Anda di halaman 1dari 48

17

BAB II
STRES AKADEMIK DAN STRATEGI PENGELOLAANNYA
TERHADAP SISWA SMP PROGRAM AKSELERASI DAN KELAS
REGULER

A. Karakteristik Siswa SMP

Kanopka (Yusuf, 2009: 9) menyatakan bahwa masa remaja adalah segmen

kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa dan merupakan masa

transisi (dari masa anak-anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada

perkembangan masa dewasa yang sehat.

Secara jelas Kanopka (Yusuf, 2009: 10) membagi fase remaja meliputi:

a. Remaja awal (12-15 Tahun)

b. Remaja Madya (15-18 tahun)

c. Remaja Akhir (19-22 tahun)

Berdasarkan konsep perkembangan bila dilihat dari klasifikasi tersebut,

maka siswa SMP berada pada usia remaja awal, yakni secara kronologis individu

yang memasuki masa remaja awal berkisar 12-15 tahun. Pada masa ini individu

mulai merasakan berbagai perubahan dalam dirinya baik dalam aspek psikis,

sosial, mental, dan intelektual.

Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang

banyak dipengaruhi oleh faktor emosi. Menuju kedewasaan, remaja akan

menghadapi permasalahan yang semakin kompleks. Permasalahan tidak akan

terselesaikan tanpa penyelesaian yang baik. Remaja yang mempunyai emosi labil

seringkali mengambil keputusan tanpa banyak berpikir akibatnya. Kematangan


18

emosi yang baik pada remaja sangat mempengaruhi proses pemecahan masalah

yang baik pula.

Sedangkan Menurut Beiler, remaja pada usia 12-15 tahun memiliki ciri-ciri

emosional sebagai berikut :

1. Cenderung bersikap murung. Sebagian kemurungan disebabkan perubahan

biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagian lagi

karena kebingungan dalam menghadapi orang dewasa.

2. Ada kalanya berperilaku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa

percaya diri.

3. Ledakan-ledakan kemarahan sering terjadi akibat kombinasi ketegangan

psikologis, ketidakstabilan biologis dan kelelahan karena bekerja terlalu

keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yag tidak cukup.

4. Cenderung berperilaku tidak toleran terhadap oranglain dengan

membenarkan pendapatnya sendiri.

5. Mengamati orangtua dan guru secara lebih objektif dan mungkin marah

apabila tertipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (sok tahu).

Perilaku dan sikap siswa SMP dipengaruhi oleh perubahan masa puber,

perubahan itu diantaranya adalah emosi yang meninggi yang ditunjukkan dengan

sikap kemurungan, merajuk, ledakan amarah dan kecenderungan untuk menangis

karena hasutan yang sangat kecil merupakan ciri-ciri bagian dari masa puber.

Pada masa ini anak cenderung merasa khawatir, gelisah dan cepat marah

(Hurlock, 1997: 192).


19

Sejumlah penelitian tentang emosi menunjukkan bahwa perkembangan

emosi remaja sangat dipengaruhi oleh faktor belajar (Hurlock, 1997: 266).

Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi

perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan

berpikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan

menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan untuk

mengingat dan menghapal sangat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan

demikian, remaja menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak

mepengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.

Pada umumnya remaja awal sering mengeluh tentang sekolah dan bersikap

kritis terhadap guru-guru serta cara mengajarnya. Ada tiga macam remaja yang

tidak berminat pada pendidikan dan biasanya membenci sekolah yaitu :

1. Remaja yang orang tuanya memiliki cita-cita tinggi yang tidak realistis

terhadap prestasi akademik atau prestasi sosial yang terus menerus

mendesak untuk mencapai sasaran yang di kehendaki.

2. Remaja yang kurang di terima oleh teman-teman sekelas ,yang merasa tidak

mengalami kegembiraan dengan teman -temannya .

3. Remaja yang matang lebih awal yang merasa fisiknya jauh lebih besar di

bandingkan dengan teman-teman sekelasnya dan karena penampilannya

lebih tua dari usia yang sesungguhnya. (Hurlock,1980:220).


20

Adapun karakteristik siswa SMP secara umum menurut Ali (2005: 16-18)

adalah sebagai berikut :

1. Kegelisahan

Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja memiliki banyak idealisme

atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan.Namun, sesungguhnya

remaja belum memilki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan

semua itu seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar di

bandingkan kemampuannya

2. Pertentangan

Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada

situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan

belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umumnya remaja sering

mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara

mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu menimbulkan

keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua kemudian ditentangnya

sendiri karena di dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa

aman. Remaja sesungguhnya belum begitu berani mengambil resiko dari

tindakan meninggalkan lingkungan keluarganya yang jelas aman bagi dirinya.

3. Mengkhayal

Keinginan untuk menjelajah dan berpetualang tidak semuanya

tersalurkan. Biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya. Sebab,

menjelajah lingkungan sekitar yang lebih luas membutuhkan biaya yang

banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian


21

orang tuanya. Akibatnya mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan

menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra

biasanya berkisar soal prestasi dan jenjang karier sadang remaja putri lebih

mengkhayalkan romantika kehidupan. Khayalan itu tidak selamanya negatif

karena khayalan ini kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang bersifat

konstruktif, misalnya timbul ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.

4. Aktivitas Berkelompok

Berbagai macam keinginan remaja seringkali tidak dapat dipenuhi karena

bermacam-macam kendala. Adanya bermacam-macam larangan orangtua

seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan semangat remaja.

Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah

berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan aktivitas bersama. Mereka

melakukan kegiatan secara berkelompk sehingga berbagai kendala dapat

diatasi bersama-sama.

5. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu

Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi.

Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin

berpetualang menjelajah segala sesuatu dan mencoba hal-hal yang belum

pernah dialaminya.
22

Selain karakteristik tersebut, siswa SMP sebagai remaja juga dipengaruhi

oleh dimensi perkembangan remaja sebagai berikut:

1. Dimensi Biologis/Fisik.

Dimana terjadi perubahan bentuk fisik tubuh yang semakin tumbuh dan

berkembang baik bagi remaja putri maupun putera yang disebut sebagai masa

pubertas. Selain itu terjadi kematangan sistem reproduksi ditandai dengan

perubahan suara pada laki-laki, menstruasi pada wanita.

2. Dimensi Kognitif

Dalam pandangan Jean Piaget dalam Makmun (2000), perkembangan

kognitif remaja merupakan “periode terakhir dan tertinggi dalam tahap

pertumbuhan operasi formal (period of formal operational)”. Pada periode ini,

idealnya para remaja susah memiliki pola piker sendiri dalam usaha

memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan

berpikir remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah

dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta

kemungkinan akibat atau hasilnya.

3. Dimensi Moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya

mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai

dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Turiel (1978) menyatakan bahwa

“remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-

masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik,

kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb”.


23

4. Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood

(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago

oleh Csikszentmihalyi dan Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata

memerlukan waktu hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar

biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberpa jam

untuk hal yang sama.

5. Dimensi Emosional

Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal adalah perubahan

dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan

hormonal, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan

badaniah tersebut. Keterbatasannya secara kognitif mengolah perubahan-

perubahan baru tersebut dapat membawa pengaruh besar dalam fluktuasi

emosinya. Dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh sosial yang juga

senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat

pada jenis kelamin lain. Remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual.

6. Dimensi Bahasa

Karakteristik perkembangan bahasa remaja telah mencapai kompetensi

lengkap. Pada usia ini, diharapkan individu telah mempelajari semua sarana

bahasa dan keterampilan-keterampilan performansi untuk memahami dan

menghasilkan bahasa tertentu dengan baik.


24

Menurut Nurihsan (2005: 1-2), tugas-tugas perkembangan siswa SMP

adalah sebagai berikut:

1. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap

perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri untuk kehidupan yang

sehat.

3. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam

peranannya sebagai pria dan wanita.

4. Memantapkan nilai dan cara bertingkahlaku yang dapat diterima dalam

kehidupan sosial yang lebih luas

5. Mengenal kemampuan bakat, minat dan arah kecenderungan karir dan

apresiasi seni.

6. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan

kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau

mempersiapkan karir serta berperan dalam masyarakat.

7. Mengenal gambaran dan mengembangkan sikap tentang hidup mandiri

secara emosional, sosial, dan ekonomi.

8. Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi,

anggota masyarakat dan minat manusia.


25

B. Program Akselerasi

1. Definisi Program Akselerasi

Program akselerasi adalah suatu sistem pendidikan yang dikembangkan oleh

Departemen Pendidikan Nasional dengan mempersingkat atau mempercepat masa

studi. Pada program sekolah dasar yang seharusnya 6 tahun menjadi 5 tahun dan

pada sekolah lanjutan yang seharusnya 3 tahun menjadi 2 tahun. Depdiknas

menyatakan bahwa kemampuan setiap siswa tidaklah sama sehingga para siswa

yang memiliki perkembangan kecerdasan lebih tinggi dari yang lain diberikan

suatu media untuk mendidik mereka secara khusus sesuai dengan potensi yang

dimilikinya (depdiknas: 2004, www.dikdasen,depdiknas.go.id).

Colangelo (Hawadi, 2006: 5-6) mengartikan istilah akselerasi menjadi dua,

yaitu sebagai model pelayanan dan sebagai model kurikulum.

Sebagai model pelayanan, aklselerasi diartikan sebagai meloncat


kelas, dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas dia di atasnya.
Sedangkan sebgai model kurikulum , akselerasi berarti mempercepat
bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Dalam
hal ini, akselerasi dapat dilakukan dalam kelas reguler, ruang sumber,
ataupun kelas khusus dan bentuk akselerasi yang diambil bisa
telescoping dan siswa dapat menyelesaikan dua tahun atau lebih
kegiatan belajarnya menjadi satu tahun atau lebih kegiatan belajarnya
menjadi satu tahun atau dengan cara self-paced studies, yaitu siswa
mengatur belajarnya sendiri.

Berdasarkan pedoman penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik

cerdas istimewa Departemen Pendidikan Nasional (2009), dijelaskan bahwa

penyelenggaraan akselerasi sebagai pendidikan khusus bagi peserta didik yang

memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa (selanjutnya disingkat menjadi

pendidikan khusus bagi peserta didik CI/BI) di Indonesia menggunakan landasan

hukum sebagai berikut:


26

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional :

1) Pasal 3, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.

2) Pasal 5 ayat 4, yang menjelaskan bahwa “warga negara yang memiliki

potensi kecerdasan dan kemampuan istimewa berhak memperoleh

pendidikan khusus”.

3) Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta

didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

b. UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 52, “ anak yang memiliki

keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh

pendidikan khusus”.

c. PP no. 72/1991, tentang Pendidikan Luar Biasa.

d. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar Nasional

Pendidikan.
27

e. Peraturan Mendiknas nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Mendiknas no. 23 tahun

2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan dasar

dan Menengah.

f. Khusus untuk SMP, aturan mengenai akselerasi diatur dalam PP nomor 29

tahun 1990 yang ditindaklanjuti dengan keputusan Mendikbud Nomor

054/U/1993, pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “siswa yang memiliki

kemampuan istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menyelesaikan

program belajar lbih awal dari waktu yang telah ditentukan, dengan ketentuan

telah mengikuti pendidikan SLTP sekurang-kurangnya dua tahun”.

g. Permendiknas no.34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta didik yang

memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

h. Selain itu, pernyataan mengenai program akselerasi juga tertuang dalam

Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1998, yang menyatakan

bahwa sasaran bidang pembangunan lima tahun ketujuh adalah “memberi

perhatian dan pelayanan khusus bagi peserta didik yang mempunyai

kemampuan dan kecerdasan luar biasa, agar dapat dipacu perkembangan

prestasi dan kemampuannya dengan tidak mengabaikan potensi peserta didik

lainnya”.

Program akselerasi adalah salah satu perwujudan pendidikan yang

ditunjukkan bagi anak-anak cerdas dan berbakat istimewa. Secara praktis,

akselerasi adalah memberikan materi dan tugas-tugas dari kelas yang lebih tinggi
28

kepada siswa yang berada di kelas yang lebih muda (DeLacy, 2000). Misalnya

memberikan tugas-tugas kepada siswa kelas VIII dengan kurikulum yang

biasanya dipakai di kelas IX.

Pengertian akselerasi secara konseptual yang diberikan oleh Pressey (1949)

(dalam Hawadi, 2004) sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program

pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang

konvensional. Sementara itu, Colangelo (1991) dalam (Hawadi, 2006: 5)

menyebutkan bahwa istilah akselerasi mencakup dua model yang menunjuk pada

peleyanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yag disampaikan

(curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi termasuk juga taman

kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas dan mengikuti

pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Kedua, sebagai model kurikulum

akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh

siswa saat itu.

2. Tujuan Akselerasi

Secara umum tujuan dari penyelenggaraan program percepatan belajar

adalah :

a. Memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang memiliki karakteristik

khusus dari aspek kognitif dan afektifnya.

b. Memenuhi hak asasinya selaku peserta didik sesuai dengan kebutuhan

pendidikan dirinya.

c. Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik.


29

d. Menyiapkan peserta didik menjadi pemimpin masa depan. (Dikdasmen-

Depdiknas, 2004: www.dikdasmen,depdiknas.go.id ).

Secara khusus tujuan dari penyelenggaraan akselerasi ini adalah:

a. Menghargai peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar

biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat.

b. Memacu kualitas/mutu siswa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual,

intelektual dan emosional secara berimbang.

c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran peserta didik

(Hawadi, 2004: 21-22).

Program akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan

pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses belajar yang terjadi di

dalam program akselerasi akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat

dan gairah belajarnya. Melalui program akselerasi juga diharapkan siswa akan

memasuki dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh

kesempatan lebih untuk bekerja secara produktif.

3. Model Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar

Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi Peserta

Didik Cerdas Istimewa Departemen Pendidikan Nasional (2009), bahwa

penyelenggaraan program percepatan belajar dapat dibagi menjadi tiga, yakni

sebagai berikut :
30

a. Pelayanan Khusus, yaitu kelas yang memberikan layanan kepada peserta

didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dalam proses

pembelajaran bergabung dengan peserta didik di kelas program reguler.

b. Kelas khusus, yaitu kelas yang dibuat untuk kelompok peserta didik yang

memiliki potensi kecerdasan istimewa dalam satuan pendidikan reguler

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran yang

diberikan pada saat peserta didik CI/BI di kelas khusus adalah mata-

pelajaran yang termasuk dalam rumpun matematika dan ilmu pengetahuan

alam (IPA).

c. Satuan pendidikan khusus, yaitu lembaga pendidikan formal (sekolah) pada

jenjang pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) dan menengah (SMA/MA,

SMK/MAK) yang semua peserta didiknya memiliki potensi kecerdasan

istimewa dan/atau bakat istimewa.

Namun kebijakan pemerintah Tahun Pelajaran 2001/2002 adalah

pendiseminasikan program percepatan belajar yang dititkberatkan pada model

kelas khusus. Akibatnya, peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk masuk

kelas percepatan belajar dikelompokkan dalam satu kelas khusus dengan

penambahan aktivitas pengayaan belajar, seperti studi bahasa asing, studi

lapangan, kompetisi akademis, pelayanan masyarakat, ceramah dengan

mengundang expert di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengundang

tokoh masyarakat setempat. (Hawadi, 2004: 22).


