Anda di halaman 1dari 7

TUGAS DIETETIKA DASAR

BEDAH JURNAL PENYAKIT INFEKSI DAN DIET


“EFEKTIVITAS PENGOBATAN STRATEGI DOTS DAN PEMBERIAN TELUR
TERHADAP PENYEMBUHAN DAN PENINGKATAN STATUS GIZI PENDERITA
TB PARU DI KECAMATAN LUBUK PAKAM TAHUN 2005”

OLEH:

Ni Putu Novi Darmayanti


P07131217046

D IV B
Semester IV

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN GIZI
2019
RESUME JURNAL

A. Identitas Jurnal

Efektivitas Pengobatan Strategi DOTS dan Pemberian Telur Terhadap


Judul Jurnal : Penyembuhan dan Peningkatan Status Gizi Penderita TB Paru di Kecamatan
Lubuk Pakam Tahun 2005

Judul : Ilmiah PANNMED

Volume : Vol. 1 No.1 2006

Hal : 38 – 43

Tahun : 2006

Penulis : Oslida Martony, Hendro

B. Latar Belakang

Tubercolosis adalah penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh mycobacterium tubercolosis.
Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar hampir setiap bagian tubuh,
termasuk meninges ginjal, tulang dan nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2–10 minggu setelah
pemajaran (tahap selanjutnya). Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan
atau ketidakefektifan respons imun.
Tubercolosis ditularkan melalui pernafasan yang dihembuskan penderitanya, dan kemudian
dihisap oleh orang lain. Gejala tubercolosis ini kadang kala tidak kelihatan, namun biasanya gejalanya
antara lain batuk yang berkepanjangan, rasa sakit di dada, kehilangan berat badan dan nafsu makan,
serta banyak mengeluarkan keringat, terutama di malam hari. Umumnya, mereka yang tinggal di
kawasan kumuh yang penuh sesak dan ventilasi rumahnya buruk berisiko tinggi terjangkit penyakit
ini. Penyakit ini juga lebih banyak menyerang kaum pria daripada kaum wanita.
Di Indonesia berdasarkan survei Depkes tahun 1980, penyakit ini masih tergolong 4 besar.
Selanjutnya diketahui juga bahwa 75% penderita tubercolosis paru berasal dari golongan tenaga
produktif (15–60 tahun) dan golongan ekonomi rendah. Di negara yang sudah maju seperti Amerika
Serikat angka kesakitan tercatat dalam tahun 1976 sebesar 1.519 dari 100.000 penduduk
(Soeparman,1998). Tahun 1995, hasil “Survei Kesehatan Rumah Tangga” (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga) setelah penyakit kardiovaskuler
dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor 1 dari golongan penyakit
infeksi. Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB dengan
kematian karena TB sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia
terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif. (Depkes RI, 2001).
Dari data pencapaian program Penanggulangan Pencegahan (P2) TB Paru Dinas Kesehatan
Kabupaten Deli Serdang tahun 2003/2004 dijumpai 710 BTA (+), sedangkan untuk kecamatan Lubuk
Pakam dari rekan medik penderita dijumpai peningkatan jumlah penderita TB paru 65 orang pada
tahun 2003 menjadi 77 orang pada tahun 2004. Berdasarkan hasil atau observasi terdapat 16 orang
penderita TB paru fase intensif di Puskesmas di Kecamatan Lubuk Pakam dan Jaringan Kesehatan
Masyarakat (JKM). Dari sekitar 16 orang TB paru fase intensif ditemukan 7 orang yang mana berat
badannya dikategorikan kurus tingkat ringan, dan 9 orang lagi berat badannya dikategorikan normal.
Penyakit tubercolosis paru merupakan salah satu penyakit menular yang belum tertangani secara
serius dan masih banyak pasien yang belum mematuhi pengobatan strategi DOTS yang diberikan oleh
dokter kepadanya sehingga waktu penyembuhannya bertambah panjang (dari 6 bulan bisa sampai 1
tahun atau lebih dari 1 tahun). Telur adalah salah satu sumber protein yang nilai biologisnya tinggi
(sempurna), asam amino lengkap, dan mudah dicerna.
Untuk penanganan pada penderita TB paru fase intensif, diet yang perlu diberikan adalah
diet Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP). Di mana salah satu tujuan diet tersebut adalah
memenuhi kebutuhan energi dan protein yang sangat meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh dan menambah berat badan hingga berat badan normal.
Adapun gambaran umum pemberian diet TETP adalah diet yang mengandung energi dan protein
di atas kebutuhan normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan
sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging, atau dalam bentuk minuman enteral energi
tinggi protein tinggi. Diet ini diberikan bila pasien telah mempunyai cukup nafsu makan dan
dapat menerima makanan lengkap.
Pada penderita TB paru kebanyakan status gizi yang buruk, karena dilihat dari kondisi
pasien selalu dalam kondisi berat badannya terus menurun, sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Pengobatan Strategi DOTS dan Pemberian Telur
terhadap Penyembuhan dan Peningkatan Status Gizi Penderita TB Paru di Kecamatan Lubuk
Pakam Tahun 2005 “.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas pengobatan strategi DOTS dan perubahan status gizi pada
penderita TB paru dengan pemberian telur.

