Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas berkah dan rahmatnya saya
dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Hipertiroid dalam Kehamilan”.
Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan
Kandungan RS. MOHAMMAD RIDWAN MEURAKSA.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Anugrah R, Sp.OG yang telah membimbing
dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh
karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui tentang “Hipertiroid dalam Kehamilan”.

Jakarta, 21 Juli 2013

Penyusun
BAB I
Pendahuluan

Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama
kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan,
menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang
terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh.
(Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Wanita hamil dengan eutiroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip
dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Sebagai contoh, wanita hamil
dengan eutiroid dapat menunjukkan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung,
takikardi ringan, dan tekanan nadi yang melebar, suatu tanda-tanda yang dapat dihubungkan
dengan keadaan hipertiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme
pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat mempersulit
kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa
toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya
ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma
nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena
penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme
dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor
trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia belum
diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme
lebih sering ditemukan pada wa nita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Kekerapannya
diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan, namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan
krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin. Tiroiditis postpartum adalah
penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan. Penyakit ini
memberikan gejala tirotoksikosis transien yang diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya
terjadi pada 8-10% wanita setelah bersalin. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009,
Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010)
Deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah
penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan
keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan
perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang
diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Tiroid

II. A. Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut dihubungkan
oleh istmus. Kelenjar ini terdapat pada bagian inferior trakea dan beratnya diperkirakan 6-20
gram. Lobus kanan bisasanya lebih besar dan lebih vascular dibandingkan lobus kiri. Kelenjar ini
kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-6 ml/menit/gram. Pada keadaaan hipertiroid,
aliran darah dapat meningkat sampai 1 liter/menit/gram sehingga dapat didengar menggunakan
stetoskop yang disebut bruit. Kelenjar tiroid mendapatkan persarafan adrenergik dan kolinergik
yang berasal dari ganglia servikal dan saraf vagus. Kedua system saraf ini mempengaruhi aliran
darah pada kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid seperti TSH dan iodid.
Selain itu, serabut saraf adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergic
diduga mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid secara langsung.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid


Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional kelenjar tiroid. Dinding
folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid dengan ukuran bervariasi tergantung
dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan berbentuk kolumner bila dalam keadaaan aktif, dan
berbentuk kuboid bila dalam keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel dibatasi oleh jaringan ikat
yang disebut septa yang akan membentuk lobulus. Di sekitar folikel terdapat sel parafolikuler
atau sel C yang menghasilkan hormon kalsitonin. Di dalam lumen folikel, terdapat koloid dimana
tiroglobulin yang merupakan suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel tiroid yang akan
disimpan. (Dumont, J.E., et al. 2008)

Gambar 2. Folikel Tiroid

Gambar 3. Sel Folikel Tiroid


II. B. Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid memelihara tingkat metabolisme dari sebagian besar sel dalam tubuh
dengan menghasilkan dua hormon tiroid di dalam sel folikelnya, yaitu triiodothyronin (T3) dan
tetraiodohyronin (T4) atau tirosin. Iodin (I2) memilki berat atom sebesar 127 dan berat
molekulnya 254. T4 memilki berat molekul sebesar 777 Dalton yang 508 didalamya merupakan
iodida. Hormon tiroid sangat penting dalam perkembangan saraf normal, pertumbuhan tulang,
dan pematangan seksual. Sel parafolikel yang disebut sel C berada di dekat sel folikuler yang
menghasilkan suatu hormon polipeptida, kalsitonin. Pada orang dewasa, hormon tiroid disintesis
di kelenjar tiroid melalui beberapa tahap, yaitu (Dumont, J.E., et al. 2008) :
a. Iodin (I2) yang direduksi menjadi iodide (I) di lambung dan usus cepat diabsorbsi dan
beredar dalam sirkulasi dalam bentuk iodide.
b. Sel folikuler pada kelenjar tiroid membentuk iodide trap yang dibawa ke sel melalui
gradien elektrokimia.
c. Retikulum endoplasma kasar mensintesis molekul besar yang disebut tiroglobulin.
Iodida-tiroglobulin bebas diangkut dalam bentuk vesikel ke membran apikal, dimana
vesikel tersebut kemudian berfusi dengan membran dan akhirnya melepaskan
tiroglobulin pada membran apical.
d. Pada membran apikal, iodida yang teroksidasi berikatan dengan unit tirosin (Ltyrosine)
dalam tiroglobulin pada satu atau dua posisi, membentuk precursor hormon
monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT).
e. Setiap molekul tiroglobulin bisa mengandung sampai 4 residu T4 dan nol hingga satu T3.
Tiroglobulin disimpan kembali ke dalam sel folikuler sebagai droplet koloid melalui
proses pinositosis.
f. Lisosom eksopeptidase mengancurkan ikatan antara tiroglobulin dan T4 (atau T3).
Sebagian besar (80%) T4 dilepaskan ke kapiler darah dan hanya sejumlah kecil (20%) T3
disekresi dari kelenjar tiroid.
g. Proteolisis tiroglobulin juga melepaskan monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine
(DIT). Molekul-molekul ini dideiodinasi oleh enzim deiodinase sehingga iododa dapat
digunakan kembali untuk membentuk T4 atau T3. Normalnya, hanya beberapa molekul
tiroglobulin utuh yang meninggalkan sel folikuler.
h. TSH merangsang hampir semua proses yang melibatkan sintesis dan sekresi hormon
tiroid.

Gambar 4. Sintesis Hormon Tiroid


Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid mengatur fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhan.
Produksi dan pelepasan hormon tiroid diatur oleh thyroid-releasing hormone (TRH) dari
hipotalamus. TRH mencapai hipofisis anterior melalui system portal, dimana sel tirotropik
dirangsang untuk menghasilkan thyroid-stimulating hormone (TSH) atau thyrotropin. TSH
dilepaskan ke aliran darah sistemik kemudian dibawa sampai ke kelenjar tiroid. Di sini, TSH
merangsang pengambilan iodida, dan semua proses yang mendorong pembentukan dan
pelepasan T4 dan T3. TSH mengaktifasi adenilsiklase yang berbatasan dengan membran sel
folikel dan meningkatkan kerja cAMP. T3 memiliki efek inhibisi kuat terhadap sekresi TRH.
(Dumont, J.E., et al. 2008)
Hampir semua T3 dalam sirkulasi berasal dari T4. TSH juga merangsang konversi T4
menjadi T3 yang secara biologis lebih aktif. Sebagian besar hormon tiroid terikat pada protein
plasma agar hormon tersebut terlindungi selama diangkut. Terdapat keseimbangan antara
hormon yang terikat protein dengan hormon yang bebas. Hormon tiroid larut dalam lemak dan
dapat dengan mudah melintasi membrane sel melalui proses difusi. (Girling, Joanna. 2008)
Di dalam darah, tubuh kita hanya memiliki sejumlah kecil thyroxine-binding globulin
(TBG) sekitar 10 mg/L, tetapi afinitasnya terhadap T4 sangat tinggi. T4 total sekitar 10-7 mol/L
setara dengan 77,7 μg/L serum darah, karena 777 gram T4 sama dengan 1 mol dari total. Kurang
lebih 70% dari T4 dan T3 berikatan pada TBG, dan sisanya terikat pada thyroxine-binding
albumin (TBA) dan transthyrenin. Estrogen merangsang sintesis TBG. Hormon T3 dieliminasi
dengan cepat (waktu paruhnya 24 jam), karena memiliki derajat terendah terhadap pengikatan
protein. Molekul tiroksin (T4) memiliki waktu paruh biologis sekitar 7 hari, hampir setara dengan
waktu paruh isotop radioaktif I131 (8 hari). (Dumont, J.E. et al. 2008)
Hormon tiroid adalah molekul yang larut lemak dan dapat melewati membrane sel
dengan mudah. T3 berikatan pada protein reseptor nuklear dengan sebuah afinitas sepuluh kali
lipat dibandingkan T4. Informasi tersebut mengubah transkripsi DNA menjadi mRNA, dan
akhirnya diterjemahkan ke dalam banyak protein efektor. Satu tipe protein reseptor tiroid terikat
pada elemen pengatur tiroid dalam gen sel target. Susunan seluler penting yang dirangsang oleh
T3 : mitokondria, pompa Na+-K+, myosin ATPase, reseptor β adrenergik, banyak sistem enzim
dan protein untuk pertumbuhan dan pematangan termasuk perkembangan sistem saraf pusat. (6)

