Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

TOKSISITAS FLUORIDA TERHADAP LINGKUNGAN DAN MANUSIA

Pengampu : Azham Umar Abidin, S.K.M., M.P.H.

Disusun Oleh : Kelompok 7

M. Jauhari Hamidil Jalaly (16513015)

Vian Abma (15513165)

Fhanny Nastitie Dewi (16513052)

Hafidh Rahmatiyas (16513114)

M Rifqi Hidayat (16513146)

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

TEKNIK LINGKUNGAN FTSP UII

YOGYAKARTA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fluorida (F) adalah element zat kimia alami yang tersedia di alam melimpah ruah dan
merupakan suatu racun enviromental penting yang berasal dari sumber alami dan industri.
Salah satu sumber utama fluorida ada pada air minum, sumber lainnya didapatkan pada
makanan, produk dental seperti pasta gigi dan obat kumur, serta debu dan asap fluorida dari
industri yang menggunakan fluorida baik dalam bentuk garam maupun asam hydrofluoric.
Toksisitas fluorida pada keadaan akut dapat menyebabkan mual, muntah, diare, asidosis,
dan aritmia, sedangkan toksisitas fluorida pada tahap kronik berlangsung secara lambat dan
dapat dibagi menjadi 3 tipe : fluorosis skeletal (deformitas tulang, kompresi spinal, dan
keterbatasan gerak sendi), fluorosis gigi, dan fluorisis non-skeletal yang menyerang semua
jaringan lunak seperti otak, otot, hepar, ginjal, testis, ovum, dan lain-lain.5 Fluorida berdifusi
ke dalam membrane sel, masuk ke jaringan lunak dan menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak tersebut.
Hepar merupakan organ penting di dalam organ tubuh yang berfungi sebagai detoksifikasi
berbagai zat yang masuk ke dalam tubuh. Apabila bahanbahan toksik dalam parenkim hepar
menumpuk, maka lama kelamaan sel hepatosit akan rusak, fungsi hepar terganggu, dan dapat
menimbulkan kelainan klinis. Perubahan histologi yang terjadi tergantung pada dosis zat, jenis
zat, penyakit lain, lama paparan, dan daya tahan host.
Senyawa fluorida diserap di lambung dan usus, didistribusikan melalui plasma ke jaringan
dan dikeluarkan mealui urin, keringat, dan feses. Konsentrasi tinggi dalam urin mendukung
diagnosis klinis fluorosis (Nayak et al., 2009). Banyak studi yang menunjukkan akumulasi
fluorida di berbagai jaringan tubuh dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Zang et al., 2008;
Sharma et al., 2009). Fluorida telah ditemukan dapat menembus sawar darah otak dan dengan
mudah berakumulasi dalam jaringan otak (Mullenix et al., 1995). Asupan harian natrium
fluorida dalam jangka waktu lama dapat menghasilkan efek neurotoksik (Mullenix et al., 1995;
Paul et al., 1998). Jika konsentrasi mencapai tingkat yang sangat tinggi pada pasien dengan
fluorosis, fluorida menghasilkan efek berbahaya di otak dan kecerdasan pada anak-anak yang
tumbuh di daerah endemik fluoride (Mullenix et al., 1995; Tang et al., 2008). Fluorosis kronis
tampaknya memiliki peran dalam Alzheimer's Disease (AD), karena penyakit ini lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah yang terkontaminasi tinggi fluorida (Nordberg,
2001).
Fluorida memiliki efek pada sintesis protein di otak, menyebabkan perubahan degeneratif
dan hilangnya neuron di berbagai tingkat grey matter dan perubahan sel-sel Purkinje di cortex
cerebelli. Selain itu fluorida juga menyebabkan pembengkakan mitokondria, retikulum
endoplasma, pengelompokan granular kromatin, kerusakan membran nuklear dan penurunan
jumlah sinapsis, vesikel sinaptik, serta kerusakan pada membran sinaptik, mitokondria dan
mikrotubulus (Li Du et al., 1992; Shivarajashankara et al., 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Karakteristik dan Toksisitas Senyawa Fluorida ?
2. Bagaimana Eksposisi Senyawa Fluorida Melalui Jalur Inhalasi, Oral dan Dermal ?
3. Bagaimana Distribusi Senyawa Flourida di Lingkungan ?
4. Bagaimana Dampak Senyawa Fluorida Terdahap Lingkungan dan Manusia ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Karakteristik dan Toksisitas Senyawa Fluorida
2. Mengetahui Eksposisi Senyawa Fluorida Melalui Jalur Inhalasi, Oral dan Dermal
3. Mengetahui Distribusi Senyawa Flourida di Lingkungan
4. Mengetahui Dampak Senyawa Fluorida Terdahap Lingkungan dan Manusia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Fluorida