2. Tujuan Khusus
a. Mengevaluasi kuman TB pada penderita TB paru.
b. Mengukur perubahan Berat Badan (BB) pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
c. Mengevaluasi perubahan status gizi pada kelompok TB paru pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.

D. Metodelogi
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan pemberian telur pada penderita TB paru dan
mengamati perkembangan berat badan (status gizi) dan BTA.
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB paru di Kecamatan Lubuk
Pakam, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu: kelompok kontrol sebanyak 6 orang dan kelompok intevensi sebanyak 6 orang dan
bersedia menjadi objek penelitian.
3. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer
Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan alat
timbangan injak.
b. Data Sekunder
Data ini diperoleh dari kartu pengobatan penderita yang meliputi identitas penderita,
jenis kelamin, umur, diagnosis, sputum, dan obat- obatan.
4. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data yang terkumpul diperiksa dan diolah secara manual dan dianalisa
datanya secara uji deskriptif.

E. Hasil
Selama pengobatan pada fase intensif semua pasien meminum obat dengan teratur
dengan diawasi oleh PMO (Pengawas Makan Obat) maka dapat kita lihat hasil pemeriksaan
laboratorium setelah 2 bulan makan obat hasilnya negatif (Tabel 1). Sedangkan intake zat
gizi yang optimal dapat membentuk proses penyembuhan penyakit. Selain itu zat-zat gizi
yang dikonsumsi ini juga dapat memberikan kontribusi terhadap status gizi responden. Di
mana salah satu indikatornya dapat dilihat dari kenaikan berat badan respoden.
Tabel 1. Distribusi responden TB paru fase intensif menurut jenis kelamin, umur, BB awal,
dan tinggi badan
Kode Jenis Umur BB Awal TB BTA BTA
(X) Kelamin (tahun) (Kg) (cm) Awal Akhir
X1 Laki – laki 28 54 157 +2 -
X2 Laki – laki 71 44 170 +`1 -
X3 Laki – laki 27 42 165 +1 -
X4 Laki – laki 46 45 158 +1 -
X5 Laki – laki 19 40 160 +2 -
X6 Laki – laki 53 57 156 +3 -
X7 Laki – laki 38 62 160 +2 -
X8 Laki – laki 43 47 165 +3 -
X9 Laki – laki 60 56 160 +`1 -
X10 Laki – laki 33 53 156 +1 -
X11 Laki – laki 35 53 165 +1 -
X12 Laki – laki 21 52 156 +2 -

Tabel 2. Perkembangan kenaikan BB reponden kelompok inevensi dan kelompok kontrol


