Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis merupakan kegiatan anamnesis beserta pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Diagnosis klinis adalah diagnosis kerja
yang berarti penderita telah memulai untuk diberikan tatalaksana. Kumpulan gejala
klinis tifoid dikenal juga sebagai sindrom tifoid. Demam atau panas merupakan gejala
utama tifoid. Pada awalnya gejala demam akan samar kemudian suhu tubuh akan sering
turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan mala lebih tinggi. Dari hari ke hari
demam akan makin tinggi disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala di area frontal,
pegal-pegal, insomnia, dan mual muntah. Pada minggu kedua, intensitas demam akan
makin tinggi dan dapat terus menerus atau kontinyu. Bila pasien membaik, maka pada
minggu ketiga suhu badan beransur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Tipe
demam tifoid kadang dapat bersifat tidak spesifik akibat pengobatan atau komplikasi
yang dapat terjadi di awal.
Sering ditemukan pada pasien bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan menjadi pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dengan ditutupi selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan berselaput putih. Pada penderita anak tanda
coated tongue jarang ditemui. Penderita juga umumnya mengeluh nyeri perut terutama
regio epigastri disertai nausea, dan mual muntah. Pada awal sakit akan timbul
konstipasi dan pada minggu selanjutnya dapat tumbul diare.
Gangguan kesadaran pada pasien tifoid dapat dotemukan penurunan kesadaran ringan
dengan kesadaran apatis atau seperti berkabut. Pada pasien klinis berat, tidak jarang
penderita sampai somnolen atau koma atau dengan gejala psikosis. Pada penderita
dengan toksik tifoid lebih menonjol gejala delirium. Hati atau limpa dapat ditemukan
membesar. Bradikardia relatif tidak selalu ditemukan. Bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Setiap
peningkatan suhu tubuh satu derajat selsius peningkatan denyut nadi. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah rose spot atau makulopapular pada regio abdomen. Sindrom
klinis tifoid merupakan gejala-gejala tifoid seperti demam, gangguan gastrointestinal,
hepatomegali, dll.
Sesuai dengan kemampuan mendiagnosis dan tingkat perjalanan penyakit tifoid,
diagnosis klinis tifoid dapat diklasifikasikan menjadi suspek demam tifoid dan demam
tifoid klinis. Suspek demam tifoid ditandai dengan gejala demam, gangguan saluran
cerna, dan pertanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan dasar. Demam tifoid klinis ditandai dengan terdapatnya gejala
klinis lengkap atau hampir lengkap serta gambaran laboratorium yang mendukung.
Diagnosis Etiologik
Diagnosis etiiologik merupakan kegiatan unutk mendeteksi Salmonella pada darah atau
sumsum tulang. Bila Salmonella ditemukan maka pasien menjadi pasti menderita
demam tifoid. Diagnosis etiologik dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: biakan
Salmonella typhi, pemeriksaan DNA Salmonella typhi dengan metode polimerase
chain reaction (PCR),dan tes widal. Pembiakan Salmonella typhi merupakan satu-
satunya metode yang dapat dilakukan hingga laboratorium daerah-daerah dan
pembiakan harus dilakukan pada setiap kasus demam tifoid. Pengggunaan PCR dapat
mendeteksi basil Salmonella typhi dengan teknik hibridisasi DNA. Hanya saja, tes ini
memiliki kelemahan yang terdiri dari tidak dapat menunjukan infeksi akut akibat tidak
dapat membedakan basil hidup atau mati dan biaya mahal. Oleh karena itu, penggunaan
PCR tidak dianjurkan pada pelayanan rutin. Bila hasil biakan tidak tumbuh dapat
dibantu dengan menggunakan tes widal. Hasil widal pada infeksi akut Salmonella typhi
akan menunjukan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan Widal II dengan jarak
waktu 5-7 hari dari Widal I.
