Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

‘APENDISITIS’

Disusun Oleh
NAMA : SUPIANI YAMLEAN

NIM : 70300116022

KELAS : KEPERAWATAN A

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN LMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2018
BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki

maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun

(Mansjoer, 2010).

Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada vermiforis. Sehingga

merupakan penyakit yang paling sering memerlukan pembedahan kedaruratan. Apabila

tidak ditangani dengan segera maka akan berakibat fatal ( Kowalak, 2011).

B. Etiologi

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.Namun

terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang

terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang

keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam

tubuh, tumor primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan

bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal

terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari

sumbatanlumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori

Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor

pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku.

Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor
lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan

benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga

menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang diberikan olehlayanan

kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah

faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit

yang menyebabkanobstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

C. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan

sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi

apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2005).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis

supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila

dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).
D. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis menurut Lippicott williams &wilkins (2011) yaitu :

a) Nyeri periumbilikal atau epigastik kolik yang tergeneralisasi maupun setempat,

anoreksia, mual muntah.

b) Nyeri setempat pada perut bagian kanan bawah.

c) Regiditas abdominal seperti papan.

d) Respirasi retraktif.

e) Rasa perih yang semakin menjadi.

f) Spasma abdominal semakin parah.

g) Rasa perih yang berbalik (menunjukan adnya inflamasi peritoneal ).

h) Gejala yang minimal dan samar rasa perih yang ringan pada pasien lanjut usia.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. Darah : didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus apendisitis akut

terutama pada kasus komplikasi.

b. Urine : pada urinalis bisa ditemukan piuria, leukosituria dan kadar asam 5-

hidroksiindolasetat

2. Radiologi

a. Apendikogram

Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus

yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum
pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk

dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.

b. Ultrasonografi (USG)

USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma

harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura (Penfold,

2008)

F. Komplikasi

Komplikasi menurut Deden & Tutik (2010 ) yaitu :

a) Perforasi appendiks

Tanda – tanda perforasi yaitu meningkatnya nyeri,meningkatnya spasme dinding perut

kanan bawah, ileus,demam,malaise, dan leukositisis.

b) Peritonitis Abses Bila terbentuk abses appendik maka akan teraba massa pada kuadran

kanan bawah yang cenderung menggelembung pada rektum atau vagina. jika terjadi

perintonitis umum tidakan spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal

perforasi tersebut.

c) Dehidrasi.

d) Sepsis.

e) Elektrolit darah tidak seimbang.

f) Pneumoni.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yg bisa dilakukan pada penderita Apendisitis mencangkup

penanggulangan konservatif & tindakan operasi.


1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama di berikan pada penderita yg tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian terapi antibiotik.

Pemberian terapi antibiotik berguna untuk mencegah terjadinya infeksi. Umumnya

pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum dilaksanakan tindakan operasi

dilakukan penggantian cairan & elektrolit, serta pemberian terapi antibiotik sistemik

2. Operasi

Apabila diagnosa sudah tepat & jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yg

dilakukan ialah dengan operasi untuk membuang appendiks (appendektomi).

Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan adanya

abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan

nanah).

3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dilaksanakan pencegahan tersier yaitu agar dapat mencegah

terjadinya sebuah komplikasi yg lebih berat seperti komplikasi pada intra-abdomen.

Komplikasi utama ialah infeksi luka & abses intraperitonium. Apabila di perkirakan

terjadi perforasi maka abdomen biasanya dicuci dengan garam fisiologis atau terapi

antibiotik. Pasca appendektomi di perlukan pelaksanaan perawatan intensif &

pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-

abdomen.
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Biodata

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/

bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

2. Lingkungan

Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan

lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.

3. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama : Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar

umbilikus.

b. Riwayat kesehatan dahulu : Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.

c. Riwayat kesehatan sekarang : Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama

keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul,

keadaan apa yang memperberat dan memperingan.

4. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada

pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan

dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci

diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri

pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila
tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah,

ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).

c. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks

apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri,

maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini

merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang.

Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi

panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang

menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi

panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini

akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika

(Akhyar Yayan, 2008 ).

5. Perubahan pola fungsi

Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalah

sebagai berikut :

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Malaise.

b. Sirkulasi

Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi

Gejala : Konstipasi pada awitan awal , Diare (kadang-kadang).

Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.: Penurunan atau

tidak ada bising usus.

d. Makanan / cairan

Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah.

e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat

dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang

ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam(nyeri

berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai

rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh :

retrosekal atau sebelah ureter).

Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut

ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi

kaki kanan/ posisi duduk tegak.: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi

peritoneal.

f. Pernapasan

Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.

g. Keamanan

Tanda : Demam (biasanya rendah).


B. Diagnosa dan Intervensi

1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif insisi

bedah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi berkurang.

KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/

inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam.

Intervensi :

a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental,

meningkatnya nyeri abdomen.

Rasional : Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis.

b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila

dimasukkan), adanya eritema.

Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/ atau

pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.

c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan

perawatan paripurna.

Rasional : Menurunkan resiko penyebaran infeksi.

d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/ orang terdekat.

Rasional : Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi,

membantu menurunkan ansietas.

e. Ambil contoh drainase bila diindikasikan.

Rasional : Kultur pewarnaan Gram dan sensitivitas berguna untuk

mengidentifikasikan organisme penyebab dan pilihan terapi.

f. Berikan antibiotik sesuai indikasi.


Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah

mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan

penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.

g. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.

Rasional : Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.

2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pascaoperasi, status hipermetaabolik,

inflamasi peritonium dengan cairan asing.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan

dan elektrolit menjadi kuat.

KH : kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil dan secara

individual haluaran urine adekuat.

Intervensi :

a. Awasi TD dan nadi.

Rasional : Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume

intravaskuler.

b. Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

Rasional : Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

c. Awasi masukan dan haluaran : catat catat warna urine/ konsentrasi, berat jenis.

Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan beratjenis diduga

dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.

d. Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus.

Rasional : Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukkan oral.

e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkanperoral dimulai, dan

lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.


Rasional : Menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan kehilangan

cairan.

f. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindung bibir.

Rasional : Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah.

g. Pertahankan penghisapan gaster/ usus.

Rasional : Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan

pada fase segera pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus,

mencegah muntah.

h. Berikan cairan IV dan elektrolit.

Rasional : Peritonium bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan menghasilkan

sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah,

mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan

elektrolit.

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan usus

oleh inflamasi ; adanya insisi bedah.

Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.

KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu istirahat/ tidur

dengan tepat.

Intervensi :

a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan

laporkan perubahan nyeri dengan tepat.

Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.

Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/ peritonitis,

memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi.

b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.


Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomenbawah atau

pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang.

c. Dorong dan ajarkan ambulasi dini.

Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh : merangsang peristaltik

dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen.

d. Berikan aktivitas hiburan.

Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat

meningkatkan kemampuan koping.

e. Pertahankan puasa/ penghisapan NG pada awal.

Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi

gaster/ muntah.

f. Berikan analgesik sesuai indikasi.

Rasional : Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi

lain seperti ambulasi, batuk.

g. Berikan kantong es pada abdomen.

Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung

saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan

kompresi jaringan.

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi dan

salah interpretasi informasi.

Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan potensial

komplikasi.

KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi :
a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi, contoh : mengangkat berat,

olahraga, seks, latihan, menyetir.

Rasional : Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali

rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah.

b. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri,

edema/ eritema luka, adanya drainase, demam.

Rasional : Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius,

contohnya : peritonitis, lambatnya proses penyembuhan.

c. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik.

Rasional : Mencegah kelemahan, meningkatkan penyembuhan dan perasaan sehat,

mempermudah kembali ke aktivitas normal.

d. Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi dan

kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/ pengikat.

Rasional : Pemahaman maningkatkannkerjasama dengan program terapi,

meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan.

e. Berikan laksatif/ pelembek feses jika diindikasikan dan hindari enema.

Rasional : Membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah mengejan saat

defekasi. (Doenges, 2000).


DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat,R & Wim,de Jong (ed).2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Judith M. Wilkinson. Nancy R, Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

Kowalak Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mutaqin,Arif & Kumala Sari.2011.Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medik

Anda mungkin juga menyukai