Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

DIABETES MELLITUS

Oleh :
Kelompok 11

Intan Putri Pusparini 182211101063

Ni’matin Choiroh 182211101064

Stevanus Ary Pratama 182211101065

Vinsensia Meykarlina Poerba 182211101066

Tsulsiyah Zahroh Putri 182211101067

Sri Respati Ayuningsih 182211101068

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Diabetes Mellitus


1.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang dikarakterisasi dengan
hiperglikemia dan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sebagai hasil dari
rendahnya sekresi insulin, sensitifitas insulin atau keduanya. DM mengakibatkan komplikasi
mikrovaskular, makrovaskular dan neuropatik kronis (Dipiro, 7ed).
1.1.2 Etiologi
Diabetes Mellitus (DM) adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam
tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan
tubuh. DM sendiri diklasifikasikan menjadi 2, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 2
merupakan DM yang tidak tergantung pada insulin, karena pada pasien DM tipe 2 pankreas
masih dapat menghasilkan insulin, hanya saja terjadi resistensi terhadap insulin ataupun
gangguan sekresi insulin di dalam tubuh.
Mekanisme pasti penyebab resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe
2 masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses
terjadinya DM tipe 2. Berikut ini merupakan etiologi DM tipe 2 :
a. Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun.
b. Obesitas
Pada orang yang mengalami obesitas, tubuhnya memiliki kadar lemak yang tinggi
atau berlebihan sehingga jumlah cadangan energi dalam tubuhnya juga banyak, begitupun
dengan yang tersimpan dalam hati dalam bentuk glikogen. Insulin merupakan hormon
yang bertugas untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah yang mengalami penurunan
fungsi akibat kerja keras melakukan tugas pendistribusian glukosa sekaligus
pengkompresian dan peningkatan glukosa darah. Hal tersebut menyebabkan resistensi
insulin dan berdampak terjadinya DM tipe 2.
c. Riwayat keluarga
1.1.3 Gejala Klinis Diabetes dengan Hipertensi dan CVA
Pasien diabetes tipe 2 biasanya tidak menampakkan gejala dan didiagnosa melalui test
darah pasien sehingga pasien sering kali tidak menyadari dirinya mengidap penyakit diabetes.
Bila tampak gejala, gejala klinis yang biasa menyertai antara lain :

 Poliuria
 Polidipsia
 Polifagia
 Penurunan berat badan secara signifikan yang tidak jelas penyebabnya
 Lemas, mudah lelah
 Sering kesemutan
 Pengelihatan kabur
 Penyembuhan luka yang buruk/lambat
th
 Obesitas (Dipiro 9 Ed.)

1.1.4 Patofisiologi
a. DM tipe 2 memiliki karakteristik sekresi insulin yang tidak adekuat, resistensi insulin,
produksi glukosa hepar yang berlebihan dan metabolisme lemak yang tidak normal. Pada
tahap awal, toleransi glukosa akan terlihat normal, walaupun sebenarnya telah terjadi
resistensi insulin. Hal ini terjadi karena kompensasi oleh sel beta pankreas berupa
peningkatan pengeluaran insulin. Proses resistensi insulin dan kompensasi
hiperinsulinemia yang terus menerus terjadi akan mengakibatkan sel beta pankreas tidak
lagi mampu berkompensasi (Harrison, 2012). Apabila sel beta pankreas tidak mampu
mengkompensasi peningkatan kebutuhan insulin, kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi DM tipe 2.
b. Keadaaan yang menyerupai DM tipe 1 akan terjadi akibat penurunan sel beta yang
berlangsung secara progresif yang sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mensekresikan insulin sehingga menyebabkan kadar glukosa darah semakin meningkat
(Rondhianto, 2011). Selain itu DM tipe 2 disebabkan buruknya pola hidup seperti
merokok, makan-makanan yang berisiko seperti makanan manis, makanan asin,
berpenyedap, berlemak, dan mengandung banyak kolesterol yang di mana perilaku
tersebut akan menganggu elastisitas pembuluh darah dan bisa juga menyebabkan
penyumbatan yang akan menjadi aterosklerosis.
1.1.5 Klasifikasi
a. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam
pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik.
Diabetes tipe ini terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat
hilangnya sel beta penghasil insulin pada sel langerhans pankreas.
b. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin. DM ini merupakan tipe diabetes melitus yang terjadi
bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan
kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang
mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap
insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon yang
menyebabkan resistensi sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap
insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada
kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.

c. Diabetes gestasional, diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan (terjadi pada
kehamilan trimester kedua maupun ketiga) dan pulih setelah melahirkan, dengan
keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.

d. Diabetes Tipe Spesifik karena penyebab lain, misalnya sindrom diabetes monogenik
(meliputi neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young), penyakit eksokrin
pankreas, diabetes yang diinduksi oleh obat atau bahan kimia (seperti penggunaan
glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah melakukan transplantasi
organ) (ADA, 2018).

1.1.6 Tata Laksana Terapi


Tujuan dilakukannya terapi dabetes yaitu untuk memperbaiki gejala, mengurangi risiko
mikrovaskular dan makrovaskular komplikasi, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan
kualitas hidup.
a. Terapi Non Farmakologi :
 Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien. Untuk DM tipe 1 fokus untuk
mengatur administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan menjaga berat
badan yang sehat. Direkomendasikan makan makanan yang mengandung karbohidrat
sedang dan rendah lemak jenuh. Pasien dengan DM tipe 2 dibutuhkan pembatasan
asupan kalori untuk meningkatkan penurunan berat badan (Dipiro, 9ed ).
 Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mengkontrol glikemik dan
mengurangi resiko kardiovaskular. Menurut ADA (2018), aktivitas fisik 150
menit/minggu, seperti jalan cepat bermanfaat bagi pasien prediabetes dan dapat
meningkatkan sensitivitas insulin.
 Terapi gaya hidup untuk mengurangi resiko komplikasi diabetes (AACE, 2018).

b. Terapi Farmakologi DM Tipe 1


 Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus diterapi dengan insulin prandial dan
insulin basal secara subkutan secara terus menerus (A).
 Sebagian besar orang dengan diabetes tipe 1 harus menggunakan analog insulin kerja
cepat untuk mengurangi risiko hipoglikemia (A).
Insulin adalah terapi utama bagi pasien DM tipe 1 dengan dosis awal didasarkan pada
berat badan, mulai dari 0,4-1,0 unit/kg/hari. Jumlah lebih tinggi diperlukan selama masa pubertas
(ADA, 2018). Pada DM tipe 1, kebutuhan insulin harian rata-rata adalah 0,5 hingga 0,6 unit/kg.
Persyaratan bisa turun 0,1 hingga 0,4 unit/kg dalam honeymoon phase. Dosis yang lebih tinggi
(0,5-1 unit/kg) selama penyakit akut atau ketosis. Pada DM tipe 2, rentang dosis 0,7 hingga 2,5
unit/kg diperlukan untuk pasien dengan resistensi insulin yang signifikan (Dipiro, 9ed).
Hipoglikemia dan pertambahan berat badan adalah efek samping insulin yang paling
umum. Terapi hipoglikemia adalah sebagai berikut:
- Glukosa (10-15 g) diberikan secara oral untuk pasien yang sadar.
- Dekstrosa IV mungkin diperlukan untuk pasien yang tidak sadar.
- Glukagon, 1 g secara intramuskular, lebih disukai pada pasien yang tidak sadar ketika
secara intravena tidak bisa diberikan (Dipiro, 9Ed)
c. Terapi Farmakologi DM Tipe 2
 Inisial terapi
Monoterapi metformin dimulai pada diagnosis diabetes tipe 2 kecuali ada
kontraindikasi. Metformin efektif dan aman, tidak mahal dan dapat menurunkan resiko
terjadinya kardiovaskular dan kematian. Dibandingkan dengan sulfonylureas,
metformin sebagai lini pertama terapi memiliki efek menguntungkan pada A1C, berat
badan, dan mortalitas kardiovaskular. Metformin dapat digunakan dengan aman pada
2
pasien dengan eGFR serendah 30 mL/menit/1,73 m dan FDA baru-baru ini merevisi
label metformin untuk mencerminkan keamanan pada pasien dengan eGFR ≥ 30
2
mL/min/ 1,73 m . Pasien harus menghentikan penggunan obat jika mengalami mual,
muntah, atau dehidrasi (ADA, 2018).
Pada pasien dengan kontraindikasi metformin atau intoleransi terhadap
metformin, pertimbangkan obat dari kelas lain (Fig 8.1). Ketika nilai A1C adalah ≥ 9%
(75 mmol/mol), pertimbangkan untuk memulai terapi kombinasi (Fig 8.1) untuk
mencapai A1C target dengan cepat (ADA, 2018).

