Contoh Perilaku Menyirih Suku Karo yang berkaitan dengan Kesehatan
Salah satu perilaku yang berakar pada sosial budaya dan berhubungan dengan kesehatan adalah perilaku menyirih. Tradisi mengunyah sirih merupakan warisan budaya silam, lebih dari 3.000 tahun yang lampau pada zaman neolitik. Literatur mengenai kebiasaaan menyirih sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Tembakau diperkenalkan sebagai komposisi menyirih sejak abad ke-16. Diperkirakan sekitar 200 juta orang di dunia mengkonsumsi sirih dan kebiasaan ini sekarang tersebar luas di Asia Tenggara dan Asia Selatan (Natamiharja, 2002).Secara geografis dan budaya, suku Karo adalah suku yang banyak mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut dengan ”marga”, terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo. Kelima marga ini dalam kehidupannya mempunyai perilaku menyirih terutama pada acara adat istiadat (Alwi, 2001). Perilaku menyirih sangat sulit untuk dihilangkan, karena dahulu perilaku ini berhubungan dengan adat-istiadat yaitu pada acara pertunangan dan pernikahan. Perilaku menyirih juga sangat erat hubungannya dengan kepercayaan suku Karo. Perilaku menyirih pada masyarakat Karo sudah ada sejak zaman dahulu. Sirih digunakan bila seseorang jatuh sakit atau lemah badannya, meninggal dunia untuk meramal, untuk penghormatan, pada acara merdang, pada upacara berkeramas, untuk mengusir roh, pada upacara ngkuruk emas (mengambil emas), dan upacara muat kertah (mengamnil kertah). Walaupun kebiasaan penggunaan sirih yang berhubungan dengan kepercayaan sebagian besar telah hilang, namun kebiasaan menyirih yang berhubungan dengan adat-istiadat tetap ada sampai sekarang. Kebiasaan mengunyah sirih yang berhubungan dengan adatistiadat digunakan sebagai persembahan untuk orang-orang atau tamu yang dihomati,misalnya pada acara pertemuan atau acara perkawinan. Untuk itu studi ini khusus akan membahas perilaku menyirih pada wanita karo karena pada dasarnya setting budaya Karo itu sendiri adalah menyirih. Namun dari tradisi ini hal itu sampai sekarang telah bergeser karena pada wanita Karo khususnya dalam mengkonsumsi sirih tidak lagi pada acara-acara adat istiadat saja tapi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Selain itu, sirih telah berabad-abad dikenal oleh nenek moyang kita sebagai tanaman obat berkhasiat dan sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Sirih juga digunakan untuk pengobatan disertai dengan jampi dan mantra oleh dukun. Hal ini yang membuat sulit untuk meninggalkan kebiasaan menyirih yang telah melekat di masyarakat, karena segala sesuatu yang bersifat sosial dan berakar budaya sulit untuk dihilangkan. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, disebut superorganik. Komposisi menyirih yang biasa digunakan masyarakat Suku Karo terdiri dari daun sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Nama latin dari sirih adalah Piper betle. Sirih (Piper betle) merupakan tumbuhan obat yang sangat besar manfaatnya. Daun sirih mengandung zat antiseptik daunnya banyak digunakan untuk mengobati mimisan, mata merah, keputihan, membuat suara nyaring, dan banyak lagi, termasuk disfungsi ereksi. Pinang (Areca Cathechu) diduga dapat menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik, sensasi hangat di tubuh, keringat, menambah saliva, menambah stamina kerja dan menahan rasa lapar. Selain tersebut di atas, pinang juga mempengaruhi sistem syaraf pusat dan otonom. Gambir termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Gambir digunakan sebagai bahan tambahan untuk menyirih. Selain untuk menambah rasa, gambir juga memberi manfaat lain, yaitu untuk mencegah berbagai penyakit di daerah kerongkongan. Penggunaan kapur sirih dapat mengakibatkan panyakit periodontal. Penyebab terbentuknya penyakit periodontal adalah karang gigi akibat stagnasi saliva pengunyah sirih karena adanya kapur Ca(OH)2.Gabungan kapur dengan pinang mengakibatkan respon primer terhadap formasi oksigen reaktif dan mungkin mengakibatkan kerusakan oksidatif pada DNA di bukal mukosa penyirih. Tembakau (Nicotiana spp) Nikotin merupakan komponen penting dalam tembakau karena sifatnya yang menimbulkan ketagihan atau adiksi. Perilaku menyirih juga dilakukan sebagai sarana dalam pergaulan antara sesame wanita-wanita di Tanah Karo. Dengan alasan menyirih bersama-sama lebih menyenangkan daripada menyirih sendirian. Wanita Karo menyirih karena mereka merasakan dengan menyirih dapat membuat gigi-geligi kuat, menstimulasi air ludah, obat untuk saluran pernafasan, menghilangkan rasa lapar, memiliki efek euphoria (perasaan senang) dan sebagai penyegar nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tak sedap kemungkinan telah mendarah daging diantara para penggunanya. Padahal efek negatif menyirih dapat mengakibatkan penyakit periodontal, adanya lesi-lesi pada mukosa mulut seperti sub mucous fibrosis, oral premalignant dan bahkan dapat mengakibatkan kanker mulut. Kanker pada mukosa pipi dihubungkan dengan kebiasaan mengunyah campuran pinang, daun sirih, kapur dan tembakau. Campuran tersebut berkontak dengan mukosa pipi kiri dan kanan selama beberapa jam. Kanker pada gingiva umumnya berasal dari daerah dimana susur tembakau ditempatkan pada orang-orang yang memiliki kebiasaan ini. Daerah yang terlibat biasanya lebih sering pada gingiva mandibula daripada gingival maksila Karena anggapan bahwa mengunyah sirih mempunnyai banyak kegunaan, maka penulis mencoba untuk meneliti perilaku menyirih dan dampaknya terhadap kesehatan yang dirasakan pada wanita Karo.