Pasien seorang laki-laki berusia 18 tahun, dibawa keluarga ke IGD RSUD Petala Bumi
dengan keluhan Nyeri Pada otot extremitas, nyeri dirasakan sejak 5hari yang lalu, dirasakan
semakin lama semakin berat, hingga dirasakan bagian tubuh yang nyeri sulit untuk digerakan,
terutama pada betis kaki dan lengan tangan. Awalnya nyeri didahului dengan Demam sejak 6hari
yang lalu, demam tinggi, terus menerus, disertai menggigil, suhu saat demam tidak diukur.
Mimisan, gusi berdarah dan Bab hitam disangkal. Pasien juga mengeluhkan kulit menjadi kuning
sejak 3hari yang lalu. Bak dikatakan pasien menjadi berwarna kuning pekat seperti warna kunyit
sejak 3hari yang lalu, Bak tidak berbau busuk tidak dirasakan nyeri atau panas saat bak. Bab
tidak ada keluhan. Pasien juga mengatakan muntah tadi pagi sebanyak 1x, isi air. Makan dan
minum tidak ada keluhan. Riwayat pasien 7hari yang lalu bekerja memasang tenda saat hujan
dan, kaki pasien beberapa kali masuk kedalam lumpur hingga setinggi betis dan dikatakan ada
luka pada kaki pasien yang terkena lumpur. Bercak-bercak kemerahan pada betis disangkal dan
riwayat digigit binatang disangkal. Riwayat keluarga atau teman yang terkena penyakit kuning
disangkal, riwayat memakai tato, jarum suntik bekas, berhubungan seksual dan transfuse darah
disangkal. Riwayat kejang dan tertusuk paku atau pecahan kaca disangkal. Riwayat trauma
disangkal.
Dirumah pasien sudah minum obat penurun panas yaitu paracetamol tablet 500mg yang
dibeli diapotik, demam turun kemudian naik lagi. Riwayat alergi obat atau makanan disangkal
oleh pasien. Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga pasien.
Objective
Status generalis
Pemeriksaan Sistemik :
Pemeriksaan Penunjang:
Hb : 13.6 mg/dl
Leukosit : 21.350/mm
Diff count : Basofil 0
Eusinofil 0
Neutrofil 87
Limfosit 4
Monosit 9
Eritrosit : 4.82 jt
Trombosit : 355.000
Hematocrit : 38.8
LED :-
URINALISA :
Kuning keruh Keton –
Bj 1.025 Nitrit –
Ph 5 Bakteri –
Protein - Eritrosit 1-2
Reduksi – Leukosit 2-5
Bilirubin + Epitel gepeng +
Urobilinogen +
Kimia Darah
Ureum 22
Creatinine 0.7
SGOT 35
SGPT 71
Bilirubin Direk 2.7
Indirek 0.7
HBsAg -
Assessment
Pasien laki-laki 18th, datang ke IGD RSUD Petala Bumi dengan diagnoas kerja Obs Febs
Penunjang. Berdasarkan anamnesa didapatkan keluhan nyeri pada otot ekstremitas dirasaka
semakin memberat, disertai demam sejak 6hari yang lalu, demam disertai menggigil dan kulit
pasien menguning sejak 3hari smrs. Pasien juga mengeluh muntah sebanyak 1x dan bak
berwarna
kuning pekat. Pasien diketahui memiliki riwayat terkena hujan dan saat bekerja kaki menginjak
lumpur hingga setinggi betis dan terdapat bekas luka pada kaki yang terkena lumpur.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, suhu tubuh
meningkat 38,6C. dan pemeriksaan generalis tampak sklera mata ikteri, kulit tubuh tampak
Ikterik, nyeri remas pada gastrocnemius dextra dan sinistra dan otot Bicep dextra dan sinistra.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil leukositosis dengan peningkatakan
neutrophil
Pada pemeriksaan urinalisa didapat hasil bilirubin, urobilinogen, eritrosit dan leukosit yang
positif
Dan pada pemeriksaan kimia darah didapat peningkatan pada SGOT dan Bilirubin direct.
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui abrasi kulit atau mukosa yang intak, khususnya
konjungtiva dan mukosa oronasofaring. Meminum air yang terkontaminasi bisa membuat
leptospira masuk melaui mulut,tenggorokan dan esophagus. Setelah masuk kedalam tubuh,
leptospirosis berkembang dan menyebar keseluruh organ. Multiplikasi terjadi di darah dan cairan
serebrospinal dalam waktu 4-10 hari pertama. Semua bentuk leptospira dapat merusak pembuluh
darah kapiler yang menyebabkan vaskulitis. Vaskulitis ini akan menyebabkan kebocoran dan
ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Pathogenesis terjadinya leptospirosis adalah adesi pada
permukaan sel dan toksisitas.