Fluor terdapat secara meluas, misalnya sebagai fluorspar, CaF2 , Na3AlF6, fluorapatit,
3Ca3(PO4)Ca(F,Cl)2 , ia lebih melimpah dari klor. Fluor semula diisolasi oleh Moissan dalam
tahun 1886. Gas yang kehijauan diperoleh melalui elektrolisis lelehan fluorida(Cotton F.A.,
1989). Kelarutan fluoride dari logam alkali yang umum dari perak, merkurium, aluminium,
dan nikel, mudah larut dalam air, sedang fluoride dari timbal, tembaga, besi (III), barium, dan
litium larut sedikit, dan fluoride dari logam alkali tanah yang lainnya tidak larut dalam air.
Pada suhu kamar gas hidrogen fluorida hamper sempurna mengalami dimerisasi, maka
rumusnya yang telah ditulis sebagai H2F2. Pada suhu yang tinggi (misalnya 90ºC), gas ini
berdisosiasi sempurna menjadi hidrogen fluorida monomer: H2F2 2HF Hasil yang sama
dicapai lebih cepat dengan mencampurkan fluorida padat dengan Silika yang sama volumenya
(bulk), membuatnya menjadi pasta dengan asam sulfat pekat dan memanaskannya dengan
perlahan-lahan.
Dengan kereaktifannya gas ini juga disebut sebagai agen pengoksidasi dari hampir
semua element. Fakta Reaksi yang ekstrim dari fluorida adalah reasksi dengan kaca, keramik
dan hampir seluruhnya logam. Reaksi fluoride dengan air menurut persamaan: Universitas
Sumatera Utara 5 2H2O(l) + 2F2(g) 4HF(g) + O2(g) (University Science Book). Dengan
membandingkan tabel potensi reduksi standar kita lihat bahwa reduksi F2(g) menjadi Fˉ(aq)
cenderung terjadi pada semua setengah reaksi reduksi. Sebaliknya, Oksidasi Fˉ(aq) menjadi
F2(g) mempunyai kecenderungan kecil untuk terjadi pada semua kemungkinan setengah reaksi
reduksi yang dapat digabungkan dengan setengah reaksi oksidasi menjadi F2(g) melalui cara
kimia dan mengapa metode elektrolisis diperlukan untuk membuat unsur bebas dari sumber
alamnya.
Fluorin adalah yang paling reaktif dan paling elektronegatif dari semua unsur. Fluorin
adalah gas kuning pucat, diatomik, sangat korosif, mudah terbakar, dengan bau yang
menyengat. Fluorin adalah halogen paling ringan. Unsur ini bereaksi keras dengan air untuk
menghasilkan oksigen dan asam hidrofluorik yang sangat korosif.
2.2 Toksisitas Fluorida
Fluorida adalah salah satu senyawa kimia yang terbukti dapat menyebabkan efek
terhadap kesehatan melalui air minum. Fluorida memiliki efek yang bermanfaat terhadap
pencegahan karies gigi pada konsentrasi tertentu,namun pada keterpaparan yang berlebihan
dapat meningkatkan terjadinya efek yang tidak diinginkan. Efek buruk tersebut dapat
bervariasi dari fluorosis gigi ringan (keadaan dimana gigi menjadi kekuningan atau kecoklatan
dan terdapat bintik-bintik pada enamel gigi) hingga fluorosis skeletal seiring dengan
meningkatnya kadar dan lamanya paparan. Oleh karena itu, asupan fluoride haruslah dibatasi
agar dapat mencegah karies namun tidak menimbulkan terjadinya fluorosis.
Fluor (fluorine) adalah gas halogen beracun univalen, berwarna kuning-hijau pucat,
dan merupakan unsur paling reaktif serta memiliki elektronegativitas paling tinggi. Fluor
mudah membentuk senyawa dengan hampir semua unsur lainnya, bahkan dengan gas mulia
seperti kripton, xenon, dan radon. Saking reaktifnya, kaca, logam, dan bahkan air, serta zat lain
akan terbakar dan menyala terang saat direaksikan dengan gas fluor. Dalam larutan, fluor
