atau I B
IMANEST, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau
takikardia, dan selama tidak terdapat kontraindikasi

Penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam I B


pertama
18

Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien I B


dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
kontraindikasi

Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat I B


pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA
tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Killip ≥
III

b. Nitrat
Keuntungan terapeutik dari penggunaan nitrat berhubungan dengan efek
venodilator yang menyebabkan penurunan preload miokard dan volume end
diastolik ventrikel kiri yang akhirnya menyebabkan penurunan konsumsi oksigen
miokard. Selain itu nitrat akan menyebabkan dilatasi arteri koroner normal
maupun arteri koroner yang mengalami aterosklerotik dan meningkatkan aliran
kolateral koroner.12

Rekomendasi Kela Leve


s l
Nitrat

Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam I


fase akut dari episode angina C

Pasien denga APTS/IMA-NEST yang mengalami nyeri dada


berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit
sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada I C
kontraindikasi

Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,


gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam petama
APTS/IMA-NEST. Keputusan menggunakan nitrat intravena
tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti I B
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau penghambat
ACE
19

Nitrat tidak diberikan kepada pasien dengan tekanan darah


sistolik < 90 mmHg atau > 30 mmHg di bawah nilai awal, III
bradikardia berat (<50 kal permenit), takikardia tanpa gejala C
gagal jantung, atau infark ventrike kanan

Nitrat tidak boleh diberikan kepada pasien yang telah


mengonsumsi penghambat fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 III
jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi C
nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan

c. Calcium Channel Blocker


Calcium channel blockers merupakan obat vasodilator dan beberapa
diantaranya memiliki efek langsung terhadap konduksi atrioventrikular dan
denyut jantung. Terdapat tiga sub kelas dari calcium blocker yaitu
dihydropyridines (nifedipine), benzothiazepines (diltiazem), dan
phenylethylamines (verapamil).

Rekomendasi Kelas Leve


l
Penyekat kanal kalsium (CCB)

CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala I


bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta B

CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien IMA-


I B
NEST dengan kontraindikasi terhadap penyekat beta

CCB non-dihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan


sebagai pengganti terapi penyekat beta Iib B

CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik I C


20

Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) III


tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan
penyekat beta B

4. Terapi Antiplatelet
a. Aspirin
Aspirin sebaiknya diberikan kepada semua pasien kecuali ada
kontraindikasi, dosis inisial aspirin non enterik 150-300 mg dikunyah.
Selanjutnya 75-100 mg per hari dalam jangka panjang dikatakan memiliki efikasi
yang sama dengan dosis besar dan memiliki resiko intoleran saluran cerna yang
lebih kecil.12

b. P2Y12 Reseptor Inhibitor


Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien dengan dosis inisial
300 mg selanjutnya diikuti 75 mg per hari. Pada pasien yang dipertimbangkan
untuk menjalani PCI, loading dose 600 mg disarankan untuk mencapai
penghambatan fungsi trombosit yang lebih cepat. Clopidogrel harus
dipertahankan setidaknya selama 12 bulan kecuali terdapat resiko perdarahan.12

Obat golongan P2Y12 Reseptor Inhibitor baru yang cukup menjanjikan


sebagai obat anti platelet adalah Ticagrelor. Seperti prasugrel, Ticagrelor
memiliki onset of action yang lebih cepat dan konsisten dibandingkan
clopidogrel, namun juga memiliki onset of action yang lebih cepat sehingga
pemulihan fungsi platelet menjadi lebih cepat.12

c. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors


Tiga obat yang termasuk golongan GP IIb/IIIa receptor inhibitors yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah abciximab yang merupakan suatu
fragmen monoklonal antibody; eptifibatide sebuah peptide siklik; dan tirofiban
yang merupakan molekul peptidomimetik.12
21

5. Terapi Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat
pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi
kejadiankejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus.
Antikoagulan direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti
platelet.12
Terdapat beragam jenis antikoagulan yang tersedia, dan pemilihannya
didasarkan pada resiko iskemik, kejadian perdarahan dan pilihan strategi
manajemen inisial (urgent invasif, early invasif atau konservatif).12 Jenis
antikoagulan antara lain:3
- Indirect inhibitors koagulasi (butuh anti trombin untuk aksi penuhnya) o
Indirect thrombin inhibitors : unfractionated heparin (UFH), low molecular
weight heparin (LMWHs) o Indirect factor XA inhibitors : LMWHs,
fondaparinux - Direct inhibitors koagulasi
• Direct factor XA inhibitors : apixaban, rivaroxaban
• Direct thrombin inhibitors (DTIs): bivalirudin, dabigatran