Diagnosis Komplikasi
Diagnosis komplikasi dilakukan secara klinis dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitoring yang baik dapat membantu
kommplikasi terdeteksi secara dini. Terdapat beberapa komplikasi penting dari
demaam tifoid. Komplikasi tersebut adalah tifoid toksik, syok septik, perdarahan dan
perforasi, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, dan pneumonia.
Tifoid toksik adalah diagnosis klinis pada penderita sindrom tifoid dengan demam
tinggi dan kekacauan mental hebat serta kesadaran menurun mulai dari delirium sampai
koma. Syok septik aadlah penederita demam tifoid disertai gejala toksemia yang hebat.
Pada pasien didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus
dan cepat, berkeringat, dan akral dingin. Komplikasi perdarahan ditandai dengan
hematoshezia. Dapat juga diketahui dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium
terhadap feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ditandai dengan gejala akut
abdomen dn peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang dibantu dengan
pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen. Hepatitis tifosa merupakan
diagnosis klinis dengan kelainan terdiri dari: ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes
fungsi hati. Pankreatitis tifosa meruoakan diagnosis klinis dengan pertanda pankreatitis
akut dengan peningkatan enzim lipase dann amilase. Dapat dibantu dengan USG atau
CT-scan. Pneumonia merupakangejala demam tifoid diikuti pertanda pneumonia.
Diagnosis dapat dibantu dengan foto polos thoraks.
Pemeriksaan Bakteri
Biakan Salmonella typhi
Spesimen dibiakan dapat dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin. Spesimen
darah diambil pada minggu pertama saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin
pada minggu kedua dan minggu-minggu selanjutnya. Darah penderita diambil
sebanyak 5-10 ml secara aseptik dan dipindahkan kedalam botol biakkan yang
berisi 50-100 ml kaldu empedu dengan perbandingan 1:9 sesudah dieramkan
selama 24-48 jam pada 37◦C. Kemudian dipindahkan kedalam agar darah dan
agar Mac Conkey. Kuman tumbuh tanpa meragikan laktosa, gram negatif, dan
menunjukan gerak positif.
Pembiakan membutuhkan waktu 5-7 hari. Bila hasil biakan basil Salmonella
typhi tumbuh maka pasien pasti demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan
empedu dan sensitivitas tes ini rendah jika pasien telah menggunakan antibiotik
sebelumnya, waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah yang
diambil kurang, dan darah menggumpal. Spesimen darah dan sumsum tulang
memiliki sensitivitas lebih tinggi. Biakan untuk spesimen feses dan urin
dilakukan pada minggu kedua demam dan dilaksanakan setiap minggu. Bila
pada minggu keempat biakan feses masih positif maka pasien tergolong karier.
Serologis Widal
Tes serologi widal adalah reaksi antigen suspensi Salmonella yang telah
dimatikan dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap
Salmonella pada darah manusia. Prinsip tes ini adalah terjadinya reaksi
aglutinasi dengan aglutinin yang dideteksi adalah aglutinin O dan H. Aglutinin
O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam dan sampai puncaknya
pada minggu ketiga sampai minggu kelima. Aglutinin dapat bertahan selama 6-
12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat pada minggu ke 4-6 dan
menetap lebih lama hingga 2 tahun kemudian. Belum ada kesepakatan tentang
nilai titer patokan. Masing-masing daerah memiliki nilai titer berbeda
tergantung endemisitas daerah dan hasil penelitian. Kebanyakan berpendapat
bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Akan tetapi
reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid. Diagnosis demam
tifoid dianggap pasti apabila terdapat kenaikan titer 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Banyak faktor yang dapat
memengaruhi reaksi widal. Hasil tes negatif palsu seperti pada keadaan
pembentukan antibodi yang rendah dapat ditemukan pada kondisi gizi buruk
dan obat imunosupresif. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan
pasca vaksinasi, aglutinasi silang, dan lain lain.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah polimerase chain reaction (PCR)
dan typhi dot EIA. Pada pasien juga dapat dijumpai peningkatan enzim
transaminase (SGOT/SGPT). Peningkatan enzim transaminase ini disebabkan
banyak faktor yang memengaruhi seperti endotoksin, mekanisme imun, dan
obat-obatan. Bila proses peradangan sel hati semakin memberat maka tes fungsi
hati yang lain akan terganggu seperti bilirubin meningkat dan albumin menurun.