biasanya terjadi sebagai ion fluorida F-. Fluorida adalah senyawa yang terjadi antara fluorida
dengan unsur lain bermuatan positif. Produksi fluor tahunan dunia berkisar 4 juta ton.
Penghasil fluorit utama dunia diantaranya adalah Cina, Meksiko dan Eropa Barat. Fluor terjadi
secara alami di kerak bumi dan dapat ditemukan dalam batuan, batu bara, dan tanah liat. Fluor
adalah unsur ke-13 paling berlimpah di kerak bumi dengan konsentrasi 950 ppm. Tanah
mengandung kira-kira 330 ppm fluor. Sedangkan tanah yang terkontaminasi bisa mengandung
fluor hingga 3500 ppm. Fluorida hidrogen lazim dilepaskan ke udara melalui proses
pembakaran dalam industri. Fluorida yang berada di udara pada akhirnya akan turun ke tanah
atau ke air.
Fluorida sering ditambahkan pada pasta gigi untuk mencegah gigi berlubang.
Gejala awal keracunan fluorida termasuk gangguan pencernaan, mual, muntah, dan sakit
kepala. Dosis minimal yang dapat menghasilkan gejala ini diperkirakan 0.1 sampai 0.3 mg /
kg fluorida (yaitu, 0.1 sampai 0.3 miligram fluoride untuk setiap kilogram berat badan)
The American Dental Association (ADA) mengatakan bahwa masyarakat yang
tinggal di daerah dengan suplai air nonfluoridasi (<0,3 mg F/l) dianjurlan untuk mengkonsumsi
suplemen fluoride. Anak berusia 0-2 tahun dianjurkan untuk mengkonsumsi 0,5 mgF/hari dan
1/0 mg F/l untuk anak berusia 3-13 tahun.
Dosis toxic fluoride untuk dewasa adalah 32-64 mg/kkBB dan 5 mg/kgBB untuk
anak anak. Fluoride pada konsentrasi tinggi mengiritasi sangat kuat dan memberikan beberapa
efek seperti mual, muntak, nyeri perut, diare, lemah, letih, koma, konvulsi, cardiac arrest dan
kematian. Kematian akibat toksisitas akut biasanya dihubungkan dengan keracunan enzim dan
kegagalan system transport
Paparan fluorida dalam jangka panjang dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Fluorosis skeletal Fluorida biasanya digunakan sebagai treatment osteoporosis.
Penggunaannya dapat meningkatkan kepadatan trabekula tulang, deformitas tulang,
kompresi spinal, dan keterbatasan gerak sendi, selain itu penggunaan fluorida jangka
panjang juga dapat menyebabkan defisiensi kalsium dan mengganggu stimulasi
pertumbuhan tulang, oleh karena itu penggunaan fluorida jangka panjang harus
dikombinasikan dengan pemberian kalsium dan terkadang juga vitamin D untuk
mencegah defisiensi.
2. Fluorosis gigi Fluorida memberi efek yang menguntungkan untuk kesehatan gigi.
Fluorida yang terdapat pada saliva maupun menempel pada plak gigi menghambat
proses demineralisasi dan mempromotori proses remineralisasi pada permukaan gigi.
Sehingga mencegah plak gigi berubah menjadi karies gigi. Kelebihan jumlah fluorida
juga dapat berdampak buruk pada gigi. Fluoridaosis gigi biasanya lebih sering terjadi
pada anak-anak usia 6-8 tahun. Ditandai dengan terjadinya hipoplasia atau
hipomineralisasi pada enamel dan dentin gigi. Fluoridasis ringan biasanya terdapat
bercak putih kecil pada enamel gigi, sedangkan pada kasus yang parah, bercak-bercak
putih hampir di seluruh permukaan gigi.
3. Fluorosis non-skeletal Fluorida selain menyerang tulang dan gigi, fluorida juga
menyerang semua jaringan lunak seperti otak, otot, hepar, ginjal, testis, ovum, dan lain-
lain. Fluorida berdifusi ke dalam membran sel, masuk ke jaringan lunak dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak tersebut.

