Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


STIMULASI PERSEPSI SENSORI PADA KLIEN HALUSINASI
DENGAN METODE OKUPASI TERAPI
DI RUANG NAKULA RSUD BANYUMAS
STASE KEPERAWATAN JIWA

Disusun oleh:
Wiwig Useno I4B0117017 Purwatiningsih I4B0117022
M. Maghfuri I4B0117005 Ngasirotun Jamilah I4B0117002
Suharjo I4B0117061 Indriyani I4B0117029
Stevana Evi I4B0117024 Farida Wardani I4B0117053
Widyatun I4B0117032 Siti Mulyani I4B0117023
Nur Laela M I4B0117056

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2018
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

1. TOPIK

Terapi aktivitas kelompok (TAK) dengan metode okupasi terapi (hand made
gantungan kunci) menggunakan barang-barang bekas pada Klien halusinasi.

2. TUJUAN

Tujuan Umum

Meningkatkan stimulasi persepsi dan sensori klien halusinasi secara bertahap.

Tujuan Khusus

1. Klien mampu mengenal halusinasi yang dialami

2. Klien memahami cara mengontrol halusinasi dengan metode hand made


gantungan kunci

3. Klien mampu menirukan instruksi dari leader

4. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan terapi


aktivitas kelompok yang telah dilakukan.

5. Klien mampu meningkatkan kontrol halusinasi dengan metode hand


made gantungan kunci

3. LANDASAN TEORI
1. HALUSINASI
a. Pengertian

Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indera dan


berasal dari stimulus eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke
dalam pengalaman. Beberapa halusinasi dapat dipicu, misalnya,
seorang remaja lelaki yang mendengar seoang polisi berbiara dengan
dirinya saat ia mendengarkan musik. Halusinasi dapat terjadi pada
indera apa pun. Pada dasarnya, halusinasi tidak selalu berarti penyakit
kejiwaan. Sebagai contoh, halusinasi singkat cukup umum terjadi
setelah peristiwa kematian (orang yang mengalami halusinasi seolah
melihat atau mendengar orang yang meninggal. Halusinasi dapat sangat
invasif, sering muncul, dan menyerang hampir semua fungsi normal
(Brooker, 2008).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi


dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut
Yosep (2009), halusinasi didefinisikan sebagai terganggunya persepsi
sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Halusinasi adalah
kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).

b. Penyebab

1) Faktor predisposisi

Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor predisposisi yang


menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
a) Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui
kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke
berapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai
sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar
50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika
dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia
maka peluangnya menjadi 35%.
b) Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
c) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin.
d) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
e) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.

2) Faktor presipitasi

Stressor presipitasi adalah stimulasi yang dipersepsikan oleh


individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan
energi ekstra untuk koping yaitu meningkatkan stress dan
kecemasan. Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor presipitasi yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
a) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c) Kondisi kesehatan, meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
system syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan.
d) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis
masalah di rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup,
perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran
dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social, kurangnya
dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan
dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
e) Sikap atau perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri
rendah, putus asa,tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan
kendali diri, merasa punyakekuatan berlebihan, merasa malang,
bertindak tidak seperti orang lain darisegi usia maupun
kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,
ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan
gejala.
c. Tanda dan Gejala

Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering


didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah
tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau
menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang
menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang
halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).
Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna
Keliat, 1999).

1) Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan

Gejala klinis:

a) Menyeriangai/tertawa tidak sesuai


b) Menggerakkan bibir tanpa bicara
c) Gerakan mata cepat
d) Bicara lambat
e) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan

2) Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan

Gejala klinis:

a) Cemas
b) Konsentrasi menurun
c) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata

3) Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan

Gejala klinis:

a) Cenderung mengikuti halusinasi


b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu
mengikuti petunjuk)

4) Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan

Gejala klinis:

a) Klien mengikuti halusinasi


b) Tidak mampu mengendalikan diri
c) Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
d. Macam Halusinasi

Jenis-jenis halusinasi menurut Yosep, 2009 :

1) Halusinasi Pendengaran (Auditory), paling sering dijumpai dengan


gejala mendengar suara-suara yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya, mendengar suara atau bunyi, mendengar suara
yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara yang
mengancam diri klien atau orang lain atau suara lain yang
membahayakan.