 Terapi kombinasi
Jika target A1C tidak tercapai setelah kira-kira 3 bulan dan pasien tidak menderita
atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD), pertimbangkan terapi kombinasi
metformin dengan yang lain dari enam pilihan terapi : sulfonylurea, tiazolidinedione, DPP-
4 inhibitor, inhibitor SGLT2 , GLP-1 reseptor agonis, atau insulin basal. Pilihan terapi
didasarkan pada efek obat dan faktor pasien (ADA, 2018).
Jika target A1C masih belum tercapai setelah 3 bulan dual terapi, dilanjutkan ke
kombinasi tiga obat. Sekali lagi, jika target A1C tidak tercapai setelah 3 bulan terapi tiga
obat, dilanjutkan ke kombinasi terapi injeksi. Pemilihan obat didasarkan pada preferensi
pasien, karakteristik pasien, penyakit, dan karakteristik obat dengan tujuan mengurangi
glukosa darah dan meminimalkan efek samping khususnya hipoglikemia (ADA, 2018).
1.2 Hipertensi
1.2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang persisten. Joint National
Committee ( JNC 7) mengklasifikasikan tekanan darah pasien dewasa seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Pasien Dewasa

Pasien dengan tekanan darah diastolik <90 mmHg dan tekanan darah sistolik ≥140
mmHg disebut isolated systolic hypertension. Sedangkan hipertensi krisis yaitu tekanan darah >
180/120 mmHg dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Hipertensi
emergensi jika terjadi kenaikan tekanan darah akut yang disertai peningkatan kerusakan organ
target sedangkan hipertensi urgensi jika kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan kerusakan
organ target.
Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi yaitu cerebrovascular accidents (CVA),
kardiovaskuler dan gagal ginjal. Kemungkinan terjadinya kematian dini berkaitan dengan
keparahan peningkatan tekanan darah.
1.2.2 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer).
Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari
populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder, yaitu endogen maupun eksogen. Bila
penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial.
 Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi
primer). Hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Dikatakan
hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut.
Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah
diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi
primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang
monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga
dilaporkan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urin, pelepasan
nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.
 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid
atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel). Hipertensi
sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta
akibat obat. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi
dengan menaikkan tekanan darah, salah satunya kortikosteroid. Apabila penyebab sekunder
dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.
1.2.3 Patofisiologi
Penyakit diabetes akan meningkatkan risiko untuk terjadinya hipertensi. Karena pada
kondisi diabetes tipe 2 terjadi peningkatan pengeluaran insulin dalam darah, kondisi tersebut
meningkatkan penyerapan jumlah natrium didalam tubuh. Penyerapan natrium akan
meningkatkan kadar kalium dalam darah dan akan menyebabkan terstimulasikan sistem saraf
simpatik. Hal ini menyebabkan perubahan struktur dalam darah yang mempengaruhi fungsi
jantung dan tekanan darah. Masalah vaskular yang timbul dikarenakan diabetes dan diperparah
dengan hipertensi, pola makan yang tidak baik serta kurangnya aktivitas fisik. Sehingga diabetes
adalah kondisi dimana secara tidak langsung akan mempengaruhi untuk terjadinya hipertensi.
1.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi didasarkan pada nilai tekanan darah pasien. Dibagi menjadi 3 yakni
pre-hipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2 (Dipiro, 2015).

Selain klasifikasi diatas terdapat juga :

 Hipertensi gestasional atau tekanan darah tinggi yang terjadi pada saat kehamilan di atas 20
minggu dan protein pada air seni adalah negatip dan harus dilakukan pengukuran tekanan
darah dua kali dengan selang waktu lebih dari 6 jam dan keduanya menunjukkan tekanan
darah lebih besar dari 140/90.

1.2.5 Tata Laksana Terapi Hipertensi (Terlampir)


1.3 Cerebrovascular Accidents Thrombus atau stroke

1.3.1 Definisi

Stroke merupakam kondisi klinis berupa defisit neurologis fokal yang mendadak
berlangsung setidaknya 24 jam dan diduga berasal dari pembuluh darah. Stroke dapat berupa
iskemik atau hemoragik. Serangan iskemik sementara berupa defisit neurologis iskemik fokal
yang berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit.