Secara klinis apabila tes fungsi hati terganggu jelas diserta ikterus dan
hepatomegali dapat disebut hepatitis tifosa. Pada pankreatitis tifosa akibat
invasi bakteri menuju pankreas dapat ditandai dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase.
Tatalaksana Farmakologi
Antimikroba diberikan segera setelah diagnosis klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan baik diagnosis konfirmasi maupun suspek. Sebelum antimikroba diberikan,
spesimen darah atau sumsum tulang perlu diambil terlebih dahulu untuk pemeriksaan
biakan Salmonella, kecuali fasilitas biakan memang tidak ada dan tidak dapat
dilaksanakan. Pertimbangan pemilihan antimikroba dilakukan dengan mengetahui
antimikroba yang sensitif dan potensial untuk tifoid, mempunyai sifat farmakokinetik
yang dapat penetrasi baik ke jaringan serta afinitas tinggi menuju organ sasaran,
spektrum sempit, cara pemberian mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil, efek samping minimal, dan tidak mudah
resisten serta efektif mencegah karier.
Antimikroba lini kedua untuk demam tifoid adalah seftriakson yang diberikan untuk
dewasa dan anak-anak, cefiksim yang efektif untuk anak-anak, dan kuinolone yang
tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun karena dinilai menggangu pertumbuhan
tulang. Bila penderita dengan gejala klinis beratt bahkan syok septik dapat diberikan
antimikroba efektif untuk pemberian parenteral dan ganda dengan 2 macam antibiotik.
Bila penderita dengan riwayat pernah mendapat tifoid serta memiliki predisposisi untuk
karier, maka pengobatan pertaa adalah golongan kuinolon. Tidak dianjurkan untuk
memilih antimikroba yang tidak dikenal potensial untuk tifoid.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid dapat berupa komplikasi abdominal maupun
komplikasi ekstraabdominal. Komplikasi abdominal dapat terjadi pada usus, kantung empedu,
hati, lien, dan pankreas. Salmonella memiliki predileksi pada sel yang termasuk kedalam sistem
retikuloendotelial. Dapat terilhat pada Peyer’s patches yang mengalami inflamasi dan akan
menimbulkan hiperplasia diikuti ulserasi dan nekrosis. Komplikasi ini dapat terjadi pada
minggu ketiga dan keempat. Pada kantung empedu akan menimbulkan kolesistitis dengan
mekanisme belum jelas akibat endotoksin bakteri atau invasi langsung. Hati dapat mengalami
gangguan akibat hiperplasia dan hipertrofi sistem retikuloedotelial ditambah dengan kerusakan
sel hati akibat penggunaan antipiretik. Lien juga mengalami pembesaran dan memungkinkan
mengalami ruptur. Pankreas dapat mengalami gangguan akibat tifoid.
Infeksi pankreas dapat terjadi didahului dengan infeksi pada cairan empedu dan mencapai
pankreas melalui duktus pankreatikus, atau menyebar secara hematogen atau limfatik. Sepsis
pada pasien diakibatkan oleh endotoksin dari Salmonella yang mengaktivasi makrofag dan
terjadi peningkatan respons sistem imun.tifoid ensefalopati atau tifoid toksik dapat terjadi pada
minggu ketiga perjalanan penyakit. Mekanisme yang mendasari masih belum diketahui pasti.
Terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini diakibatkan oleh produksi prostaglandin dan radikal
bebas oleh makrofag yang diinduksi bakteri. Terdapat juga kemungkinan bahwa kondisi ini
diakibatkan oleh peningkatan sitokin pro-inflamasi di sistem saraf pusat.