2) Halusinasi Penglihatan (Visual), ditandai dengan melihat seseorang


yang sudah meninggal atau makhluk halus tertentu, melihat
bayangan hantu, atau sesuatu yang menakutkan.

3) Halusinasi Penciuman (Olfaktory), Halusinasi ini biasanya berupa


penciuman bau tertentu yang dirasakan tidak enak seperti bau
mayat, darah, atau bau masakan serta bau parfum yang
menyenangkan.

4) Halusinasi Perabaan (Taktil), yaitu merasakan ada sesuatu yang


menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk
halus, merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat
panas atau dingin,

5) dan merasakan tersengat aliran listrik.

6) Halusinasi Pengecapan (gustatorik), yaitu seperti merasakan


makanan tertentu atau mengunyah sesuatu.

7) Halusinasi Hipnagogik, yaitu persepsi sensori yang salah terjadi


pada saat tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang non
patologis

8) Halusinasi Hipnopompik, yaitu persepsi palsu yang salah saat


terbangun dari tidur biasanya tidak patologis

9) Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood congruent


hallucination), yaitu dimana halusinasi konsisten dengan mood
yang tertekan atau panik.

10) Halusinasi tidak sejalan dengan mood (mood incongruentn


hallucination), yaitu dimana isi halusinasi tidak konsisten dengan
mood yang tertekan atau panik.
11) Halusinasi kinestetik, yaitu mengatakan bahwa fungsi tubuhnya
tidak dapat terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan diotak, atau
perasaan tubuhnya melayang-layang diatas bumi.

12) Halusinasi Viseral, yaitu badannya dianggap berubah bentuk dan


tidak normal seperti biasanya.

13) Halusionis, yang paling sering adalah halusinasi dengar yang


berhubungan dengan penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam
sensorium yang jernih, berbeda dengan delitirum tremens (Dts),
yaitu halusinasi terjadi dalam konteks sensorium yang berkabut.

14) Trailing phenomenon, Kelainan persepsi yang berhubungan dengan


obat-obatan halusonogen dimana benda yang bergerak dilihat
sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinyu.

15) Halusinasi Auditorik, dapat terjadi pada orang normal tetapi tidak
dianggap sebagai suatu hal yang patologis. Ada beberapa halusinasi
auditorik yang patologis yaitu; halusinasi auditorik non verbal,
halusinasi auditorik verbal, halusinasi auditorik orang ketiga,
halusinasi auditorik orang kedua.

e. Fase Halusinasi

Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain


(Yosep, 2009) yaitu :

1) Stage I : Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul


halusinasi)

Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan,


takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah
makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya
kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih, masalah
dikampus, diPHK ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus,
drop out, dan sebagainya. Masalah terasa menekan karena
terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi
terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung
terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap
lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.

2) Stage II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara


umum diterima sebagai sesuatu yang alami)

Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan


cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan
bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien
merasa nyaman dengan halusinasinya.

3) Stage III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum


halusinasi sering mendatangi klien)

Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami


bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan
mulai berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan
intensitas waktu yang lama.

4) Stage IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori


menjadi tidak relevan dengan kenyataan)

Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang


datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotic.

5) Stage V : Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami


gangguan dalam menilai lingkungannya)

Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam


dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian
bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi
gangguan psikotik berat.

f. Rentang respon

Rentang respon halusinasi berbeda-beda untuk setiap orang.


Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang
berada dalam rentang respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001).
Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang
sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima
melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu,
pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan
suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut
tidak ada.

Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang


karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi.
Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap
stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
Adapun rentang respon neurobiologis adalah sebagai berikut:

Tabel Rentang Respon Neuorobiologis


Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Kadang proses 1. Gangguan


2. Persepsi akurat pikir terganggu proses piker
3. Emosi konsisten 2. Ilusi (waham)
dengan 3. Emosi 2. Halusinasi
pengalaman berlebihan/ 3. Kerusakan
4. Perilaku sesuai kurang proses pikir
5. Hubungan social 4. Perilaku tidak 4. Perilaku tidak
harmonis biasa terorganisir
5. Menarik diri 5. Isolasi soial

(Sumber: Stuart, 2006)

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh


norma-norma social dan budaya secara umum yang berlaku didalam
masyarakat, dimana individu menyelesaikan masalah dalam batas
normal yang meliputi:

1) Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan


dilaksanakan oleh individu sesuai dengan kenyataan.

2) Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra


perasaan, dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang
lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai sensasi yang
dihasilkan.

3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan


individual sesuai dengan stimulus yang datang.

4) Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan


perannya.

5) Hubungan sosial harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan


berkomunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah
dan tidak senang.

Sedangkan maladaptif adalah suatu respon yang tidak dapat


diterima oleh norma-norma sosial dan budaya secara umum yang
berlaku dimasyarakat, dimana individu dalam menyelesaikan masalah
tidak berdasarkan norma yang sesuai diantaranya :

1) Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk


memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan
proses pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran
terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-lain.

2) Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus


berdasarkan informasi yang diterima otak dari lima indra seperti
suara, raba, bau, dan pengelihatan

3) Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu


tidak sesuai dengan stimulus yang datang.

4) Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang


tidak sesuai dengan peran

5) Isolasi sosial adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari


lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.

g. Mekanisme koping

Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi


(Stuart & Laraia 2005) meliputi:

1) Regresi

Menjadi malas beraktivitas sehari-hari


2) Proyeksi

Mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan


tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri

Sulit mempercayai orang lain dan asik dengan stimulus internal.


Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien
h. Akibat

Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya
yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya.

i. Pohon masalah
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Halusinasi

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri


(CAUSA) : Harga Diri Rendah

2. TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK


a. Pengertian terapi aktivitas kelompok
Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama.aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan
kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam saling
bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat
klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku
yang maladaptif ( Yosep, 2007).
b. Tahapan – tahapan dalam terapi aktivitas kelompok (TAK)
Menurut Yalom, yang dikutip Stuart & sudden, 1995
menggambarkan fase – fase dalam terapi aktifitas kelompok adalah
sebagai berikut :
1) Pre kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi
leader, anggota, tempat dan waktu kegiatan kelompok akan
dilaksanakan serta membuat proposal lengkap dengan media yang
akan digunakan
2) Fase awal
Pada fase ini terdapat 3 tahapan yang terjadi yaitu : orientasi, konflik
dan kebersamaan.
a) Orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial
masing-masing, leader mulai menunjukan rencana terapi dan
mengambil kontrak dengan anggota
b) Konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai
memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana
peran anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan
terjadi.
c) Kebersamaan
Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi masalah, angggota
mulai menemukan siapa dirinya
3) Fase kerja
Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim:
a) Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan
anggotanya
b) Perasaan positif dan negatif dapat dikoreksi dengan hubungan
saling percaya yang telah dibina
c) Semua anggota bekerja sama untuk mencapai tujuanyang telah
disepakati
d) Tanggung jawab merata, kecemasan menurun, kelompok lebih
stabil dan realistis
e) Kelompok mulai mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan
dan tugas kelompok dalam menyelesaikan tugasnya
f) Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah yang kreatif
Petunjuk untuk leader pada fase ini
a) Intervensi leader didasari pada kerangka kerja teoritis,
pengalaman, personality dan kebutuhan kelompok serta
anggotanya
b) Membantu perkembangan kbutuhan kelompok dan
mempertahankan batasannya, mendorong kelompok bekerja paa
tugasnya
c) Intervensi langsung ditunjukan untuk menolong kelompok
mengatasi masalah khusus
4) Fase Terminasi
Ada 2 jenis terminasi yaitu terminasi akhir dan terminasi
sementara. Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi
premature, tidak sukses atau sukses. Terminasi dapat menyebabkan
kecemasan, regresi dan kecewa. Untuk menghindari hal ini terapis
perlu mengevaluasi kegiatan dan menunjukan sikap betapa
bermaknanya kegiatan tersebut, menganjurkan anggota untuk
memberikan umpan balik pada tiap anggota.
Terminasi tidak boleh disangkal tetapi harus tuntas
didiskusikan. Akan tetapi aktifitas kelompok harus dievaluasi, bisa
melalui pre dan post test.