Kode Responden BB Awal BB Akhir (Kg) Peningkatan BB (Kg)
(Kg)
X1 54 55 1
X2 44 46 2
X3 42 43 1
X4 45 46 1
X5 40 42 2
X6 57 58 1
X7 62 62 0
X8 47 48 1
X9 56 56 0
X10 53 54 1
X11 53 55 2
X12 52 53 1

Dari Tabel 2 terlihat bahwa responden mulai X1 s.d. X6 yaitu kelompok intervensi (yang
diberi protein telur sebanyak 2 butir/hari) mengalami kenaikan berat badan sekitar 6 orang
atau 100%). Sedangkan pada kelompok kontrol (tanpa protein telur) mulai dari X7 s.d. X12
mengalami kenaikan berat badan sekitar 4 orang atau 66,6%.
Pada penelitian ini ada perubahan berat badan tetapi tidak merobah posisi status gizinya.
Dari Tabel 3 terlihat tidak adanya perbedaan status gizi awal dan akhir pada kelompok
intervensi yang mana status gizi awal kurus tingkat berat 50%, kurus tingkat ringan 16,66%,
normal 33,33% begitu juga dengan status gizi akhir.
Hal ini mungkin disebabkan karena ketersediaan pangan dan faktor daya beli responden.
Di mana “kesehatan berhubungan erat dengan makanan sehari- hari khususnya dengan status
gizi” (Poerwo Soedarmo, 1989).
Dari Tabel 4 terlihat tidak adanya perbedaan status gizi awal dan akhir pada kelompok
kontrol yang mana status gizi awal kurus tingkat ringan 16,66%, dan normal 83,33% begitu
juga dengan status gizi akhir.
Tabel 3. Distribusi responden TB paru fase intensif menurut status gizi kelompok intervensi
Satus Gizi Awal Akhir
Jumlah % Jumlah %
Kurus: Berat 3 50 3 50
Ringan 1 16,66 1 16,66
Normal 2 33,33 2 33,33
Gemuk - - - -
Jumlah 6 100 6 100

Tabel 4. Distribusi responden TB paru fase intensif menurut status gizi kelompok kontrol

Satus Gizi Awal Akhir


Jumlah % Jumlah %
Kurus: Berat - - - -
Ringan 16,66 1 16,66
1
Normal 5 83,33 5 83,33
Gemuk - - - -
Jumlah 6 100 6 100
Dari hasil analisa data penelitian dapat dilihat bahwa dari kelompok intervensi sebanyak
6 orang responden yang mempunyai status gizi awal kurus tingkat berat terdapat 3 orang atau
50%, kurus tingkat ringan terdapat 1 orang atau 16,66%, normal terdapat 2 orang atau
33,33% begitu juga dengan status gizi akhir dalam penelitian. Sementara dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang mempunyai status gizi awal tingkat ringan terdapat 1 orang
atau 16,66%, normal terdapat 5 orang atau 83,33% begitu juga dengan status gizi akhir dalam
penelitian.

F. Kesimpulan
a. Berdasarkan hasil penelitian didapati sampel penderita TB paru sebanyak 100% BTA
negatif selama pengobatan fase intensif.
b. Berdasarkan perkembangan berat badan kelompok intervensi 100% mengalami
peningkatan berat badan
c. Berdasarkan perkembangan berat badan kelompok kontrol 66,6% mengalami peningkatan
berat badan.
d. Adanya kecenderungan status gizi kelompok intervensi yang mana status gizi awal kurus
tingkat berat sebanyak 50%, kurus tingkat ringan sebanyak atau 16,66%, dan normal
sebanyak 2 orang atau 33,33% begitu juga dengan status gizi akhir selama penelitian.
e. Adanya kecenderungan status gizi pada kelompok kontrol yang mana status gizi awal
kurus tingkat ringan sebanyak 16,66% dan normal sebanyak atau 83,33% begitu juga
dengan status gizi akhir selama penelitian.

Anda mungkin juga menyukai