2.3 Fase Eksposisi


Dalam fase eksposisi terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau dengan
lain kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit
(dermal), oral, dan saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke
dalam tubuh organisme (injeksi). Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotika,
maka, kecuali senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotika
tersebut telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotika yang terlarut,
terdistribusi molekular, yang dapat diabsorpsi. Dalam hal ini akan terjadi pelepasan
xenobiotika dari bentuk farmaseutikanya.
Disamping bentuk farmaseutika yang berpengaruh jelas terhadap absorpsi dan
demikian pula tingkat toksisitas, sifat fisiko-kimia dari xenobiotika (seperti bentuk dan ukuran
kristal, kelarutan dalam air atau lemak, konstanta disosiasi) tidak boleh diabaikan dalam hal
ini. Laju absorpsi suatu xenobiotika ditentukan juga oleh sifat membran biologi dan aliran
kapiler darah tempat kontak. Suatu xenobiotika, agar dapat diserap/diabsorpsi di tempat
kontak, maka harus melewati membran sel di tempat kontak. Jalur utama bagi penyerapan
xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Namun pada keracunan aksidential,
atau penelitian toksikologi, paparan xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti
injeksi intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.

2.3.1 Eksposisi Melalui Kulit (Dermal)


Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap manusia atau
hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik, produk rumah tangga, obat
topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah pemejanan
sengaja atau tidak sengaja pada kulit. Kulit terdiri atas epidermis (bagian paling luar)
dan dermis, yang terletak di atas jaringan subkutan. Tebal lapisan epidermis adalah relatif
tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm, sedangkan dermis sekitar 2 mm. Dua lapisan ini
dipisahkan oleh suatu membran basal .
Lapisan epidermis terdiri atas lapisan sel basal (stratum germinativum), yang
memberikan sel baru bagi lapisan yang lebih luar. Sel baru ini menjadi sel duri (stratum
spinosum) dan, natinya menjadi sel granuler (stratum granulosum). Selain itu sel ini juga
menghasilkan keratohidrin yang nantinya menjadi keratin dalam stratum corneum
terluar, yakni lapisan tanduk. Epidermis juga mengandung melanosit yang mengasilkan
pigmen dan juga sel langerhans yang bertindak sebagai makrofag dan limfosit. Dua sel
ini belakangan diketahui yang terlibat dalam berbagai respon imun.
Dermis terutama terdiri atas kolagen dan elastin yang merupakan struktur penting
untuk mengokong kulit. Dalam lapisan ini ada beberapa jenis sel, yang paling banyak
adalah fibroblast, yang terlibat dalam biosintesis protein berserat, dan zat-zat dasar,
misalnya asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan mukopolisakarida. Disamping sel-sel
tersebut, terdapat juga sel lainnya antara lain sel lemak, makrofag, histosit, dan mastosit.
Di bawah dermis terdapat jaringan subkutan. Selain itu, ada beberapa struktur lain
misalnya folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar sebasea, kapiler pembuluh darah dan
unsur syaraf. Pejanan kulit terhadap tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka),
namun tidak jarang tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem
sistemik.

