Anda di halaman 1dari 14

Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis merupakan kegiatan anamnesis beserta pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Diagnosis klinis adalah diagnosis kerja
yang berarti penderita telah memulai untuk diberikan tatalaksana. Kumpulan gejala
klinis tifoid dikenal juga sebagai sindrom tifoid. Demam atau panas merupakan gejala
utama tifoid. Pada awalnya gejala demam akan samar kemudian suhu tubuh akan sering
turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan mala lebih tinggi. Dari hari ke hari
demam akan makin tinggi disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala di area frontal,
pegal-pegal, insomnia, dan mual muntah. Pada minggu kedua, intensitas demam akan
makin tinggi dan dapat terus menerus atau kontinyu. Bila pasien membaik, maka pada
minggu ketiga suhu badan beransur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Tipe
demam tifoid kadang dapat bersifat tidak spesifik akibat pengobatan atau komplikasi
yang dapat terjadi di awal.

Sering ditemukan pada pasien bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan menjadi pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dengan ditutupi selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan berselaput putih. Pada penderita anak tanda
coated tongue jarang ditemui. Penderita juga umumnya mengeluh nyeri perut terutama
regio epigastri disertai nausea, dan mual muntah. Pada awal sakit akan timbul
konstipasi dan pada minggu selanjutnya dapat tumbul diare.

Gangguan kesadaran pada pasien tifoid dapat dotemukan penurunan kesadaran ringan
dengan kesadaran apatis atau seperti berkabut. Pada pasien klinis berat, tidak jarang
penderita sampai somnolen atau koma atau dengan gejala psikosis. Pada penderita
dengan toksik tifoid lebih menonjol gejala delirium. Hati atau limpa dapat ditemukan
membesar. Bradikardia relatif tidak selalu ditemukan. Bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Setiap
peningkatan suhu tubuh satu derajat selsius peningkatan denyut nadi. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah rose spot atau makulopapular pada regio abdomen. Sindrom
klinis tifoid merupakan gejala-gejala tifoid seperti demam, gangguan gastrointestinal,
hepatomegali, dll.
Sesuai dengan kemampuan mendiagnosis dan tingkat perjalanan penyakit tifoid,
diagnosis klinis tifoid dapat diklasifikasikan menjadi suspek demam tifoid dan demam
tifoid klinis. Suspek demam tifoid ditandai dengan gejala demam, gangguan saluran
cerna, dan pertanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan dasar. Demam tifoid klinis ditandai dengan terdapatnya gejala
klinis lengkap atau hampir lengkap serta gambaran laboratorium yang mendukung.

Diagnosis Etiologik
Diagnosis etiiologik merupakan kegiatan unutk mendeteksi Salmonella pada darah atau
sumsum tulang. Bila Salmonella ditemukan maka pasien menjadi pasti menderita
demam tifoid. Diagnosis etiologik dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: biakan
Salmonella typhi, pemeriksaan DNA Salmonella typhi dengan metode polimerase
chain reaction (PCR),dan tes widal. Pembiakan Salmonella typhi merupakan satu-
satunya metode yang dapat dilakukan hingga laboratorium daerah-daerah dan
pembiakan harus dilakukan pada setiap kasus demam tifoid. Pengggunaan PCR dapat
mendeteksi basil Salmonella typhi dengan teknik hibridisasi DNA. Hanya saja, tes ini
memiliki kelemahan yang terdiri dari tidak dapat menunjukan infeksi akut akibat tidak
dapat membedakan basil hidup atau mati dan biaya mahal. Oleh karena itu, penggunaan
PCR tidak dianjurkan pada pelayanan rutin. Bila hasil biakan tidak tumbuh dapat
dibantu dengan menggunakan tes widal. Hasil widal pada infeksi akut Salmonella typhi
akan menunjukan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan Widal II dengan jarak
waktu 5-7 hari dari Widal I.