Hormon tiroid merangsang konsumsi oksigen pada hampir semua sel. Hormon tiroid merangsang
kecepatan dari (1) pengeluaran glukosa hati dan utilisasi glukosa perifer, (2) metabolisme asam
lemak, kolesterol, dan trigliserida hati, (3) sintesis protein penting (pompa Na+-K+, enzim
pernapasan, eritropoietin, reseptor β adrenergik, hormon seksual, faktor pertumbuhan, dll), (4)
absorpsi karbohidrat di usus dan ekskresi kolesterol, dan (5) pengaturan fungsi reproduksi.
(Dumont, J.E., et al. 2008)

II. C. Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan


Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) disintesis di dalam folikel tiroid.
Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang
sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid.
Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan perifer T4 dikonversi
menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama kehamilan normal kadar tiroid
binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat.
(Girling, Joanna. 2008)
Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan system saraf. Selama
trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid
melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester
kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus tetap
membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam
serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai usia
kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian turun sampai 7
uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi pada usia
kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama trimester kedua dan ketiga, hormon
tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu. (Girling, Joanna. 2008, Inoue,
Miho, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4 yang
mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam cairan
amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat. Tetrayodotironin
(T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin
disebabkan karena sistem enzimnya belum matang. Reverse T3 meningkat terus dan mencapai
kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20 minggu. Kadar rT3 didalam cairan amnion
dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid janin.Selama
kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada tiga faktor independen namun saling
terikat, yaitu (a) peningkatan konsentrasi hCG yang merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan
ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga menurunkan konsentrasi iodin plasma, dan (c)
peningkatan thyroxine-binding globulin (TBG) selama trimester pertama, menyebabkan
peningkatan ikatan hormone tiroksin. Pada akhirnya, faktor-faktor ini bertanggung jawab
terhadap peningkatan kebutuhan tiroid (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010) :
a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Seperti yang disebutkan di atas, human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan
hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesterone dalam konsentrasi
yang adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil alih oleh
plasenta yang sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama
trimester pertama kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural,
peptide hCG terdiri atas dua rantai, sebuah rantai α dan rantai β, dimana rantai α dari
hCG identik dengan struktur yang membentuk TSH. Struktur yang homolog ini
menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid,
namun tidak sekuat TSH. (Dumont, J.E., et al. 2008, Girling, Joanna. 2008, Williams
Obstetrics 23rd. 2010)
Gambar 5. Struktur LH, FSH, hCG dan TSH

Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan peningkatan
hCG. Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi hormon tiroid bebas
(tidak terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya sedikit di atas normal
selama trimester pertama. Efek perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak
signifikan dan normalnya ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal
minggu ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk hipermesis gravidarum dan
tumor trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar maksimal yang akan menginduksi
keadaan hipertiroid dimana kadar tiroksin bebas meningkat dan kadar TSH ditekan.
(Williams Obstetrics 23rd. 2010)
b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan
Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat peningkatan
filtrasi glomerulus (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan meningkatnya pengeluaran
iodine lewat ginjal yang berlangsung pada awal kehamilan. Ini merupakan faktor
penyebab turunnya konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan. Kompensasi dari
kelenjar tiroid dengan pembesaran dan peningkatan klirens iodin plasma menghasilkan
hormon tiroid yang cukup untuk mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pembesaran kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan
kompensasi adaptasi terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan
kehamilan. (Girling, Joanna. 2008)
c. Thyroxine Binding Globulin
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan peningkatan
ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi tiroid selama
kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu thyroxine
binding globulin (TBG), albumin, dan thyroxine binding prealbumin (TBPA) atau
transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi
terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon tiroksin diikat oleh
TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi TBG sekitar dua kali
lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah bersalin. Hal ini
menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada semua wanita
hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI) normal. Untuk
menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik merangsang
pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkan pengeluaran hormon dan menjaga
kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningkatan konsentrasi TBG merupakan
efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan. Estrogen merangsang
peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi, dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga merangsang hati untuk
mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas TBPA. Pada akhirnya, proporsi
hormon tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan dengan TBG meningkat selama
kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat
membuat pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan sulit diinterpretasikan. (Girling,
Joanna. 2008)
Gambar 6. Perubahan Hormon pada Kehamilan
BAB III
Hipertiroid dalam Kehamilan
III. A. Etiologi
Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves, hiperemesis gravidarum,
tirotoksikosis gestasional sementara, dan kehamilan mola. Di antara keempat penyebab
hipertiroid dalam kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi, sekitar 1 dari 500 kehamilan.
(Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics
23rd. 2010)
Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan tanda tirotoksikosis,
oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus), dan dermopati (miksedema pretibial). Hal
ini dimediasi oleh immunoglobulin yang merangsang tiroid. Telah diamati pada pasien dengan
riwayat penyakit graves dimana cenderung terjadi remisi pada kehamilan dan relaps kembali
setelah bersalin. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010,
Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga dapat disebabkan oleh
hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai dengan ditemukannya gejala muntah
berlebihan pada awal kehamilan yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi.
Pemeriksaan biokimia pada pasien ini menunjukkan hipertiroksinemia, dengan peningkatan
konsentrasi T4 serum dan penurunan konsentrasi TSH serum yang ditemukan pada sebagian
besar wanita hamil. Pemeriksaan TSH serum membantu untuk membedakan hiperemesis yang
berhubungan dengan hipertiroksinemia dan kemungkinan penyebab lainnya. Hipertiroksinemia
ringan biasanya bersifat sementara, menurun pada kehamilan minggu ke-18 tanpa terapi
antitiroid. Namun, hipertiroksinemia yang signifikan disertai dengan peningkatan T4 bebas dan
TSH yang rendah, dan penemuan klinik hipertiroid, memerlukan terapi obat antitiroid. (Girling,
Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

III. B. Gejala Klinis


Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau penyakit autoimun
memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit hipertiroid. Gejala yang sering timbul biasa
adalah intoleransi terhadap panas, berkeringat lebih banyak, takikardi, dada berdebar, mudah
lelah namun sulit untuk tidur, gangguan saluran cerna, berat badan menurun meskipun asupan
makan cukup, mudah tersinggung, merasa cemas dan gelisah. Selain itu dapat juga timbul tanda-
tanda penyakit graves, seperti perubahan mata, tremor pada tangan, miksedema pretibial dan
pembesaran kelenjar tiroid. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull,
Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

III. C. Patogenesis
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran
normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam
folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan
pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat
dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran yang
sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP
dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme
kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek
perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH
yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI
selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar
batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat
hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal.
Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme
mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot
sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan
frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal.
Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada
sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang
mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak
keluar.

IV. D. Diagnosis
IV.1 Penilaian Fungsi Tiroid pada Kehamilan
Sebagaimana diluar kehamilan, penilaian fungsi tiroid bergantung kombinasi gambaran klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada kehamilan, kita lebih sulit mendeteksi perubahan awal
status tiroid karena sering tertutupi dengan gejala dan tanda kehamilan yang begitu beragam. Hal
ini menyebabkan penilaian sangat tergantung pada pengukuran biokimiawi.
Walaupun begitu, masih saja terdapat kesulitan dalam penentuan nilai referensi status
tiroid normal pada kehamilan. Pada awal kehamilan status tiroid ibu hamil cenderung kearah
hipertiroid sedangkan pada akhir kehamilan cenderung bergerak ke arah hipotiroid, sehingga
sangatlah penting untuk menilai status tiroid sesuai dengan umur kehamilan
Baik TSH, fT4 dan fT3 harus diperiksa saat menilai status tiroid ibu, sedangkan total T4
dan total T3 tidak boleh digunakan. Berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan penilaian
status ini juga harus diperhatikan misalnya suplemen kalsium dan besi yang sering dikonsumsi
wanita hamil juga dapat menurunkan absorbsi T4, muntah dapat menyebabkan absorbsi
menurun. Sebaliknya TSH dapat tetap rendah ketika fT4 dan fT3 kembali normal pada keadaan
hipertiroid.