2.10 DEFINISI IN-STENT RESTENOSIS

In-Stent Restenosis (ISR) merupakan restenosis yang terjadi di dalam


stent dan berdasarkan letaknya dibagi dua yaitu; (1) intra stent bila terletak di
dalam stent dan (2) edge restenosis bila menjulur kurang dari 5 mm baik dari
ujung proksimal ataupun distal stent. Berdasarkan hasil follow-up secara binari
angiografi (Two-Dimensional Quantitative Coronary Angiography/2D-QCA)
maka ISR didefinisikan sebagai Diameter Stenosis (DS) lebih dan sama dengan
50 persen atau lebih dari 50 persen. Berdasarkan hasil follow-up angiografi pasca
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) dengan pemeriksaan Intra Vascular Ultra
Sound (IVUS) maka ISR didefinisikan sebagai Minimum Lumen Area (MLA)
22

pada potongan Cross Sectional Area (CSA) pembuluh darah coroner kurang dari
4 mm2 sedangkan untuk Left Main (LM) kurang dari 6 mm2.

2.11 KLASIFIKASI IN-STENT RESTENOSIS

Berdasarkan gambaran angiografi menurut distribusi NIH terhadap letak


stent maka lesi ISR dibagi atas empat tipe namun untuk kepentingan terapi dibagi
menjadi dua yaitu fokal dan difuse (tabel 2.1. & gambar 2.1.).

Kelas I A (persambungan)Kelas I B (ujung)


Kelas II (di dalam stent)Kelas III (proliferasi)

Kelas IV (oklusi total)

Kelas I C (badan)Kelas I D (kombinasi)


23

Gambar 2.1. Skematik Klasifikasi In-Stent Restenosis


Telah diolah kembali: Mehran R, Dangas G, Abizaid AS, Mintz GS, Lansky AJ, Satler LF, et al.
Angiographic patterns of in-stent restenosis: classification and implications for long-term
outcome. Circulation. 1999;100:1872-8.

2.12 ETIOLOGI & PATOGENESIS IN-STENT


RESTENOSIS
Mekanisme yang mempengaruhi terjadinya ISR ada tiga, yaitu: elastic recoil,
negative arterial remodeling dan neointimal hyperplasia (NIH). Elastic recoil
adalah mekanisme penyempitan segera pembuluh darah setelah pelaksanaan PCI
akibat sifat elastisitas dinding pembuluh darah terhadap regangan. Mekanisme ini
timbul dalam waktu 24 jam setelah PCI. Negative remodeling merupakan proses
kontraksi dinding arteri dan penyempitan lumen di segmen yang rusak. Proses ini
ada hubungannya dengan proses penyembuhan dan interaksi dengan aliran darah
nonlaminar.
Mekanisme yang utama dari ISR adalah terbentuknya neointimal hyperplasia
(NIH) yang dipicu oleh proses inflamasi. 1 NIH terbentuk dari migrasi sel otot
polos dari tunika media menembus tunika intima dan selanjutnya menumpuk di
lumen diikuti juga matriks ekstra seluler (kolagen dan elastin).
Stent memiliki scaffolding (kisi-kisi) yang kaku dan didesain sedemikian
rupa untuk mencegah elastic recoil dan negative remodeling. Desain seperti ini
menyebabkan kedua mekanisme itu telah jarang dijumpai setelah tatalaksana PJK
beralih dari angioplasti biasa ke pemasangan stent. Desain ini meskipun
mencegah kedua mekanisme lainnya justru mendukung mekanisme pembentukan
NIH sehingga mekanisme pembentukan ISR masih sulit dicegah.

2.13 GEJALA KLINIS IN-STENT RESTENOSIS


Gejala klinis biasanya muncul setelah diameter stenosis mencapai ≥50%.
Gejala dan tanda klinis menyerupai pada infark miokard atau unstable angina
pectoris yaitu nyeri dada yang tidak dapat dilokalisir dan menjalar. Nyeri dada
dapat timbul akut atau saat aktivitas berat. Pemeriksaan exerciseinduced ischemia
24

positif dan terdapat perubahan tampilan elektrokardiografi (EKG) berupa tanda-


tanda iskemi.