1.3.2 Etiologi

a. Trombosis
Trombosis merupakan penyebab utama dari stroke. Thrombus yang merupakan penyebab
tersebut sering terjadi pada pembuluh darah yang mengalami orterosklerosis. Terbentuknya
thrombus biasanya di bifurkasia (percabangan) arteri, dan umumnya pada pertemuan antara
arteri korotis interna dan arteri vertebra atau antara arteri vertebra dan arteri basiler. Thrombus
sering terjadi pada susila dan penyakit jantung aterosklerotik. Stroke karena trombosis akan
lebih berat bila didahului iskemia atau bersama iskemia.
b. Emboli Serebral
Embolus yang terjadi berupa bekuan darah, lemak, bakteri, tumor dan udara sehingga
menyebabkan sumbatan. Tempat tersangkutnya (berhentinya) embolus umumnya di pembuluh
darah kecil di daerah bifurkasia. Embolus berasal dari jantung kiri atau plaque dari arteri
karotis yang mengalami arteroklerotis. Daerah yang mengalami stroke adalah daerah yang
dialiri oleh arteri serebri media.
c. Iskemia / TIA
Iskemia yang terjadi karena thrombus atau plaque arterosklerosis yang terlepas sehingga
mengganggu aliran darah atau menyumbat. TIA merupakan keadaan awal atau serangan
sebelum stroke atau sering disebut Angina Serebral. Stroke yang terkena iskemia dapat terjadi
6 bulan setelah menderita TIA atau mengalami TIA secara berulang.
d. Perdarahan Serebral
Perdarahan serebral merupakan penyebab stroke yang paling fatal. Pembuluh darah yang
pecah menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak atau area sekitarnya.
1) Perdarahan Ekstradural (perdarahan epidural)
Terjadi karena fraktur tengkorak dan sobekan pada arteri serebral media.
2) Perdarahan Subdural (antara durameter dan arachoid)
Pada dasarnya sama dengan perdarahan epidural, tetapi pembuluh darah yang pecah adalah
vena, terjadi dalam periode yang lama sehingga terjadi hematom menyebabkan tekanan di
dalam otak meningkat.
3) Perdarahan Subarachnoid
Terjadi terutama karena hipertensi atau trauma, terbanyak disebabkan oleh aneurisma yaitu
terjadi kebocoran pada area lingkaran Willisi dan malformasi arteriovenous congenital.
4) Perdarahan Intraserebral
Terjadi karena dengan hipertensi atau arteriosclerosis serebral. Terjadi juga karena
perubahan degeneratif penyakit yang biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah.
e. Faktor resiko
1) Usia: makin bertambah usia resiko stroke makin tinggi, hal ini berkaitan dengan elastisitas
pembuluh darah.
2) Jenis kelamin: laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi.
3) Ras dan keturunan: stroke lebih sering ditemukan pada kulit putih.
4) Hipertensi: hipertensi menyebabkan aterosklerosis pembuluh darah serebral sehingga lama-
kelamaan akan pecah menimbulkan perdarahan.
5) Penyakit jantung: pada fibrilasi atrium menyebabkan penurunan kardiak output, sehingga
terjadi gangguan perfusi serebral.
6) Diabetes mellitus: terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi hambatan dalam aliran darah
ke otak.
7) Polisitemia: kadar Hb yang tinggi (> 16 mg/dl) menimbulkan darah menjadi lebih kental
dengan demikian aliran darah ke otak lebih lambat.
8) Perokok: rokok menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi
aterosklerosis.
9) Alcohol: pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan aliran darah ke otak dan
aritmia.
10) Peningkatan kolesterol: kolesterol dalam tubuh menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya lemak sehingga aliran darah lambat.
11) Obesitas: pada obesitas kadar kolesterol darah meningkat dan terjadi hipertensi
1.3.3 Gejala

1.3.4 Patofisiologi
Kondisi DM sendiri, akan menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga membentuk
bekuan darah yang disebut thrombus. Pada proses ini akan terjadi penurunan aliran darah lebih
lanjut. Pada beberapa kasus thrombus akan membesar dan menutup lumen arteri, atau thrombus
dapat terlepas dan membentuk emboli yang akan mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di
daerah yang lain. Jaringan yang memperoleh vaskularisasi dari arteri yang tersumbat oleh emboli
tersebut akan mati karena kehilangan suplai oksigen secara cepat yang dapat menyebabkan
gangguan atau kerusakan fungsi otak (Stroke) (Gofur, 2009).