1. Gambar: Leptospira
Weil sindrom adalah bentuk leptospirosis yang berat. Di tandai adanya ikterik, kelainan
ginjal dan diathesis hemoragik. Keterlibatan paru terjadi pada banyak kasus, dengan tingkat
kematian 5-15%. Di Eropa, serovar yang banyak didapatkan pada sindrom ini adalah
icterohemorrhagik/copenhagi. Onset leptospirosis jenis ini sama dengan yang lain yaitu hari ke
4-9. Ikterik, kelainan ginjal dan perdarahan terjadi. Hepatomegali dan kaku pada quadran kanan
atas biasa didapatkan. Splenomegali ditemukan pada 20 % kasus
Gagal ginjal dapat terjadi pada sekitar minggu kedua. Hipovolemia dan penurunan perfusi
ginjal ngsi turut berperan terjadinya tubuler akut sindrom dengan oliguri atau anuri. Dialysis
kadang dibutuhkan. Fungsi ginjal mungkin dapat dipulihkan.
Paru dapat terlibat dengan keluhan batuk, sesak nafas, nyeri dada dan hemoptisis.
Manifestasi perdarahan seperti epistaksis petekie purpura dan ekimosis biasa
didapatkan.perdarahan saluran cerna yang berat dan adrenal dan perdarahan subarachnoid jarang
terjadi.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase
imun. Pada fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira pada darah dan cairan
serebrospinal. Gejala klinisnya berupa demam, sakit kepala, mialgia terutama paha dan betis
,mual muntah dan pada hari ke-3 dan 4 dapat dijumpai konjungtiva suffusion, kadang-kadang
dijumpai splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari, jika
ditangani pasien akan membaik, namun bila kondisi semakin berat demam turun diikuti oleh
bebas demam dan setelah itu akan demam kembali dan pasien memasuki fase kedua atau fase
imun.
Berbeda dengan hepatitis viral akut, kenaikan bilirubin dan alkali fosfatase ringan sama
seperti aminotransferase.Ketika reaksi meningeal terjadi PMN leukosit akan meningkat lebih
dulu dan mononuclear sel meningkat kemudian. Konsentrasi protein pada cairan serebrospinal
dapat meningkat, kadar gula normal.
Pada leptospirosis berat,kelainan foto thorax biasa terlihat di lobus bawah lapangan paru
dengan gambaran infiltrat yang berhubungan dengan proses perdarahan alveolar. Kelainan ini
didapatkan 3-9 hari setelah sakit.
Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
Suspek
bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.
Probable
bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif
bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya
serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih
MAT yang menggunakan strain leptospira hidup dan ELISA yang menggunakan antigen
adalah standar serologi prosedur. Tes ini biasanya hanya tersedia di lab khusus dan digunakan
untuk mengetahui titer antibodi dan identifikasi serogrup dan serovar, dimana hal ini penting
untuk gambaran prevalensi antigen serovar pada area geografi tertentu.Namun serologi tes tidak
bisa digunakan sebagai dasar untuk memulai terapi. Selain MAT dan ELISA terdapat rapid test.
Leptospirosis bisa diisolasi dari darah dan cairan serebrospinalis pada 10 hari pertama sakit dan
dari urin pada beberapa minggu dimulai pada minggu pertama. Kultur biasanya positif setelah 2-
4 minggu dengan kisaran 1 minggu hingga 6 bulan. Kadang-kadang urin kultur dapat positif
setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospirosis dari
cairan tubuh dan jaringan, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris
(EMJH). Selain itu Fletcher medium and Korthof medium juga bisa digunakan. Isolasi
leptospirosis penting sejak cara itu yang hanya bisa mengidentifikasi serovar yang menginfeksi.
Pemeriksaan medan gelap dari darah dan urin biasanya misdiagnosis dan sebaiknya tidak
digunakan. Hasil serologi pada pasien ini negatif, Hal ini dapat terjadi karena belum terbentuk
antibodi dalam tubuh karena dilakukan pemeriksaan pada minggu pertama, sehingga
direncanakan untuk mengulang tes serologi tersebut pada minggu berikutnya. Namun atas
pertimbangan biaya pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Hasil serologi yang negatif juga bisa
dikarenakan terapi antibiotik diawal perjalanan penyakit sehingga mempengaruhi terbentuknya
antibodi. Selain itu juga dikarenakan banyaknya serovar pada leptospira sehingga bisa saja
terjadi ketidaksesuaian serovar .