2.14 FAKTOR RISIKO IN-STENT RESTENOSIS


2.14.1 Faktor Genetik
Agema dkk meneliti beberapa faktor genetik yang berkontribusi terhadap
pembentukan ISR. Ditemukan beberapa gen yang berpengaruh terhadap ISR yaitu
gen-gen yang mengkode angiotensin converting enzyme (ACE), mokelul reseptor
glikoprotein platelet IIIa/IIb dan Ia, matrix metalloproteinase stromelysin-1,
reseptor antagonis interleukin-I, dan apolipoprotein E.
2.14.2 Hipersensitivitas
Nebeker dkk menemukan bahwa dari 5783 kasus ISR yang dilaporkan di
Food and Drug Association (FDA) Amerika Serikat pada 262 kasus di antaranya
ditemukan tanda-tanda hipersensitivitas. Gambaran histopatologis ditemukan
infiltrasi eosinofil dan limfosit T yang berat. Hipersensitivitas dapat dipicu zat
kontras yang dipakai saat angiografi PCI, terapi antiplatelet ataupun dari DES
sendiri. Pada DES sendiri, hipersensitivitas dapat dipicu oleh rangka logam stent
yang mengandung nikel dan molybdenum, lapisan polimer yang menghantarkan
obat atau dari obat yang dihantarkan oleh stent itu sendiri.
2.14.3 Usia
Orang usia lanjut mengalami beberapa perubahan pada komponen matriks
ekstraseluler antara lain peningkatan kolagen, diameter serat lintang fibril dengan
kolagen, rasio kolagen tipe I dibanding tipe III, serta penurunan serabut elastin.
Perubahan lainnya dapat juga ditemukan berupa gangguan keseimbangan Matrix
Metallo-Proteinase (MMP) dengan tissue inhibitor MMP sehingga terjadi
peningkatan produksi matriks ekstraseluler dan 18 peningkatan proliferasi
fibroblas akibat rangsangan Platelet Derived Growth Factor (PDGF).
2.14.4 Diabetes Mellitus
Diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap ISR dalam berbagai
mekanisme. Pembuluh koroner pasien DM mengalami disfungsi endotel dan
25

peningkatan respon inflamasi. Mekanisme lain adalah terjadinya peningkatan


produksi growth factor lokal yang menyebabkan peningkatan pembentukan sel
otot vaskuler dan matriks ekstraseluler.
2.14.5 Hipertensi
Tegangan mekanik yang disebabkan hipertensi pada pembuluh darah dapat
memodulasi beberapa gen di sel endotelsehingga meningkatkan produksi
vasodilator (Nitric Oxide/NO), vasokonstriktor (Endothelin-1/ET-1), GF (PDGF),
growth inhibitor/GI (heparin), molekul adhesi (Intercellular Adhesion Molecule-
1/ICAM-1) dan kemoatraktan (Monocyte Chemoattractant Protein1/MCP-1).
2.14.6 Dislipidemia
Penelitian oleh Iwata dkk menyebutkan bahwa menurunkan kadar LDL
merupakan faktor paling penting dalam mencegah ISR. 13 Dislipidemia
meningkatkan risiko ISR melalui mekanisme peningkatan inflamasi dan
pembentukan neoatherosclerosis.
2.14.7 Merokok
Para perokok baik aktif maupun pasif memiliki risiko mengalami disfungsi
endotel yang sifatnya terpengaruh dosis dan reversible. Rokok meningkatkan
radikal oksidatif yang mempercepat degradasi vasodilator nitric oxide (NO) dan
meningkatkan kadar vasokonstriktor ET-1.28 Mekanisme lain yang disebabkan
oleh rokok antara lain peningkatan perlekatan monosit, perubahan pada kinerja
fibrinolitik dan antithrombotik endotel. Peningkatan perlekatan monosit
dicetuskan oleh meningkatnya integrin CD 11b/CD.

2.14.8 Diameter Pembuluh Darah


Ukuran diameter pembuluh darah mengikuti pernyataan “bigger vessels
have a better outcome”. Penelitian oleh Stone dkk menunjukkan bahwa arteri
yang diameternya
2.14.9 Lokasi Lesi
26

Lokasi lesi aterosklerotik yang ditangani dengan PCI juga mempengaruhi


kejadian ISR. Letak lesi yang paling berpengaruh antara lain lesi ostial dan lesi
bifurkasio.
Lesi stenosis ostial merupakan penyempitan pada pembuluh darah utama
atau cabang yang berjarak 2-3 milimeter dari pembuluh darah utama. Lesi di
ostial cenderung mengandung lebih banya elastin sehingga sulit dilakukan
pemasangan stent dan mudah terjadi early vascular recoil sehingga mempermudah
terjadinya ISR.
Lesi bifurkasi merupakan lesi yang melibatkan pembuluh darah induk
dengan cabangnya bersamaan tanpa ada batas normal di antaranya. Lesi ini
diklasifikasikan oleh Medina menurut cabang-cabang yang terkena lesi.31 Lesi
bifurkasi perlu diterapi dengan dua stent yang dipasang dengan metode kissing
balloon inflation. Pemasangan stent bila dilakukan hanya satu atau dilakukan
keduanya tapi salah satu stent mengembang lebih lemah dari yang lainnya maka
akan menekan arteri cabang yang satunya dan mempercepat terbentuknya ISR.3
2.14.10 Faktor Stent
Faktor stent yang berpengaruh antara lain jenis stent, panjang stent dan
fraktur stent. Jenis stent yaitu BMS atau DES mempengaruhi kejadian ISR karena
obat yang terkandung dalam DES memang dirancang untuk mencegah ISR.
Penelitian oleh Mohan dan Dhall sudah membuktikan bahwa pasien yang
menggunakan DES lebih sedikit terserang ISR daripada pasien yang dipasang
BMS.
Panjang stent yang dipakai juga berpengaruh terhadap kejadian ISR.
Semakin panjang stent maka semakin tinggi angka kejadian ISR karena kerusakan
yang diterima oleh dinding arteri selama prosedur semakin luas dan memicu
respon inflamasi dan penyembuhan yang semakin kuat.
Fraktur stent dapat terjadi akibat tekanan mekanik dinding arteri dari
kontraksi kuat yang berulang dan mekanisme protektif untuk menurunkan tekanan
dalam arteri. Pasien dengan fraktur stent terbukti lebih banyak terserang ISR
dibanding pasien tanpa fraktur stent meskipun panjang lesi restenosis cenderung
27

