Anda di halaman 1dari 8

Nama : M.

Habib Maulana
NIM : 8111416117
Makul : Hukum Asuransi
Rombel : 02
Dosen : Baidhowi S.ag., M.ag

PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ASURANSI SYARIAH

1. Pengertian Asuransi Syariah

Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara
sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui Akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh
kontribusi/premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami
oleh sebagian peserta. Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan
pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung risiko”. Apabila terjadi
musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi
transfer risiko (transfer of risk atau “memindahkan risiko”) dari peserta ke perusahaan seperti pada
asuransi konvensional. Peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai
pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Jadi pada
asuransi syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai
penanggung seperti pada asuransi konvensional.

2. Tabarru’

Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam adalah Hibah).
Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta
asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat
asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’ dari para peserta asuransi syariah ini maka semua
dana untuk menanggung risiko dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak polis
pada asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan
perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena dana-dana yang terhimpun
dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara baik dari segi administratif
maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi untuk
bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola dana-dana tersebut secara baik. Jadi jelas di
sini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan
BUKAN sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi hanya
MENGELOLA dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana tersebut jika
tidak ada kuasa dari peserta. Dengan demikian maka unsur ketidakjelasan (Gharar) dan untung-
untungan (Maysir) pun akan hilang karena:
1) Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi
perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2) Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non-syariah) di mana pemegang polis
tidak mengetahui secara pasti berapa besar jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh
perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil daripada pembayaran klaim yang
dilakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan
menginvestasikan dananya ke mana saja.

3. Dasar Hukum

• Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi
menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
• Surat Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu
sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang
dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal
kamu tahu (al:Baqarah:188)
• Al Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah
kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.

4. Keuntungan Asuransi Syariah

A. Pembagian Keuntungan

Kontribusi yang disetorkan ke dalam asuransi syariah akan menjadi hak milik semua peserta. Dana
inilah yang kemudian akan digunakan untuk membayar klaim dari peserta. Jika nilai kontribusi
lebih besar daripada nilai klaim, akan ada surplus keuntungan yang didapatkan. Namun, jika
ternyata nilai klaim lebih besar daripada jumlah kontribusi yang masuk, itu berarti adanya defisit
keuntungan.

Dalam konsep asuransi syariah, surplus keuntungan ini akan dibagi menjadi:

 60% akan ditahan menjadi saldo tabarru.


 30% dibagikan kepada peserta asuransi.
 10% untuk pengelola.

Pembagian surplus keuntungan ini akan dilakukan secara proporsional, yaitu semakin besar nilai
kontribusi, akan semakin besar keuntungan yang didapatkan peserta. Hal sebaliknya juga berlaku
untuk pembagian ini.

Sementara jika terjadi defisit keuntungan, langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil
dana tabarru yang ada. Seandainya dana tersebut tidak mencukupi, akan diajukan sejumlah
pinjaman dengan menggunakan akad qardh kepada pihak perusahaan asuransi untuk menutupi
defisit tersebut. Selama defisit ini belum tertutupi maka tidak akan dilakukan pembagian surplus
keuntungan.

B. Double Claim dan Penggunaan Polis Bersama


Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah menggunakan satu polis untuk semua
anggota keluarga sekaligus. Penggunaan polis bersama ini tentu akan lebih menguntungkan karena
premi/kontribusi yang harus dibayarkan menjadi lebih ringan.

Asuransi syariah juga memungkinkan peserta untuk melakukan double claim tanpa memerhatikan
berapa klaim yang telah dibayarkan asuransi lain atau BPJS. Jadi, kalau plafon asuransi syariah
Anda sebesar Rp15 juta, uang yang diterima jika mengklaim tetap Rp15 juta walaupun Anda telah
mengklaim dari BPJS sebesar Rp9 juta.

5. Perbedaan Asuransi Syariah Dengan Asuransi Konvensional

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:

 Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi
produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini
tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.

 Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli

 Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan
pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya

 Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas
menentukan alokasi investasinya.

 Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat
pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka
dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah
diniatkan untuk tabarru’.
 Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan
pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
 Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi
konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

6. Sejarah Asuransi Syariah

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi
syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada
24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui
Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen
Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.
Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi
jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan
asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah
Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi
bisnis asuransi syariah di Indonesia.
Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi
syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh
maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.
Asuransi syariah sudah mulai dikenal semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada tahun
1994. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan
mencapai US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi terbesar kedua setelah
Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic Banking and Insurance di London
sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan asuransi konvensional jumlah premi ini
sangatlah kecil.

7. Perkembangan Dan Pertumbuhan Asuransi Syariah Di Indonesia

Keuntungan perusahaan Asuransi Syariah diperoleh dari berbagai keuntungan dana dari
peserta, yang dikembangkan dengan prinsip sistem bagi hasil (mudharabah). Keuntungan yang
diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan
yang telah disepakati oleh nasabah dengan perusahaan Asuransi.
Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001
baru mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini sedang
digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang
signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang
sesuai dengan hukum Islam. Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah
untuk pengamanan aset dan transaksi perbankan. Perkembangan bisnis asuransi syariah yang saat
ini berkembang di Indonesia, dimulai sejak awal 1990-an. Sampai saat ini berkembang dengan
sangat menjanjikan. Dari sisi populasi kita tahu, jumlah penduduk Indonesia itu kelima terbesar di
dunia.
Selain itu, penduduk muslimnya sekitar 88 persen dari lebih dari 220 juta penduduk yang
ada. Jadi secara keseluruhan Indonesia memiliki potensi pengembangan bisnis asuransi syariah
cukup menjanjikan. Potensi pengembangan bisnis asuransi syariah masih sangat besar, meskipun
pasarnya belum matang. Kalaupun sudah matang, memang masih harus menggali lagi. Apalagi,
sekarang ini belum banyak juga ya ng mengakses layanan asuransi secara nasional.

KESIMPULAN

Takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada
syariat Islam dengan mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunah. perkembangan asuransi syariah
juga cenderung positif dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (BapepamLK), hingga bulan November 2007, telah ada setidaknya 38
perusahaan asuransi yang beroperasi sesuai dengan ketentuan syariah. Dengan itu marilah kita
bersama- sama ikut berperan aktif dalam menggalakkan perkembangan lembaga non bank yang
berbasis.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Haryadi, Republika, Prospek Bisnis Asuransi Syariah Takaful, 14 Februari 2000.

AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukm Islam , Kencana, Jakarta, 2004

Masyhuril Khamis, ”Takaful, Asuransi Syari’ah: Suatu Solusi”, Republika 1 Des. 2000.

Muhammad Syafi’I Antonio, Asuransi Dalam Perspektif Islam , STI, Jakarta, 1994.

Prodjokoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Pembimbing, Jakarta, 1958

Anda mungkin juga menyukai