KA 2016
16030234045
Cangkang udang memiliki nilai ekonomis yang rendah. Cangkang udang yang
apabila dibuang begitu saja maka akan terhidrolisis dan menghasilkan bau busuk serta
meningkatkan BOD (Biological Oxygen Demand) air sehingga dapat merusak kualitas
air (Cahyaningrum, 2008). Apabila ditinjau dari komposisinya, cangkang udang
mengandung mineral (45-50%), protein (25-40%) dan kitin (15-20%). Kitin yang
kehilangan gugus asetilnya dikenal dengan kitosan yang dapat meningkatkan nilai guna
dari cangkang udang. Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mensintesis kitosan,
seperti dari cangkang kerang hijau, cangkang udang windu dan cangkang rajungan
(Sinardi, dkk, 2013; Suharjo dan Harini, 2005; Pitriani, 2010). Pemanfaatan kitosan
antara lain digunakan sebagai koagulan (Ningrum, 2007; Prayudi dan Susanto, 2000 dan
Mahatmanti dan Sumarni, 2003), adsorben logam berat (Alfian, 2003) dan antibakteri
(Killay, 2013). Salah satu jenis udang yang paling banyak ditemukan di Kalimantan
Barat, khususnya di Pontianak adalah jenis udang wangkang (Penaeus orientalis).
Sementara itu, kota Pontianak dikenal sebagai daerah yang kaya dengan tanah gambut
dimana penyebaran air gambut sangat melimpah. Namun, apabila ditinjau dari segi
kualitasnya maka air gambut tidak dapat langsung digunakan karena keberadaan bahan
organiknya (KMnO4 1000 mg/L) yang menjadi prekursor trihalometana yang bersifat
karsinogenik. Selain itu, penampilan fisik dari air gambut yang berwarna kecoklatan
dan memiliki rentang pH rendah (5) menyebabkan air gambut tidak dapat digunakan
sebagai air bersih (Afritha, 2011; Elfiana dan Zulfikar, 2012).
Tahap demineralisasi
Tahap deproteinasi
Tahap deproteinasi bertujuan untuk mereduksi protein yang terdapat pada cangkang
udang. Pemutusan protein dari kitin dapat terjadi apabila struktur protein menjadi
rusak akibat suhu reaksi yaitu antara 80-850C. Selain itu, penghilangan protein pada
struktur kitin dapat disebabkan oleh reaksi protein tersebut dengan basa yang
menghasilkan natrium proteinat yang dapat larut dalam air. Residu yang dihasilkan
dari tahap demineralisasi dan deproteinasi disebut sebagai kitin, kitin yang
kehilangan gugus asetilnya pada proses deasetilasi disebut kitosan.
Tabel 1. Kandungan mineral, protein dan kitin dari cangkang udang wangkang
Mineral 51,129
Protein 21,039
Kitin 23,151
Tahap deasetilasi
Tahap deasetilasi atau reaksi pelepasan gugus asetil (COCH3) pada kitin menjadi
kitosan melibatkan reaksi pada suhu tinggi oleh basa kuat. Gugus –OH pada basa
kuat NaOH berperan sebagai gugus yang kaya elektron (nukleofilik). Sehingga
gugus ini mampu menyerang gugus asetil khususnya pada atom karbon yang terikat
pada gugus C=O yang mengakibatkan lepasnya gugus asetil pada kitin.
% DD 70% 72,85%
Berdasarkan data dari Tabel 2, diperoleh persentase kadar abu kitosan dari cangkang
udang wangkang yang telah memenuhi standar kualitas kitosan standar. Besarnya
kadar abu diasumsikan sebagai parameter keberhasilan dari proses demineralisasi.
Sedangkan persentase kadar air pada kitosan sebesar 9,08%, angka ini hampir
mendekati batas maksimum kadar air dari standar kualitas kitosan standar. Menurut
Kurniasih dan Kartika (2011), tingginya kadar air pada kitosan memungkinkan
terjadinya proses swelling pada kitosan, mengingat sifat kitosan yang higroskopis.
Karakterisasi kitin dan kitosan dari cangkang udang wangkang dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometri FTIR. Berikut disajikan spektra IR dari kitin dan
kitosan dari cangkang udang wangkang dan kitosan standar.
Gambar 1.Spektra IR kitin dan kitosan dari cangkang udang wangkang serta kitosan
standar
Keterangan:
Kitin cangkang udang wangkang (garis hitam); kitosan cangkang udang wangkang
(garis ungu); kitosan standar (garis merah)
Pada spektra IR kitosan dari cangkang udang wangkang, muncul pita serapan pada
bilangan gelombang 3410,15 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi streching pada
gugus –OH dan N–H yang saling tumpang tindih, sedangkan pada kitosan standar
pita serapan gugus ini muncul pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1. Vibrasi
stretching dari gugus N–H amida pada kitin muncul pada bilangan gelombang
3271,27 cm-1, pita serapan ini sama sekali tidak muncul pada spektra kitosan
cangkang udang wangkang maupun kitosan standar. Hal inilah yang memperkuat
bahwa telah terjadi pelepasan gugus asetil. Pita serapan pada panjang gelombang
2877,79 cm-1 menandakan adanya vibrasi stretching dari gugus C–H alifatik.
Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1651,07 cm-1 menandakan
adanya vibrasi stretching gugus fungsi C=O karbonil yang masih terdapat pada
kitosan. Pada bilangan gelombang 1597,06 cm-1 muncul pita serapan pada kedua
kitosan yang mengidentifikasikan gugus N–H (vibrasi bending), pita ini tidak
muncul pada spektra kitin. Adanya vibrasi bending gugus C–H ditunjukkan oleh
puncak pada bilangan gelombang 1419,61 cm-1, Vibrasi stretching gugus C–N
kitosan muncul pada pita serapan 1257,59 cm-1 serta gugus C–O stretching
teridentifikasi pada bilangan gelombang 1080,14 cm-1. Gugus metil yang terdapat
pada kitin dan kitosan ditunjukkan pada bilangan gelombang 1381,03 cm-1.
Massa optimum kitosan yang ditentukan pada proses koagulasi ini berkaitan dengan
banyaknya bahan organik yang mempu dikoagulasikan oleh kitosan dalam jumlah
tertentu hingga kondisi optimum tercapai.
Adapun teknik koagulasi yang digunakan meliputi tiga tahapan yakni koagulasi
(pengadukan cepat), flokulasi (pengadukan lambat) dan sedimentasi (pengendapan).
Bahan organik dalam air gambut sebelum dan sesudah dikoagulasikan oleh kitosan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
254 nm. Pengaruh massa kitosan terhadap persen penurunan bahan organik pada air
gambut. Hubungan antara massa kitosan terhadap penurunan bahan organik yaitu
berupa hubungan yang berbanding lurus. Dimana meningkatnya jumlah kitosan
yang ditambahkan ke dalam sampel air gambut mengakibatkan semakin banyaknya
bahan organik yang terkoagulasikan.
Oleh karena itu, semakin banyak jumlah kitosan yang ditambahkan ke dalam sampel
air gambut akan menyebabkan semakin banyak pula bahan organik yang
terkoagulasikan. Namun pada titik tertentu yaitu pada saat penambahan koagulan
kitosan sebanyak 8 gram angka persen penurunan bahan organik justru mengalami
penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa massa optimum kitosan pada proses
koagulasi ini terletak pada massa 7 gram dengan total bahan organik yang berhasil
dikoagulasikan adalah sebanyak 3356,46 mg/L dan angka persen penurunan bahan
organik sebesar 64,39%. Hal ini didukung juga oleh hasil perhitungan uji statistik
dengan tingkat kepercayaan 95% (uji BNT) bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap persen penurunan bahan organik oleh variasi massa kitosan.
Tercapainya kondisi optimum pada saat proses koagulasi oleh faktor massa
koagulan ini menandakan bahwa kinerja maksimum kitosan sebagai koagulan telah
terjadi tercapai.
5. Penentuan pH Optimum
Adanya keterkaitan antara air gambut, proses koagulasi dan kinerja kitosan terhadap
parameter pH menjadi alasan perlunya dilakukan penentuan pH optimum dalam
penelitian ini. Tujuan penentuan pH optimum proses koagulasi oleh kitosan adalah
untuk mengetahui seberapa banyak bahan organik yang mampu dikoagulasikan oleh
kitosan pada beberapa variasi pH. Kitosan memegang peranan penting sebagai
koagulan, sifatnya yang mampu menghasilkan polikation pada suasana asam
dipandang sangat cocok dalam mengkoagulasikan bahan organik dalam air gambut
yang umumnya memiliki pH yang asam.
Kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkatnya pH, dalam hal ini
semakin basa suasana air gambut maka bahan organik yang terkoagulasikan
semakin sedikit. Suasana basa pada sampel air gambut ini memberikan pengaruh
terhadap kinerja dari kitosan sebagai koagulan. Pada rentang pH basa, kitosan tidak
mampu memprotonasi gugus aktifnya yaitu gugus –NH2 menjadi NH3+ sehingga
muatan polikation kitosan kurang mampu berinteraksi dengan muatan negatif dari
partikel koloid (bahan organik). pH optimum proses koagulasi bahan organik
dicapai pada pH 3 dengan total bahan organik yang terkoagulasikan sebanyak
2959,29 mg/L dan persen penurunan bahan organik sebesar 67,82%. Hal ini
diperkuat pula melalui perhitungan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95% (uji
BNT) yang menyatakan bahwa rata-rata persen penurunan bahan organik pada
proses koagulasi dengan berbagai variasi pH saling berbeda signifikan. Tercapainya
pH optimum pada pH 3 dapat diartikan bahwa pada kondisi asam, kitosan mampu
mengkoagulasikan bahan organik dengan baik. Namun, hal ini justru berbanding
terbalik pada pH 2 dimana kitosan hanya mampu mengkoagulasikan bahan organik
sebanyak 0,38% saja.