IV.2 Diagnosis Penyakit Graves pada Kehamilan


Pada kehamilan, perjalanan klinis penyakit Graves ditandai oleh eksaserbasi gejala pada
trimester awal dan selama periode post partum dan perbaikan gejala pada paruh kedua
kehamilan. Stimulasi HCG plasenta terhadap kelenjar tiroid dipikirkan menjadi penyebab
eksaserbasi ini, sedangkan respon imunologis yang disebabkan oleh perubahan subset limfosit
dapat menjelaskan perbaikan yang terjadi pada trimester dua. 9,10
Hipertiroidisme dalam kehamilan dapat terjadi pada pasien hipertiroid yang mengalami
kehamilan atau sedang menjalani pengobatan hipertiroid dengan OAT. Dapat juga terjadi
penyakit Graves pada kehamilan, suatu keadaan yang lebih jarang terjadi. Pada semua kasus,
riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi secara rinci. Bila status tiroid pasien normal sebelum
kehamilan, resiko kepada janin menjadi sangat minimal. Dapat pula terjadi eksaserbasi Graves
pada kehamilan namun hal ini jarang terjadi. Eksaserbasi Graves lebih sering terjadi pada saat
post partum.
Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap, oleh karena itu
klinisi harus berhati-hati dalam mengevaluasi kemungkinan hipertiroid. Salah satu tanda yang
mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan berat badan padahal
nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana disebutkan, pada trimester pertama
ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat gejala dan tanda yang dicari dapat terjadi pada
kehamilan normal.
Pada pemeriksaan fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki gejala
hiperkinetik. Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab. Kelenjar tiroid
membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi batasnya ireguler
dan salah satu lobus lebih prominen dibanding lainnya. Adanya nodul pada pembesaran kelenjar
yang difus harus medapat evaluasi lebih teliti. Dapat ditemukan pula thrill, murmur, kelemahan
otot proksimal, tanda oftalmopati graves, onikolisis dan dermopati graves.
V. Pemeriksaan penunjang
Perempuan hamil yang diduga menderita hipertiroid memerlukan pemeriksaan TSH, fT4 dan bila
perlu antibodi reseptor tiroid (Thyroid Receptor Antibody/TRAb). Interpretasi hasil pemeriksaan
hormon tiroid ini harus memperhatikan pengaruh hormon HCG pada penurunan konsentrasi TSH
dan peningkatan TBG selama kehamilan. Konsentrasi TSH pada akhir trimester pertama
kehamilan normal dapat mencapai 0,03 mU/ml, sehingga penurunan konsentrasi TSH semata
belum tentu menunjukkan adanya hipertiroidisme. Kenaikan TBG dapat mempengaruhi proporsi
hormon tiroid bebas dalam darah sehingga pada kehamilan dianjurkan pemeriksaan hormon
tiroid bebas.
Antibodi thyroid peroxidase (anti TPO) atau antibodi antimikrosomal tiroid (AMA),
petanda penyakit tiroid autoimun meningkat pada sebagian besar pasien Graves. Indikasi
pemeriksaannya adalah pada pasien dengan keraguan etiologi hipertiroidismenya.
TSH-receptor antibody with stimulating activity (TSI) juga didapati pada mayoritas
pasien Graves. Pemeriksaan TSI diindikasikan pada ibu dengan riwayat terapi ablasi untuk
hipertiroidisme Graves, ibu dengan penyakit Graves yang aktif, ibu yang sedang dalam masa
remisi OAT dan ibu yang anak sebelunya mengalami hipertiroidisme janin. Bila kadar TSI lebih
dari 500% normal setelah kehamilan 24-48 minggu, resiko hipertiroidisme janin atau neonatal
menjadi signifikan.
VI. Dampak Hipertiroidisme pada Ibu
Selama 30 tahun terakhir, laporan mengenai komplikasi maternal dan janin menurun akibat
kontrol yang lebih baik terhadap hipertiroidisme pada kehamilan. Komplikasi maternal yang
paling sering adalah pregnancy-induced hypertension (PIH). Pada pasien dengan hipertiroid
tidak terkontrol, resiko preeklamsia berat menjadi lima kali lebih berat dibanding pasien yang
terkontrol. Komplikasi lain dapat berupa abruptio plasenta, kelahiran preterm dan keguguran.
Gagal jantung dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati terutama bila terdapat PIH. Pada
pasien dengan gejala gagal jantung disfungsi ventrikel kiri dengan derajat keparahan yang
berbeda dapat dideteksi dengan echocardiografi. Walaupun kelainan ini reversibel, namun
gejalanya dapat menetap dalam beberapa minggu setelah status eutiroid tercapai, namun
penurunan resistensi vaskular dan cardiac output yang tinggi dapat tetap terjadi pada keadaan
tiroksin normal. Hal ini penting karna dekompensasi ventrikel kiri pada wanita hamil yang
hipertiroid dapat terjadi bersamaan dengan preeklamsia, pada waktu kelahiran atau bersamaan
dengan komplikasi lain misalnya anemia atau infeksi. Kejadian tiroid krisis pada kehamilan juga
pernah dilaporkan walaupun relatif jarang. Hipertiroid juga dilaporkan sebagai faktor resiko
independen operasi Caesar.
Pada suatu penelitian oleh Kriplani dkk dengan sampel 32 kelahiran pada ibu hamil yang
mengalami hipertiroidisme ternyata didapatkan partus preterm terjadi pada 25% pasien, 3%
mengalami hipermesis, 22% mengalami hipertensi pada kehamilan dan 9% mengalami krisis
tiroid.
VII. Dampak Hipertiroidisme pada Janin
Hipertiroidisme maternal dapat mempengaruhi janin dan neonatal melalui dua cara yaitu
hipertiroid maternal yang tidak terkontrol (tanpa kadar TSI yang tinggi) dan TSI mengalami
pasase transplasenta. Pada hipertiroidisme maternal yang tidak terkontrol janin mengalami resiko
intrauterine growth retardation (IUGR), stillbirth dan prematuritas. Resiko prematuritas
meningkat dari 11% menjadi 55% pada ibu yang tidak diobati, resiko stillbirth meningkat dari
5%-24%. Pada suatu penelitian pada 230 kehamilan, 15 neonatus (6,5%) mengalami IUGR.
Konplikasi pada janin meningkat secara signifikan pada ibu yang tetap hipertiroid pada paruh
kedua kehamilan. Faktor resiko IUGR pada pasien ini meliputi tirotoksikosis maternal selama
lebih dari 30 minggu dalam kehamilan, riwayat penyakit Graves selama lebih dari 10 tahun, dan
onset penyakit Graves sebelum 20 tahun.

