Robbins dan Judge mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika
salah satu pihak memandang pihak lainnya telah memengaruhi secara negatif, atau akan
berpengaruh secara negatif atas sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama. Adapun cara
pandang terhadap konflik yang dijelaskan dalam Robbins dan Judge yaitu :
a) Pandangan Tradisional atas Konflik
Keyakinan bahwa konflik tidak hanya merupakan sebuah paksaan yang positif dalam
suatu kelompok tetapi juga sangat diperlukan bagi suatu kelompok untuk bekerja dengan
lebih efektif. Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa seluruh konflik adalah baik.
(1) Konflik fungsional akan mendukung tujuan kelompok, meningkatkan kinerjanya dan
merupakan bentuk konflik yang bersifat konstruktif (membangun).
(2) Konflik disfungsional merupakan konflik yang menghambat kinerja kelompok
sehingga bersifat destruktif (menghancurkan).
a) Jenis Konflik
(1) Konflik Tugas yaitu konflik tentang kandungan dan tujuan dari pekerjaan. Riset
mendapati bahwa konflik tugas pada dasarnya tidak terkait dengan kinerja
kelompok, namun terdapat faktor-faktor yang dapat menciptakan suatu hubungan
antara konflik dengan kinerja.
(2) Konflik Hubungan yaitu konflik yang didasarkan pada hubungan interpersonal.
Konflik hubungan hampir selalu mengalami kegagalan fungsi akibat gesekan dan
permusuhan interpersonal yang sangat melekat dalam konflik hubungan sehingga
1
meningkatkan benturan kepribadian yang menghambat penyelesaian tugas
organisasi.
(3) Konflik Proses yaitu konflik mengenai bagaimana pekerjaan akan diselesaikan.
b) Lokus Konflik
Cara lain untuk memahami konflik adalah dengan mempertimbangkan lokus, atau
dimana konflik terjadi. Terdapat tiga tipe dasar lokus konflik yaitu :
(1) Konflik Dyadic yaitu konflik yang terjadi di antara dua orang. Konflik ini terjadi
karena perbedaan tentang isu, tindakan, ataupun tujuan.
(2) Konflik Intragrup yaitu konflik yang terjadi di dalam sebuah kelompok atau tim.
Konflik tugas, hubungan dan proses sering terjadi pada konflik intragroup.
(3) Konflik Antarkelompok yaitu konflik yang terjadi di antara kelompok atau tim yang
berbeda. Salah satu studi menemukan bahwa konflik antarkelompok tersebut saling
memengaruhi di antara posisi seorang individu di dalam sebuah kelompok dan cara
individu tersebut mengelola konflik di antara kelompok.
Tahap pertama dari konflik adalah penyebab atau sumber yang menciptakan peluang
bagi konflik untuk timbul, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:
(1) Komunikasi, dimana kondisi yang berpotensial menyebabkan konflik meningkat
yaitu saat komunikasi yang terlalu sedikit atau terlalu banyak.
(2) Struktur, istilah struktur dalam konteks ini meliputi variabel-variabel seperti ukuran
kelompok, derajat spesialisasi dalam pekerjaan yang ditugaskan kepada para
anggota kelompok, kejelasan yurisdiksional, kesesuaian antara anggota dan tujuan,
gaya kepemimpinan, sistem pemberian imbalan, dan tingkat ketergantungan di
antara kelompok.
(3) Variabel-variabel pribadi meliputi kepribadian, emosi, dan nilai.
2
cenderung didefinisikan, di mana pihak-pihak memutuskan mengenai apakah konflik
tersebut dan bahwa emosi memegang peranan yang besar dalam membentuk persepsi.
Niat adalah sebuah tahapan berbeda karena kita harus mengambil kesimpulan atas
maksud orang lain untuk mengetahui bagaimana memberikan tanggapan atas perilakunya.
Dengan menggunakan dua dimensi yaitu kegotongroyongan dan ketegasan, kita dapat
mengidentifikasi lima niat dalam menangani konflik yaitu:
(1) Bersaing yaitu suatu keinginan untuk memuaskan kepentingan seseorang tanpa
memperhatikan dampak dari timbulnya konflik terhadap pihak lain.
(2) Berkolaborasi yaitu sebuah situasi yang mana para pihak melakukan konflik
mengenai keinginan masing-masing untuk memuaskan perhatian sepenuhnya dari
semua pihak.
