PENDAHULUAN
I. DEFINISI
1
ventrikel (tachycardia/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan akhirnya
direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan lagi
menjadi asistol.Rantai kelima adalah perawatan pasca henti jantung (Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindrom koroner akut
(SKA) dapat terjadi iraa fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation suatu irama
yang menyebabkan henti jantung mendadak /SCD). Kebanyakan pasien
mengalami takikardi ventrikel (/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan
akhirnya direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan
lagi menjadi asistol. Terapi optimal untuk mengatasi VF adalah resusitasi jantung
paru (RJP) dan defibrilasi elektrik. 2) dan rantai kelima adalah perawatan pasca
henti jantung (post cardiac-Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar
40% pasien sindroma ventricular fibrillation/VF),suatu irama yang menyebabkan
henti jantung mendadak (sudden cardiac/SCD). Kebanyakan pasien mengalami
takikardi ventrikel (ventricular/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan
pada saat pasien.
2
BAB II
RUANG LINGKUP
3
BAB III
TATA LAKSANA
1. Tahap Pertolongan
4
Sumbatan jalan napas parsial memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara di perifer masih baik.
2) Masih ada suara napas
3) Ditemukan suara napas tambahan saat inspirasi (gurgling atau
snoring)
4) Ada upaya batuk dari pasien untuk mengeluarkan sumbatan.
5) Pasien masih mampu berbicara meskipun terbata-bata atau satu dua
patah kata
6) Akral hangat.
Sedangkan sumbatan jalan napas total memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara buruk atau tidak ada
2) Batuk yang lemah, tidak efektif, atau tidak ada
3) Suara napas tambahan saat inspirasi atau tidak ada suara napas
4) Kesulitan bernapas
5) Sianosis
6) Tidak mampu bicara
7) Memegangi leher
8) Akral dingin.
1) Tekan dahi angkat dagu (head tilt – chin lift ) bila tidak ada trauma
2) Mendorong rahang bawah (jaw trust) bila ada trauma.
3) Berikan napas bantuan sebanyak 2 kali, setiap napas bantuan selama
1 detik. Cara memberikan napas bantuan dapat menggunakan
teknik dari mulut ke mulut atau menggunakan alat (masker atau
bagging).
4) Setelah memberikan napas bantuan 2 kali, dilanjutkan kompresi dada
sebanyak 30 kali. Berikan napas bantuan 2 kali, lanjutkan
kompresi dada lagi. Lakukan siklus ini sampai 5 kali. Setelah 5 kali
siklus RJP dilakukan pengecekan kembali apakah nadi teraba.
Apabila nadi tetap tidak ada, RJP tetap dilakukan sampai tim
5
bantuan emergensi dating atau tersedia alat defibrilasi dan siap
digunakan.
B. Terapi Elektrik
Defibrilasi
Kardioversi tersinkronisasi
6
100 J. Jika dengan dosis 50 J awal gagal, penolong dapat meningkatkan dosis
secara bertahap. Pada anak- anak dapat diberikan energi awal 0,5 – 1 J/kg
untuk supra ventricular takikardia, dengan dosis maksimal 2 J/kg.
7
D. Perawatan Pasca Henti Jantung
Perawatan pasca henti jantung merupakan suatu komponen penting pada
bantuan hidup lanjut. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam pertama
setelah onset henti jantung. Suatu keadaan henti jantung akan berdampak terhadap
berbagai sistem organ. Disfungsi organ dan komplikasi pasca resusitasi
memerlukan berbagai tindakan yang terpadu. Tujuan awal dari perawatan pasca
henti jantung adalah :
a. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, pasien hendaknya dirujuk
ke rumah sakit yang sesuai yang memiliki sistem perawatan pasca
henti jantung yang komprehensif, meliputi intervensi koroner akut,
perawatan neurologika goal – directed critical care, dan hipotermia.
b. Pada kasus henti jantung yang terjadi di rumah sakit, pindahkan pasien
unit perawatan intensif yang sesuai yang mampu memberikan
perawatan pasca henti jantung yang komprehensif.
c. Mencoba mencari dan mengatasi penyebab yang mencetuskan henti
jantung dan mencegah berulangnya henti jantung.
2. Tujuan selanjutnya dari perawatan pasca henti jantung :
a) Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup
dan pemulihan neurologis
b) Mencari dan melakukan tata laksana sindroma koroner akut.
c) Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan trauma pada
paru.
d) Mengurangi resiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan.
e) Secara obyektif menilai prognosis untuk pemulihan.
f) Bila korban selamat, bantu dengan rehabilitasi ketika dibutuhkan.