31

4. Manfaat dan Kelemahan Akselerasi

Southern dan Jones (1991) dalam Hawadi (2004:7) menyebutkan beberapa

manfaat dari dijalankannya program akselerasi bagi anak berbakat, antara lain :

a. Meningkatkan efisiensi. Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan

pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar

lebih baik dan lebih efisien.

b. Meningkatkan efektivitas. Siswa yang terkait belajar pada tingkat kelas

yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya

merupakan siswa yang paling efektif.

c. Penghargaan. Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu

sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya.

d. Meningkatkan waktu untuk karier. Dengan adanya pengurangan waktu

belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan dan kehidupan

pribadinya pada waktu yang lain.

e. Membuka siswa pada kelompok barunya. Dengan program akselerasi, siswa

dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki

kemampuan intelektual dan akademis yang sama.

f. Ekonomis. Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak

biaya untuk mendidik guru khusus bagi siswa berkemampuan. Dan bagi

orangtua juga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya pendidikan untuk

anak mereka.
32

Selain mempunyai manfaat, menurut Southern dan Jones (Hawadi, 2004: 8-

11) program akselerasi mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya:

a. Segi Akademik, antara lain:

1) Bahan ajar yang terlalu tinggi, sehingga anak berbakat akademik menjadi

siswa dengan yang sedang-sedang saja diantara kelompoknya bahkan

menjadi siswa akseleran yang gagal.

2) Meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, anak berbakat

akademik kemungkinan imatur secara sosial, fisik dan emosional dalam

tingkatan kelas tertentu.

3) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami

oleh siswa kelas akseleran karena tidak merupakan bagian dari

kurikulum.

4) Bisa jadi kemampuan siswa akseleran yang terlihat melebihi teman

sebayanya hanya bersifat sementara. Dengan bertambah usianya,

kecepatan prestasi siswa menjadi biasa-biasa saja dan sama dengan

teman sebayanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan akselerasi menjadi

tidak perlu lagi dan siswa akseleran lebih baik dilayani dalam kelompok

kelas reguler.

5) Proses akselerasi menyebabkan siswa akseleran terikat pada keputusan

karir lebih dini. Agar siswa dapat berprestasi baik, dibutuhkan pelatihan

yang mahal dan tidak efisien untuk dirinya sebagai pemula. Bisa jadi

kemungkinan buruk yang terjadi adalah karir tersebut tidak sesuai bagi

dirinya.
33

6) Siswa akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luar biasa

tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya (cepat dewasa

sebelum waktunya).

7) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen

sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan

kemampuan berpikir kreatif dan divergen.

b. Segi Penyesuaian Sosial, diantaranya:

1) Siswa didorong untuk berprestasi sehingga kekurangan waktu

beraktivitas dengan teman sebayanya.

2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia

sebenarnya sehingga megalami hambatan dalam bergaul dengan teman

sebayanya.

c. Berkurangnya Kesempatan Kegiatan Ekstrakulikuler.

d. Penyesuaian Emosional, diataranya:

1) Siswa kelas akseleran akan mengalami burnout di bawah tekanan yang

ada dan kemungkinan menjadi underachiever.

2) Mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi.

3) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran kehilangan

kesempatan mengembangkan hobi.

Sisk (1986) dikutip dari (Delisle,1992 dalam Hawadi, 2004 ) menyebutkan

beberapa ciri yang diatribusikan pada diri siswa akseleran, yaitu bosan, fobia

sekolah, dan kekurangan hubungan dengan teman sebaya.


34

5. Karakteristik Siswa Akselerasi

Pada umunya, anak cerdas dan berbakat akademik oleh masyarakat disebut

sebagai anak pandai atau anak unggul. Anak unggul sering disebut sebagai anak

berbakat. Anak berbakat menurut Renzulli (Sholeh, 1988: 11) adalah anak yang

mempunyai kemampuan di atas rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas,

dan mempunyai kreativitas yang sangat tinggi. Istilah anak berbakat (gifted

children) pertama kali digunakan pada tahun 1869 oleh Francis Galton. Galton

merujuk pada seseorang dengan banyak kemampuan di berbagai bidang yang

tidak dimiliki oranglain. Lewis Terman memperluas pendapat Galton dengan

mensyaratkan IQ yang tinggi.

Individu yang masuk kedalam kategori akselerasi adalah individu yang

memiliki kemampuan tinggi dalam segala hal, atau yang sering kita sebut dengan

anak berkemampuan khusus. Keberkemampuan yang mereka miliki bukanlah

sekedar berkemampuan dalam bidang keterampilan saja, tetapi berkemampuan

yang dimaksud adalah berkemampuan dari segi intelekual. Coleman (Lismaniar,

2005: 34) mengungkapkan: “Anak berkemampuan adalah mereka yang tingkat

intelegensinya jauh diatas rata-rata anggota kelompoknya, yaitu sekitar IQ 120

keatas ”.

Sedangkan Marland (Lismainar, 2005:34) mengartikan anak berkemampuan

sebagai: “Anak yang diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi

yang tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul”.


35

Berdasarkan kedua definisi inilah, Pemerintah (Dikdasmen, 2004:

www.dikdasmen,depdiknas.go.id) membatasi karakteristik siswa program

akselerasi pada hal-hal berikut:

“Siswa yang diterima sebagai peserta program akselerasi adalah


siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa sesuai
kriteria yang telah ditetapkan, yakni mempunyai taraf intelegensi
atau IQ di atas 140; mereka yang diidentifikasi oleh psikolog atau
guru sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang
memuaskan, dan memiliki kemampuan intelektual umum yang
berfungsi pada taraf cerdas, dan keterikatan terhadap tugas yag
tergolong baik serta kreativitas yang memadai; dan yang tak kalah
penting adalah adanya persetujuan dari orang tuanya”.

Untuk lebih jelas, berikut ini ciri-ciri siswa berkemampuan cerdas berbakat

di kelas akselerasi menurut Atkinson (Lismainar, 2005: 36) :

a. Keranjingan membaca (cepat m. Berfikir kritis, juga terhadap diri


menyerap dan terbiasa membaca sendiri.
pada usia muda). n. Senang mencoba ha-hal baru.
b. Memahami materi lebih cepat o. Mempunyai daya abstraksi dan
dan lebih banyak. konseptualisasi yang tinggi.
c. Memiliki perbendaharaan kata p. Senang pada pengamatan
yang luas. intelektual dan pemecahan
d. Memiliki rasa ingin tahu yang masalah.
kuat. q. Cepat menangkap hubungan
e. Memiliki minat yang luas, juga sebab-akibat.
terhadap masalah orang dewasa. r. Berperilaku terarah pada
f. Mempunyai inisiatif yang tinggi lingkungan.
dan mampu bekerja sendiri. s. Memiliki daya imaginasi yang
g. Menunjukkan keorsinilan dalam kuat
ungkapan verbal. t. Banyak kegemaran.
h. Memberi jawaban-jawaban yang u. Mempunyai daya ingat yang
baik. kuat.
i. Dapat memberi banyak gagasan. v. Tidak cepat puas dengan
j. Luwes dalam berpikir. prestasinya.
k. Mempunyai pengamatan yang w. Sensitif dan banyak berpikir
tajam. secara intuitif.
l. Dapat berkonsentrasi untuk x. Seantiasa mengingatkan
jangka waktu yang lama kebebasan dalam gerakan dan
terutama terhadap tugas atau tindakannya.
bidang yang diminatinya.
36

Anak cerdas berbakat akademis pada kelas akselerasi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah anak berbakat yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi

serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang akademik berdasarkan

seleksi yang diselenggarakan di sekolah dengan sayarat-syarat yang telah

ditetapkan.

Dalam pedoman penyelenggaraan program akselerasi Depdiknas 2001b,

indikator penentu perekrutan siswa program akselerasi diperoleh dari sumber,

yaitu NEM (nilai hasil UN), Tes kemampuan akademis, dan Rapor. Idealnya

persyaratan nilai calon siswa akselerasi yang diminta untuk nilai rata-rata bidang

studi IPA, Matematika, dan Bahasa di Rapor ataupun Tes Kemampuan Akademis

(TPA), tidak kirang dari 8,0 tanpa adanya nilai 6,0 dalam bidang studi lainnya

(Hawadi, 2003: 45).

Namun, jika calon siswa program akselerasi memiliki kecerdasan umum

dibawah skor IQ 140 (minimal IQ 125) mereka masih perlu mememenuhi

persyaratan tambahan, yaitu kreativitas yang memadai dan pengikatan diri

terhadap tugas yang tergolong baik.

Untuk itu, SMPN 5 Bandung sebagai salah satu sekolah yang

menyelenggarakan program akselerasi bagi siswa berbakat akademik terlebih

dahulu mengadakan tahapan seleksi dengan menetapkan persyaratan tertentu yang

harus dilewati bagi calon siswa kelas akselerasi, yakni sebagai berikut:

a. Penerimaan seluruh siswa baru reguler.

b. Pemeriksaan terhadap nilai UN (nilai bidang studi IPA, Matematika dan

bahasa tidak kurang dari 8,0).


37

c. Pemeriksaan nilai Rapor (nilai bidang studi IPA, Matematika dan bahasa

tidak kurang dari 8,0)

d. Mengadakan Tes Kemampuan Akademis ( nilai tidak kurang dari 8,0 atau

standar nilai sangat baik).

e. Mengadakan tes IQ (IQ 125 keatas atau dikategorikan sangat cerdas).

f. Mewawancarai teman, guru, atau kepala sekolah (ketika di SD) dan

orangtua mengenai calon siswa akselerasi.

g. Mewawancari teman baru calon siswa akselerasi.

h. Mengadakan tes Emotional Quation (EQ)

i. Melaksanakan Comitment Test (skor 0-5)

j. Pengumuman penerimaan siswa untuk kelas akselerasi

k. Mengadakan wawancara kesediaan siswa dan orangtua mengikuti program

akselerasi (jika ada yang tidak bersedia, siswa berhak mengundurkan diri).

6. Identifikasi Permasalahan Siswa Akselerasi

Keberadaan kelas program akselerasi menjadi polemik di dunia pendidikan,

satu sisi menguntungkan bagi siswa yang mempunyai kecerdasan luar biasa.

Disisi lain dapat menimbulkan dampak buruk terutama bagi kondisi pribadi-sosial

siswa. Hal ini disebabkan karena belum ada penanganan dan pembinaan mental,

agar siswa terhindar dari problematika psikologis. Pada kenyataannya, siswa yang

masuk kelas akselerasi seolah-olah menjadi kelompok eksklusif dan ini

menunjukkan adanya kesenjangan antara kelas reguler dengan kelas akselerasi.

Southern dan Jones (Hawadi, 2004: 8-11) menyebutkan ada empat hal yang

berpotensi negatif dalam proses akselerasi bagi anak cerdas istimewa, yaitu: 1)
38

segi akademik; 2) segi penyesuaian sosial; 3) berkurangnya kesempatan

mengikuti kegiatan ekstrakulikuler; dan 4) penyesuaian emosional.

Menurut Mulyawati dan Reni-Hawadi Akbar (Hawadi, 2004: 182-183) anak

berbakat akademik mempunyai beberapa karakteristik yang muncul karena

keberbakatannya tersebut, tetapi bisa menimbulkan masalah baginya seperti

berikut:

a. Anak berbakat akademik mempunyai kemampuan berfikir divergen dan

asosiatif yaitu mempunyai kemampuan untuk melihat dunia dengan cara yang

berbeda dan menemukan hubungan dengan ide-ide yang ada. Pemikir yang

asosiatif terkadang memiliki selera humor yang aneh dan hubungan yang

dibuatnya tidak biasa, serta mengekspresikan persepsi dan pengertiannya

dalam cara yang beragam.

b. Anak berbakat akademik mempunyai perspektif yang kritis baik terhadap diri

sendiri ataupun terhadap oranglain. Pandan gan bahwa mereka hanya dapat

melihat kegagalan saja dapat menyebabkan frustrasi dan keengganan alam

melakukan tugas.

c. Anak berbakat akademik mempunyai perbedaan perspektif waktu dan ruang.

Anak berbakat akademik mempunyai anggapan bahwa keterlambatan

melakukan suatu tugas dapat disebabkan karena memiliki kemampuan untuk

mencapai tujuan yang diinginkannya yang hanya masuk akal bagi dirinya.

d. Anak berbakat akademik memiliki keragaman alternatif yang valid karena

memiliki beberapa keahlian yang dapat menyebabkan kebingungan ketika

harus memilih satu kegiatan atau keahlian ayang akan ditekuninya.


39

e. Anak berbakat akademik cenderung menekuni minatnya dalam waktu yang

lama, sehingga menimbulkan frustrasi bagi staf pengajarnya, sehingga topik

yang diminatinya cenderung diabaikan.

f. Anak berbakat akademik cenderung bertindak antisosial akibat frustrasi akan

kemampuannya yang superior, hal ini terjadi karena kurangnya pekerjaan

yang menantang, penolakan dari teman sebaya dan guru.

Selain itu, menurut Seogoe (dikutip oleh Martinson, 1974) dalam Pedoman

Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Cerdas Istimewa Departemen

Pendidikan Nasional (2009), bahwa ciri-ciri tertentu dari peserta didik yang

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin

mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya:

a. Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan

(skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap oranglain;

b. Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru, bisa

menyebabkan mereka tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas

rutin;

c. Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus pada keinginan

untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya;

d. Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah tersinggung

atau peka terhadap kritik;

e. Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat

kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika

kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung;


40

f. Dengan kemampuan minatnya yang beranekaragam, mereka membutuhkan

keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan

minatnya;

g. Keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta

kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak

mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orangtua,

sekolah, atau teman-temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang

dimengerti oleh lingkungannya.

h. Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang

diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah terbesar siswa

akselerasi adalah adanya tekanan berprestasi yang tinggi sebagai tuntutan

lingkungan yang membuat siswa program akselerasi harus belajar lebih giat lagi

serta lebih mempersiapkan diri. Ini menjadikan beban tersendiri bagi siswa

akselerasi yang dapat berakibat neatif terhadap perkembangan kognitif,

emosional, dan psikologis.

C. Stres Akademik

1. Definisi Stres Akademik

Definisi stres secara terminologi berasal dari bahasa Latin “strictus” yang

berarti ketat atau sempit. Dan menjadi kata kerja “stringere” yang berarti

mengetatkan. Sedangkan menurut kamus psikologi, stres dapat diartikan sebagai

suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2001: 488).
41

Dalam terjemahan lain stres adalah reaksi pikiran, perasaan dan fisik terhadap

sebuah situasi yang nyata maupun dibayangkan (Boenisch dan Haney, 2004: 1)

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah “a particular

relationship between the person and the environment that is apraised by the

person as taxing or exceeding his or her resources and andangering his or her

well-being”. Stres adalah hubungan spesifik antara individu dengan

lingkungannya yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber

dayanya dan membahayakan kesejahteraannya.

Lazarus dan Folkman (1984 : 42) mengatakan kondisi stres terjadi bila

terdapat kesenjangan dan ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan.

Tuntutan adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan konsekuensi

yang tidak menyenangkan.

Lazarus (1984: 2) menggambarkan stres sebagai suatu keadaan

keseimbangan yang terganggu dan orang yang mengalami stres sebagai dibawah

tekanan (under stress) serta mengemukakan bahwa derajat stres dapat diukur.

Safarino (1990: 77) mengemukakan bahwa stres adalah “kondisi yang

disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan

persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber

daya dari sistem-sistem biologis, psikologis dan sosial seseorang”.

Selain definisi konseptual di atas, berikut ini terdapat juga beberapa definisi

atau pengertian stres menurut beberapa ahli yakni sebagai berikut:

a. Menurut Dadang Hawari (1997: 44-45) istilah stres tidak dapat dipisahkan

dari stres akademik dan depresi, karena satu sama lainnya saling terkait.
42

Stres merupakan “reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang

dialaminya; dan apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan

distress. Sedangkan depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stresor

yang dialaminya. Dalam banyak hal manusia akan cukup cepat pulih

kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai

suplai yang baik dan energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi

kembali bilamana perlu.

b. Sementara Baum (Taylor, 2003) mengartikan stres sebagai “pengalaman

emosional yang negatif yang disertai perubahan-perubahan biokimia, fisik,

kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk mengubah peristiwa stres

tersebut untuk mengakomodasi dampak-dampaknya.

c. Menurut Santrock (2003), stres merupakan respon individu terhadap

keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan

mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping).

d. Menurut Hans Selye (1974, 1983), stres sebenarnya adalah kerusakan yang

dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya.