VIII. Tatalaksana
Terapi disfungsi tiroid selama kehamilan dan pasca persalinan.
Propiltiourasil (PTU) lebih dipilih daripada metimazol untuk terapi hipertiroid selama
kehamilan. Obat antitiroid dapat melewati sawar plasenta dan terapi berlebihan dapat
menyebabkan hipotiroid pada fetus, sehingga harus digunakan dosis serendah mungkin yang
untuk menjaga fungsi tiroid pada batas atas normal. Propiltiourasil (PTU) lebih banyak terikat
pada albumin pada pH fisiologis, sedangkan metimazol (MMI) lebih sedikit terikat, sehingga
secara hipotesis dapat mengakibatkan lebih banyak yang melewati sawar darah plasenta.
Rekomendasi pemilihan PTU dari MMI sebagian berdasarkan laporan tunggal lebih rendahnya
pasase transplasental PTU dibanding MMI tersebut. Hipertiroid subklinis (TSH rendah dengan
FT3 dan FT4 normal) tanpa adanya gejala-gejala hipertiroid spesifik tampak pada sindrom
hiperemesis gravidarum, dimana terapinya tidak diperlukan dan bahkan dapat menimbulkan
risiko terhadap fetus.
Propanolol dapat digunakan untuk mengobati gejala hipertiroid akut dan persiapan
perioperatif tanpa edanya efek teratogenik yang jelas, penggunaan propranolol pada kehamilan
akhir berhubungan dengan hipoglikemia neonatal sementara yang ringan, apnea dan badikardia
yang biasanya hilang dalam 48 jam. Penggunaan kronik iodida selama kehamilan berhubungan
dengan hipotiroid dan goiter neonatus yang kadang-kadang dapat menyebabkan asfiksi karena
obstruksi trakea. Namun terdapat laporan penggunaan dosis rendah kalium iodida (6–40 mg/hari)
tidak menyebabkan goiter namun 6% neonatus mengalami peningkatan TSH. Iodida tidak
digunakan untuk terapi lini pertama untuk wanita hamil dengan Graves namun dapat digunakan
sementara jika diperlukan sementara untuk persiapan tiroidektomi. Iodida radioaktif
dikontraindikasikan pada kehamilan. Operasi subtotal tiroidektomi dipikirkan sebagai alternatif
jika obat anti tiroid mengakibatkan efek samping yang jelas seperti misalnya agranulositosis,
sebelum operasi harus menerima terapi solusio kalium iodida (50–100 mg/hari) selama 10–14
hari sebelum operasi untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar tiroid dan dapat diberikan
propanolol.
Rekomendasi Endocrine Society Clinical Practice Guideline.
- Jika dideteksi konsentrasi TSH serum subnormal selama kehamilan, hipertiroidisme
harus dibedakan dengan fisiologi normal kehamilan dan hiperemesis gravidarum karena
efek samping hipertiroid pada ibu dan bayi. Diabntu dengan bukti klinis adanya
autoimun, goiter tipikal dan adanya TRAb.
- Hipertiroid berat akibat Graves atau nodul tiroid harus segra diberikan obat antitiroid
hingga kadar hormon tiroid ibu pada batas atas nilai rujukan normal wanita yang tidak
hamil.
- Karena adanya bukti klinis bahwa MMI dapat berkaitan dengan anomali kongenital, PTU
harus digunakan sebagai obat lini pertama.
- Tiroidektomi subtotal dapat diindikasikan selama kehamilan sebagai terapi Graves
maternal jika 1) pasien mengalami efek samping yang berat akibat obat anti tiroid, 2)
dibutuhkan dosis obat antitiroid yang tinggi terus-menerus, atau 3) pasien tidak meminum
obat dengan teratur dan hipertiroid tidak terkontrol. Waktu optimal operasi adalah pada
trimester kedua.
III. E. Komplikasi
Hipertiroid yang tak terkontrol, terutama pada pertengahan masa hamil, dapat memicu
beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di antaranya keguguran, infeksi, preeklamsia,
persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid, dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus
dan neonatus di antaranya prematur, kecil untuk masa kehamilan, kematian janin dalam rahim,
dan goiter pada fetus atau neonatus dan atau tirotoksikosis. Pengobatan yang belebihan juga
dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus. (Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et
al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk penyakit graves
sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati plasenta sehingga
masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves
sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena obat-
obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan
atau radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh tiroid, namun
pasien masih dapat memiliki antibodi dalam darahnya. (Marx, Helen, et al. 2008, Williams
Obstetrics 23rd. 2010)
Hipertiroid pada neonatus dapat menyebabkan denyut jantung meningkat yang dapat
berakhir pada gagal jantung, berat badan rendah, dan kadang-kadang tiroid yang membesar dapat
menekan saluran napas sehingga mengganggu pernapasan. (Marx, Helen, et al. 2008, Williams
Obstetrics 23rd. 2010)

