Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

I. DEFINISI

Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik


di Negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.Berdasar
proporsi angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45 – 54 tahun,
penyakit jantung iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab
kematian.Urutan pertama adalah stroke (15.9%) dan urutan kedua adalah diabetes
melitus (14.7%). Pada kelompok umur yang sama untuk daerah pedesaan,
penyakit jantung iskemik merupakan urutan keempat.

Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk


meningkatkan daya tahan hidup setelah terjadinya henti jantung.Meskipun
pencapaian optimal dari RJP ini dapat bervariasi, tergantung kepada kemampuan
penolong, kondisi korban, dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar
tetap pada bagaimana melakukan RJP sedini mungkin dan efektif.

Bantuan hidup dasar menekankan pada pentingnya mempertahankan


sirkulasi dengan segera melakukan kompresi sebelum membuka jalan napas dan
memberikan napas bantuan.Perubahan pada siklus bantuan hidup dasar menjadi
C-A-B ( compression – airway – breathing) ini dengan pertimbangan segera
mengembalikan sirkulasi jantung sehingga perfusi jaringan dapat terjaga. Rantai
pertama pada rantai kelangsungan hidup (the chain of survival) adalah mendeteksi
segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai kedua
adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary resuscitation),
rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early defibrillation), rantaikeempat adalah
tindakan bantuan hidup lanjut segera (early advanced cardiovascular life support)
dan rantai kelima adalah perawatan pasca henti jantung (arrest care)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien


sindroma koroner akut (SKA) dapat terjadi suatu irama yang menyebabkan henti
jantung mendadak (death/SCD). Kebanyakan pasien mengalami takikardi

1
ventrikel (tachycardia/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan akhirnya
direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan lagi
menjadi asistol.Rantai kelima adalah perawatan pasca henti jantung (Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindrom koroner akut
(SKA) dapat terjadi iraa fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation suatu irama
yang menyebabkan henti jantung mendadak /SCD). Kebanyakan pasien
mengalami takikardi ventrikel (/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan
akhirnya direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan
lagi menjadi asistol. Terapi optimal untuk mengatasi VF adalah resusitasi jantung
paru (RJP) dan defibrilasi elektrik. 2) dan rantai kelima adalah perawatan pasca
henti jantung (post cardiac-Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar
40% pasien sindroma ventricular fibrillation/VF),suatu irama yang menyebabkan
henti jantung mendadak (sudden cardiac/SCD). Kebanyakan pasien mengalami
takikardi ventrikel (ventricular/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan
pada saat pasien.

2
BAB II

RUANG LINGKUP

Pada panduan resusitasi ini akan ditekankan pada pemberian bantuan


hidup dasar yang harus dikuasai oleh setiap dokter, dokter gigi, dokter spesialis
maupun first responder di lapangan. Bantuan hidup dasar diutamakan pada
penanganan airway,breathing,circulation berdasarkan panduan terbaru dari
American Heart Association 2010 mengenai Panduan Resusitasi Jantung Paru
(RJP). Beberapa hal yang ditekankan pada panduan resusitasi ini yaitu :

1. Kecepatan kompresi minimal 100 kali/ menit (perubahan dari panduan


sebelumnya yang menyatakan “kurang lebih” 100 kali/ menit).
2. Kedalaman kompresi paling tidak 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
kedalaman kompresi paling tidak sepertiga diameter antero posterior
dari thorax pada bayi dan anak (kurang lebih 1.5 inchi (4 cm) pada
bayi dan 2 inchi (5 cm) pada anak). Perhatikan bahwa rentang 1.5
sampai 2 inchi tidak lagi digunakan untuk korban dewasa, dan
kedalaman absolut yang direkomendasikan untuk anak dan bayi lebih
dalam daripada versi AHA sebelumnya.
3. Menciptakan pengembangan dinding dada yang optimal di setiap akhir
kompresi.
4. Meminimalkan kompresi saat melakukan kompresi dada.
5. Menghindari ventilasi yang berlebihan.

Detail dari tiap-tiap siklus C – A – B akan dijelaskan pada bab berikutnya.

3
BAB III
TATA LAKSANA

A. Bantuan Hidup Dasar Dewasa


Bila menemukan penderita dalam keadaan henti jantung, harus segera
memberikan pertolongan pertama berupa Bantuan Hidup Dasar (BHD).BHD
dapat dilakukan oleh satu atau dua penolong.