Diagnosis Komplikasi
Diagnosis komplikasi dilakukan secara klinis dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitoring yang baik dapat membantu
kommplikasi terdeteksi secara dini. Terdapat beberapa komplikasi penting dari
demaam tifoid. Komplikasi tersebut adalah tifoid toksik, syok septik, perdarahan dan
perforasi, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, dan pneumonia.
Tifoid toksik adalah diagnosis klinis pada penderita sindrom tifoid dengan demam
tinggi dan kekacauan mental hebat serta kesadaran menurun mulai dari delirium sampai
koma. Syok septik aadlah penederita demam tifoid disertai gejala toksemia yang hebat.
Pada pasien didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus
dan cepat, berkeringat, dan akral dingin. Komplikasi perdarahan ditandai dengan
hematoshezia. Dapat juga diketahui dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium
terhadap feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ditandai dengan gejala akut
abdomen dn peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang dibantu dengan
pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen. Hepatitis tifosa merupakan
diagnosis klinis dengan kelainan terdiri dari: ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes
fungsi hati. Pankreatitis tifosa meruoakan diagnosis klinis dengan pertanda pankreatitis
akut dengan peningkatan enzim lipase dann amilase. Dapat dibantu dengan USG atau
CT-scan. Pneumonia merupakangejala demam tifoid diikuti pertanda pneumonia.
Diagnosis dapat dibantu dengan foto polos thoraks.

Gambaran laboratorium Tifoid


Gambaran darah tepi
Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopenia kisaran
3000-8000 per mm kubik. Selain itu, terdapat juga gamabran limfositosis relatif,
monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia ringan. Leukopenia terjadi
akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen.
Leukopenia diperkirakan terjadi pada 25% pasien. Kejadian trombositopenia
sehubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi meningkat oleh sel
sistem retikular-endotelial. Anemia juga disebabkan oleh produksi hemoglobin
yang menurun dan kejadian perdarahan intestinal tak nyata. Bila terjadi
penurunan hemoglobin akut pada minggu 3-4 perlu diwaspadai terjadi
perdarahan hebat abdomen.

Pemeriksaan Bakteri
Biakan Salmonella typhi
Spesimen dibiakan dapat dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin. Spesimen
darah diambil pada minggu pertama saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin
pada minggu kedua dan minggu-minggu selanjutnya. Darah penderita diambil
sebanyak 5-10 ml secara aseptik dan dipindahkan kedalam botol biakkan yang
berisi 50-100 ml kaldu empedu dengan perbandingan 1:9 sesudah dieramkan
selama 24-48 jam pada 37◦C. Kemudian dipindahkan kedalam agar darah dan
agar Mac Conkey. Kuman tumbuh tanpa meragikan laktosa, gram negatif, dan
menunjukan gerak positif.
Pembiakan membutuhkan waktu 5-7 hari. Bila hasil biakan basil Salmonella
typhi tumbuh maka pasien pasti demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan
empedu dan sensitivitas tes ini rendah jika pasien telah menggunakan antibiotik
sebelumnya, waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah yang
diambil kurang, dan darah menggumpal. Spesimen darah dan sumsum tulang
memiliki sensitivitas lebih tinggi. Biakan untuk spesimen feses dan urin
dilakukan pada minggu kedua demam dan dilaksanakan setiap minggu. Bila
pada minggu keempat biakan feses masih positif maka pasien tergolong karier.

Serologis Widal
Tes serologi widal adalah reaksi antigen suspensi Salmonella yang telah
dimatikan dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap
Salmonella pada darah manusia. Prinsip tes ini adalah terjadinya reaksi
aglutinasi dengan aglutinin yang dideteksi adalah aglutinin O dan H. Aglutinin
O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam dan sampai puncaknya
pada minggu ketiga sampai minggu kelima. Aglutinin dapat bertahan selama 6-
12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat pada minggu ke 4-6 dan
menetap lebih lama hingga 2 tahun kemudian. Belum ada kesepakatan tentang
nilai titer patokan. Masing-masing daerah memiliki nilai titer berbeda
tergantung endemisitas daerah dan hasil penelitian. Kebanyakan berpendapat
bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Akan tetapi
reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid. Diagnosis demam
tifoid dianggap pasti apabila terdapat kenaikan titer 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Banyak faktor yang dapat
memengaruhi reaksi widal. Hasil tes negatif palsu seperti pada keadaan
pembentukan antibodi yang rendah dapat ditemukan pada kondisi gizi buruk
dan obat imunosupresif. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan
pasca vaksinasi, aglutinasi silang, dan lain lain.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah polimerase chain reaction (PCR)
dan typhi dot EIA. Pada pasien juga dapat dijumpai peningkatan enzim
transaminase (SGOT/SGPT). Peningkatan enzim transaminase ini disebabkan
banyak faktor yang memengaruhi seperti endotoksin, mekanisme imun, dan
obat-obatan. Bila proses peradangan sel hati semakin memberat maka tes fungsi
hati yang lain akan terganggu seperti bilirubin meningkat dan albumin menurun.
Secara klinis apabila tes fungsi hati terganggu jelas diserta ikterus dan
hepatomegali dapat disebut hepatitis tifosa. Pada pankreatitis tifosa akibat
invasi bakteri menuju pankreas dapat ditandai dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase.

Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan

Tatalaksana umum dan nutrisi


Penderita demam tifoid dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lainnya. Tujuan perawatan adalah untuk mengoptimalisasi
pengobatan dan mempercepat penyembuhan, observasi perjalanan penyakit, dan
minimalisasi komplikasi serta isolasi agar menjamin pencegahan pencemaran dan atau
kontaminasi. pasien diberikan perlakuan tirah baring untuk mencegah komplikasi.
Pasien dengan klinis yang berat harus istirahat total. Bila pasien mengalami penurunan
kesadaran maka posisi tidur harus diubah-ubah agar mencegah komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Pada pasien dengan gejala klinis yang membaik, dilakukan
mobilisasi secara bertahap sesuai tingkat kepulihan penderita. Buang air besar dan kecil
sebaiknya dibantu oleh perawat. Jika tidak memiliki indikasi, pemakaian kateter urin
tetap perlu dihindari.
Nutrisi yang diberikan pada pasien adalah nutrisi cairan beserta diet. Pasien perlu
mendapat cairan yang cukup baik oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, pasien dengann komplikasi, pasien dengan
penurunan kesadaran, dan pasien sulit makan. Dosis cairan parenteral sesuai dengan
kebutuhan harian. Bila ada komplikasi, dosis disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan
harus mengandung kalori dan elektrolit optimal. Diet pasien perlu mengandung kalori
dan protein yang cukup. Diet sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah
terjadinya perdarahan dan perforasi. Diet penderita tifoid bisa diklasifikasikan atas: diet
cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai
dengan diet padat atau tim. Pada penderita dengan gejala klinis berat diet sebaiknya
dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai
padat sesuai tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun
diberikan diet melalui enteral atau pipa nasogastrik. Diet parenteral dapat diberikan
pada pasien dengan tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
Terapi simtomatik dapat diberikan pada pasien untuk meningkatkan perbaikan keadaan
umum pasien. Obat yang dapat diberikan terdiri dari: vitamin, antipiretk untuk
kenyamanan pasien, dan anti emetik untuk kasus muntah hebat.

Tatalaksana Farmakologi
Antimikroba diberikan segera setelah diagnosis klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan baik diagnosis konfirmasi maupun suspek. Sebelum antimikroba diberikan,
spesimen darah atau sumsum tulang perlu diambil terlebih dahulu untuk pemeriksaan
biakan Salmonella, kecuali fasilitas biakan memang tidak ada dan tidak dapat
dilaksanakan. Pertimbangan pemilihan antimikroba dilakukan dengan mengetahui
antimikroba yang sensitif dan potensial untuk tifoid, mempunyai sifat farmakokinetik
yang dapat penetrasi baik ke jaringan serta afinitas tinggi menuju organ sasaran,
spektrum sempit, cara pemberian mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil, efek samping minimal, dan tidak mudah
resisten serta efektif mencegah karier.

Gambar 1. Antimikroba Tifoid


Antimikroba pada gambar 1 diberikan segera setelah diagnosis dibuat. Antimikroba
yang diberikan sebagai terapi awal adalah kelompok lini pertama tifoid. Pilihan sesuai
dengan kepekaan tertinggi di suatu daerah. Kloramfenikol sampai saat ini masih
menjadi pilihan pertama berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangan dari kloramfenikol
adalah jangka waktu pemberian lama serta sering menimbulkan karier dan relaps.
Antimikroba lini pertama tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin yang
aman untuk wanita hamil, dan trimetoprim-sulfamtoksazol. Bila pemberian obat lini
pertama dianggap tidak efektif dapat diganti dengan obat lini kedua.

Antimikroba lini kedua untuk demam tifoid adalah seftriakson yang diberikan untuk
dewasa dan anak-anak, cefiksim yang efektif untuk anak-anak, dan kuinolone yang
tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun karena dinilai menggangu pertumbuhan
tulang. Bila penderita dengan gejala klinis beratt bahkan syok septik dapat diberikan
antimikroba efektif untuk pemberian parenteral dan ganda dengan 2 macam antibiotik.
Bila penderita dengan riwayat pernah mendapat tifoid serta memiliki predisposisi untuk
karier, maka pengobatan pertaa adalah golongan kuinolon. Tidak dianjurkan untuk
memilih antimikroba yang tidak dikenal potensial untuk tifoid.

Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Kloramfenikol merupakan zat larut alkohol akan tetapi sulit larut dalam air.
Kloramfenikol merupakan inhibitor poten sintesis protein bakteri. Obat ini akan terikat
dengan subunit 50S ribosom bakteri dan menghambat pembentukan ikatan peptida.
Kloramfenikol merupakan antibiotik baktriostatik yang aktif terhadap gram positif
maupun gram negatif. Resistensi dapat terbentuk melalui enzim chloramphenicol
acetyltransferase yang menginaktivasi obat. Kloramfenikol terdistribusi luas pada
semua jaringan dan cairan tubuh. Sebagian besar obat akan diinaktivasi melalui
konjugasi dengan asam glukuronat pada hati maupun reduksi menjadi inaktif. Obat juga
diekskresikan menuju feses dan empedu dalam jumlah sedikit. Kloramfenikol perlu
disesuaikan dosisnya pada kondisi gagal hati. Kloramfenikol akan menghambat enzim
mikrosom hati sehingga serum fenitoin dan warfarin akan meningkat dan diperlukan
penyesuaian. Efek sampingyang umum terjadi adalah mual muntah dan diare. Dapat
juga terjadi candidiasis oral atau vaginal akibat gangguan flora normal.
Amoksisilin atau ampisilin merupakan jenis antibiotik penisilin. Penisilin dan
seftriakson merupakan antibiotik dengan cincin beta laktam. Ampisilin dan amoksisilin
akan menghambat sistesis dinding bakteri dengan menghambat reaksi
transpeptidasi.obat ini dapat diabsorpsi dengan baik oleh usus. Sebagian besar penisilin
kecuali amoksisilin dapat diganggu penyerapannya oleh makanan sehingga diberikan
1-2 jam sebelum makan. Penisilin secara cepat akan diekskresikan oleh ginjal.
Trimetoprin-sulfametoksazol atau disebut cotrimoksazol merupakan kombinasi dua
antibiotik. Trimetoprin akan menghambat secara selektif dihidrofolic acid reduktase
bakteri yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat yang berperan
penting dalam sintesis purin. Sulfonamide akan menghambat dihydropteroate synthase
dan menghambat sintesis folat yang penting untuk bakteri. Trimetoprin-
sulfametoksazol dapat diserap dengan baik oleh usus dan terdistribusi luas pada
jaringan dan cairan tubuh. Sekitar 50% sulfametoksazol dan 50%-60% trimetoprin
diekskresikan melalui urin dengan sebagian kecil diinaktivasi oleh hati melalui
konjugasi. Efek samping penggunaan trimetoprin-sulfametoksazol adalah
menimbulkan demam, diare, mual, muntah, kerusakan ginjal, dan kondisi seperti
leukopenia.

Perawatan Mandiri di Rumah


Tidak semua penderita tifoid ingin dirawat di rumah sakit. Banyak kendala dan
hambatan pada masing-masing masyarakat salah satunya adalah ketidakadaan biaya.
Dengan pertimbangan matang, penderita tifoid boleh dirawat dirumah walaupun tetap
tidak dianjurkan. Penderita yang boleh merawat diri sendiri di rumah adalah penderita
dengan gejala klinis ringan dan tanpa komplikasi maupun komorbid. Penderita
memiliki kesadaran baik dan dapat makan dan minum yang baik. Penderita dan
keluarga mengerti mengenai cara merawat dan pertanda bahaya yang akan timbul dari
tifoid. Rumah pasien dapat melaksanakan sistem pembuangan feses,urin,atau muntahan
yang memenuhi syarat kesehatan. Pasien juga harus mengikuti program pengobatan
yang diberikan dokter
Dokter yang memberikan izin pulang juga bertanggung jawab penuh akan pasien
tersebut dan harus yakin bahwa penderita tidak akan menghadapi bahaya serius.
Penatalaksanaan tifoid dilakukan dengan mengajarkan istirahat dan pertahapan
mobilisasi, diet yang benar, dan pemberian obat-obatan. Dokter perlu mengunjungi
pasien setiap hari dan harus diwakilkan tenaga kesehatan yang mengerti menangani
tifoid jika berhalangan hadir. Dokter juga harus memiliki hubungan komunikasi yang
lancar dengan keluarga pasien. Dokter perlu menerangkan dengan jelas tatacara
pengobatan dan perawatan serta aspek lain yang penting. Tatacara diet, pertahapan
mobilisasi dan konsumsi obat perlu diperhatikan langsung oleh dokter agar memastikan
keluarga pasien telah memahami dan mampu laksana. Dokter dan atau perawat perlu
mengunjungi pasien secara reguler. Bila pasien memiliki pertanda gawatdarurat perlu
dibawa ke rumah rumah sakit terdekar.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid dapat berupa komplikasi abdominal maupun
komplikasi ekstraabdominal. Komplikasi abdominal dapat terjadi pada usus, kantung empedu,
hati, lien, dan pankreas. Salmonella memiliki predileksi pada sel yang termasuk kedalam sistem
retikuloendotelial. Dapat terilhat pada Peyer’s patches yang mengalami inflamasi dan akan
menimbulkan hiperplasia diikuti ulserasi dan nekrosis. Komplikasi ini dapat terjadi pada
minggu ketiga dan keempat. Pada kantung empedu akan menimbulkan kolesistitis dengan
mekanisme belum jelas akibat endotoksin bakteri atau invasi langsung. Hati dapat mengalami
gangguan akibat hiperplasia dan hipertrofi sistem retikuloedotelial ditambah dengan kerusakan
sel hati akibat penggunaan antipiretik. Lien juga mengalami pembesaran dan memungkinkan
mengalami ruptur. Pankreas dapat mengalami gangguan akibat tifoid.

Infeksi pankreas dapat terjadi didahului dengan infeksi pada cairan empedu dan mencapai
pankreas melalui duktus pankreatikus, atau menyebar secara hematogen atau limfatik. Sepsis
pada pasien diakibatkan oleh endotoksin dari Salmonella yang mengaktivasi makrofag dan
terjadi peningkatan respons sistem imun.tifoid ensefalopati atau tifoid toksik dapat terjadi pada
minggu ketiga perjalanan penyakit. Mekanisme yang mendasari masih belum diketahui pasti.
Terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini diakibatkan oleh produksi prostaglandin dan radikal
bebas oleh makrofag yang diinduksi bakteri. Terdapat juga kemungkinan bahwa kondisi ini
diakibatkan oleh peningkatan sitokin pro-inflamasi di sistem saraf pusat.

Pengobatan dan Perawatan Komplikasi


Sebagai prinsip, komplikasi tifoid harus terdeteksi secara dini. Pada komplikasi
berbahaya harus dilaksanakan perawatan intensif serta di rawat secara bersama dari
berbagai macam disiplis spesialis terkait. Pengobatan dan perawatan standar tifoid
harus tetap terlaksana.
Pada tifoid toksik antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat
ganda dengan spektru luas seperti kombinasi ampisilin dengan kloramfenikol.
Pemberian kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4x10 mg secara intravena.
Pada anak-anak dosis sebesar 1-3 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.
Pada syok septik pasien dirawat secara intensid dan kegagalan hemodinamik yang
terjadi diatasi secara optimal. Antimikroba diberikan secara parenteral dan dapat ganda
dengan spektrum luas. Obat-obatan vasoaktif seperti dopamin dapat dipertimbangkan
apabila syok mengarah ke irreversible.
Perdarahan dan perforasi perlu dipertimbangkan trasnfusi darah bila terjadi indikasi.
Segera transfusi bila telah terjadi perdarahan akut sebanyak 5 ml/ KgBB/ jam dan
pemeriksaan hemostasis normal. Bila terjadi perforasi langsung rawat bersama dokter
bedah dan operasi bila terjadi indikasi. Pasien diberi antibitotik spektrum luas untuk
terapi tifoid dan infeksi kontaminasi usus. Antibiotik yang dipilih melalui jalur
parenteral seperti ampisilin dengan kloramfenikol, dan metronidazol. Bila perforasi,
perlu dilakukan resusitasi cairan dengan memasang tabung nasogastrik, diet parenteral,
dan monitor keseimbangan cairan.
Komplikasi lainnya diobati sesuai indikasi dan terapi definitif tifoid tetap diberikan.

Aspek Pencegahan dan Pengendalian Tifoid

Pencegahan penularan tifoid merupakan langkah efisien dan tanpa risiko sehingga baik untuk
dilakukan. Pencegahan merupakan segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota
masyarakat tidak tertular oleh Salmonella t. Program pencegaha dilakukan dengan 3 pilar
strategis yaitu: mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid, mengatasi faktor-faktor
yang berperan terhadap rantai penularan, dan perlindungan dini agar tidak tertular. Masalah
rumit yang sering timbul setelah penanganan kasus tifoid tidak optimal adalah munculnya
karier, relaps, dan resistensi. Karier tifoid adalah orang yang mengandung basil Salmonella.
Karier terjadi apabila penderita diobati tidak adekuat dan memiliki faktor predisposisi. Karier
ditegakan apabila hasil kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan
dianggap karier kronik apabila basil masih ada hingga 1 tahun atau lebih. Relaps merupakan
keadaan kambuh gejala klinis demam tifoid setelah 2 minggu masa penyembuhan. Relaps
terjadi akibat pengobatan yang tidak adekuat baik dosis maupun lama pemberian. Resistensi
dapat timbul akibat terjadi mutasi genetik kuman. Resisten kloramfenikol sering diambil
sebagai standar penelitian karena obat ini merupakan pilihan pertama untuk tifoid. Resistensi
lain juga makin berkembang dengan antimikroba lain seperti ampisilin, kotrimoksazol, dan
kuinolon.

Resistensi antibiotik terjadi akibat pilihan obat yang tidak sesuai, dosis yang tidak tepat, lama
pemberian kurang tepat, dan terdapat komorbid yang menurunkan imunitas. Kegiatan strategis
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut merupakan pilar pertama program
pencegahan. Perlu terlaksana monitor dan kontrol ketat penggunaan antibiotik bebas di
masyarakat. Selain itu setiap RS perlu memiliki standar medis penatalaksanaan demam tifoid
dan konsisten dalam implementasi. Setiap RS memiliki aturan pemakaian antibiotika yang
terpola dengan baik dan dibuat secara berkala. Biakan feses dilakukan serial pada saat pulang,
4 minggu, dan 3 bulan kemudian untuk mendeteksi karier. Bila terdapat kasus karier dapat
diterapi dengan kuinolon selama 4 minggu. Bila terdapat resistensi obat lini pertama, maka
terapi antibiotik selanjutnya yang dapat digunakan adalah seftriakson dari sefalosporin generasi
ketiga.

Perbaikan Sanitasi Lingkungan


Salah satu usaha memutus rantai penularan tifoid adalah dengan usaha perbaikan
lingkungan. Usaha ini sangat mendasar dan melibatkan banyak pihak. Beberapa hal
yang menjadi masalah dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air minum,
pengawasan terhadap makanan dan air, serta sistem pembuangan kotoran dan limbah.
Usaha perbaikan sanitasi lingkungan dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih
untuk seluruh warga yang aman dan terawasi. Air bersih tidak boleh tercemar air limbah
dan kotoran lain. Masyarakat dibiasakan memasak air sampai mendidih kurang lebih
10 menit untuk air minum. Jamban keluarga harus memenuhi syarat kesehatan dan tidak
terkontaminasi lalat dan serangga lain. Pengelolaan air limbah harus benar dan tidak
mencemari lingkungan. Perlu juga dilakukan budaya hidup bersih dan lingkungan
bersih untuk seluruh lapisan masyarakat.

Peningkatan Kebersihan Makanan dan Minuman


Transmisi utama Salmonella t adalah melalui air minu dan makanan sehingga perlu
dijamin kebersihannya. Makanan harus dipilih secara hati-hati. Panaskan kembali
makanan yang sudah dimasak. Perlu menghindari kontak makanan mentah dengan
yang sudah dimasak. Mencuci tangan dengan sabun. Membersihkan permukaan dapur.
Menutup makanan dari serangga atau binatang lainnya, dan gunakan air yang bersih
dalam memasak. Mendorong penggunaan ASI pada bayi serta mendidihkan seluruh
susu dan air yang akan menjadi makanan bayi. Kontrol kualitas dilakukan pada semua
hasil pertanian dan jangan menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk kebun sayur.
Pengawasan perlu juga dilakukan pada restoran dan industri makanan. Masyarakat
perlu juga diajarkan cara hidup bersih dan cuci tangan yang benar.

Peningkatan Kebersihan Perorangan


Peningkatan kebersihan pribadi merupakan pilar ketiga program pencegahan tifoid.
Budaya cuci tangan merupakan kegiatan terpenting. Setiap tangan yang dipergunakan
untuk memegang makanan harus sudah bersih. Setiap tangan yang kontak dengan
feses,urin, atau dubur harus dicuci pakai sabun dilakukan pada air mengalir.

Pencegahan dengan imunisasi


Vaksin tifoid diprioritaskan pada orang yang akan bepergian, tenaga laboratorium
mikrobiologis, dan tenaga penyaji makanan di restoran. Di Indonesia terdapat tiga jenis
vaksin tifoid yaitu: vaksin oral ty 21a vivotif berna, vaksin parenteral sel utuh, dan
vaksin polisakarida typhim Vi Aventis Pasteur Merriuex. Vaksin oral ty 21a merupakan
vaksin dengan proteksi mencapai 100% akan tetapi di Indonesia hanya 36%-66%.
Vaksin tersedia dalam bentuk kapsul yang dapat diminum selang sehari dalam 1
minggu dan satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil dan
anak 6 tahun kebawah. Lama proteksi selama 5 tahun.

Vaksin parenteral memiliki 2 jenis yaitu, K vaccine dan L vaccine. Daya proteksi K
vaccine adalah 79%-89% dan L vaccine adalah 51%-66%. Efek samping yang
dilaporkan adalah demam dan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini kontraindikasi
bagi wanita hamil dan demam. Vaksin polisakarida Vi memiliki proteksi 60%-70%
pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun. Vaksin tersedia dalam alat suntik 0,5 ml
dan diberikan intramuskular dengan booster 3 tahun.

Surveilans
Indonesia memiliki sistem surveilans nasional untuk memantau penyakkit infeksi
terutama yang menimbulkan wabah seperti tifoid. Jaringan surveilans dapat dipliah
menjadi dua yaitu surveilans skala nasional dan surveilans skala internasional. Tujuan
surveilans adalah menurunkan laju infeksi tifoid di masyarakat, mendapatkan data
dasar endemi, mengidentifikasi KLB, mengevaluasi sistem pengendalian, dan
mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis. Surveilans dilakukan dengan metode
penemuan kasus. Kasus tifoid didapatkan secara pasif dari sarana kesehatan. Surveilans
dilakukan pada sarana pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, rumah sakit
kabupaten, dan rumah sakit tingkat lanjut propinsi. Pelaporan dilakukan dengan definisi
suspek, probable, dan konfirmasi. Data surveilans ini dapat digunakan dalam
menentukan adanya wabah atau tidak. Demam tifoid wajib dilaporak ke pusat melalui
alur seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Alur Pelaporan Kasus Tifoid


Penanggulangan KLB
Bila terdapat dugaan KLB pada suatu daerah, maka diperlukan serangkaian kegiatan
terpola baik untuk menanggulanginya. Pihak pelayanan kesehatan perlu melaporkan ke
dinas kesehatan kabupaten atau kota. Kemudian akan dibentuk tim investigator dan
penanggulangan. Tim ini akan melakukan pemantauan wilayah setempat. Kemudian
penyelidikan epidemiologi untuk menetapkan kemungkinan penyebab KLB. Tim juga
akan menetapkan laboratorium untuk pemeriksaan spesimen dan menetapkan siapa saja
yang melaksanakan investigasi dan pengumpulan spesimen. Tim juga akan menentukan
prosedur tatalaksana spesimen. Pelaksanaan penyelidikan harus cepat dan konfirmasi
diagnosis mikrobiologi juga dilaksanakan dengan cepat. Kegiatan ini juga akann
melibatkan banyak pihak dan sektor masyarakat

Anda mungkin juga menyukai