Berapapun kejadian dari lingkungan atau stimulus akan menghasilkan

respon stres yang sama pada tubuh.

e. Pendapat lain, Clonninger (1996) mengemukakan stres adalah keadaan

yang membuat tegang yang terjadi ketika seseorang mendapatkan masalah

atau tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya atau banyak pikiran

yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya.


43

f. Ahli lain, Kedall dan Hammen (1998) menyatakan stres dapat terjadi pada

individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut

dengan perasaan individu atas kemampuannnya untuk bertemu dengan

tuntutan-tuntutan tersebut.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah

“perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan, baik fisik maupun psikis

sebagai respon atau reaksi individu terhadap stresor (stimulus yang berupa

peristiwa, objek, atau orang) yang mengancam, mengganggu, membebani, atau

membahayakan keselamatan, kepentingan, keinginan, atau kesejahteraan hidup

seseorang.

Pada penelitian ini kondisi tertentu sebagai stresor stres dibatasi pada

lingkungan sekolah dengan asumsi sekolah memberikan pengaruh kepada siswa

seiring dengan masa perkembangannya, siswa menghabiskan sebagian waktunya

di sekolah, sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menilai dirinya

dan kemampuannya secara realistik (Yusuf, 2002: 95).

Stres yang terjadi pada situasi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasa

disebut stres akademik. Stres akademik adalah respon siswa yang berupa perilaku,

pikiran, reaksi fisik maupun rekasi emosi yang negatif yang muncul akibat

tuntutan sekolah/akademik.

2. Gejala-gejala Stres Akademik

Menurut Matheny dan Carty (2001: 49-51) menyebutkan gejala stres dapat

dilihat dari ‘...stress response is the casecade physiological, cognitive, and


44

emotional changes that are incited by a stressful experience’ yang berarti respon

stres adalah suatu reaksi perubahan fisik, pikiran, emosi dan perilaku yang

didorong oleh suatu pengalaman stres (tekanan).

Menurut Helmi (Safaria & Saputra, 2009), ada empat macam reaksi stres,

yaitu: reaksi psikologis/psikis, fisiologis, proses berpikir (kognitif), dan tingkah

laku. Keempat macam rekasi ini dalam perwujudannya dapat bersifat positif,

tetapi juga dapat berwujud negatif. Reaksi gejala stres akademik yang bersifat

negatif yaitu sebagai berikut.

a. Reaksi Psikologis, biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi, seperti mudah

marah, sedih, mudah tersinggung, hilang rasa humor, mudah kecewa, gelisah

ketika menghadapi ujian/ulangan, takut menghadapi guru yang galak, panik

ketika banyak tugas.

b. Reaksi fisiologis, biasanya muncul dalam bentuk keluhan fisik, seperti sakit

kepala, sakit lambung (maag), hypertensi (tekanan darah tinggi), sakit jantung

atau jantung berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah lelah, gatal-gatal

di kulit, rambut rontok keluar keringat dingin, kurang selera makan, dan

sering buang air kecil.

c. Reaksi proses berpikir (kognitif), biasanya tampak dalam gejala sulit

berkonsentrasi, mudah lupa, bingung, pelupa, tidak punya tujuan hidup,

berpikir negatif, prestasi menururn, kehilangan harapan, merasa diri tidak

berguna, merasa tidak menikmati hidup ataupun sulit mengambil keputusan.

d. Reaksi perilaku. Pada para remaja tampak dari perilaku-perilaku : gugup,

suka berbohong, sering “bolos”. Tidak disiplin (melanggar peraturan


45

sekolah), tidak peduli terhadap materi pelajaran, suka menggerutu, sulit

berkonsetrasi, malas belajar, sering tidak mengerjakan tugas, suka

mencontek, menyendiri, takut bertemu guru, dan bahkan perilaku yang

menyimpang seperti mabuk, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, frekuensi

merokok meningkat, ataupun menghindar bertemu dengan temannya

(menarik diri dari lingkungan).

3. Faktor Penyebab atau Pemicu Stres Akademik (Stressor)

Faktor penyebab stres menurut Lazarus dan Folkman (1984: 31), dibagi

kedalam dua bagian yaitu: faktor individu dan situasi. Faktor indivdu terdiri dari

kecerdasan, motivasi, kepribadian, perilaku, sikap dan emosi. Sedangkan faktor

situasi diantaranya : perubahan, tuntutan yang berlebihan, rangsangan yang tidak

memadai, komunikasi minim, kurang kontrol diri dan ketidakjelasan dalam hidup.

Sumber stres menurut Iswarandana (Yudha, 2007: 33) diantaranya: ruangan

panas, suasana yang ribut, ancaman dari teman, kompetisi, tuntutan tugas yang

dibebankan pada siswa, hubungan sosial di sekolah (baik dengan sesaman teman

atau bahkan dengan guru), ulangan mendadak, mengahdapi soal-soal sulit dan

mendapatkan nilai jelek saat ulangan.

Faktor pemicu (stimulus) atau keadaan yang menyebabkan stres akademik

menurut Tad (2003) adalah sebagai berikut:

a. Aspek Internal, yaitu sebagai berikut:


46

1) Language, secara umum siswa yang mengalami stres akademik

menggunakan kata-kata yang bermakna destruktif seperti “bosan”,

“malas’, “jenuh”, dan “pusing” .

2) Beliefe, siswa yang mengalami stres akademik cenderung memiliki

kepercayaan diri yang rendah.

3) Memory, secara umum peserta didik yang mengalami stres akademik

terbelenggu oleh kegagalan masa lalunya.

4) Time, peserta didik yang mengalami stres akademik cenderung tidak

memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan.

5) Decision, peserta didik yang mengalami stres akademik cenderung

menghindari tantangan.

6) Attitude, secara umum peserta didik yang mengalami stres akademik

cenderung memiliki sikap yang negatif dalam menghadapi sebuah

persoalan.

b. Aspek Eksternal, yaitu lingkungan sekolah yang meliputi pengharapan yang

tinggi dari pihak sekolah, disiplin sekolah, dan situasi akademik seperti

kegiatan ulangan atau ujian.

Stres biasanya muncul pada situasi-situasi yang kompleks, menuntut sesuatu

di luar kemampuan individu, dan munculnya situasi yang tidak jelas. Dalam

konteks akademik biasanya stres dapat timbul dari beban tugas yang tinggi,

kerumitan tugas, tidak tersedianya fasilitas untuk mengerjakan tugas, kebijakan

sekolah, guru yang otoriter, kondisi fisik lingkungan sekolah yang panas, bising,

dan berbau (Rice, 1992 : Safaria & Saputra, 2009).


47

Khusus untuk penelitian ini, faktor-faktor penyebab stres pada siswa SMP

dibatasi pada lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah merupakan tempat dimana

siswa banyak mengahabiskan waktu dan dapat menjadi stresor yang potensial bagi

munculnya stres pada diri siswa. Faktor lingkungan sekolah yang menjadi pemicu

stres para siswa antara lain:

a. Pengharapan yang Tinggi dari Sekolah

Tidak sedikit pihak sekolah, guru, kepala sekolah atau individu yang

terkait dalam sekolah ingin memenuhi target yang ideal dari kurikulum yang

dicanangkan tanpa perimbangan kemampuan siswanya. Ketimpangan inilah

yang dapat memicu terjadinya stres pada siswa SMP.

b. Tugas-tugas sekolah

Tugas-tugas sekolah yang terlalu banyak dan sulit dapat menyebabkan

stres pada siswa, hal tersebut disebabkan tuntutan yang dihadapinya tidak

sebanding dengan sumber daya yang dimilikinya.

c. Ujian-ujian

Dalam situasi ujian banyak siswa yang menjadi lupa akan apa yang telah

dipelajari sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya ketegangan dalam

menghadapi ujian, sehingga ia menjadi lupa. Ketegangan ini muncul karena

adanya situasi yang mengancam yang mengakibatkan siswa menjadi cemas serta

takut gagal dalam ujian.


48

d. Hubungan Siswa dengan Guru

Sifat guru yang dapat memicu terjadinya stres pada siswa adalah kasar,

galak, pemarah, tidak pernah senyum, suka mebentak dan memberi hukuman,

sombong dan tidak adil.

4. Dampak Stres Akademik

Stres sesungguhnya memiliki dampak negatif dan dampak positif bagi

individu.

a. Dampak positif. Jika dikelola dengan baik, stres akan berdampak positif

bagi individu untuk dapat berkembang dan lebih maju. Dengan adanya

kondisi stres, individu akan memiliki tantangan mencapai suatu tujuan

agar lebih baik.

b. Dampak Negatif. Sedangkan dampak negatif dari stres yakni menjadi

distres berupa tekanan dan berdampak buruk pada reaksi atau respon

emosional, fisiologis/fisik, serta perilaku.

1) Respon Emosional

Stres itu dapat menimbulkan suasana hati yang negatif (tidak

nyaman). Menurut Woolfolk dan Richardson (1978) reaksi emosi itu

meliputi : perasaan kesal, marah, cemas, takut, murung, sedih, dukacita.

Sedangkan menurut Rice (Safaria & Saputra,2009 ), rekasi emosi itu

berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah

tersinggung, sedih dan depresi.


49

2) Respon Fisiologis

Dampak negatif yang terjadi akibat stres dapat dijelaskan menurut

teori sindrom adaptasi umum (general adaptation system, GAS) dari

Selye. Menurut Selye (Rice, 1992) ada tiga tahap yang disebut sebagai

adaptasi umum, yaitu sebagai berikut.

Tahap pertama. Rekasi alarm (alarm reaction): reaksi alarm terjadi

ketika stimulasi pertama kalinya dari stresor yang menimbulkan

ketegangan yang diterima oleh reseptor. Tahap kedua: resistensi

(resistance). Selama tahap ini tubuh terus menerus mengeluarkan

energinya untuk bertahan dan melawan ketegangan yang ada. Tahap

ketiga. Kelelahan (exhauction) ; selama tahap ini tubuh telah kehabisan

energi untuk terus-menerus melawan ketegangan-ketegangan yang ada

sehingga jika hal ini terus berlangsung akan berdampak negatif pada

rusaknya sistem-sistem pertumbuhan di dalam tubuh yang dapat memicu

timbulnya penyakit.

3) Respon Perilaku (Behavior)

Respon behavioral (tingkahlaku/aktivitas) terhadap stres pada

umumnya melibatkan “coping”, yaitu berbagai upaya untuk menuntaskan,

mengurangi, bertoleransi tuntutan-tuntutan yang menyebabkan stres.

Contohnya, apabila ada seorang siswa mengalami stres, karena mendapat

nilai jelek, mungkin dia meresponnya dengan coping atau upaya-upaya (a)

meningkatkan kedisiplinan dalam mempelajari buku-buku, (b)

berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan perkuliahan, atau (c) mencela


50

atau membenci guru yang memberi nilai tersebut, atau bahkan lari dari

kenyataan dengan bolos sekolah, atau bahkan (d) melampiaskannya

dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, perkelahian, merokok, dan

bentuk perilaku kenakalan remaja lainnya.

5. Proses Terjadinya Stres Akademik

Stres merupakan suatu proses yang terjadi ketika menghadapi peristiwa

yang mengancam fungsi fisik maupus psikis. Proses terjadinya stres pada individu

dibagi menjadi dua bagian (Baron, 1995: 507) yaitu model GAS (general

Adaptation Syndrome) dan penilaian kognitif (cognitive appraisal).

a. Model GAS

Model GAS ini dikemukakan oleh Hans Selye (Baron, 1995: 504). Model

GAS ini membantu menggambarkan rekasi fisik terhadap stresor. Menurut Selye,

tubuh akan mereaksi stres melalui tiga tahap keletihan sebagai berikut:

Tahap pertama. Rekasi alarm (alarm reaction): reaksi alarm terjadi ketika

stimulasi pertama kalinya dari stresor yang menimbulkan ketegangan yang

diterima oleh reseptor. Detak jantung, pernafasan meningkat, pupil mata

membesar, adrenalin dan cortisol dilepaskan, energi simpanan membanjiri darah.

Tahap kedua: resistensi (resistance) yaitu perlawanan. Selama tahap ini

tubuh terus menerus mengeluarkan energinya untuk bertahan dan melawan

ketegangan yang ada (rangsangan yang berbahaya seperti penyakit menular

meningkat di atas rata-rata).


51

Tahap ketiga. Kelelahan (exhauction) ; selama tahap ini tubuh telah

kehabisan energi untuk terus-menerus melawan ketegangan-ketegangan yang ada

sehingga jika hal ini terus berlangsung akan berdampak negatif pada rusaknya

sistem-sistem pertumbuhan di dalam tubuh yang dapat memicu timbulnya

penyakit.

b. Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)

Setiap siswa memiliki perbedaan dalam mengahadapi stres. Memahami

perbedaan siswa dalam menghadapi situasi dan rekasi yang ditampilkan, serta

faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut, siswa perlu memahami suatu

proses yang dikenal dengan penilaian kognitif.

Penilaian kognitif dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984:31) yaitu

merupakan proses evaluatif yang menentukan mengapa dan sampai sejauh mana

transaksi yang spesifik atau serangkaian transaksi antara individu dan lingkungan

yang menimbulkan stres. Selain itu, penilaian kognitif dapat diartikan sebagai

suatu proses pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang dihadapi, dengan

perhitungan makna serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan seseorang.

Proses penilaian kognitif dapat membantu siswa dalam mengevaluasi makna

situasi yang ditemui dan mempelajari pengaruh situasi tersebut terhadap dirinya.

Beberapa hal yang mendasari pentingnya konsep penilaian kognitif menurut

Lazarus dan Folkman (1984 : 55) sebagai berikut :

1) Faktor Personal

Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau menentukan suatu

penilaian kognitif yaitu komitmen (commitment) dan keyakinan (belief).


52

a) Komitmen (commitment)

Komitmen merupakan hal yang mendasari pilihan seseorang terhadap

nilai-nilai ideal atau tujuan yang ingin dicapai. Semakin kuat komitmen

seseorang terhadap sesuatu hal, maka hal tersebut aan semakin mudah pula

menimbulkan stres bagi individu yang bersangkutan. Hal ini dimungkinkan

karena secara psikologis individu akan lebih mudah terpengaruh apabila

sesuatu hal yang dianggapnya penting terganggu atau terancam.

b) Keyakinan (belief)

Keyakinan merupakan suatu pola pengolahan kognitif yang terbentuk

dengan sendirinya atau diperoleh melalui budaya. Pola kognitif ini mendasari

pemikiran seseorang dalam mengolah stimulus yang ada dalam realitas, yang

muncul dalam bentuk ‘set’ atau ‘perceptual lens’. Keyakinan yang ada pada

diri individu akan menentukan pemahaman atau persepsi individu mengenai

sesuatu hal. Keyakinan yang sangat berpengaruh terhadap penilaian kognitif

adalah personal control (keyakinan terhadap diri sendiri) dan eksistensial

belief.

2) Faktor Situasional

Faktor situasional yang mempengaruhi penilaian kognitif terbagi menjadi

dua faktor yaitu faktor situasional yang potensial dan temporal (Lazarus &

Folkman, 1984 :83).


53

a) Faktor Situasional yang Potensial

Faktor situasional yang potensial yang mempengaruhi penilaian antara

lain adalah sesuatu yang baru, kemampuan memprediksi dan ketidakpastian

kejadian.

b) Faktor Situasional yang Temporal

Faktor situasional yang temporal yang ikut mempengaruhi penilaian

adalah kesegeraan, durasi dan ketidakpastian sementara.

Kedua proses penilaian tersebut saling berinteraksi satu sama lain

membentuk derajat stres yang menentukan kekuatan serta kualitas dari rekasi

emosi.