(3) Menghindar yaitu keinginan untuk menarik diri atau menyembunyikan diri dari
konflik.
(4) Mengakomodasi yaitu kesediaan dari salah satu pihak dalam sebuah konflik untuk
menempatkan kepentingan pihak lawan di atas kepentingannya sendiri.
(5) Berkompromi yaitu sebuah situasi yang mana tiap-tiap pihak atas suatu konflik
bersedia untuk menyerahkan sesuatu hal.
d) Tahap IV : Perilaku
Tahap perilaku meliputi pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat oleh para pihak
yang sedang berkonflik, biasanya sebagai upaya untuk mengimplementasikan niatan
mereka sendiri. Tahap IV merupakan proses interaksi yang dinamis. Misalnya, anda
mengajukan tuntutan terhadap saya, saya memberikan tanggapan dengan berdebat, anda
mengancam saya, dan saya balik mengancam andaa.
e) Tahap V : Hasil
3
bagi permasalahan untuk dipublikasikan dan melepaskan ketegangan, serta membantu
perkembangan evaluasi diri sendiri maupun perubahan. Konflik menentang status quo
dan memajukan penciptaan gagasan-gagasan baru, mempromosikan penilaian ulang dari
tujuan dan aktivitas kelompok, serta meningkatkan probabilitas bahwa kelompok akan
memberikan tanggapan terhadap perubahan.
(2) Hasil yang Disfungsional
Negosiasi adalah sebagai suatu proses yang terjadi ketika dua atau lebih pihak
memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber daya yang langka. Setiap negosiasi dalam
organisasi juga memengaruhi hubungan di antara para negosiator dan yang para negosiator
rasakan mengenai diri mereka sendiri. Bergantung pada seberapa banyak pihak-pihak yang
akan berinteraksi satu sama lain, kadang kala mempertahankan hubungan sosial dan
4
berperilaku secara etis akan menjadi sama pentingnya dengan mencapai hasil perundingan
dengan segera.
Perundingan distributif adalah negosiasi yang berupaya untuk membagi jumlah sumber
daya secara tetap, situasi kemenangan atau kekalahan. Inti sari dari perundingan distributif
adalah melakukan negosiasi atas siapa yang memperoleh pembagian dari bagian yang tetap.
Bagian yang tetap yang dimaksud adalah satu set jumlah barang atau jasa yang harus
dibagikan. Ketika bagian tersebut sifatnya tetap, atau para pihak meyakininya, maka mereka
akan cenderung untuk melakukan perundingan secara distributif. Contoh yang banyak
dikutip dari perundingan distributif adalah negosiasi diantara tenaga kerja dan manajemen
mengenai jumlah gaji.
b) Perudingan Integratif
Perundingan integratif adalah negosiasi yang berupaya mencari satu atau lebih
kesepakatan yang dapat memberikan solusi kemenangan bagi kedua belah pihak. Dalam
istilah prilaku intraorganisasi, perundingan intregratif lebih dipilih dibandingkan
perundingan distributif karena pertama, membentuk hubungan dalam jangka panjang.
Perundingan integratif mengikat para negosiator dan memungkinkan mereka untuk
meninggalkan meja perundingan bila mereka merasa bahwa mereka telah mencapai
kemenangan. Namun dalam perundingan distributif meninggalkan salah satu pihak sebagai
yang kalah. Hal ini cenderung untuk membangun permusuhan dan memperdalam
pembagian divisi ketika orang-orang harus bekerja bersama basis yang sedang berlangsung.
Riset memperlihatkan bahwa atas peristiwa perundingan yang diulang-ulang, maka pihak
yang kalah akan merasakan hal yang positif mengenai hasil negosiasi jauh lebih cenderung
untuk memperundingkan secara kooperatif dalam negosiasi-negosiasi berikutnya. Poin ini
merupakan keuntungan yang penting dari erundingan integratif yaitu bahkan ketika anda
menang, anda menginginkan lawan anda merasakan kebaikan dari negosiasi.
Sebelum memulai melakukan negosiasi terlebih dahulu lakukan tugas pekerjaan anda.
Hal ini membantu untuk menempatkan tujuan anda dalam perjanjian tertulis dan
5
mengembangkan kisaran hasil dari yang paling memberikan harapan hingga minimal dapat
diterima untuk menjaga perhatian anda agar selalu terpusat. Anda harus menilai apa
pendapat anda mengenai tujuan dari pihak lainnya. Ketika anda dapat mengantisipasi posisi
lawan anda maka anda akan lebih siap untuk melawan argumen dengan fakta dan angka
yang dapat mendukung posisi anda. Hubungan dapat mengalami perubahan sebagai hasil
dari negosiasi, sehingga masukkan hal ini ke dalam pertimbangan.
b) Definisi dari aturan yang mendasar
Ketika anda telah melakukan perencanaan dan mengembangkan sebuah strategi, maka
anda telah siap untuk memulai mendefinisikan dengan pihak lainnya mengenai aturan
mendasar dan prosedur dari negosiasi itu sendiri. Selama fase ini para pihak juga akan saling
menukarkan proposal atau permintaan awal mereka.
c) Klarifikasi dan Pembenaran
Ketika anda telah saling menukarkan proposal awal anda, maka anda dan pihak lain
akan menjelaskan, memperkuat, menjernihkan, mendukung, dan membenarkan permintaan
awal anda. Langkah ini tidak harus berupa konfortasional, sebaliknya ini merupakan
peluang untuk saling mengajarkan permasalahan satu sama lain, mengapa mereka penting,
dan bagaimana anda sampai pada permintaan awal anda. Memberikan kepada pihak lainnya
dengan dokumentasi apapun yang mendukung posisi anda.
d) Melakukan Perundingan dan Pemecahan Masalah
Inti dari proses negosiasi adalah berupa upaya memberi dan mengambil secara aktual
dalam mencoba untuk menyelesaikan perjanjian. Hal ini adalah dimana kedua belah pihak
perlu untuk membuat konsensi.
e) Penutupan dan Implementasi
Langkah terakhir dalam proses negosiasi adalah merumuskan perjanjian dan
mengembangkan prosedur yang diperlukan untuk mengimplementasi dan mengawasinya.
6
kecenderungan untuk menjadi hangat dan berempati. Sebuah riset lain menunjukkan bahwa
tipe negosiasi juga mempengaruhi sifat kepribadian seseorang. Dalam studi ini para
individu sangat menyenangkan bereaksi secara lebih positif dan merasakan sendiri tekanan
dalam negosiasi integratif dari pada distributif. Level tekanan yang rendah, pada gilirannya
akan dibuat hasil negosiasi yang lebih efektif. Riset menyarankan bahwa kecerdasan
memprediksi efektivitas negosiasi tetapi sebagaimana dengan kepribadian efeknya tidak
terlalu kuat.
b) Suasana Hati atau Emosi dalam Negosiasi
Suasana hati dan emosi mempengaruhi negosiasi tetapi cara mereka bekerja
bergantung pada emosi maupun konteks. Seorang negosiator yang menunjukkan kemarahan
pada umumnya menimbulkan konsensi. Salah satu faktor yang mengatur hasil ini adalah
kekuasaan. Anda harus memperlihatkan kemarahan dalam negosiasi hanya jika anda
memiliki setidaknya kekuasaan sebanyak yang dimiliki oleh tandingan anda. Faktor lainnya
adalah seberapa asli kemarahan anda, kemarahan yang palsu atau yang dihasilkan dari
permukaan tindakan tidaklah efektif, tetapi menunjukkan kemarahan yang asli akan efektif.
Kecemasan juga memiliki dampak terhadap negosiasi. Emosi yang relevan lainnya adalah
kekecewaan. Riset menemukan bahwa bahwa negosiator yang cemas akan mengharapkan
hasil yang lebih rendah memberikan tanggapan pada penawaran dengan lebih cepat dan
keluar dari proses perundingan dengan lebih cepat akan mengarahkan mereka untuk
memperoleh hasil yang lebih buruk.
c) Budaya dalam Negosiasi
Orang-orang dari budaya berbeda akan melakukan negosiasi secara berbeda dan
terdapat banyak perbedaan dalam cara bekerjanya. Terlihat bahwa di dalam negosiasi lintas
budaya, terutama penting bahwa para negosiator akan memiliki keterbukaan yang lebih
tinggi terhadap pengalaman, tetapi juga menghindari faktor-faktor misalnya tekanan waktu
yang cenderung untuk menghalangi pembelajaran dalam memahami pihak lain. Karena
emosi secara kultural bersifat sensitif, maka negosiator perlu untuk bersikap waspada
dengan dinamika emosional dalam negosiasi lintas budaya.