3. Berbagai sistem organ yang harus diperhatikan pada kembalinya sirkulasi
spontan (return on spontaneus circulation/ ROSC) yaitu :
a. Patensi jalan napas
8
Pasien tidak sadar membutuhkan alat bantu napas lanjut untuk
pemberian ventilasi mekanik. Bila perlu gunakan endotracheal tube
(ETT) untuk menjaga patensi jalan napas. Hindari pemakaian fiksasi
ETT yang melingkari leher pasien karena berpotensi mengganggu
aliran darah vena dari otak.
b. Ventilasi oksigenasi yang cukup
Meskipun oksigen 100% mungkin diperlukan pada awal
resusitasi, oksigen harus dititrasi hingga level paling rendah yang
dibutuhkan untuk mempertahankan saturasi oksigen ≥ 94% untuk
menghindari intoksikasi oksigen. Hiperventilasi atau overbagging
harus dihindari karena dapat meningkatkan tekanan dalam rongga
dada yang kemudian menurunkan cardiac output. Penurunan
PaCO2 yang terjadi pada hiperventilasi berpotensi menurunkan
aliran darah ke otak secara langsung. Ventilasi dapat diberikan
mulai 10 – 12 kali per menit dan dititrasi untuk mencapai PaCO2 40 –
45 mmHg. Sedangkan untuk ventilasi mekanik harus diatur
berdasarkan saturasi oksihemoglobin, nilai AGDA, ventilasi per
menit, dan kesesuaian ventilator.
c. Sirkulasi
Pengawasan tanda vital dan aritmia harus dilakukan secara
kontinyu. Monitoring EKG kontinyu harus dilanjutkan setelah
ROSC, selama transport, dan selama di ICU sampai kondisi
stabil tercapai. Akses intravena harus dipasang bila sebelumnya
selama resusitasi belum diperoleh. Apabila pasien hipotensi
(tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg), pertimbangkan pemberian bolus
cairan. Cairan dingin dapat digunakan bila dipilih terapi
hipotermia. Infus obat vasoaktif seperti Dopamin, Norepinefrin,
atau Epinefrin dapat dimulai jika diperlukan dan dititrasi hingga
mencapai tekanan darah sistolik minimum ≥ 90 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.
9
d. Disability
Patofisiologi cedera otak pasca henti jantung melibatkan
rangkaian kompleks molekular yang dicetuskan oleh iskemia dan
reperfusi yang masih berlangsung selama beberapa jam sampai
beberapa hari setelah ROSC. Kejadian dan kondisi dari periode
pasca henti jantung memiliki potensi untuk mencetuskan atau
melemahkan jalur ini dan mempengaruhi hasil akhir. Manifestasi
klinis dari cedera otak pasca henti jantung
Meliputi koma, kejang, myoclonus, beberapa tingkat disfungsi
neurokognitif (mulai dari defisit daya ingat sampai status
vegetatif) dan kematian otak. Agen neuroprotektif dengan obat – obat
antkonvulsi seperti halnya Thiopental dan Diazepam dosis tunggal
atau Magnesium atau keduanya dapat diberikan pada kejang setelah
ROSC, namun tidak dapat meningkatkan status neurologis dari pasien.
e. Exposure
Direkomendasikan bahwa pasien dewasa dalam kondisi koma
dengan ROSC pasca henti jantung di luar rumah sakit sebaiknya
didinginkan sampai suhu 32°C - 34°C selama 12 – 24 jam. Hipotermia
yang diinduksi juga bisa dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang
koma dengan ROSC pasca henti jantung di dalam rumah sakit
dengan irama awal pulseless electrical activity atau asystole.
Penghangatan kembali pada pasien koma yang secara spontan menjadi
hipotermia ringan (> 32°C) setelah resusitasi selama 48 jam pertama
setelah ROSC.
Keadaan pasca henti jantung biasanya dihubungkan dengan
instabilitas hemodinamik, seperti gangguan metabolik. Terapi
optimal disfungsi organ miokard dan iskemia miokard dapat
meningkatkan kemungkinan harapan hidup. Intervensi untuk
mengurangi cedera otak sekunder, seperti terapi hipotermia, dapat
meningkatkan angka harapan hidup dan kembalinya fungsi neurologis.
Setiap sistem organ menjadi beresiko pada saat tersebut dan
pasien juga beresiko untuk mendapat disfungsi multi organ. Tata
10
laksana komprehensif pasca henti jantung melibatkan berbagai
disiplin ilmu, antara ain perawatan kritis, ilmu penyakit jantung,
ilmu penyakit dalam, dan ilmu penyakit saraf. Oleh karena itu,
diperlukan unit perawatan kritis yang baik dalam
mengantisipasi, monitor, dan menatalaksana setiap masalah yang
terjadi.
11