2.3.2 Eksposisi Melalui Saluran Pencerernaan (Oral)


Pemejanan tokson melalui saluran cerna dapat terjadi bersama makanan, minuman,
atau secara sendiri baik sebagai obat maupun zat kimia murni. Pada jalur ini mungkin
tokson terserap dari rongga mulut (sub lingual), dari lambung sampai usus halus, atau
eksposisi tokson dengan sengaja melalui jalur rektal. Kecuali zat yang bersifat basa atau
asam kuat , atau zat yang dapat merangsang mukosa, pada umumnya tidak akan
memberikan efek toksik kalau tidak diserap.
Cairan getah lambung bersifat sangat asam, sehingga senyawa asam-asam lemah
akan berada dalam bentuk non-ion yang lebih mudah larut dalam lipid dan mudah
terdifusi, sehingga senyawa-senyawa tersebut akan mudah terserap di dalam lambung.
Berbeda dengan senyawa basa lemah, pada cairan getah lambung akan terionkan oleh
sebab itu akan lebih mudah larut dalam cairan lambung. Senyawa basa lemah, karena
cairan usus yang bersifat basa, akan berada dalam bentuk non-ioniknya, sehingga
senyawa basa lemah akan lebih mudah terserap melalui usus ketimbang lambung. Pada
umumnya tokson melintasi membran saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan
difusi pasif, yaitu transpor dengan perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya.
Namun disamping difusi pasif, juga dalam usus, terdapat juga transpor aktif, seperti
tranpor yang tervasilitasi dengan zat pembawa (carrier), atau pinositosis.
2.3.3 Eksposisi Melalui Jalur Inhalasi
Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui penghirupan
xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada dalam bentuk gas, uap,
butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang berbeda-beda. Disamping itu perlu
diingat, bahwa saluran pernafasan merupakan sistem yang komplek, yang secara alami
dapat menseleksi partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab itu ambilan dan efek toksik
dari tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada sifat toksisitasnya tetapi juga pada
sifat fisiknya. Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus, serta
acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan alveoli.
Nasofaring berfungsi membuang partikel besar dari udara yang dihirup, menambahkan
uap air, dan mengatur suhu.
Umumnya partikel besar ( > 10 µm) tidak memasuki saluran pernapasan, kalau
masuk akan diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan
berbangkis. Saluran trakea dan bronkus berfungsi sebagai saluran udara yang menuju
alveoli. Trakea dan bronki dibatasi oleh epiel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir
yang disekresi dari sel tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan
ini dapat mendorong naik partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut.
Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang dari saluran pernafasan
dengan diludahkan atau ditelan.
Namun, butiran cairan dan partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi
dan fagositosis. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem
limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-partikel
yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah. Alveoli merupakan
tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotika yang berbentuk gas, seperti carbon
monoksida, oksida nitrogen, belerang dioksida atau uap cairan, seperti bensen dan
karbontetraklorida. Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya permukaan
alveoli, cepatnya aliran darah, dan dekatnya darah dengan udara alveoli. Laju absorpsi
bergantung pada daya larut gas dalam darah. Semakin mudah larut akan semakin cepat
diabsorpsi.

2.4 Distribusi Flourida Terhadap Organ Target Manusia


Sebagian besar fluoride di dalam tubuh manusia diabsorbsi melalui traktus
gastrointestinal secara difusi pasif, setelah fluorida masuk ke dalam tubuh fluorida
akan dengan cepat diserap oleh mukosa dan hanya dalam beberapa menit terjadi peningkatan
konsentrasi fluorida di dalam plasma. Fluorida setalah masuk ke dalam plasma secara cepat
didistribusikan ke dalam cairan extracelluler maupun intracelluler di seluruh tubuh, baik ke
jaringan lunak seperti jantung, paru-paru, ginjal, jariingan adiposa, hepar dan lain-lain, namun
fluorida tersimpan paling banyak pada organ yang mengalami kalsifikasi seperti tulang dan
gigi. Ekskresi fluorida dari dalam tubuh terjadi melalui beberapa jalur:
a) Ekskresi melalui traktus urinarius
Banyak sedikitnya fluorida yang direabsorbsi kembali oleh tubulus ginjal tergantung
dari pH cairan di tubulus, aliran yang masuk, dan fungsi ginjal itu sendiri. Ekskresi
fluorida menurun pada orang yang mengalami gagal ginjal.
b) Ekskresi melalu ASI
Sebagian kecil fluorida dari dalam plasma berdifusi ke dalam kelenjar mamae,
sehingga ASI yang dihasilkan juga mengandung fluorida.
c) Ekskresi melalu feses, keringat, dan saliva
Fluorida yang tidak diserap oleh intestinum dikeluarkan oleh tubuh Bersama feses.
Kandungan fluorida di dalam feses biasanya mencapi 10% dari jumlah fluorida yang
dikonsumsi setiap harinya. Selain itu fluorida juga dikeluarkan bersama cairan tubuh
lainnya seperti keringat dan air liur. Jumlah yang dikeluarkan bergantung dari jumlah
cairan tubuh yang keluar.

Gambar 2.1 Mekanisme distribusi flourida pada tubuh manusia


2.5 Dampak Flourida Terhadap Kesehatan dan Lingkungan
2.5.1 Dampak terhadap kesehatan
Fluorida pada konsentrasi tinggi mengiritasi sangat kuat dan memberikan beberapa
efek seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, lemah, letih, koma, konvulsi, cardiac arrest
dan kematian. Kematian akibat toksisitas akut biasanya dihubungkan dengan keracunan
enzim dan kegagalan sistem transpor.
a) Sistem saraf
Sebuah penelitian di Cina menyatakan adanya penurunan IQ pada anak-anak yang
meminum air dengan kandungan fluoride 2,5-4 mg/L.
b) Sistem hormone
Konsumsi berlebihan dari fluoride juga bisa menyebabkan penurunan hormon
tiroid, peningkatan hormon paratiroid dan kalsitonin, dan mengganggu toleransi
glukosa.
c) Sistem reproduksi
Penelitian pada hewan menyimpulkan bahwa fluoride dalam kadar yang sangat
tinggi dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan sistem reproduksi, namun efek
pada manusia masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
d) Organ lain
Penelitian pada hewan menyimpulkan bahwa fluoride yang lebih banyak dari
4mg/L menyebabkan iritasi organ pencernaan, merusak hati dan ginjal. Sedangkan
pada manusia, kadar fluoride yang tinggi tidak dianjurkan pada penderita penyakit
ginjal.
Paparan fluorida dalam jangka panjang dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Flourida
Fluorida biasanya digunakan sebagai treatment osteoporosis.
Penggunaannya dapat meningkatkan kepadatan trabekula tulang, deformitas
tulang, kompresi spinal, dan keterbatasan gerak sendi, selain itu penggunaan
fluorida jangka panjang juga dapat menyebabkan defisiensi kalsium dan
mengganggu stimulasi pertumbuhan tulang, oleh karena itu penggunaan fluorida
jangka panjang harus dikombinasikan dengan pemberian kalsium dan terkadang
juga vitamin D untuk mencegah defisiensi.
2. Flourida Gigi
Fluorida memberi efek yang menguntungkan untuk kesehatan gigi. Fluorida
yang terdapat pada saliva maupun menempel pada plak gigi menghambat proses
demineralisasi dan mempromotori proses remineralisasi pada permukaan gigi.
Sehingga mencegah plak gigi berubah menjadi karies gigi.
Kelebihan jumlah fluorida juga dapat berdampak buruk pada gigi.
Fluoridaosis gigi biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6-8 tahun.
Ditandai dengan terjadinya hipoplasia atau hipomineralisasi pada enamel dan
dentin gigi. Fluoridasis ringan biasanya terdapat bercak putih kecil pada enamel
gigi, sedangkan pada kasus yang parah, bercak-bercak putih hampir di seluruh
permukaan gigi.
3. Flourida non-Sketal
Fluorida selain menyerang tulang dan gigi, fluorida juga menyerang semua
jaringan lunak seperti otak, otot, hepar, ginjal, testis, ovum, dan lain-lain. Fluorida
berdifusi ke dalam membran sel, masuk ke jaringan lunak dan menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak tersebut.
2.5.2 Dampak Terhadap Lingkungan
1. Udara
Dampak florida terhadap udara dalah menyebabkan udara menjadi
tercermar yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia seperti batuk,
sesak nafas, edma paru dan lainnya.
2. Tanah
Ketika fluor dari udara berakhir di air itu akan menetap menjadi sedimen.
Ketika itu berakhir di tanah, fluor akan menjadi sangat melekat pada partikel
tanah. Dalam lingkungan fluor tidak dapat dimusnahkan; hanya dapat mengubah
bentuk. Fluor yang terletak di tanah dapat terakumulasi dalam tanaman. Jumlah
penyerapan oleh tanaman tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah dan
jumlah dan jenis fluor ditemukan di dalam tanah. Dengan tanaman yang sensitif
untuk paparan fluor bahkan konsentrasi rendah fluor dapat menyebabkan
kerusakan cuti dan penurunan pertumbuhan.Terlalu banyak fluoride, wheater
diambil dalam bentuk tanah oleh akar, atau asdorbed dari atmosfer oleh daun,
menghambat pertumbuhan tanaman dan mengurangi hasil panen. Mereka lebih
dipengaruhi adalah jagung dan aprikot.
Hewan yang memakan tumbuhan yang mengandung fluor dapat
terakumulasi dalam tubuh mereka dalam jumlah besar fluor. Fluor terutama
terakumulasi dalam tulang. Akibatnya, hewan yang terkena konsentrasi tinggi
fluor menderita kerusakan gigi dan degradasi tulang. Terlalu banyak fluor juga
dapat menyebabkan penyerapan makanan dari perut yang menurun dan dapat
mengganggu perkembangan cakar. Akhirnya, hal ini dapat menyebabkan
kelahiran bobot rendah.
3. Air
Kandungan flourida yang berlebih di dalam air dapat berpengaruh terhadap
kehidupan biota laut yang ada di dalam air, apabila biota yang ada di dalam air
sudah mengandung flourida dan akan dikonsumsi oleh manusia maka akan
mengganggu kesehatan pada manusia seperti yang sudah dijelaskan di atas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fluorin adalah yang paling reaktif dan paling elektronegatif dari semua unsur.
Fluorin adalah gas kuning pucat, diatomik, sangat korosif, mudah terbakar, dengan bau
yang menyengat. Fluorin adalah halogen paling ringan. Unsur ini bereaksi keras dengan
air untuk menghasilkan oksigen dan asam hidrofluorik yang sangat korosif.Klorida dapat
masuk kedalam organ tubuh manusia melalui 3 jalur yakni inhalasi, oral, dan dermal.
Faktor terbesar masuknya klorida yakni melalui distribusi pasif yang terjadi pada organ-
organ tubuh.
Fluorida pada konsentrasi tinggi mengiritasi sangat kuat dan memberikan beberapa
efek seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, lemah, letih, koma, konvulsi, cardiac arrest
dan kematian. Kematian akibat toksisitas akut biasanya dihubungkan dengan keracunan
enzim dan kegagalan sistem transpor.
DAFTAR PUSTAKA

Cotton, F.A. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta : UI-Press.

Fawell J, Bailey K, Chilton J, Dahi E, Fewtrell L, Magara Y. 2006. Fluoride in Drinking


Water. London: Iwa Publishing. (Published on behalfof the WHO)

Magdarina D, dkk. 2005. Fluor dan Kesehatan Gigi. Media Litbang kesehatan

Petrucci, R. H. 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Edisi Keempat. Jilid 3.
Jakarta : Erlangga

Svehla, G. 1979. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Edisi
kelima. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.

Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro


fischer, kathrin. Fluor Protector S.

Sarebni, I. S. (2014). Pengaruh Paparan Fluorida Oral Dalam Pasta Gisi. Jurnal Media
Medika Muda, 1-17.

Yaswir dan Ferawati. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium, dan
Klorida Serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas (1).
Halaman: 81-84.

Sumber Lain :

Brindha, K. and Elango, L. Fluoride in Groundwater: Causes, Implications and Mitigation


Measures. In: Monroy, S.D. (Ed.), Fluoride Properties, Applications and
Environmental Management, 111-136.2011 [2013 November 2009]. Available
formURL:https://www.novapublishers.com/catalog/product_info.php?products_i
d=1589 5

Anda mungkin juga menyukai