d) Perbedaan Gender dalam Negosiasi
Terdapat banyak area dalam perilaku organisasi yang mana pria dan wanita tidak
dibedakan. Negosiasi bukanlah salah satu dari mereka. Hal ini sekarang terlihat cukup adil
bahwa pria dan wanita akan melakukan negosiasi secara berbeda, dan perbedaan-perbedaan
tersebut akan memengaruhi hasil. Stereotip yang terkenal adalah bahwa para wanita lebih
7
dapat bekerja sama dan menyenangkan dalam negosiasi dibandingkan pria. Meskipun hal
ini bersifat kontroversial, tetapi terdapat beberapa kebaikan dari itu. Pria cenderung
menempatkan nilai yang lebih tinggi pada status, kekuasaan, dan penghargaan, sedangkan
wanita cenderung untuk menempatkan nilai yang lebih tinggi pada kasih sayang dan
kebajikan. Lebih lanjut lagi, para wanita cenderung untuk menilai relasi hasil akhir dari
pada pria, dan para pria cenderung untuk lebih menilai hasil secara ekonomi dari pada para
wanita.
Seorang mediator adalah pihak ketiga yang netral yang memfasilitasi solusi yang
dinegosiasikan dengan menggunakan alternative-alternatif pertimbangan, bujukan, saran, dan
sebagainya. Para mediator digunakan secara luas dalam negosiasi tenaga kerja manajemen dan
pertikaian di pengadilan sipil. Seorang arbitrator adalah seorang pihak ketiga dengan otoritas
untuk mendikte perjanjian. Arbitrase dapat secara sukarela atau yang diwajibkan. Kelebihan
terbesar arbitrase atas mediasi adalah selalu menghasilkan penyelesaian. Seorang konsiliator
adalah seorang pihak ketiga yang terpercaya menyediakan komunikasi secara informal diatas
negosiator dengan lawan. Dalam praktiknya, para konsiliator umumnya bertindak sebagai
lebih dari sekedar mengarahkan komunikasi semata. Mereka juga terlibat dalam pencarian
fakta, menginterpretasikan pesan, dan membujuk para pihak yang bertikai untuk
mengembangkan kesepakatan.
Ardana dkk. mengatakan faktor yang mempengaruhi antar kelompok adalah adanya
koordinasi yang baik. Mengenal, mengerti dan memahami hubungan antar individu dalam
kelompok dan hubungan antar kelompok sangat penting dan besar sekali artinya dalam
kepemimpinan sebab pemimpin akan dapat mengambil keputusan secara bijak, rasional dan
adil. Mengabaikan kepentingan kelompok akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi.
Hubungan antar kelompok harus dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara
harmonis. Harmonisnya hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok
dan kinerja organisasi secara optimal. Faktor yang mempengaruhi upaya koordinasi adalah
sebagai berikut:
a) Ketergantungan
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah kelompok tersebut dalam melaksanakan
tugasnya memerlukan koordinasi ? Jawaban dari pertanyaan ini terletak kepada penetapan
8
derajat ketergantungan yang ada diantara kelompok yang terkait. Apakah kelompok tersebut
satu sama lain saling membutuhkan atau tidak. Jika ada, maka ketergantungan yang ada akan
terdiri dari ketergantungan tunggal (utuh), ketergantungan berantai dan ketergantungan timbal
balik. Ketergantungan tunggal adalah semua kelompok yang terkait mempunyai
ketergantungan yang sama (utuh) yang mutlak tidak dapat dipisahkan, ketergantungan berantai
adalah ketergantungan kelompok yang sangat dipengaruhi oleh kinerja kelompok yang lain,
sedangkan ketergantungan timbal balik adalah ketergantungan yang berada pada posisi
berlawanan.
b) Ketidakpastian Tugas
Semakin besar ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka akan semakin besar pula
respon yang harus dibuat (dibentuk) dan semakin rendah derajat ketidakpastian suatu tugas
(pekerjaan), maka tugas (pekerjaan) akan dapat distandarisasi. Kunci utama ketidakpastian
tugas (pekerjaan) adalah bahwa suatu tugas (pekerjaan) untuk diterapkan memerlukan
informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas (pekerjaan) mempunyai ketidakpastian
yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang lengkap jelas dan valid sangat
dibutuhkan dan masing-maisng kelompok akan sama saling membutuhkan satu sama lain atau
menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar.
c) Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan oleh
waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait satu
sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, maka
derajat ketergantungan kelompok akan semakin besar.