lebih pendek. Pasien dengan fraktur stent dapat asimtomatik, memiliki keluhan
sindrom koroner akut yang menandakan thrombosis stent, atau memiliki keluhan
angina berulang yang menandakan ISR.

2.15 TATALAKSANA IN-STENT RESTENOSIS


Alfonso dkk menjelaskan beberapa metode yang dapat digunakan sebagai
penatalaksanaan ISR:
 Angioplasti balon konvensional

Metode ini merupakan metode yang pertama kali dipakai dalam menangani ISR.
Hasilnya menguntungkan bagi pasien dengan lesi ISR fokal, akan tetapi pada
pasien dengan lesi difus angka restenosis ulang tinggi. 22
 Cutting and Scoring Balloon Therapy

Alat yang digunakan berupa balon yang dilengkapi dengan pisau lateral yang
menancap jaringan neointimal untuk memfiksasi posisi balon. Tancapan di
jaringan neointimal secara teoritis dapat meningkatkan inflamasi dan
memperberat risiko restenosis ulang akan tetapi studi menunjukkan bahwa angka
restenosis ulang masih lebih rendah dari angioplasti balon konvensional.
 Debulking Techniques

Metode ini berupa penghancuran plak dengan atherektomi baik laser ataupun
rotasional. Beberapa studi menunjukkan metode atherektomi rotasional tidak
lebih aman daripada angioplasti balon konvensional dalam hal kejadian restenosis
ulang. Metode ini mulai ditinggalkan.

 Vascular Brachytherapy

Metode menggunakan balon untuk angioplasti yang diisi dengan cairan radioaktif
dengan tujuan menurunkan respon proliferatif sel. Cairan radioaktif beta dan
gamma efektif dalam mengurangi ISR akan tetapi banyak efek samping lain yang
timbul seperti late thrombosis. Metode ini kemudian lambat laun ditinggalkan
karena rumit dan menurunnya permintaan komersial.
28

 Pemasangan ulang stent


29
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE dkk. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11. Jakarta: EGC.
2008.
2. S. Snell, Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Jakarta : EGC.
2006
3. Villa AD, Sammut E, Nair A, Rajani R, Bonamini R, Chiribiri A. Coronary artery
anomalies overview: The normal and the abnormal. World Journal of Radiology
2016;8:537. https://doi.org/10.4329/wjr.v8.i6.537.
4. Karen P, Mc Carthy , Ring L , Bushra S, Rana. Anatomy of the Mitral Valve
Understanding the Mitral Valve Complex in Mitral Regurgitation. Eur J of
Echocardiogr. 2010; 11:1–5
5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem; alih bahasa, Brahm U.
Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Nella Yesdelita. Ed 6. Jakarta: EGC, 2011
6. Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2011. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley
7. Zipes DP et al. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine. 11th ed. Philadelphia, PA:Elsevier; 2019:1181-1208
8. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA, et al.
Fourth universal definition of myocardial infarction (2018). European Heart
Journal 2018;40:237–69. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy462.
9. Jufar, D.A. 2018. Pedoman Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Edisi Keempat.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
10. Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE, et al. 2012
ACCF/AHA Focused Update Incorporated Into the ACCF/AHA 2007
Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/Non–STElevation
Myocardial Infarction A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. diunduh
dari http://circ.ahajournals.org/ by guest on March 4, 2014
11. Kumar, A. & Cannon, C. P., 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and
Management, Part I. Mayo Clin Proc, 84(10) : 917-38
31

12. ESC 2016 Guidelines for the management of Acute Coronary Syndromes in
patients presenting without persistent ST-Segment Elevation. European Heart
Journal 37:267-315.
13. Santoso, B., 2013. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Tengah 2013. Jakarta:
Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
14. Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute Coronary
Syndromes. Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71
32

Anda mungkin juga menyukai