1.3.5 Klasifikasi
Klasifikasi stroke dibagi menjadi 2 jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. a. Stroke iskemik
Dalam stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri
yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri
vertebralis. Arteri carotis interna merupakan cabang dari arteri carotis communis sedangkan
arteri vertebralis merupakan cabang dari arteri subclavia.

b. Stroke hemoragik
Dalam stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Pendarahan
dapat terjadi di seluruh bagian otak seperti caudate putamen; talamus; hipokampus; frontal,
parietal, dan occipital cortex; hipotalamus; area suprakiasmatik; cerebellum; pons; dan
midbrain. Stroke hemorragik terbagi menjadi subtipe intracerebral hemorrhage (ICH),
subarachnoid hemorrhage (SAH), cerebral venous thrombosis, dan spinal cord stroke. ICH
lebih lanjut terbagi menjadi parenchymal hemorrhage, hemorrhagic infarction, dan punctate
hemorrhage.

1.3.6 Tata Laksana Terapi


Tujuan terapi stroke adalah untuk mengurangi cedera neurologis yang sedang
berlangsung dan menurunkan mortalitas dan disabilitas jangka panjang; mencegah komplikasi
imobilitas sekunder dan disfungsi neurologis, dan mencegah kekambuhan stroke.
Terapi Non Farmakologi
 Acute ischemic stroke
Dekompresi bedah terkadang diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Dalam
pencegahan sekunder, endarterektomi karotis dan pasien.
 Hemorrhagic stroke
Pada subarachnoid hemorrhage (SAH), intervensi bedah untuk memotong atau
mengaburkan kelainan vaskular mengurangi mortalitas dari perdarahan ulang. Penyisipan
saluran keluar ventrikel eksternal dengan pemantauan tekanan intrakranial.

Terapi Farmakologi
 Ischemic stroke
 Hemorrhagic stroke
SAH karena ruptur aneurisma sering dikaitkan dengan iskemia serebral yang tertunda
dalam 2 minggu setelah episode perdarahan. Vasospasme pembuluh darah otak dianggap
bertanggung jawab atas iskemia yang tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah
pendarahan. Penghambat saluran kalsium nimodipine 60 mg setiap 4 jam untuk 21 hari,
bersama dengan pemeliharaan volume intravaskular dengan terapi pressor
direkomendasikan untuk mengurangi insiden dan keparahan defisit neurologis yang
dihasilka dari iskemia yang tertunda ( Dipiro, 9 Ed).
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L. 2009. Drug Information
th
Handbook, 17 Edition. Lexi-Comp for the American Pharmacists Association.

American Diabetes Association. 2013. Standar of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care.
2013; 36(suppl 1): 11-66.

Camilleri , Michael, Henry P. Parkman , MD 2 , Mehnaz A. Shafi , MD 3 , Th omas L. Abell ,


MD 4 and Lauren Gerson , MD, MSc. 2012. Clinical Guideline : Manajement of
Gastroparesis : The American Journal of Gastroenterology.

Carol P., L. Ling., A. Gyory., R. Grigg., E. Gallery., R. Caterson., L. Ibels., J. Mahony., dan D.
Waugh., 1989. Dysmorphism of urinary red blood cells—Value in diagnosis. China :
Australia and Ji-Nan University.

Dipiro, J.C., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M.2015.
th
Pharmacoteraphy. A Pathophysiolog Approach, 9 edition. USA.

James, P. A. 2013. 2014 Evidnce-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure
in Adults : Report From the Panel Members Appointed to the Eighy Joint Nasional
Committee (JNC 8). American Medical Association : JAMA.

Perhimpunan Dokter Dpesialis Kardiovaskular Indonesia. 2017. Pedoman Tata


Laksana Dislipidemia. Indonesian Heart Association : PERKI.
Seputra, Kurnia P. Dkk. 2015. Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015.
Surabaya : Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai