Anda di halaman 1dari 59

TUGAS ILMU BEDAH

POLIKISURIA, RETENSI URIN, DAN HEMATURIA,

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Bedah

Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:

Pinda Ayu Widiyani

30101307038

Pembimbing :

Prof. DR. Dr. H. Rifki Muslim, Sp.B, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH

RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
POLAKISURIA

Mekanisme anyang anyangen

Reaksi inflamasi pada buli menyebabkan lapisan membran membentuk lipatan


pada dinding terdalam buli yang dapat berubah sesuai derajat ketegangan buli
yang inflamasi menyebabkan didining buli memerah, edema, hipertensi jika teriisi
urin akan menyebabkan urin mudah ternagsang untuk mengeluarkan adanya
bakteri.

Anyang anyangen (polakisuria) dapat disebabkan oleh :

1. Infeksi
Karena adanya bakteri, akan menimbulkan kolonisasi bakteri yang akan
masuk ke buli buli dan merusak lapisan glukosmusinlayer di mukosa urin,
sehingga akan menyebabkan kolonisasi dipermukaan mukosa buli.
Kolonisasi bakteri ini akan menembul epitel dan menyebabkan spasme
otot polos vesika urinaria terganggu sehingga sulit relaksai dan
menybabkan spasem terus mennerus, sehingga urin sedikit sedikit keluar
yang mengakibatkan distensi kandung kemih. Sehingga buli tidak mampu
menampung volume urin akibatnya polakisuria.
2. Batu yang menyebabkan infeksi
Kristal bahan organik atau anorganiik masih metastabil dalam urin 
lama kelamaan kristal mengadakan presipitasi  sehingga memnyebabkan
nuklease bakteri  agregasi, dan menarik komponen lain sehingga
menempel dikandung kemih dalam bentuk retensi kristal kristal
membesar, sehingga menyumbat dan menyebabkan retensi urin
polakisuria.

Dapus, B. Purnomo, Basuk. 2008. Dasar- Dasar Urologi Edisi Kedua.


Seagung Seto.
RETENSI URIN

2.1. Definisi

Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin


yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli
terlampaui.

2.2. Anatomi Saluran Kemih

Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-
buli (vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai
lapisan otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik. Gambaran anatomi
saluran kemih sebagai berikut :
Ginjal
Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan
metabolik yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.

Pelvis Renalis (Pielum)

Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi
ureter yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung
kemih. Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat
sfingter kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks, sfingter
forniks, berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks berelaksasi.
Lalu air seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni dibuang dengan cepat
oleh penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.

Ureter
Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm. Panjang
bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari wanita. Kedua
ureter menembus dinding kandung kemih pada fundusnya, terpisah dalam jarak
antara 4-5 cm, miring dari arah lateral, dari belakang atas ke medial depan bawah.

Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir pada


suatu celah sempit (ostium ureter).
Pandangan umum alat-alat Penampang frontal melalui
urogenital wanita kandung kemh pria

Kandung kemih (Buli-buli)


Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli berfungsi
menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme berkemih. Kapasitas maksimal (volume) untuk orang dewasa + 350-
450 ml; kapasitas buli-buli pada anak menurut Koff :
Kapasitas buli-buli = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml
Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan
membentuk suatu bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas sampai tepi
atas simfisis pubis. Selama kontraksi otot kandung kemih, ketika dikosongkan
selama berkemih, bentuknya menjadi bulat.

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
uretra posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan uretra posterior.
Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf simpatik
sehingga saat buli-buli penuh, sfingter terbuka. Sfingter ani eksterna terdiri atas
otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
keinginan seseorang; pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap menutup
pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra
terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter
uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi mempertahankan agar urin
tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila
tekanan intra vesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor,
dan relaksasi sfingter uretra eksterna.

Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas
uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat,
dan uretra pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus
oleh korpus spongiosum penis; uretra anterior terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2)
pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna.

2.3 Fisiologi

1. Pengisian urine

Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya
aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing
normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat
inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kencing.
Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat
miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance
kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi
yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain
akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi
aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi
dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar
2. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi
kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan
jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis
yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher
kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi
tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang
lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

2.4. Etiologi

Penyebab retensi urin :

1. Kelemahan otot detrusor :


- Kelainan medulla spinalis.

- Kelainan saraf perifer.

2. Hambatan / obstruksi uretra :


- Batu uretra.
- Klep uretra.
- Striktura uretra.
- Stenosis meatus uretra.
- Tumor uretra.
- Fimosis.
- Parafimosis.
- Gumpalan darah.
- Hiperplasia prostat.
- Karsinoma prostat.
- Sklerosis leher buli-buli.
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra :
Cedera kauda ekuina.

Menurut lokasi, penyebab retensi urin :

a. Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi Th12-L1;
kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis, baik sebagian atau seluruhnya.

b. Vesikal :

Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien
DM atau penyakit neurologis.

c. Infravesikal (distal kandung kemih) :


Berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu
uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).

Pada retensi urin kronik, disebabkan oleh : obstruksi uretra yang


semakin hebat, sehingga akhirnya kandung kemih mengalami dilatasi. Pada
keadaan ini, urin keluar terus menerus karena kapasitas kandung kemih
terlampaui. Penderita tidak mampu berkemih lagi, tetapi urin keluar terus tanpa
kendali.

2.5. Klasifikasi

Retensi urin dapat terjadi secara akut, yaitu : penderita secara tiba-tiba
tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah
suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan, seringkali urin
belum menetes atau sedikit-sedikit; dapat pula terjadi secara kronis, yaitu
penderita secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama tidak dapat miksi,
merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit / tidak ada sama sekali
walaupun buli-buli penuh.

Retensi urin dapat terjadi sebagian, yaitu penderita masih bisa


mengeluarkan urin, tetapi terdapat sisa kencing yang cukup banyak di kandung
kemih ; pada retensi urin total, penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan
urin.

2.6. Patofisiologi

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian


dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom
dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap
kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi
saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis
dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan
otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara
normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls
saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan
aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya
urine dengan resistensi saluran yang minimal. Retensi postpartum paling sering
terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih
terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini
meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis
antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang
kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari
tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor

2.7. Diagnosis

Gambaran Klinis

- Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian
bawah hingga daerah genital.

- Tumor pada perut bagian bawah.

- Tidak dapat kencing.

- Kadang-kadang urin keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa


bisa ditahan

(inkontinensi paradoksa).

Pada retensi urin akut, penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah
suprapubik, dan bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat / teraba benjolan
di daerah suprapubik.

Pada retensi urin totalis, penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah,
mengedan bila ingin miksi, dan terjadi inkontinensia paradoksal.

Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi,
palpasi dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang. Pada perkusi
akan terdengar pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang penuh pada
penderita yang gemuk.

Pada pemeriksaan bimanual : 1 tangan di atas suprapubik dan jari telunjuk


tangan lainnya melakukan colok dubur.

Pemeriksaan colok dubur

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 20

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Foto polos abdomen  menunjukkan bayangan buli-buli penuh,
mungkin terlihat bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-buli.
b. Uretrografi  akan tampak adanya striktur uretra.
c. Pemeriksaan darah rutin : Hb, leukosit, LED, Trombosit.
d. Pemeriksaan Faal Ginjal : kreatinin, ureum, klirens kreatinin.
e. Pemeriksaan urinalisa : warna, berat jenis, pH.

2.9 Komplikasi
- Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan
didalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.

- Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam


lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi
hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
- Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan
di daerah uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit)
tanpa bisa ditahan oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan
urin. Keadaan ini disebut : inkontinensi paradoksa atau "overflow
incontinence"
- Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas
toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi
sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat
kekuatan kontraksi otot buli-buli akan menyusut.
- Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK) dan bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius
seperti pielonefritis, urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut.

Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli, secepatnya harus dikeluarkan, karena
jika dibiarkan, akan menimbulkan masalah, seperti : mudah terjadi infeksi saluran
kemih, kontraksi otot buli-buli menjadi lemah, timbul hidroureter dan
hidronefrosis yang selanjutnya akan dapat menimbulkan gagal ginjal.
Akibat retensi urin kronis dapat terjadi : trabekulasi (serat-serat otot
detrusor menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir
diantara otot-otot membesar), divertikel, infeksi, fistula, pembentukan batu,
overflow incontinence.
PENANGANAN RETENSI URIN
Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi.
Penanganan pada retensi urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan
Sistostomi.

3.1. Kateterisasi

Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui


uretra.

Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan
terapi.

Tindakan diagnosis antara lain adalah :

1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna


pemeriksaan kultur urin.
2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai
miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain :
Sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan
voiding cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.
Indikasi kateterisasi :

1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik


yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan
darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik
untuk buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi :

Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.

Macam-macam Kateter

Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian,


sistem retaining (pengunci), dan jumlah percabangan. Ukuran Kateter Ukuran
kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini merupakan ukuran
diameter luar kateter.

1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau

1 milimeter = 3 Fr

Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6 mm.
Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter
itu.

Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks
dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon.

Bentuk Kateter

Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),


bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah
kateter Robinson dan kateter Nelaton.
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 230
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter
ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung lurus
mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang
berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasia prostat yang sangat besar, atau hambatan
akibat sklerosis leher buli-buli. Contoh jenis kateter ini adalah kateter Tiemann.

Tindakan Kateterisasi

Pada wanita

Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra


wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari
muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra
oleh tumor uretra / tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan
dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.

Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :

1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna.
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter
uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.

3.2 Kateterisasi Suprapubik

Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang


pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.

Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :


1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada
ruptur uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR
Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka
atau dengan perkutan (trokar) sistostomi.
Sistostomi Trokar
Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum
jelas penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen / pelvis,
buli-buli yang ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien yang
mempergunakan alat prostesis pada abdomen sebelah bawah.

Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat


trokar.

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 239

Alat-alat dan bahan yang digunakan :


1. Kain kasa steril.
2. Alat dan obat untuk desinfeksi (yodium povidon).
3. Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
4. Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah diisi
dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.
5. Obat anestesi lokal.
6. Alat pembedahan minor, antara lain : pisau, jarum jahit kulit, benang sutra
(zeyde).
7. Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional.
8. Kateter Foley (ukuran tergantung alat trokar yang digunakan). Jika
mempergunakan alat trokar konvensional, harus disediakan kateter Naso-
gastrik(NG tube) no. 12.
9. Kantong penampung urine (urinebag).
Langkah-langkah Sistostomi Trokar :
1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit,
subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung + 1
cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc untuk
memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan
dari fasia dan otot-otot detrusor.
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan
keluar urine memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk) dan
sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter setengah
lingkaran tetap ditinggalkan.
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran,
kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah
balon dipastikan berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran
dikeluarkan dari buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong
penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup
dengan kain kasa steril.

Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241
Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya

slot kateter setengah lingkaran ditinggalkan

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat
trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini tidak
dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang digunakan
adalah NG tube nomer 12 F. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli
pangkalnya harus dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.

Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah
pemasangan kateter sistotomi adalah :

1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.


2. Mencederai rongga / organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan
menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih, degenerasi
maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.

Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada tindakan
sistostomi trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk melakukan
sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di daerah
suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai
uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin
dilakukan tindakan per uretram. Tindakan ini sebaiknya dikerjakan dengan
memakai anestesi umum.

Tindakan

1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.


2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis dan
umbilicus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang
merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan
kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat jaringan
lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat dikenali karena warnanya
putih dan banyak terdapat pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan
memegang buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah
difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam
hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan klem. Urin
yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya
perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan luka
operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis.
Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit
dengan benang sutra.

3.3. Prognosis
Prognosis pada penderita dengan retensi urin akut akan bonam jika retensi
urin ditangani secara cepat.

HEMATURIA

2.1. DEFINISI
Hematuria adalah didapatkannya sel-sel darah merah di dalam urine.
Penemuan klinis sering di dapatkan pada populasi orang dewasa, dengan
prevalensi yang mulai dari 2,5% menjadi 20,0% .1,2 Secara visual terdapatnya sel-
sel darah merah di dalam urine dibedakan dalam 2 keadaan, yaitu:
 Hematuria makroskopik
Hematuria makroskopik adalah hematuria yang secara kasat mata dapat
dilihat sebagai urine yang berwarna merah, mungkin tampak pada awal
miksi atau pada akhirnya yang berasal dari daerah posterior uretra atau
leher kandung kemih. (Wim de Jong, dkk, 2004) Hematuria makroskopik
yang berlangsung terus menerus dapat mengancam jiwa karena dapat
menimbulkan penyulit berupa: terbentuknya gumpalan darah yang dapat
menyumbat aliran urine, eksanguinasi sehingga menimbulkan syok
hipovolemik/anemi, dan menimbulkan urosepsis. (Mellisa C Stoppler,
2010)
 Hematuria mikroskopik.
Hematuria mikroskopik adalah hematuria yang secara kasat mata tidak
dapat dilihat sebagai urine yang berwarna merah tetapi pada pemeriksaan
mikroskopik diketemukan lebih dari 2 sel darah merah per lapangan
pandang. (Mellisa C Stoppler, 2010) . Meskipun gross hematuria
didefinisikan didapatkannya sel-sel darah merah di dalam urine, ada
kontroversi mengenai definisi yang tepat dari hematuria mikroskopik.
American Urological Association (AUA) mendefinisikan hematuria
mikroskopis klinis yang signifikan karena terdapat lebih dari 3 sel darah
merah (sel darah merah) pada lapangan pandang besar pada 2 dari 3
spesimen urin dikumpulkan dengan selama 2 sampai 3 minggu.3 Namun,
pasien yang berisiko tinggi untuk penyakit urologi harus dievaluasi secara
klinis untuk hematuria jika urinalisis tunggal menunjukkan 2 atau lebih sel
darah merah pada lapangan pandang besar .4
Gambar 1. Gross Hematuria dan Microscopic Hematuria
Evaluasi yang tepat dan waktu yang cepat sangat penting, karena setiap
derajat hematuria dapat menjadi tanda dari penyakit genitourinari yang serius.4, 5
2.2. ETIOLOGI
Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam
sistem urogenitalia atau kelainan yang berada di luar sistem urogenitalia.
Penyebab paling umum dari hematuria pada populasi orang dewasa termasuk
saluran kemih infeksi, batu saluran kemih, pembesaran prostat jinak, dan
keganasan dalam urologi.1,2,4 Namun, diferensial lengkap sangat luas, beberapa
insiden khusus kondisi yang berhubungan dengan hematuria bervariasi dengan
umur pasien, jenis hematuria (gross atau mikroskopis, gejala atau tanpa gejala),
dan adanya faktor risiko keganasan.
Secara keseluruhan, sekitar 5% pasien dengan hematuria mikroskopis dan
sampai dengan 40% pasien dengan gross hematuria ditemukan pada neoplasma
dari urinary tract.3 genitourinari, 5,6
Sebaliknya, pada hingga 40% pasien dengan
asimptomatik mikrohematuria,sulit diidentifikasikan penyebabnya .1 Akibatnya,
dokter harus mempertimbangkan hematuria yang tidak jelas penyebabnya dari
tingkat mana pun dan mampu mempertimbangkan kemungkinan suatu keganasan
.
Kelainan yang berasal dari sistem urogenitalia antara lain adalah:
 Infeksi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis, sistitis, dan
uretritis
 Tumor jinak atau tumor ganas yaitu: tumor ginjal (tumor Wilms), tumor
grawitz, tumor pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan
hiperplasia prostat jinak.
 Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain : kista ginjal
 Trauma yang mencederai sistem urogenitalia.
 Batu saluran kemih. (Mellisa C Stoppler, 2010)
Kelainan-kelainan yang berasal dari luar sistem urogenitalia antara lain
adalah:
 Kelainan pembekuan darah (Diathesis Hemorhagic),
 SLE,
 Penggunaan antikoagulan, atau proses emboli pada fibrilasi atrium jantung
maupun endokarditis. (Wim de Jong, dkk, 2004)
Cause of Hematuria
Urinary tract infection
Urinary calculi
Urinary tract malignancy
 Urothelial cancer
 Renal cancer
 Prostate cancer
Benign prostatic hyperplasia
Radiation cystitis and/or nephritis
Endometriosis
 Anatomic abnormalities
 Arteriovenous malformation
 Urothelial stricture disease
 Ureteropelvic junction obstruction
 Vesicoureteral reflux
 Nutcracker syndrome
Medical or renal disease
 Glomerulonephritis
 Interstitial nephritis
 Papillary necrosis
 Alport syndrome
 Renal artery stenosis
Metabolic disorders
 Hypercalciuria
 Hyperuricosuria
 Coagulation abnormalities
Miscellaneous
 Trauma
 Exercise-induced hematuria
 Benign familial hematuria
 Loin pain–hematuria syndrome
Gambar 2. Penyebab Hematuria
2.3. DIAGNOSIS
Evaluasi Diagnosis. Harus diyakinkan dahulu, benarkah seorang pasien
menderita hematuria, pseudo hematuria, atau perdarahan per-uretra. Pseudo atau
false hematuria adalah urine yang berwarna merah atau kecoklatan yang bukan
disebabkan sel-sel darah merah. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena
hemoglobinuria, mioglobinuria, konsentrasi asam urat yang meningkat, sehabis
makan/minum bahan yang mengandung pigmen tumbuh-tumbuhan yang
berwarna merah, atau setelah mengkonsumsi beberapa obat-obatan tertentu antara
lain: fenotiazin, piridium, porfirin, rifampisin, dan fenolftalein. Perdarahan per-
uretra adalah keluarnya darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses
miksi, hal ini sering terjadi pada trauma uretra atau tumor uretra. (Mellisa C
Stoppler, 2010)
Hemoglobinuria tanpa hematuria dapat disebabkan oleh adanya hemolisis.
Mioglobinuria tanpa hematuria terjadi pada sindrom rabdiomiolisis setelah cedera
otot rangka dan disertai peningkatan sebanyak lima kali pada kadar kreatin kinase
plasma. Rabdomiolisis dapat terjadi secara sekunder akibat miositis viral, luka
remuk, abnormalitas elektrolit berat (hipernatremia, hipofosfatemia), hipotensi,
koagulasi intravaskulas terdisseminasi (DIC), toksin (obat, racun), dan kejang
berkepanjangan.
Urin tanpa heme dapat terlihat merah, coklat kola, atau merah keunguan
akibat konsumsi berbagai jenis obat, makanan atau pewarna makanan. Urin dapat
berwarna coklat kehitaman atau hitam jika terdapat berbagai kelainan metabolit
urin.

PENYEBAB POSITIF PALSU PADA TES HEMATURIA


HEME POSITIF
Hemoglobin
Mioglobin
HEME NEGATIF
Obat-Obatan
Chloroquine
Deferoxamine
Ibuprofen
Iron sorbitol
Metronidazole
Nitrofurantoin
Phenazopyridine
Phenolphthalein
Phenothiazines
Rifampin
Salisilat
Sulfasalazine
Bahan Pewarna Buah atau Sayuran
Bahan Pewarna Makanan Sintetik
Metabolit
Asam homogentisat
Melanin
Methemoglobin
Porfirin
Tirosinosis
Urat
Gambar 3. Penyebab Positif Palsu pada Tes Hematuria

Penyebab hematuria dapat dilihat pada tabel Sumber hematuria dari


saluran kemih bagian atas berasal dari nefron (glomerulus, tubulus kontortus dan
interstisium). Hematuria di saluran kemih bagian bawah berasal dari sistem
pelvokaliks, ureter, kandung kemih dan uretra. Hematuria yang berasal dari nefron
seringkali tampak sebagai urin berwarna coklat, coklat cola, atau merah keunguan,
disertai proteinuria (>100 mg/dL dengan dipstick), terdapat cast SDM dan
akantosit atau kelainan bentuk SDM lain pada pemeriksaan mikroskopik urin.
Hematuria yang berasal dari tubulus kontortus dapat dilihat dari keberadaan cast
leukosit atau sel epitel tubulus renal. Hematuria dari saluran kemih bagian bawah
umumnya dihubungkan dengan hematuria berat, hematuria terminal (hematuria
terjadi pada saat aliran urin akan berakhir), bekuan darah, morfologi urin SDM
normal, dan proteinuria minimal pada dipstick (<100 mg/dL).

Gambar 4. Approach to Hematuria

Tabel 1. Distinguishing Features of Glomerular and Non-glomerular Hematuria


Feature Glomerular Hematuria Non Glomerular Hematuria
History
Burning of No Urethritis, Cystitis
Micturation Edem, fever, pharingitis, Fever with UTI
Systemic rush, athralgia Severe pain with calculi
Complication No Yes
Deafness in Alport Usually negative
History of trauma Syndrome, renal failure May be positif with calculi
Family History
Physical
Examination Often present Unlikely
Hypertension May be present No
Edema No Important with Wilms
Abdominal masa Tumor, Polycystic kidney
Lupus Eritematosus, No
Rash, arthritis Henoch Schonlein
Puspura
Urine Analysis
Color Brown, tea, cola Bright red
Proteinuri Often Present No
Dysmorphic RBCs Yes No
RBS cast Yes No
Crystal No May be informative

A. Anamnesis
Dalam mencari penyebab hematuria perlu dicari data yang terjadi pada saat
episode hematuria, antara lain:
a. Bagaimanakah warna urine yang keluar?
b. Apakah diikuti dengan keluarnya bekuan-bekuan darah?
c. Di bagian manakah pada saat miksi urine berwarna merah?
d. Apakah diikuti dengan perasaan sakit? (Mellisa C Stoppler, 2010)

Perlu ditanyakan juga, beberapa faktor risiko untuk kanker urothelial pada pasien
dengan hematuria mikroskopis
 Riwayat merokok
 Kerja paparan bahan kimia atau pewarna (benzenes atau aromatic amine)
 Riwayat gross hematuria sebelumnya
 Usia di atas 40 tahun
 Riwayat gangguan berkemih, nyeri saat berkemih, dan infeksi saluran
kemih
 Penyalahgunaan analgetik
 Riwayat radiasi panggul

INISIAL TOTAL TERMINAL

Terjadi pada Awal miksi Seluruh proses miksi Akhir misi

Tempat Uretra Buli-buli, ureter, atau Leher buli-buli


kelainan ginjal
Gambar 5. Porsi hematuria pada saat miksi

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada deteksi hipertensi yang hadir
bersamaan dengan sindrom nefritik dan penyakit pembuluh darah ginjal, edema
terkait dengan sindrom nefrotik, massa perut atau panggul teraba menyarankan
ginjal neoplasma, dan adanya nyeri ketok kostovertebral atau nyeri tekan
suprapubik berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Pemeriksaan rektal pada
pria dapat mengungkapkan nodularitas prostat atau pembesaran sebagai penyebab
potensial.
Pada pemeriksaan diperhatikan adanya hipertensi yang mungkin
merupakan manifestasi dari suatu penyakit ginjal. Syok hipovolemik dan anemia
mungkin disebabkan karena banyak darah yang keluar. Ditemukannya tanda-tanda
perdarahan di tempat lain adalah petunjuk adanya kelainan sistem pembekuan
darah yang bersifat sistemik.
 Pucat pada kulit dan konjungtiva sering terlihat pada pasien dengan
anemia.
 Periorbital, skrotum, dan edema perifer, mungkin menunjukkan
hipoalbuminemia dari glomerulus atau penyakit ginjal.
 Cachexia  mungkin menunjukkan keganasan.
 Nyeri tekan dari sudut kostovertebral, dapat disebabkan oleh pielonefritis
atau dengan perbesaran massa seperti tumor ginjal.
 Nyeri suprapubik  sistitis, baik yang disebabkan oleh infeksi, radiasi,
atau obat sitotoksik.
 Kandung kemih tidak teraba ketika didekompresi, kandung kemih diisi
dengan 200 mL urin percussible. Dalam retensi urin akut, biasanya terlihat
dalam kasus-kasus BPH atau obstruksi oleh bekuan, kandung kemih bisa
diraba dan dapat dirasakan hingga tingkat umbilikus.
 Palpasi bimanual pada ginjal perlu diperhatikan adanya pembesaran ginjal
akibat tumor, obstruksi, ataupun infeksi ginjal. Massa pada suprasimfisis
mungkin disebabkan karena retensi bekuan darah pada buli-buli.
 Pada colok dubur, ukuran, bentuk dan konsistensi prostat dinilai
mengetahui adanya pembesaran prostat benigna maupun karsinoma
prostat. Setelah prostatektomi enukleasi maupun endoskopik, simpai
prostat dibiarkan sehingga pada colok dubur memberikan kesan prostat
masih membesar. Lobus medial prostat yang mungkin menonjol ke
kandung kemih umumnya tidak dapat dicapai dengan jari. Karsinoma
prostat menyebabkan asimetri dan perubahan konsistensi setempat.
Diagnosis dipastikan melalui biopsy jarum transrektal.
 Pemeriksaan dengan menggunakan berbagai kateter yang dahulu dibuat
dari karet dan sekarang lateks, politen atau silicon. Ujung kateter dibuat
dalam berbagai bentuk supaya tidak dapat tercabut; yang biasa ialah
bentuk Foley yang pada ujungnya berbentuk balon yang dapat
dikembangkan. Untuk ukurannya digunakan skala Charriere, berdasarkan
skala Prancis yang menyatakan ukuran lingkaran di luarnya dan bukan
diameternya. Diameter didapat dengan membagi ukuran Charriere dengan
tiga. (Wim de Jong, dkk, 2004)

C. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah yang dilakukan yakni penentuan kadar kreatinin,
ureum dan elektrolit untuk mengetahui faal ginjal; fosfatase asam yang
mungkin meningkat pada metastase prostat, dan fosfatase alkali yang
dapat meningkat pada setiap jenis metastase tulang. Kadar kalsium, fosfat,
asam urat dan hormon paratiroid ditentukan bila terdapat kemungkinan
urolithiasis.
 Pemeriksaan urine dilakukan untuk pemeriksaan mikroskopik,
bakteriologik dan sitologik. Pemeriksaan urinalisis dapat mengarah kepada
hematuria yang disebabkan oleh faktor glomeruler ataupun non
glomeruler. Pemeriksaan hapusan darah tepi dapat menunjukkan proses
mikroangiopati yang sesuai dengan sindrom hemolitik-uremik, trombosis
vena ginjal, vaskulitis, atau SLE. Pada keadaan terakhir, adanya
autoantibodi dapat ditunjukkan dengan reaksi Coombs positif, adanya
antibodi antinuclear, leukopenia dan penyakit multisistem.
Trombositopenia dapat diakibatkan oleh berkurangnya produksi trombosit
(pada keganasan) atau peningkatan konsumsi trombosit (SLE, purpura
trombositopenik idiopatik, sindrom hemolitik-uremik, trombosis vena
ginjal). Walaupun morfologi SDM urin dapat normal pada perdarahan
saluran kemih bawah dan dismorfik pada perdarahan glomerular,
morfologi sel tidak secara pasti berhubungan dengan lokasi hematuria.
 Pada pemeriksaan pH urine yang sangat alkalis menandakan adanya
infeksi organisme pemecah urea di dalam saluran kemih, sedangkan pH
urine yang sangat asam mungkin berhubungan dengan batu asam urat.
 Sitologi urine diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya keganasan
sel-sel urotelial.
 IVP adalah pemeriksaan rutin yang dianjurkan pada setiap kasus
hematuria & sering digunakan untuk menentukan fungsi ekskresi ginjal.
Umumnya, menghasilkan gambaran terang saluran kemih dari ginjal
sampai dengan kandung kemih, asal faal ginjal memuaskan. Pemeriksaan
ini dapat menilai adanya batu saluran kemih, kelainan bawaan saluran
kemih, tumor urotelium, trauma saluran kemih, serta beberapa penyakit
infeksi saluran kemih.
 USG berguna untuk menetukan letak dan sifat massa ginjal dan prostat
(padat atau kista), adanya batu atau lebarnya lumen pyelum, penyakit
kistik, hidronefrosis, atau urolitiasis ureter, kandung kemih dan uretra,
bekuan darah pada buli-buli/pielum, dan untuk mengetahui adanya
metastasis tumor di hepar. Ultrasonografi dari saluran kemih sangat
berguna pada pasien dengan hematuria berat, nyeri abdomen, nyeri
pinggang, atau trauma. Jika hasil penelitian awal ini tetap normal,
disarankan dilakukan pemeriksaan kreatinin dan elektrolit serum.
 Endoultrasonografi, yaitu ekografi transurethral sangat berguna untuk
pemeriksaan prostat dan buli-buli
 Arteriografi dilakukan bila ditemukan tumor ginjal nonkista untuk menilai
vaskularisasinya walaupun sering digunakan CT-Scan karena lebih aman
dan informative. Bagian atas saluran kemih dapat dilihat dengan cara
uretrografi retrograd atau punksi perkutan.
 Payaran radionuklir digunakan untuk menilai faal ginjal, misalnya setelah
obstruksi dihilangkan
 Pemeriksaan endoskopi uretra dan kandung kemih memberikan gambaran
jelas dan kesempatan untuk mengadakan biopsy
 Sistometrografi biasanya digunakan untuk menentukan perbandingan
antara isi dan tekanan di buli-buli
 Sistoskopi atau sisto-uretero-renoskopi (URS) dikerjakan jika pemeriksaan
penunjang di atas belum dapat menyimpulkan penyebab hematuria. (Wim
de Jong, dkk, 2004)

Imaging Modalities for Evaluation of the Urinary Tract

Modality Advantages and disadvantages


Intravenous Considered by many to be best initial study for evaluation of
urography urinary tract
Widely available and most cost-efficient in most centers
Limited sensitivity in detecting small renal masses
Cannot distinguish solid from cystic masses; therefore,
further lesion characterization by ultrasonography, computed
tomography or magnetic resonance imaging is necessary
Better than ultrasonography for detection of transitional cell
carcinoma in kidney or ureter
Ultrasonography Excellent for detection and characterization of renal cysts
Limitations in detection of small solid lesions (< 3 cm)
Computed Preferred modality for detection and characterization of solid
tomography renal masses
Detection rate for renal masses comparable to that of
magnetic resonance imaging, but more widely available and
less expensive
Best modality for evaluation of urinary stones, renal and
perirenal infections, and associated complications
Sensitivity of 94% to 98% for detection of renal stones,
compared with 52% to 59% for intravenous urography and
19% for ultrasonography

Adapted with permission from Grossfeld GD, Wolf JS, Litwin MS, Hricak H,
Shuler CL, Agerter DC, Carroll P. Evaluation of asymptomatic microscopic
hematuria in adults: the American Urological Association best practice policy
recommendations. Part II: patient evaluation, cytology, voided markers, imaging,
cystoscopy, nephrology evaluation, and follow-up. Urology 2001;57(4) (In press).
Imaging modalities for evaluation of the upper urinary tract
and their limitations

Imaging Modality Limitations

Intravenous Urography Poor sensitivity for and parenchymal masses, intravenous contrast
ability to characterize renal exposure
Retrograde Pyelography Poor sensitivity for parenchymal masses, invasive
and ability to characterize renal
Ultrasonography Limited ability to detect mass, and urothelial abnormality
urolithiasis, small (<3 cm) renal
Magnetic Resonance Imaging Expensive, time CTU Largest cumulative radiation
consuming, poor sensitivity for urolithiasis exposure, expensive
Intravenous Urography Poor sensitivity for and parenchymal masses, intravenous contrast
ability to characterize renal exposure
Gambar 5. Imaging modalities for evaluation of the upper urinary tract and their
limitations.

Initial evaluation of newly diagnosed asymptomatic microscopic hematuria.

FIGURE 1.Initial Evaluation of Asymptomatic Microscopic Hematuria*


Adapted with permission from Grossfeld GD, Wolf JS, Litwin MS, Hricak H,
Shuler CL, Agerter DC, Carroll P. Evaluation of asymptomatic microscopic
hematuria in adults: the American Urological Association best practice policy
recommendations. Part II: patient evaluation, cytology, voided markers, imaging,
cystoscopy, nephrology evaluation, and follow-up. Urology 2001;57(4) (In press).
Gambar 5. Workup of hematuria in adults based on AUA best practice policy
recommendations. (Data from Grossfeld GD, Wolf JS Jr, Litwan MS, et al.
Asymptomatic microscopic hematuria in adults: summary of the AUA best
practice policy recommendations. Am Fam Physician 2001;63(6):1148; and
Adapted from Grossfeld GD, Wolf JS, Litwin MS, et al. Evaluation of
asymptomatic microscopic hematuria in adults: the American Urological
Association best practice policy recommendations. Part II: patient evaluation,
cytology, voided markers, imaging, cystoscopy, nephrology evaluation, and
follow-up. Urology 2001;57(4):607; with permission.)

2.4. DIAGNOSIS BANDING

BPH (benign hyperplasia prostate)


Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
• USG transrectal
dari prostat:
Kencing tidak ukuran prostat
lampias, aliran meningkat,
lemah, volume> 40 g,
intermittency, pembesaran meningkatkan
frekuensi kencing prostat pada ukuran lobus
meningkat, kandung kemih median prostat
 PSA
urgensi, nokturia, digital dubur, • uroflowmetry
riwayat BPH vesica urinary dengan
ataupun kanker bulding (+) ultrasonografi
prostat , riwaat kandung kemih:
retensi urine puncak laju aliran
sebelumnya rendah, volume
residual tinggi
postvoid
Urinary tract infection
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
dysuria,
meningatnya
frekuensi
berkemih, volume  urine
urine sedikit saat  urinalysis: culture
demam, nyerio
berkemih, (+) leukocyte and
tekan suprapubic,
nocturia, nyeri esterase, (+) sensitivity:
bladder distention
suprapubic , nitrite, pyuria >10,000
pada retensio
pernah menderita (>10 WBC per colony
urine, cystocele
isk sebelumnya HPF), forming
pada pemeriksaan
dan mendapatkan bacteriuria unit/mL
panggul
pengobatan, urine
riwayat
pyelonephritis,
riwayat gagal
pengobatan

Pyelonephritis, acute
Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
Nyeri pinggang, Nyeri ketok  urinalysis:  renal ultrasound :
demam, kostovertebral, positive pembesaran renal ,
menggigil, nyeri leukocyte hypo-echoic
mual, muntah, suprapubik, esterase, parenchyma with loss
sakit perut, demam, positive of corticomedullary
nyeri penurunan nitrite, pyuria differentiation
suprapubik, hx bising usus (>10  contrast CT
dari WBC/HPF), abdomen:
nefrolitiasis, bacteriuria heterogeneous uptake
ISK dan  urine culture of contrast (lobar
diabetes, and nephronia),
imunosupresi sensitivity: oedematous renal
>10,000 parenchyma,
colony perinephric stranding,
forming intraparenchymal gas
unit/mL urine in emphysematous
pyelonephritis

Alport Syndrome
Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
Hematuria  urinalysis:  skin biopsy: positive
mikroskopis Hipertensi, dysmorphic red immunohistochemist
berulang, oedema, cells, red cell ry
disertai sensorineuronal casts,  renal biopsy: diffuse
dengan hearing loss, proteinuria, thickening and
episode gross anterior microalbuminu splitting of the
hematuria, lenticonus, ria basement membrane,
gangguan erosi kornea  urea and focal
pendengaran, creatinine: glomerulosclerosis
riwayat creatinine >2.0, and tubular atrophy;
keluarga urea >20 negative
dengan  24-hour urine immunohistochemist
kanker dari collection for ry
hematuria, protein : >1
gangguan gram/24 hours
pendengaran,
atau penyakit
ginjal

Kanker Buli
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
fisik
 urinalysis: RBCs
hematuria tanpa
 urine cytology: atypical or
rasa sakit, disuria, massa panggul,
malignant cells, signified by
frekuensi, urgensi, nyeri tekan
increased clustering, increased
usia > 50, hx sudut
cellularity, or altered nuclear
iradiasi panggul, kostovertebral
morphology
hx merokok, dari obstruksi;
 CT abdomen/IVU : ureteral or
penurunan berat sering tidak ada
renal collecting system mass or
badan, paparan kelainan
filling defect
lingkungan/kimia terdeteksi
 cystoscopy: bladder tumour
karsinogen
Kanker Prostate
Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
Pada rectal
lanjut usia,
toucher  PSA:
riwayat
ditemukan meningkat,  transrectal
keluarga
pembesaran PSA> 0,75 ultrasound-
dengan
prostat, dengan mikrogram / guided prostate
kanker, gejala
konsistensi L per tahun biopsy :
obstruktif
keras dan (0,75 ng / confirmed
berkemih,
permukaan mL per adenocarcinoma
penurunan
yang berbenjol- tahun)
berat badan
benjol

Batu Ginjal
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
nyeri pinggang,  urinalysis :
nyeri yang haematuria,
menjalar ke pyuria,
 BNO:
selangkangan, Nyeri ketok crystalluria,
radiodense
hematuria, mual, costovertebral cysteine crystals,
stones
muntah, hx angle acidic or alkaline
sebelumnya pH
kalkuli, riwayat  non-contrast CT
keluarga dengan abdomen:
kanker dari urolithiasis,
nefrolitiasis, hx hydronephrosis
gout, hx penyakit
radang usus

Instrumentasi pada sal.kemih


Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
Adanya kateter  urinalysis:
Riwayat
uretra, kateter diagnosis is
cystoscopy,  BNO: ureteral
suprapubik, stent clinical, and
ureteroscopy, stent and drain
ureter dengan tests are not
prostat biopsi visualisation
string dalam routinely
jarum
uretra recommended

Trauma Ginjal
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
trauma tumpul CT abdomen:
pada pinggang, laserasi pada
hypotension,
menembus parenkim ginjal, BNO IVP:
takikardia, nyeri
panggul atau sistem menegaskan
panggul, memar
luka perut pengumpulan, dan fungsi ginjal
panggul, nyeri
(tembakan atau pembuluh ginjal; kontralateral
perut, perut
tikaman), patah hematoma
kembung
tulang rusuk perinephric,
yang lebih perdarahan aktif,
rendah dan ekstravasasi
urin

Trauma buli
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
trauma tumpul panggul,
 retrograde
menembus luka panggul
Nyeri tekan cystogram:
atau perut (tembakan atau
suprapubic, ekimosis extravasation of
tikaman), fraktur
pada lower contrast revealing
panggul,
abdominal bladder injury
ketidakmampuan
berkemih

Trauma urethral
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan lainnya
penunjang
Trauma
genitalia
eksterna, Perdarahan OUE,
 retrograde  contrast CT
straddle injury, hematom scrotum,
urethrogram abdomen: contrast
bilateral pubic floating prostat,
: contrast extravasation from
rami fracture eimosis pada
extravasation the urethra
and batang penis,
from the  cystoscopy:
Malgaigne's butterfly-
urethra urethral disruption
fracture, ecchymosis pada
perineal perineum
lacerations,
tidak bisa
berkemih,
riwayat
intervensi
kolorektal atau
ginekologi

Sickle cell anemia


Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan fisik
penunjang lainnya
Keturunan
Afrika-
Amerika,
riwayat hepatosplenomegaly,  Hb
keluarga nyeri tean abdomen ,  peripheral electrophoresis
dengan testicular atrophy, blood smear: (whole blood):
kanker oedema of sickle cells haemoglobin S
penyakit sel extremities
sabit, migrasi,
nyeri
intermiten

Coagulopathy
Pemeriksaa Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
n fisik penunjang
mudah  LFTs: hypoalbuminaemia
 PT, PTT, INR:
memar, ecchymoses,  von Willebrand factor
Normal atau ↑
kecenderunga perdarahan antigen (whole blood):
 FBC:
n untuk memanjang reduced in von Willebrand's
thrombocytopenia
berdarah, disease
epistaksis  ristocetin cofactor activity
berulang, (whole blood): reduced in
riwayat von Willebrand's disease
keluarga  factor VIII, IX activity
dengan (whole blood): reduced in
kanker dari haemophilia, VIII reduced in
diastesis von Willebrand's disease
perdarahan,
hx sirosis

Kista ginjal
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
sering tanpa
Nyeri tekan
gejala, panggul
costovertebral  serum creatinine:
nyeri, diri
angle, panggul  renal ultrasound elevated
terbatas
teraba massa : cystic lesions  CT abdomen:
hematuria,
pada ginjal well-defined, oval
infeksi saluran
polikistik, lesions
urin, ginjal
Hipertensi
kolik

Arterial-venous malformation
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
Hipertensi,  contrast CT  renal
gumpalan
cardiomegaly, abdomen: massa angiography:
berbentuk ulat,
bruit (+) pada lesi, filling pengisian simultan
nyeri pinggang,
panggul dan defect, dari sistem arteri
abdomen nephrogram dan vena,
terlambat nephrogram
pengisian tertunda

Renal vein thrombosis


Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
 CT abdomen:
kehilangan diferensiasi
corticomedullary,
Doppler
Mendadak trombus pada vena
ultrasonography:
nyeri Trauma ginjal, pembesaran
membesar, edema
panggul, hx panggul, ginjal dengan
ginjal, echogenic
of nephrotic oedema kekeruhan parenkim
dengan sinyal vena
syndrome  BNO IVP: tertunda
absent
ekskresi kontras dari
ginjal, pembesaran
ginjal karena kongesti

Tuberculosis extrapulmonary
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
Nyeri saat  urinalysis:  IV
berkemih, orchalgia pyuria (>10 urography:
nokturia, hx dari dengan reaktif WBC/HPF) moth-eaten
pajanan TB, hx hidrokel, rectal with no calyces with
cystitis tidak toucher  visualised ulceration ,
responsif prostat nodular bacteria obliterasi
terhadap  urine culture,: calyceal,
antibiotik, hx >10,000 colony hidronefrosi
dari forming s, kalsifikasi,
epididimitis, unit/mL urine
ISK berulang

Benign familial haematuria (thin basement membrane nephropathy)


Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
 urinalysis:
dismorfik merah
sel, sel merah,
Berulang dan proteinuria,
terus mikroalbuminuria
 renal biopsy:
menerus  urea and
oedema and ipisan membran
hematuria creatinine:
hipertensi basal glomerulus
mikroskopik creatinine >2.0,
(150-225 nM)
atau gross urea >20
hematuria,  24-hour urine
collection for
protein : >1
gram/24 hours

Postinfectious glomerulonephritis

Anamnesis Pemeriksaa Pemeriksaan Pemeriksaan lainnya


n fisik penunjang

 urinalysis:d
tiba-tiba timbul edema, ismorfik merah sel,
kelemahan, malaise, gips sel merah,
hematuria gross, sakit proteinuria,
periorbital
kepala, 1 sampai 2 mikroalbuminuria
and
minggu  urea and  serum
peripheral
postpharyngitis, 2 creatinine: antistreptolysin O
oedema,
sampai 4 minggu creatinine >2.0, titer : elevated
hipertensi,
setelah dermatitis urea >20
rash kulit
streptokokus, yang  24-hour urine
paling umum dari usia collection for
2 sampai 10 tahun protein : >1
gram/24 hours

Membranoproliferative glomerulonephritis
Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
 urinalysis:
 serum
dysmorphic red
tiba-tiba complement levels
cells, red cell casts,
timbuledema (C3, C4): low
periorbital and proteinuria,
dependen  renal biopsy:
peripheral microalbuminuria
atau hypercellular
oedema,  urea and
periorbital, glomeruli,
Hipertensi, creatinine:
kelelahan, mesangium
konjungtiva creatinine >2.0,
hematuria diperluas,
pucat, drusen urea >20
gross, sakit imunofluoresensi
retina  24-hour urine
kepala, positif, deposito
collection for
oliguria padat elektron
protein : >1
gram/24 hours

Rapidly progressive glomerulonephritis


Pemeriks
Anamnesis Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan lainnya
aan fisik
prodromal
 urinalysis: dysmorphic red
gejala malaise, Hipertensi
cells, red cell casts,
demam, , nodules  renal bx:
proteinuria,
arthralgias, kulit yang hypercellular,
microalbuminuria
anoreksia, dan nyeri, sklerotik
 urea and creatinine:
mialgia, sakit conjuncti glomeruli dengan
creatinine >2.0, urea >20
perut, nodul vitis, inklusi bulan sabit
 24-hour urine collection
kulit yang uveitis,
for protein : >1 gram/24
menyakitkan oliguria
hours
atau ulserasi