Satu penelitian membandingkan efikasi ceftriakson dan penisilin untuk terapi leptospirosis
berat, didapatkan tidak ada perbedaan antara dua obat tersebut dalam komplikasi dan mortalitas.
or
Moderate/severe leptospirosis
Penicillin G, 1.5 million units IV qid
or
Ampicillin, 1 g IV qid or
Purpose of Drug Administration Regimen
Amoxicillin, 1 g IV qid or
Cefotaxime, 1 g IV qid or
Note: All regimens used for treatment are administered for 7 days
Prognosis pada pasien dengan Leptospirosis Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal.
Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia
lanjut menjadi 30-40 %
Leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan mortalitas janin yang tinggi
Planning
Diagnosis
Terapia
1. Preventif
- Hindari kontak dengan air kotor/diperkirakan tercemar Leptospira
- Gunakan pelindung pada daerah resiko tinggi
- Hindari kontak urin hewan peliharaan
- Perhatikan sanitasi dan limbah peternakan
2. Kuratif
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x
1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat Regimen
1. Treatment
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada
golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan
penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga
penatalaksanaan cukup secara konservatif.15
Penatalaksanaan konservatif
Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap
fungsi ginjal sangat perlu.
Antipiretik
Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun
maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan
kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial
dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan
kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada
fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru
membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan
membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan
menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup
atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan
secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara
parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.
Pemberian antibiotik
◦ Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang
memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan
beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik konvensional
tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan
ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan
melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat
perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
Penanganan khusus
1. Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20
U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac
arrest.
6. Perdarahan transfusi
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan.
Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat. Perdarahan kadang0-
kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk
menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi
secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan
akibat trpmbositopati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zein U. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Sudoyo AW
(Eds). Jakartar: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI, 2006. Hal:1823-26
2. Fauci AS. Leptospirosis. In Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17 th ed. Braunwald E
(Eds). New York: Mc Graw Hill: 2008
3. World Health Organization/International Leptospirosis Society: Human Leptospirosis:
Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva, World Health Organization. Di
unduh dari www.who.int/csr/don/en/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
4. Widarso, Ganefa S. pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kasus penanggulangan
leptospirosis di Indonesia. Sub Direktorat Zoonosis, Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes,2004
http://pusdiknakes.or.id/persinew/?show=detailnews&kode=881&tbl=kesling
5. Vinetz JM: Leptospirosis. Curr Opin Infect Dis 14:527, 2001 [PMID: 11964872]
Klinis varicella yaitu dimulai dengan gejala prodromal seperti demam yang biasanya
berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi
kulit. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi
sekunder bakterial atau komplikasi lainnya.4 Selain itu terdapat gejala malese dan nyeri kepala,
kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam lalu waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas mirip tetesan embun (tear drops)
di atas dasar kulit yang eritematosa dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini
berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga tampak gambaran polimorfik. Penyebaran
lesi terutama di daerah badan, kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas.1
Dari anamnesis juga diketahui kemungkinan adanya riwayat kontak dengan pasien varicella yang
lain, yaitu kakak dan adik pasien yang tidak menggunakan masker. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan dimana dikatakan bahwa jalur penularan virus varicella zooster bisa secara aerogen,
kontak langsung, dan transplasental. Droplet lewat udara memegang peranan penting dalam
mekanisme transmisi, tapi infeksi bisa juga disebabkan melalui kontak langsung. Krusta varisela
tidak infeksius. Manusia merupakan satu-satunya reservoir, dan tidak ada vektor lain yang
Pemeriksaan untuk memastikan adanya Varicella Zoster Virus dapat dilakukan dengan
percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan
pemeriksaan diambil dari kerokan dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian
diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan
pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. Hasilnya akan
untuk diagnosis varicella. Varicella Zoster Virus juga dapat diisolasi dari kultur jaringan,
meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. Bahan
Tatalaksana pasien varicella adalah acyclovir 4x400 mg/ hari selama 7 hari, untuk
maleate 1x2 mg/hari, sedangkan topikal yaitu bedak Caladine diberikan untuk mempertahankan
vesikel agar tidak pecah dan Gentamycin Cream untuk lesi yang seudah pecah agar mencegah
terjadinya infeksi sekunder. Pasien disarankan agar istirahat yang cukup, makan makanan yang
komplikasi yang dapat terjadi. Pada pasien ini prognosis Quo ad vitam adalah bonam karena
penyakit ini tidak mengancam jiwa, sebab dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda
komplikasi. Prognosis Quo ad functionam adalah bonam karena fungsi kulit yang terkena tidak
terganggu. Prognosis Quo ad sanationam adalah bonam karena varisela merupakan penyakit
yang bersifat self-limiting disease dan tidak mengganggu kehidupan sosial penderita, sebab