TRAUMA VASKULAR
Oleh:
Adika Azaria 1840312225
Afifah Aqilatul FPW 1840312210
Wahyu Zikra 1840312291
M. Fadhillah Ghivari 1840312407
Preseptor:
dr. Vendry Rivaldy, Sp.B(K)BV
2.1 Definisi
Trauma vaskular didefinisikan sebagai suatu kecederaan yang timbul terhadap
pembuluh darah arteri dan vena yang disebabkan oleh laserasi, kontusio, pungsi atau
hancur dan tipe cedera yang lainnya. Gejalanya sangat bervariasi dan antaranya ialah
perdarahan, memar, pembengkakan, nyeri dan kebas-kebas. Trauma vaskular tidak
termasuk kecederaan sekunder terhadap fungsi patologis atau penyakit seperti
atherosclerosis.4
Trauma vascular harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah
yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada
kejadian luka tusuk, luka tembak kecepatan rendah, dan trauma tumpul yang
berhubungan dengan fraktur dan dislokasi.5
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah
sakit setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur
25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena
mereka sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan,
risiko kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat
lebih tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena
kecelakaan di antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar,
tertembak, dan terkena benda tajam.1
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan
kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah.
Kasus- kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak
kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%). 2
2.3 Mekanisme Trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.
Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi
dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh
kehancuran dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang
spesifik akan memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri
berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi
hemodinamik, dan mekanisme trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik
(KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan
kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini
berlaku baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan
berefek lebih siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.6
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak
menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek
penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan
sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan
ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara
tersebut. Tekanan dapat terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil
atau kompresi) dan sumbu transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat
menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma
penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan oleh penyaluran energi
kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh
pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan jaringan.1
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung
proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara
itu, laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan
pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan
flap intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan
intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah
distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri
occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis
yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang
bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.6
2.6 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan
yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya
pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif
dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas
daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak
sistem kolateral yang ikut terbendung.
Golden period pada lesi vaskular adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang
jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap adanya iskemia.
Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi beberapa
cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi
anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula
arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan
teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat
dimungkinkan.
2.7 Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi
pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-
vena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi
yang dapat terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma
palsu merupakan komplikasi lama. 1
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan
teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi
kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru. 1
a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vaskular adalah komplikasi yang paling
sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang
akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi
trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan
pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan
jahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas.
Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding
arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya
dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus
balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah
distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini
sering dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada
anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan
perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan
membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai
untuk membilas ke arah distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk
meyakinkan tidak ada thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan
kateter balon Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong
trombus keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik
untuk menghancurkan thrombus yang masih tersisa.
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding
pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila
pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung tetap
dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft
dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang
memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat
mengganggu aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft
sintesis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai
sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis
ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu
dilapiskan adventisia. 1
Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau
tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada,
karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu
panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera
melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila
timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat
bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda
operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif yang
berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila cukup
waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan Doppler (Ultrasonic
Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang
mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan. (Jusi HD, 2008)
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan
adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah
keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan
intima atau robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi.
Tetapi memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang
biasanya dapat diatasi dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain
hydrochloride 1%. (Jusi HD, 2008)
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan
menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga
terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture. 2
b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk
membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat
ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat,
kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan
pemberian nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan
observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka
terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau
perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik. 2
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja
karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga
berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi.
Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah
infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah
debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic
secara teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi
adalah penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular. 2
c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau
pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup.
Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri
tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang
akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen. 2
e. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding
pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh
kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang
disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia
nukleus pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang
trauma tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu. (Davies AH dkk,
2006)
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik
mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan
tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru
yang berasal dari pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma
palsu. (Davies AH dkk, 2006)
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.
Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini
terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada
seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi
bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu
atau bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan
sonografi dapat pula menolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu
ini. (Davies AH dkk, 2006)
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi
ini, maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya
diperlukan beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan
penyembuhan secara spontan sangat kecil. (Davies AH dkk, 2006)
f. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi.
Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan
nekrosis otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless,
paresthesia, pallor, dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan kolaps
aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera remuk
(crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah sistolik)
rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada
pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar
80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada tekanan darah lebih
tinggi.
2. Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung lebih
dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang ekstensif.
Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan akibat
reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu dekompresi
harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas. 2
DAFTAR PUSTAKA
1. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier
Saunders. 2004.
2. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M. Vascular Surgery. Oxford
University Press. 2007.
3. Nuraini P. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
2013.
4. Brohi K. Peripheral Vascular Trauma. 2002.
5. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
6. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008. H:50-65.
7. Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma.
Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science & Business
Media.
Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2nd ed. : Saunders Publications,
United Kingdom.
Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008. H:50-65.