Tahapan yang harus dilakukan dalam BHD adalah sebagai berikut :

1. Tahap Pertolongan

a. Penolong yang mengetahui pertama kali harus segera melakukan penilaian


dini kesadaran korban.
b. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
c. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk bahu.
d. Meminta bantuan pertolongan atau mengaktifkan sistem pengananan
kegawat daruratan terpadu.

2. Tahap Resusitasi Jantung Paru


a. Lakukan pengecekan nadi karotis untuk memastikan apakah penderita
mengalami henti jantung atau tidak (nadi karotis normal : 60 – 100 kali/
menit).
b. Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, dengan ketentuan sebagai
berikut :
1) Kompresi dada minimal 100 kali/ menit.
2) Kedalaman kompresi dada minimal 2 inchi (5 cm) pada dewasa, 1.5 – 2
inci (4 – 5.cm) pada bayi dan anak.
3) Upayakan pengembangan dada secara sempurna (complete chest recoil)
di setiap kompresi.
4) Minimalkan interupsi selama melakukan kompresi dada.
c. Lakukan pemeriksaan jalan napas untuk mengevaluasi apakah ada
sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas dapat digolongkan sebagai
sumbatan jalan napas total dan sumbatan jalan napas parsial.

4
 Sumbatan jalan napas parsial memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara di perifer masih baik.
2) Masih ada suara napas
3) Ditemukan suara napas tambahan saat inspirasi (gurgling atau
snoring)
4) Ada upaya batuk dari pasien untuk mengeluarkan sumbatan.
5) Pasien masih mampu berbicara meskipun terbata-bata atau satu dua
patah kata
6) Akral hangat.
 Sedangkan sumbatan jalan napas total memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara buruk atau tidak ada
2) Batuk yang lemah, tidak efektif, atau tidak ada
3) Suara napas tambahan saat inspirasi atau tidak ada suara napas
4) Kesulitan bernapas
5) Sianosis
6) Tidak mampu bicara
7) Memegangi leher
8) Akral dingin.

d. Bila ditemukan adanya sumbatan, lakukan pembebasan jalan napas dengan


cara sebagai berikut :

1) Tekan dahi angkat dagu (head tilt – chin lift ) bila tidak ada trauma
2) Mendorong rahang bawah (jaw trust) bila ada trauma.
3) Berikan napas bantuan sebanyak 2 kali, setiap napas bantuan selama
1 detik. Cara memberikan napas bantuan dapat menggunakan
teknik dari mulut ke mulut atau menggunakan alat (masker atau
bagging).
4) Setelah memberikan napas bantuan 2 kali, dilanjutkan kompresi dada
sebanyak 30 kali. Berikan napas bantuan 2 kali, lanjutkan
kompresi dada lagi. Lakukan siklus ini sampai 5 kali. Setelah 5 kali
siklus RJP dilakukan pengecekan kembali apakah nadi teraba.
Apabila nadi tetap tidak ada, RJP tetap dilakukan sampai tim

5
bantuan emergensi dating atau tersedia alat defibrilasi dan siap
digunakan.

B. Terapi Elektrik

Defibrilasi

Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui


dinding dada menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel-sel miokard dan
menghilangkan VF. Pengaturan energi untuk defibrilator diatur untuk
menyediakan energi dengan tingkat terendah namun masih efektif dalam
menghilangkan VF. Karena defibrilasi merupakan suatu proses elektrofisiologis
yang terjadi dalam 300 – 500 milidetik setelah penghantaran energi, istilah
“defibrilasi” (keberhasilan shock) didefinisikan sebagai hilangnya VF selama
kurang lebih 5 detik setelah dilakukan kejutan listrik.

Kardioversi tersinkronisasi

Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan


dengan kompleks QRS (sinkron).Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk
kejut sinkronisasi lebih rendah dari yang digunakan untuk kejut yang
tidak tersinkronisasi (defibrilasi).Hantaran kejut tersinkronisasi (kardioversi)
diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak stabil yang berhubungan
dengan pembentukan kompleks QRS dan irama nadi. Pasien yang tidak
stabil memperlihatkan tanda-tanda perfusi yang jelek termasuk status mental
yang berubah, nyeri dada berlanjut, hipotensi, atau tanda lain syok dan
edema paru. Kardioversi tersinkronisasi direkomendasikan untuk mengobati
SVT yang tidak stabil akibat reentry, atrial fibrilasi, dan atrial
flutter.Hantaran kejut dapat menghentikan irama ini karena memutuskan pola
reentri.Kardioversi juga direkomendasikan untuk mengobati VT monomorfik
yang tidak stabil. Kardioversi tidak akan efektif untuk pengobatan junctional
tachycardia atau ektopik atau multifocal atrial tachycardia karena irama ini
memiliki focus yang otomatis. Dosis energy awal dengan alat bifasik yang
direkomendasikan untuk atrial flutter dan supraventrikular takikardia yaitu 50 –

6
100 J. Jika dengan dosis 50 J awal gagal, penolong dapat meningkatkan dosis
secara bertahap. Pada anak- anak dapat diberikan energi awal 0,5 – 1 J/kg
untuk supra ventricular takikardia, dengan dosis maksimal 2 J/kg.