IX. Krisis Tiroid


Krisis tiroid merupakan komplikasi yang jarang namun fatal pada hipertiroidisme.
Pencetusnya adalah penyakit yang tidak terkontrol, dipresipitasi oleh infeksi, trauma, bedah, dan
ketoasidosis diabetikum dan pada kehamilan dicetuskan oleh toksemia, plasenta previa dan
induksi persalinan. Kejadiannya pada kehamilan dilaporkan berkisar 1-2%.
Tatalaksananya meliputi perawatan di unit intensif untuk menjamin adekuasi cairan,
kontrol elektrolit, kebutuhan oksigen dan hiperpirexia ( obat pilihan adalah acetaminophen),
terapi gagal jantung yang dapat memerlukan digoxin dosis tinggi, pemberian antibiotik untuk
infeksi, penyekat beta untuk mengontrol gejala hiperadrenergik misalnya propanolol 60-80 mg
tiap 4 jam dam PTU 300 mg atau metimazol 30 mg tiap 4 jam, pemberian Lugol 3x10 tetes
perhari satu jam setelah pemberian tionamid dan steroid berupa hidrokortison 50-80 mg tiap 3
jam.
BAB IV
Kesimpulan
Kehamilan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi fungsi tiroid pada wanita
sehat dan pada pasien dengan kelainan tiroid. Pengaruh ini perlu dikenali dengan seksama,
didiagnosis dengan jelas, dan diterapi dengan tepat. Kelainan fungsi tiroid terjadi dalam 1-2%
kehamilan, namun kelainan fungsi tiroid subklinik baik itu hipertiroid mungkin lebih banyak
yang tidak terdiagnosis jika tidak diskrining lebih awal. Kehamilan meningkatkan kecepatan
metabolisme, aliran darah, denyut jantung, curah jantung, dan beberapa gejala subjektif seperti
kelelahan, dan intoleran terhadap panas yang dapat menunjukkan kemungkinan adanya
tirotoksikosis. Perubahan metabolik lain yang juga berefek pada aksis hipotalamus-hipofisis-
tiroid adalah rangsangan langsung hCG terhadap tiroid ibu yang kemudian berakibat peningkatan
metabolisme tiroksin. Penyebab utama tirotoksikosis dalam kehamilan diantaranya penyakit
Graves dan hipertiroid gestasional non-autoimun. Perjalanan penyakit Graves selama kehamilan
berubah-ubah, dengan kecenderungan membaik pada trimester kedua dan ketiga, dan mengalami
eksaserbasi selama masa postpartum. Perubahan ini merupakan akibat dari supresi sistem imun
selama kehamilan. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia
yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada
pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah. Wanita hamil dengan hasil TSI positif atau
yang sedang menggunakan obat anti tiroid sebaiknya diperiksa juga kemungkinan terjadinya
kelainan fungsi tiroid pada fetus. Perlu diingat dalam mengobati pasien hipertiroid bahwa semua
obat-obat anti tiroid dapat melewati plasenta dan dapat berefek terhadap fungsi tiroid fetus.
DAFTAR PUSTAKA

1. De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams
Obstetrics 23rd. 2010
2. De Groot, Leslie J., Green, Alex Stagnaro & Vigersky, Robert (2007) The Hormone
Foundation’s Patient Guide to the Management of Maternal Hyperthyroidism Before,
During, and After Pregnancy. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol
92, No. 9 0.
3. Dumont, J.E., Opitz, R., Christophe, D., Vassart, G., Roger, P.P. & Maenhaut, C. (2008)
The Phylogeny, Ontogeny, Anatomy and Regulation of the Iodine Metabolizing Thyroid.
Belgium : IRIBHM, School of Medicine, University of Brussels. Germany : Leibniz-
Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries, University of Berlin.
4. Girling, Joanna (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician & Gynaecologist,
10, pp. 237-243.
5. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya (2009) Hyperthyroidism during
Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.
6. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and Pregnancy.
British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.

Anda mungkin juga menyukai