Penilaian kognitif dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984:31) terdiri

dari penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary

appraisal). Kedua jenis penilaian tersebut tidak dapat dipandang sebagai proses

yang terpisah karena keduanya saling bergantung dan saling mempengaruhi satu

sama lain. Penilaian primer dan sekunder berinteraksi satu sama lain membentuk

derajat stres serta kualitas atau kekuatan reaksi emosional, sehingga akan

membuat situasi semakin kompleks. Penilaian kognitif merupakan suatu proses

yang terus menerus terjadi sepanjang hidup, maka dalam proses ini berperan pula

faktor penilaian kembali (reappraisal).

1) Penilaian Primer (Primary appraisal)

Proses ini merupakan suatu proses mental yang berkaitan dengan evaluasi

terhadap suatu situasi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu

stimulus atau situasi yang dihadapi oleh siswa berada dalam derajat penghayatan
54

tertentu. Pengkategorian dilakukan untuk memperhitungkan derajat ancaman

dari berbagai macam situasi serta kemampuan yang dimilikinya untu mengatasi

situasi tersebut. Bentuk penghayatan yang dihasilkan melalui proses ini adalah:

a) Irrelevant, yaitu jika stimulus yang terjadi dirasakan tidak berpengaruh

terhadap kesejahteraan diri siswa, sehingga dapat diabaikan. Dengan kata

lain suatu peristiwa atau kejadian yang ada di lingkungan dinilai sebagai

kejadian yang tidak relevan apabila siswa memandang peristiwa tersebut

sebagai suatu kejadian yang tidak akan mengganggu keberadaan dirinya.

b) Begin-positive, yaitu jika suatu stimulus atau situasi yang terjadi dinilai

sebagai hal yang positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan

diri siswa. Penilaian positif tidak berbahaya terjadi apabila hasil dari

peristiwa ditafsirkan secara positif.

c) Stresful, yaitu jika stimulus yang terjadi menimbulkan harm/loss

(kerugian, atau perasaan kehilangan), threat (mengancam), dan Challenge

(tantangan).

2) Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)

Penilaian sekunder adalah keputusan tentang apa yang mungkin dapat

dilakukan meliputi evaluasi tentang pilihan strategi pengelolaan yang sesuai dan

evaluatif tentang konsekuensi yang akan muncul dalam konteks tuntutan dan

hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Proses penilaian

sekunder ini tidak hanya merupakan praktek intelektual, tetapi merupakan proses

evaluatif yang kompleks yang harus diperhitungkan dengan adanya pilihan

pengelolaan yang tepat sehingga siswa dapat menerapkan strategi yang efektif.
55

3) Penilaian Kembali (Reappraisal)

Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang terjadi

karena didasari oleh masuknya informasi baru, baik informasi yang berasal dari

lingkungan maupun informasi yang berasal dari reaksi siswa. Proses penilaian

kembali merubah bentuk penilaian yang didasarkan pada informasi baru dari

lingkungan atau diperoleh siswa berdasarkan pengalamannya. Reappraisal ini

terkadang juga dapat merubah cognitive coping effect siswa.

Untuk mengetahui proses terjadinya stres, berikut ini adalah mekanisme

terjadinya stres berdasarkan penilaian kognitif yang digambarkan oleh Baron

(1995: 505) pada bagan sebagai berikut.

Bebas Stress

Primary Appraisal Situasi dirasakan


Individu merasakan tidak merugikan
Stimulus “Peristiwa” ancaman

Situasi dirasakan
merugikan

Secondary Appraisal
Individu menentukan mekanisme coping (Strategi
menghadapi ancaman stress)

Mekanisme coping Mekanisme coping


dirasakan cukup dirasakan kurang
baik

Bebas Stress Stress

Bagan 2.1. Mekanisme Stres Berdasarkan Model Penilaian Kognitif


(Baron, 1995: 505)
56

Pada proses model mekanisme stres ini dijelaskan bahwa penilaian kognitif

terhadap stimulus (yang menjadi stresor), sangat berpengaruh terhadap stres

tidaknya seorang individu. yang dimaksud dengan stresor adalah peristiwa yang

menyebabkan stres. Pada tahap pertama yaitu primary appraisal, dimana individu

merasakan suatu peristiwa sebagai sebuah gangguan, jika pada proses selanjutnya

merasakan situasi tersebut tidak akan merugikan dirinya maka ia akan bebas stres.

Namun jika ia merasakan situasi tersebut mengancam dirinya maka proses

dilanjutkan pada tahap secondary appraisal, dimana individu menentukan coping

(strategi/kemampuan individu tersebut dalam menghadapi ancaman stres). Jika

mekanisme coping diperkirakan cukup, maka individu bebas dari stres. Namun

jika mekanisme coping dirasakan tidak cukup , maka akan terjadi stres.

D. Pengelolaan Stres Akademik

1. Definisi Pengelolaan Stres (Coping)

Menurut kamus psikologi, pengelolaan stres diistilahkan dengan coping

yang berarti tingkah laku atau tindakan penanggulangan dengan tujuan untuk

menyelesaikan suatu masalah.

Pengelolaan (manajemen) stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut

Lazarus dan Folkman (1984), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal

ataupun eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan diri

individu. Definisi pengelolaan stres yang dikemukakan oleh Lazarus lebih

menekankan pada proses, karena berhubungan dengan sesuatu yang secara aktual
57

dipikirkan atau dilakukan individu dalam situasi khusus, disertai perubahan

pikiran dan tindakan terhadap peristiwa.

Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi kegiatan dan itrapsikis

untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau meminimalkan)

tuntutan internal dan eksternal serta konflik diantaranya.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

pengelolaan/manajemen stres (coping stress) merupakan suatu upaya mengelola

tuntutan internal maupun eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan di luar

kemampuan diri individu sebagai penyebab munculnya stres.

Setiap siswa memiliki perbedaan dalam menghadapi stres. Memahami

perbedaan siswa dalam menghadapi situasi dan reaksi yang ditampilkan, serta

faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut, siswa perlu memahami suatu

proses yang dikenal dengan penilaian kognitif. Proses penilaian kognitif dapat

membantu siswa dalam mengevaluasi makna situasi yang ditemui dan

mempelajari pengaruh situasi tersebut terhadap dirinya. Penilaian kognitif adalah

suatu proses evaluasi yang menentukan bagaimana dan mengapa suatu interaksi

antara manusia dan lingkungannya bisa menimbulkan stres.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Stres

Ada dua faktor yang mempengaruhi “coping stress” sebagai upaya untuk

mereduksi stres, yakni dukungan sosial (social support) dan kepribadian.


58

a. Dukungan Sosial (social support)

House (1981) mengemukakan bahwa dukungan social memiliki empat

fungsi, yaitu sebagai berikut.

1) Emotional Support, yang meliputi pemberian curahan kasih sayang,

perhatian dan kepedulian.

2) Appraisal Support, yang meliputi bantuan orang lain untuk menilai dan

mengembangkan kesadaran akan masalah yang dihadapi, termasuk usaha-

usaha untuk mengklarifikasi hakikat masalah tersebut, dan memberikan

umpan balik tentang hikmah dibalik masalah tersebut.

3) Informational Support, yang meliputi nasihat dan diskusi tentang

bagaimana mengatasi atau memecahkan masalah.

4) Instrumental Support, yang meliputi bantuan material, seperti memberikan

tempat tinggal, meminjamkan uang dan menyertai berkunjung ke biro

layanan sosial.

b. Kepribadian

Tipe atau karakteristik kepribadian sesorang mempunyai pengaruh yang

cukup berarti terhadap “coping” atau usaha dalam mengatasi stres yang

dihadapinya. Diantara tipe atau karakteristik kepribadian tersebut adalah sebagai

berikut: Ketabahan hati (hardiness),optimis, dan humoris.


59

Selain itu, cara individu menanggulangi stresnya dipengaruhi pula oleh

sumber daya dalam dirinya yang meliputi:

1) Kesehatan dan Energi.

Merupakan sumber-sumber fisik yang seringkali dapat mempengaruhi

upaya individu dalam menangani atau menanggulangi masalah. Individu

akan lebih mudah untuk menanggulangi apabila dalam keadaan sehat.

2) Keterampilan untuk Memecahkan Masalah.

Suatu kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,

mengidentifikasi masalah sebagai upaya mencari alternatif tindakan,

mempertimbangkannya, memilih dan menerapkan rencana yang tepat dalam

bertindak untuk menanggulangi masalah. Keterampilan untuk memecahkan

masalah diperoleh melalui pengalaman yang luas, pengetahuan yang

dimiliki, kemampuan intelektual atau kognitif untuk menggunakan

pengetahuan tersebut serta kapasitas untuk mengendalikan diri.

3) Keyakinan yang positif.

Sikap optimis yang positif terhadap kemampuan diri merupakan

sumber daya psikologis yang penting dalam upaya pengelolaan masalah.

Hal ini akan membangkitkan motivasi untuk terus berupaya mencari

aternatif pengelolaan masalah yang paling tepat

4) Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial ini memudahkan pemecahan masalah. Dengan

adanya keberadaan orang lain memberikan kemungkinan untuk bekerjasama


60

serta memudahkan dalam memperoleh dukungan dan melalui interaksi

sosial akan memberkan kendali pada individu.

5) Dengan adanya dukungan dari lingkungan sosialnya, individu yang

mengalami stres dapat memperoleh informasi serta dukungan emosional

yang dapat membantu individu untuk menanggulangi masalah.

3. Fungsi dari Strategi Pengelolaan Stres (Coping Strategy)

Lazarus dan Folkman (1984), membagi fungsi strategi pengelolaan stres

menjadi dua yaitu:

a. Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi (Emotional Focus Form

Coping).

Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk mengatur

respon emosional terhadap masalah. Strategi pengelolaan ini terdiri atas proses

kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosional dan termasuk

strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan aktivitas, membuat jarak,

perhatian yang selektif, perbandingan yang positif.

Bentuk kognitif dari strategi pengelolaan stres yang berpusat pada emosi

mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah

situasi objektif. Strategi yang berpusat pada emosi ini hampir sama dengan

penilaian kembali (reappraisal), namun tidak semua penilaian kembali

dimaksudkan untuk mengatur emosi.


61

b. Strategi pengelolaan stres yang berpusat pada masalah (Problem Focus

Form Coping).

Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan strategi

yang ditujukan untuk memecahkan masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur

atau mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan reaksi yang

menyulitkan dengan lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah

biasanya dilakukan terhadap situasi yang dinilai dapat berubah. Pengelolaan

yang berpusat pada masalah dapat berupa tindakan-tindakan untuk merumuskan

masalah, membuat alternatif-alternatif jalan keluar, mempertimbangkan segala

kemungkinan yang berrhubungan dengan alternatif yang akan diambil, memilih

alternatif yang terbaik, dan akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak.

Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar pemecahan

masalah yang menganalisa secara objektif yang difokuskan pada lingkungan,

akan tetapi strategi ini merupakan proses analisa objektif yang difokuskan pada

masalah dan diarahkan kedalam diri individu.

4. Bentuk dari Strategi Pengelolaan Stres (Coping Stress)

Curve berpendapat bahwa “coping” terhadap stres itu ada yang positif

(konstruktif) dan ada yang negatif. Menurut Weiten dan Lloyd, di antara coping

yang negatif itu adalah: Giving up (withdraw), agresif, memanjakan diri sendiri,

mencela diri sendiri, dan mekanisme pertahanan diri. Sedangkan coping yang

konstruktif, diartikan sebagai “upaya-upaya untuk menghadapi situasi stres secara

sehat”. Coping yang konstruktif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut.


62

a. Menghadapi masalah secara langsung, mengevaluasi alternatif secara rasional

dalam upaya memecahkan masalah tersebut.

b. Mempersepsi situasi stres didasarkan kepada pertimbangan yang rasional.

c. Mengendalikan diri (self-control) dalam mengatasi masalah yang dihadapi.

Lazarus dan Folkman (1984) mengembangkan strategi pengelolaan (coping

strategy) kedalam 8 bentuk strategi pengelolaan yang diarahkan pada pembuatan

alat ukur Ways of Coping yang dibagi kedalam dua dimensi yakni strategi coping

yang berpusat pada masalah dan yang berpusat pada emosi, sebagai berikut:

a. Strategi Coping yang berpusat pada masalah.

1) Planful problem solving, menggambarkan usaha pemecahan masalah

secara terus-menerus dan berkali-kali disertai dengan pendekatan analisis

untuk pemecahan masalah.

2) Confrontative coping, menggambarkan reaksi agresi untuk mengubah

keadaan.

b. Strategi Coping yang berpusat pada emosi.

1) Distancing, menggambarkan reaksi melepaskan diri atau berusaha tidak

melibatkan diri dalam permasalahan.

2) Self Control, menggambarkan usaha-usaha untuk meregulasi perasaan

maupun tindakan.

3) Seeking Social Support, menggambarkan usaha untuk mencari dukungan

dari pihak luar berupa informasi, bantuan nyata maupun dukungan

emosional.
63

4) Accepting Responsibility, menggambarkan usaha-usaha untuk mengakui

perasaan dirinya dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk

mendudukan segala sesuatu dengan benar sebagaimana mestinya.

5) Escape Avoidance, menggambarkan reaksi berkhayal dan usaha

menghindari atau melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.

6) Positif Reappraisal, menggambarkan usaha untuk menciptakan makna

yang positif dengan memusatkan pada pengembangan personal dan juga

melibatkan hal-hal yang religius.

E. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian ini juga dilatarbelakangi dari berbagai penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan fenomena stres akademik serta permasalahan siswa berbakat

khususnya di program akselerasi. Beberapa penelitian tersebut antara lain.

a. Nurihsan (2007) melakukan penelitian terhadap para peserta didik dari

Jenjang Pendidikan SD (sekolah dasar) sampai PT (perguruan tinggi). Dari

penelitian tersebut diperoleh hasil deskripsi masing-masing aspek distres

pada siswa SMP yakni menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan

dialami oleh siswa adalah aspek emosi (26,36), diikuti oleh aspek pikiran

(26,04), aspek hasil Analisis menunjukkan bahwa 14% siswa mengalami stres

relatif sedang.

b. Penyesuaian diri siswa yang mengikuti Program Akselerasi (Alanda, et al.,

2007). Penelitian ini bertujuan menggambarkan penyesuaian diri siswa SMP

program akselerasi dalam bidang akademik, sosial dan emosi. Berdasarkan


64

hasil penelitian data kuantitatif ditemukan terdapat perbedaan penyesuaian

diri yang signifikan berdasarkan jenis kelamin dan asal sekolah. Hasil temuan

kualitatif ini menggambarkan siswa-siswi memiliki penyesuaian diri yang

kurang baik.

c. Berdasarkan hasil penelitian Margaretha (2007), menunjukkan faktor

penyebab stres siswa kelas VII SMP PGRI 1 Cimahi adalah hubungan yang

tidak harmonis dengan guru dan sikap apatis siswa terhadap mata pelajaran

tertentu. Hasil penelitian ini menunjukan aspek dominan gejala stres berada

pada kategori perilaku dengan indikator berbohong.

d. Selain itu, penelitian lain oleh Widya (2009) mengenai perbedaan tingkat

stres siswa kelas akselerasi dengan kelas reguler di SMAN 1 Bekasi,

menunjukkan tingkat gejala stres yang dialami siswa akselerasi lebih besar

dibandingkan siswa di kelas reguler meskipun perbedaannya tidak signifikan.

Ini mengindikasikan bahwa beban tuntutan belajar di program akselerasi lebih

memberatkan bagi siswa yang tidak mampu menyesuaikan diri.

e. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Rustam pada tahun (2008)

menyebutkan bahwa siswa kelas reguler memiliki kecemasan yang lebih

tinggi dari siswa akselerasi baik aspek fisik, maupun psikologis dalam

menghadapi SPMB/SNMPTN. Pada aspek fisik kecemasan siswa reguler

memiliki prosentase sebesar 56%, sedangkan kelas akselerasi 48%, dan

kecemasan dilihat dari aspek psikologis sebesar 84% pada siswa reguler,

sedangkan pada siswa akselerasi 78%. Hal ini menyebabkan siswa reguler

berprestasi lebih rendah dari siswa akselerasi.

Anda mungkin juga menyukai