Ig A nephropathy
Anamnesis Pemeriksa Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan lainnya
an fisik
 urinalysis: RBC casts, mild
rulang
proteinuria
makroskopik Pada  renal bx: adanya IgA
 urea and creatinine:
hematuria terkait umumnya pada mesangium,
creatinine >2.0, urea >20
dengan infeksi asimtomatik proliferative crescents
 24-hour urine collection
saluran ,hipertensi pada kasus berat
for protein : >1 gram/24
pernapasan
hours

Systemic lupus erythematosus


Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan lainnya
fisik penunjang
 urinalysis:
arthralgias, pyuria, RBCs,  renal bx :
kupu-kupu
demam ringan, granular casts, glomerulitis ringan 
atau ruam
kelelahan, proteinuria deposisi
diskoid, borok
malaise,  urea and imunoglobulin dan
mulut atau
anoreksia, creatinine: pembentukan bulan
vagina,
mual, creatinine >2.0, sabit
vaskulitis
penurunan urea >20  proliferatiflupus
retina,
berat badan,  24-hour urine serologies: elevated
murmur
kejang, collection for  serum complement
sistolik
fotosensitifitas protein : >1 (C3, C4): low
gram/24 hours

Renal cancer
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
Nyeri pinggang, hx HTN, panggul massa,  renal ultrasound: solid
merokok, riwayat adenopati, varikokel or cystic renal mass
keluarga dengan kanker kiri, edemas  CT abdomen with and
karsinoma sel ginjal, ekstremitas bawah without IV contrast:
penyakit ginjal polikistik, contrast enhancing renal
paparan kimia karsinogen mass

Grawitz tumor
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
fisik
nyeri pinggang,
hematuria dan massa
pada pinggang
PIV biasanya dikerjakan atas
merupakan tanda tumor
indikasi adanya hematuria tetapi
dalam stadium lanjut,
jika diduga ada massa pada ginjal,
nyeri pada sisi ginjal bisa
pemeriksaan dilanjutkan dengan
yang terkena , penurunan diraba/dirasakan
CT scan atau MRI. Dalam hal ini
berat badan , kelelahan , benjolan di perut
USG hanya dapat menerangkan
demam yang hilang-
bahwa ada massa solid atau kistik
timbul, anemi , Varikokel
akut ,
hipertensi

Tumor Wilms
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan lainnya
Anamnesis
fisik penunjang
tumor abdomen, Massa IVP tampak
Hematuri abdomen distorsi sistem kadar lactic
(makroskopis) pielokalises dan dehydrogenase (LDH)
Hipertensi berguna untuk meninggi dan Vinyl
anemia, mengetahui mandelic acid (VMA)
penurunan berat fungsi ginjal. dalam batas normal
badan, infeksi pemeriksaan
saluran kencing, USG, tumor
demam, malaise Wilms nampak
dan anoreksia sebagai tumor
nyeri perut yang padat di daerah
bersifat kolik ginjal.

Urethral cancer
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
lebih umum
pada wanita
 IVU: filling defect,
putih dan pada
Teraba mass voiding  urethroscopy:
mereka> 50
massa,  cystourethrogram: visible urethral
usia, frekuensi,
stricture filling defect, mass mass
keraguan,
gejala kencing
obstruktif

Penile cancer
Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan fisik
penunjang lainnya
hx lesi penis, eritematosa patch,  skin biopsy:
hx dari indurasi, massa squamous cell  MRI/CT pelvis
kondiloma teraba, carcinoma
limfadenopati
inguinal

Bladder stone
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Anamnesis
fisik penunjang lainnya
 urinalysis:
suprapubik nyeri,
haematuria,
hematuria, gejala  BNO: radio-
leukocyte esterase,
saluran kandung Nyeri tekan opaque bladder
nitrites
kemih obstruktif, suprapubic stone
 non-contrast CT
operasi
abdomen: bladder
sebelumnya
stone

Cytotoxic medications
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan lainnya
fisik

hx dari penggunaan  urinalysis: dismorfik


analgesik atau merah sel, gips sel  cystoscopy:
hypotension,
penyalahgunaan, merah, proteinuria, amyloid deposits,
oedema,
aminoglikosida, mikroalbuminuria haemorrhagic
suprapubic pain
cyclophosphamide,  FBC: peripheral blood inflammation
cyclosporine, penisilin, eosinophilia
sulfonamid, non-steroid  serum creatinine:
anti-inflamasi, elevated
hematuria berulang,
nyeri pinggang, disuria

Anticoagulation
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
panggul massa, nyeri
hx fibrilasi atrium,
tekan sudut
katup mekanik,  coagulation studies:
kostovertebral,
stroke, memar, elevated
memar, perdarahan
perdarahan gusi
gusi

.Exercise-induced haematuria
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang

Setelah olahraga berat Normal  urinalysis: RBCs

Loin pain haematuria syndrome


Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
fisik
perempuan muda, hematuria
 urinalysis: diagnosa
intermiten, panggul nyeri
klinis, dan tes tidak
intermiten mulai dari yang low-grade fever
secara rutin
ringan sampai parah,
direkomendasikan
penggunaan kontrasepsi oral
Medication
Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang
fisik
penggunaan obat seperti
 urinalysis : diagnosa klinis,
Pyridium, rifampin,
Normal dan tes tidak secara rutin
fenitoin, levodopa,
direkomendasikan
metildopa, dan kina

Food-related
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
fisik
 urinalysis: : diagnosa klinis,
Riwayat makan bit,
Normal dan tes tidak secara rutin
blackberry, rhubarb
direkomendasikan

2.5. PENATALAKSANAAN
Jika terdapat gumpalan darah pada buli-buli yang menimbulkan retensi
urine, coba dilakukan kateterisasi dan pembilasan buli-buli dengan memakai
cairan garam fisiologis, tetapi jika tindakan ini tidak berhasil, pasien secepatnya
dirujuk untuk menjalani evakuasi bekuan darah transuretra dan sekaligus
menghentikan sumber perdarahan. Jika terjadi eksanguinasi yang menyebabkan
anemia, harus dipikirkan pemberian transfusi darah. Demikian juga jika terjadi
infeksi harus diberikan antibiotika. (Mellisa C Stoppler, 2010) . Setelah hematuria
dapat ditanggulangi, tindakan selanjutnya adalah mencari penyebabnya dan
selanjutnya menyelesaikan masalah primer penyebab hematuria. (Mellisa C
Stoppler, 2010)

Anda mungkin juga menyukai