Pencegahan penularan tifoid merupakan langkah efisien dan tanpa risiko sehingga baik untuk
dilakukan. Pencegahan merupakan segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota
masyarakat tidak tertular oleh Salmonella t. Program pencegaha dilakukan dengan 3 pilar
strategis yaitu: mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid, mengatasi faktor-faktor
yang berperan terhadap rantai penularan, dan perlindungan dini agar tidak tertular. Masalah
rumit yang sering timbul setelah penanganan kasus tifoid tidak optimal adalah munculnya
karier, relaps, dan resistensi. Karier tifoid adalah orang yang mengandung basil Salmonella.
Karier terjadi apabila penderita diobati tidak adekuat dan memiliki faktor predisposisi. Karier
ditegakan apabila hasil kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan
dianggap karier kronik apabila basil masih ada hingga 1 tahun atau lebih. Relaps merupakan
keadaan kambuh gejala klinis demam tifoid setelah 2 minggu masa penyembuhan. Relaps
terjadi akibat pengobatan yang tidak adekuat baik dosis maupun lama pemberian. Resistensi
dapat timbul akibat terjadi mutasi genetik kuman. Resisten kloramfenikol sering diambil
sebagai standar penelitian karena obat ini merupakan pilihan pertama untuk tifoid. Resistensi
lain juga makin berkembang dengan antimikroba lain seperti ampisilin, kotrimoksazol, dan
kuinolon.
Resistensi antibiotik terjadi akibat pilihan obat yang tidak sesuai, dosis yang tidak tepat, lama
pemberian kurang tepat, dan terdapat komorbid yang menurunkan imunitas. Kegiatan strategis
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut merupakan pilar pertama program
pencegahan. Perlu terlaksana monitor dan kontrol ketat penggunaan antibiotik bebas di
masyarakat. Selain itu setiap RS perlu memiliki standar medis penatalaksanaan demam tifoid
dan konsisten dalam implementasi. Setiap RS memiliki aturan pemakaian antibiotika yang
terpola dengan baik dan dibuat secara berkala. Biakan feses dilakukan serial pada saat pulang,
4 minggu, dan 3 bulan kemudian untuk mendeteksi karier. Bila terdapat kasus karier dapat
diterapi dengan kuinolon selama 4 minggu. Bila terdapat resistensi obat lini pertama, maka
terapi antibiotik selanjutnya yang dapat digunakan adalah seftriakson dari sefalosporin generasi
ketiga.
Vaksin parenteral memiliki 2 jenis yaitu, K vaccine dan L vaccine. Daya proteksi K
vaccine adalah 79%-89% dan L vaccine adalah 51%-66%. Efek samping yang
dilaporkan adalah demam dan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini kontraindikasi
bagi wanita hamil dan demam. Vaksin polisakarida Vi memiliki proteksi 60%-70%
pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun. Vaksin tersedia dalam alat suntik 0,5 ml
dan diberikan intramuskular dengan booster 3 tahun.
Surveilans
Indonesia memiliki sistem surveilans nasional untuk memantau penyakkit infeksi
terutama yang menimbulkan wabah seperti tifoid. Jaringan surveilans dapat dipliah
menjadi dua yaitu surveilans skala nasional dan surveilans skala internasional. Tujuan
surveilans adalah menurunkan laju infeksi tifoid di masyarakat, mendapatkan data
dasar endemi, mengidentifikasi KLB, mengevaluasi sistem pengendalian, dan
mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis. Surveilans dilakukan dengan metode
penemuan kasus. Kasus tifoid didapatkan secara pasif dari sarana kesehatan. Surveilans
dilakukan pada sarana pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, rumah sakit
kabupaten, dan rumah sakit tingkat lanjut propinsi. Pelaporan dilakukan dengan definisi
suspek, probable, dan konfirmasi. Data surveilans ini dapat digunakan dalam
menentukan adanya wabah atau tidak. Demam tifoid wajib dilaporak ke pusat melalui
alur seperti pada gambar 2.