Adapun metode untuk mengelola hubungan antar kelompok yaitu:
Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan antar
kelompok adalah menetapkan aturan dan prosedur interaksi antar kelompok. Di dalam
organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan
mengevaluasi hubungan antar kelompk dan jika interaksi hubungan antar keompok tersebut
ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan maka kelompok yang terkait akan dipanggil untuk
didengar serta diselesaikan melalui forum musyawarah. Peraturan dan prosedur baku akan
memperkecil hubungan antar kelompok yang dipandang tidak perlu.
b) Hirarki
9
Jika metode yang pertama dipandang kurang tepat, maka hirarki kekuasaan yang ada di
dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar kelompok.
Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi yang berada
didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat dipandang sebagai pejabat
yang efektif untuk membina hubungan antar kelompok sebab pejabat yang tinggi ini secara
posisional mempunyai kekuasaan yang lebih besar dan dihapakan dapat mempengaruhi
hubungan antar kelompok.
c) Perencanaan
Alternatif (pilihan) berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah
melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak dicapai
maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada kelompoknya
dan setiap kelomok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan kelompok lain
perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung memperbaiki koordinasi dan
di samping itu perencanaan cenderung dapat pula dijadikan sebagai alat koordinasi yang efektif
dan efisien.
d) Peran Perantara
Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan) khusus
untuk memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara yang diberi
tugas (pekerjaan) khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan mempunyai
pandangan yang luas tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam organisasi yang
besar sering kali memanfaatkan sarjana yang mempunyai kompetensi dibidangnya dengan
beberapa pengalaman praktis dan taktis yang menunjang kompetensinya. Kelemahan utama
peran perantara ini adalah adanya keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang
mengalir diantara kelompok yang saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi itu
besar dan interaski sangat sering dilakukan.
e) Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas (pekerjaan) dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok. Para
pelalaksana tugas (pekerjaan) sering melaksanakan tugas (pekerjaan) yang sesuai dengan
bidangnya dan sering kali melakukan hubungan dengan yang lain. Para pelaksana tugas
(pekerjaan) ini harus dibina sedemikian rupa guna memberi pengertian dan pemahaman
mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang seharusnya dilakukan di dalam membina
hubungan dengan kelompok lain.
f) Tim
10
Jika tugas (pekerjaan) sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang muncul
dari pelaksanaan tugas (pekerjaan) akan semakin banyak dan rumit pula. Dalam keadaan
demikian maka alat koordinasi yang ada sudah dianggap kurang memadai dan tidak tepat.
Pilihan berikutnya adalah menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok ini kepada suatu
tim. Tim inilah yang akan memantau dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok.
Anggota tim berasal dari masing-masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika
tugasnya telah selesai maka anggota tim ini akan kembali lagi kepada induknya. Tim pemantau
ini dikarenakan mempunyai keanggotaan yang berkomposisi masing-masing fungsi maka
dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil pantauan dan evaluasinya
dipandang cukup representatif.
g) Departemen/Badan Terpadu
Jika hubungan antar kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk
dikoordinasikan melalui rencana, tugas (pekerjaan), tim dan sebagainya maka organisasi
sebaiknya membentuk departemen/badan terpadu. Departemen/badan ini bersiat permanen
dengan anggota yang secara formal diberi tugas (pekerjaan) untuk memadukan dua kelompok
atau lebih. Departemen yang dibentuk ini akan digunakan jika organisasi sudah sangat besar
dan mempunyai tujuan-tujuan yang sering berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang
tak rutin yang sangat rumit dan mempunyai keputusan antar kelompok yang mempunyai
dampak terhadap seluruh operasi organisasi. Departemen/badan ini dapat dijadikan alat yang
dapat diandalkan untuk menangani konflik antar kelompok.
11
Daftar Pustaka
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2015. Perilaku Organisasi Edisi 16.
Jakarta: Salemba Empat.
Ardana, Komang, Ni Wayan Mujiati dan Anak Agung Ayu Sriathi. 2009. Perilaku
Keorganisasian Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
12