3. TERAPI OKUPASI
a. Definisi
Terapi okupasi yaitu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan
dengan maksud mempermudah belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan
dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan (Kusumawati & Hartono,
2010).
Pendapat lain menyebutkan, terapi okupasi ialah usaha penyembuhan
terhadap seseorang yang mengalami kelainan mental dan fisik dengan jalan
memberikan keaktifan kerja, keaktifan itu mengurangi penderitaan
seseorang yang akhirnya menimbulkan rasa bahagia dan mengurangi rasa
rendah diri ( Kusnanto,2003).
b. Manfaat
1. Terapi okupasi dapat diterapkan sebagai salah satu psikoterapi bagi pasien
gangguan jiwa isolasi social yang dapat meningkatkan kemampuan
bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
sekitar.
2. Terapi okupasi dapat meningkatkan keterampilan pasien untuk membuat
beraneka ragam kerajinan tangan.
c. Teknik terapi
Berkaitan dengan terapi untuk melatih gerak tangan dan jari-jari teknik
membentuk yang dipilih yaitu teknik menggunting, menempel dan
menyusun
a. Teknik menggunting

Menggunting termasuk teknik dasar untuk membuat aneka bentuk


kerajinan tangan, bentuk hiasan dan gambar dari kertas dengan
memakai bantuan alat pemotong. Sumantri ( dalam Indriyani
2014:20) mengemukakan bahwa menggunting adalah memotong
berbagai aneka kertas atau bahan – bahan lain dengan mengikuti alur,
garis atau bentuk – bentuk tertentu merupakan salah satu kegiatan
yang mengembangkan motorik halus anak. Koordinasi mata tangan
dapat berkembang melalui kegiatan menggunting. Saat menggunting
jari jemari anka akan bergerak mengikuti pola bentuk yang
digunting.

b. Menempel

Sedangkan menempel adalah salah satu kegiatan yang menarik


minat pasien karena berkaitan dengan meletakkan dan merekatkan
sesuatu sesuka mereka. Bahan – bahan yang digunakan untuk
direkatkan terdiri dari berbagai bentuk kertas, kain, bahan – bahan
bertekstur dan benda – benda menarik lainnya, bisa 2 dimensi atau 3
dimensi.

c. Menyusun
Menyusun atau merangkai adalah menata,menumpuk, menyejajarkan
benda-benda atau pernak-pernik tanpa ataupun dengan menggunakan
teknik ikatan

4. KLIEN
1. Karakteristik/kriteria
a. Peserta adalah klien yang dirawat di Ruang rawat Nakula RSUD
Banyumas.
b. Kriteria inklusi
a) Klien dengan riwayat halusinasi
b) Klien yang sudah mampu berinteraksi dengan klien lain
c) Klien yang kooperatif
d) Tidak ada gangguan penglihatan
e) Tidak ada gangguan pendengaran
f) Tidak ada gangguan motorik
g) Klien dapat berkomunikasi verbal
h) Klien bersedia mengikuti permainan
i) Klien berumur 20-40 tahun
j) Jenis kelamin perempuan
2. Proses seleksi
a. Proses seleksi dilakukan dengan cara observasi langsung pada Klien
dan catatan medik di Ruang rawat Nakula RSUD Banyumas.
b. Menyeleksi klien sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
c. Mengidentifikasi nama klien dan masalah keperawatan yang dialami
d. Membuat kontrak waktu dengan klien
3. Nama - nama klien
a. Seventina
b. Susanti
c. Uswatun
d. Rojimah
e. Eka
f. Retno