C. Bantuan Hidup Lanjutan Pada Dewasa


Dalam melakukan bantuan hidup jantung lanjut tetap ditekankan pada
pentingnya RJP yang berkualitas tinggi sebagai manajemen dasar dari henti
jantung. Penghentian RJP secara periodik harus diminimalisir dan hanya
dilakukan untuk menilai ritme jantung, melakukan kejut jantung, menilai pulsasi
nadi karotis bila terdeteksi irama jantung ritmis, atau lakukan manajemen
advanced airway. Melakukan monitor dan optimalisasi kualitas RJP menggunakan
parameter mekanis (kecepatan dan kedalaman kompresi dada, pengembangan
kembali dinding dada secara adekuat, dan meminimalkan intervensi selama
kompresi), atau bila memungkinkan, parameter fisiologis ( partial pressure of end-
tidal CO2 PETCO2], tekanan arteri selama fase relaksasi dinding dada saat
melakukan kompresi, atau saturasi oksigen vena sentral/ central venous oxygen
saturation [Scvo2]). Apabila tidak terdapat sarana manajemen jalan napas tingkat
lanjut, kompresi – ventilasi tersinkronisasi dengan rasio 30:2 lebih
direkomendasikan dengan kecepatan kompresi setidaknya 100 kali per menit.
Setelah penggunaan alat bantu napas tingkat lanjut salah satunya berupa
endotracheal tube (ETT), kompresi harus dilanjutkan dengan kecepatan
setidaknya 100 kali kompresi per menit tanpa harus ada jeda untuk memberikan
ventilasi atau oksigenasi. Ventilasi diberikan setiap 6 atau 8 detik sekali (8 – 10
ventilasi per menit) dan harus menghindari pemberian hiperventilasi.

Ritme yang secara spesifik meningkatkan angka kelangsungan hidup setelah


dilakukan defibrilasi adalah ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi tanpa
pulsasi nadi. Sehingga diharapkan tenaga medis dapat melakukan intervensi
secara tepat pada pasien dengan irama jantung tersebut. Pemasangan akses
intravena, pemberian obat, dan manajemen jalan napas tingkat lanjut, diupayakan
tidak mengganggu kompresi dada atau menunda pemberian defibrilasi.

7
D. Perawatan Pasca Henti Jantung
Perawatan pasca henti jantung merupakan suatu komponen penting pada
bantuan hidup lanjut. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam pertama
setelah onset henti jantung. Suatu keadaan henti jantung akan berdampak terhadap
berbagai sistem organ. Disfungsi organ dan komplikasi pasca resusitasi
memerlukan berbagai tindakan yang terpadu. Tujuan awal dari perawatan pasca
henti jantung adalah :

1.Mengoptimalkan fungsi jantung dan paru serta perfusi organ vital.

a. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, pasien hendaknya dirujuk
ke rumah sakit yang sesuai yang memiliki sistem perawatan pasca
henti jantung yang komprehensif, meliputi intervensi koroner akut,
perawatan neurologika goal – directed critical care, dan hipotermia.
b. Pada kasus henti jantung yang terjadi di rumah sakit, pindahkan pasien
unit perawatan intensif yang sesuai yang mampu memberikan
perawatan pasca henti jantung yang komprehensif.
c. Mencoba mencari dan mengatasi penyebab yang mencetuskan henti
jantung dan mencegah berulangnya henti jantung.
2. Tujuan selanjutnya dari perawatan pasca henti jantung :
a) Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup
dan pemulihan neurologis
b) Mencari dan melakukan tata laksana sindroma koroner akut.
c) Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan trauma pada
paru.
d) Mengurangi resiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan.
e) Secara obyektif menilai prognosis untuk pemulihan.
f) Bila korban selamat, bantu dengan rehabilitasi ketika dibutuhkan.
3. Berbagai sistem organ yang harus diperhatikan pada kembalinya sirkulasi
spontan (return on spontaneus circulation/ ROSC) yaitu :
a. Patensi jalan napas

8
Pasien tidak sadar membutuhkan alat bantu napas lanjut untuk
pemberian ventilasi mekanik. Bila perlu gunakan endotracheal tube
(ETT) untuk menjaga patensi jalan napas. Hindari pemakaian fiksasi
ETT yang melingkari leher pasien karena berpotensi mengganggu
aliran darah vena dari otak.
b. Ventilasi oksigenasi yang cukup
Meskipun oksigen 100% mungkin diperlukan pada awal
resusitasi, oksigen harus dititrasi hingga level paling rendah yang
dibutuhkan untuk mempertahankan saturasi oksigen ≥ 94% untuk
menghindari intoksikasi oksigen. Hiperventilasi atau overbagging
harus dihindari karena dapat meningkatkan tekanan dalam rongga
dada yang kemudian menurunkan cardiac output. Penurunan
PaCO2 yang terjadi pada hiperventilasi berpotensi menurunkan
aliran darah ke otak secara langsung. Ventilasi dapat diberikan
mulai 10 – 12 kali per menit dan dititrasi untuk mencapai PaCO2 40 –
45 mmHg. Sedangkan untuk ventilasi mekanik harus diatur
berdasarkan saturasi oksihemoglobin, nilai AGDA, ventilasi per
menit, dan kesesuaian ventilator.
c. Sirkulasi
Pengawasan tanda vital dan aritmia harus dilakukan secara
kontinyu. Monitoring EKG kontinyu harus dilanjutkan setelah
ROSC, selama transport, dan selama di ICU sampai kondisi
stabil tercapai. Akses intravena harus dipasang bila sebelumnya
selama resusitasi belum diperoleh. Apabila pasien hipotensi
(tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg), pertimbangkan pemberian bolus
cairan. Cairan dingin dapat digunakan bila dipilih terapi
hipotermia. Infus obat vasoaktif seperti Dopamin, Norepinefrin,
atau Epinefrin dapat dimulai jika diperlukan dan dititrasi hingga
mencapai tekanan darah sistolik minimum ≥ 90 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.

9
d. Disability
Patofisiologi cedera otak pasca henti jantung melibatkan
rangkaian kompleks molekular yang dicetuskan oleh iskemia dan
reperfusi yang masih berlangsung selama beberapa jam sampai
beberapa hari setelah ROSC. Kejadian dan kondisi dari periode
pasca henti jantung memiliki potensi untuk mencetuskan atau
melemahkan jalur ini dan mempengaruhi hasil akhir. Manifestasi
klinis dari cedera otak pasca henti jantung
Meliputi koma, kejang, myoclonus, beberapa tingkat disfungsi
neurokognitif (mulai dari defisit daya ingat sampai status
vegetatif) dan kematian otak. Agen neuroprotektif dengan obat – obat
antkonvulsi seperti halnya Thiopental dan Diazepam dosis tunggal
atau Magnesium atau keduanya dapat diberikan pada kejang setelah
ROSC, namun tidak dapat meningkatkan status neurologis dari pasien.
e. Exposure
Direkomendasikan bahwa pasien dewasa dalam kondisi koma
dengan ROSC pasca henti jantung di luar rumah sakit sebaiknya
didinginkan sampai suhu 32°C - 34°C selama 12 – 24 jam. Hipotermia
yang diinduksi juga bisa dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang
koma dengan ROSC pasca henti jantung di dalam rumah sakit
dengan irama awal pulseless electrical activity atau asystole.
Penghangatan kembali pada pasien koma yang secara spontan menjadi
hipotermia ringan (> 32°C) setelah resusitasi selama 48 jam pertama
setelah ROSC.
Keadaan pasca henti jantung biasanya dihubungkan dengan
instabilitas hemodinamik, seperti gangguan metabolik. Terapi
optimal disfungsi organ miokard dan iskemia miokard dapat
meningkatkan kemungkinan harapan hidup. Intervensi untuk
mengurangi cedera otak sekunder, seperti terapi hipotermia, dapat
meningkatkan angka harapan hidup dan kembalinya fungsi neurologis.
Setiap sistem organ menjadi beresiko pada saat tersebut dan
pasien juga beresiko untuk mendapat disfungsi multi organ. Tata

10
laksana komprehensif pasca henti jantung melibatkan berbagai
disiplin ilmu, antara ain perawatan kritis, ilmu penyakit jantung,
ilmu penyakit dalam, dan ilmu penyakit saraf. Oleh karena itu,
diperlukan unit perawatan kritis yang baik dalam
mengantisipasi, monitor, dan menatalaksana setiap masalah yang
terjadi.

11

Anda mungkin juga menyukai