5. PENGORGANISASIAN
1. Tempat dan waktu
Hari/tanggal : Kamis,12 April 2018

Waktu : 09.00-10.00 WIB

Tempat : Ruang Nakula RSUD Banyumas

Lama kegiatan : 60 menit

2. Tim terapis
a. Leader : Farida W
b. Co Leader :
Maghfuri
c. Observer :
d. Fasilator : Suharjo, Ngasirotun jamilah

Stevana Evi, Widyatun, Siti mulyani,


Indriyani, Purwatiningsih, Nurlaela
mahmudah, Wiwig useno,

3. Peran dan Tugas dalam Terapi Aktivitas Kelompok

a. Leader

a) Memimpin jalannya TAK


b) Membuka acara
c) Memperkenalkan tim terapis
d) Membuat suasana TAK lancar dan kondusif
e) Menjelaskan maksud dan tujuan terapi aktivitas kelompok
f) Memotivasi peserta untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya
g) Mengatasi masalah yang mungkin timbul dalam kelompok antar klien
h) Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok dengan tertib

b. Co Leader

a) Membantu dan mendampingi leader


b) Menyampaikan informasi fasilitator kepada leader
c) Mengingatkan leader bila permainan menyimpang
d) Mengingatkan leader tentang lama waktu pelaksanaan kegiatan
e) Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking dalam
proses terapi.
f) Bersama leader menjadi contoh bentuk kerjasama yang baik

c. Fasilitator

a) Memfasilitasi peserta atau klien selama kegiatan berlangsung


b) Memotivasi klien yang kurang/tidak aktif dalam kegiatan
c) Memberikan stimulus pada anggota kelompok
d) Menjadi contoh bagi klien selama proses kegiatan

d. Observer

a) Mengamati lamanya proses kegiatan sebagai acuan untuk


mengevaluasi
b) Mengamati jalannya kegiatan, kekurangan dan kelebihan sesuai
dengan tujuan
c) Mencatat perilaku verbal/non verbal klien selama berlangsungnya
kegiatan dan dilaporkan kepada seluruh anggota kelompok (leader,
co leader, fasilitator dan operator).
d) Mencatat peserta yang aktif dan pasif dalam kelompok
e) Mencatat bila ada Klien yang drop out dan alasan drop out
4. Metode
Metode terapi dilakukan dengan dinamika kelompok.

5. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan berupa tutup botol air mineral, kain perca, pita,
lem, gunting, manik-manik, ring gantungan kunci

6. Setting tempat

CL
L

F
F

K K

F F

K K

F K F K F

O O

Keterangan
L : Leader
CL : Co Leader
F : Fasilitator
K : Klien
O : Observer

7. Program antisipasi
a. Apabila klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun pada
saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang diambil
adalah: mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi sesuai
dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok lainnya.
b. Bila klien meninggalkan permainan tanpa pamit, leader akan
memanggil nama klien, menanyakan alasan klien meninggalkan
permainan, dan memberikan penjelasan tentang tujuan permainan dan
berikan penjelasan pada klien bahwa klien dapat melaksanakan
keperluannya setelah itu boleh kembali lagi.
c. Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader
memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan tidak
boleh dilakukan
d. Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak mentaati
tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan kesepakatan ditegur
terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative maka dikeluarkan dari
kegiatan.

6. PROSES PELAKSANAAN
a. Persiapan
1) Menyusun proposal pre planning
2) Memilih Klien sesuai indikasi yaitu halusinasi
3) Membuat kontrak dengan Klien
4) Mempersiapkan alat dan tempat permainan
5) Menyampaikan tata tertib pelaksanaan TAK
b. Orientasi ( 10 menit )

Pada tahap ini terapis melakukan :

1) Memberikan salam terapeutik : “selamat pagi”


2) Evaluasi / validasi : menanyakan perasaan klien saat ini

3) Kontrak :
a) Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu melakukan stimulasi persepsi
sensori dengan metode membuat gantungan kunci

b) Menjelaskan aturan main sebagai berikut :

 Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta


ijin terapis
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
c. Tahap kerja ( 30 menit )
1) Leader melakukan salam terapeutik
2) Leader menjelaskan pengertian terapi stimulasi persepsi sensori dengan
membuat gantungan kunci
3) Leader menjelaskan tujuan terapi
4) Leader menjelaskan langkah-langkah terapi
5) Leader menjelaskan penggunaan alat dan bahan.
6) Leader mengeksplorasi perasaan pasien yang mungkin dapat
divisualisasikan ke dalam bentuk membuat gantungan kunci.
7) Leader menanyakan kesiapan pasien dalam program terapi.
8) Leader memulai dengan mempersilahkan fasilitator untuk memutar
musik lembut sebagai latar belakang,
9) Leader menginstruksikan pasien untuk menyesuaikan apa pun yang
muncul dalam pikiran mereka.
10) Leader dan observer mengamati ekspresi pasien terhadap stimulasi
persepsi sensori selama membentuk membuat gantungan kunci.
11) Leader menanyakan kepada pasien tentang maksud membuat gantungan
kunci yang telah berhasil dibentuk.
12) Leader mengeksplorasi kembali perasaan klien setelah terapi
membentuk membuat gantungan kunci
13) Leader memberi pujian untuk setiap pasien yang berhasil membuat
bentuk
14) membuat gantungan kunci.
15) Leader menganjurkan kepada pasien untuk memasukkan ke dalam
aktivitas pasien sebagai sarana untuk menghindari muncuknya
halusinasi.
16) Leader selama kegiatan berlangsung observer mengamati jalannya
acara dan mencatat jalannya acara.

d. Terminasi ( 5 menit )
1) Evaluasi
Subjektif

a) Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

b) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok

c) Menanyakan pada klien tentang manfaat dan tujuan dari TAK

Objektif

a) Klien tampak senang

b) Klien tampak bahagia

2) Rencana Tindak Lanjut

a) Menganjurkan klien untuk tetap menjaga kekompakan dengan klien


lain

b) Menganjurkan klien untuk bercakap-cakap dan beraktivitas dengan


klien lain tentang perasaannya.
c) Menganjurkan pasien untuk melakukan stimulasi persepsi sensori
dengan metode membuat gantungan kunci bila halusinasi tidak
hilang dengan cara bercakap-cakap atau beraktivitas.
3) Kontrak yang akan datang

a) Leader menyampaikan kepada klien bahwa terapi menggunakan


membuat gantungan kunci bias dilakukan secara mandiri di rumah
EVALUASI KEGIATAN

1. Evaluasi Proses

Nama Pasien
No Aspek yang dinilai

K1 K2 K3 K4 K5 K6

1 Menjawab salam

2 Memperkenalkan diri

3 Membentuk membuat
gantungan kunci

4 Belajar mengontrol halusinasi


sesuai SP

5 Mengikuti kegiatan dari awal


sampai akhir
2. Evaluasi hasil

Nama Pasien
No Aspek yang dinilai

K1 K2 K3 K4 K5 K6

1 Klien mampu mengenal


halusinasinya

2 Klien memahami cara


mengontrol halusinasinya

3 Klien mampu menirukan


intruksi dari leader

4 Klien mampu menyampaikan


pendapat tentang manfaat
kegiatan yang dilakukan

5 Klien mampu meningkatkan


kontrol halusinasi dengan
metode membuat gantungan
kunci
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Yasmin
Asih, Edisi 6, EGC, Jakarta, 1998.

Hawari Dadang.2001. Keperawatan Kesehatan Holistik Pada Gangguan Jiwa


SKIZOFRENIA. Jakarta: Gaya Baru

Keliat, B. A., Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC, Jakarta, 1999.

Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:
Surabaya
Rasmun.2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan
Keluarga. Jakarta: PT Fajar Interpratama

Stuart, G.W, dan Sundeen, S.J. (1998). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing, 4 th ed. St. Louis: Mosby Year Book.

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai