Anda di halaman 1dari 10

Terapi Demam Tifoid pada Anak: Perbandingan

Kegunaan Ciprofloxacin dengan Ceftriaxon


Dr. Amna Naveed
Spesialis Pediatrics, Fellow College of Dokter dan Ahli Bedah Pakistan
Dr Zeeshan Ahmed
Frontier Medical College, Pakistan

Abstrak

Tujuan: Untuk membandingkan manfaat klinis ciprofloxacin vs ceftriaxone


berdasarkan jumlah anak yang sudah tidak demam dalam waktu 96 jam.
Desain Penelitian: desain penelitian Acak terkontrol.
Tempat dan Lama Studi: Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Holy Family
Hospital, Rawalpindi dari bulan Maret 2010 sampai dengan September 2010.
Metodologi: 88 anak yang memenuhi kriteria klinis demam tifoid dilibatkan
dalam penelitian ini. 44 pasien diterapi dengan menggunakan ciprofloxacin
injeksi, sedangkan 44 diterapi dengan ceftriaxone injeksi
Hasil: Penelitian ini melibatkan 88 pasien dengan keluhan demam yang
dicurigai sebagai demam tifoid. Usia rata-rata yang didapatkan yakni
8,3±1,94 tahun dan 41(46,6%) adalah laki-laki. Berat rata-rata adalah
24,7±6.3 kg. Hanya 15 (17%) yang menggunakan air matang sebagai
kebutuhan sehari-hari. 68 (77,3%) dari total keseluruhan anak menjadi tidak
demam dalam waktu 96 jam dan 20 (22,7%) masih demam dalam 96 jam.
Pada kelompok penelitian yang diberikan ciprofloxacin, 25 (56,8%) pasien
menjadi afebris / tidak demam dalam 96 jam dan 19 (43,1%) gagal
menjadi afebris (masih demam) dalam 96 jam.
Pada kelompok ceftriaxone, 43(97,7%) pasien menjadi afebris dalam 96 jam
dan 1 (2,3%) gagal menjadi afebris dalam 96 jam. Proporsi pasien yang
menjadi afebris (tidak demam) dalam waktu 96 jam secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok yang diberikan ceftriaxone dibandingkan dengan
kelompok ciprofloxacin, p = 0.00.
Kesimpulan: Ceftriaxone lebih efektif pada anak dengan demam tifoid
dalam hal proporsi/jumlah anak yang lebih banya yang menjadi afebris (tidak
demam) dalam 96 jam.

Kata kunci: Demam Tifoid, Ceftriaxone, Efikasi obat


Pendahuluan
Demam tifoid, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhoid, telah menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang
signifikan sejak dahulu. Salmonella merupakan bakteri basil gram negatif penting
yang menyebabkan sindrom klinis luas dengan karakteristik antaralain:
gastroenteritis, demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fokal
seperti osteomyelitis atau abses. Demam enterik, juga disebut demam tifoid atau
demam paratifoid, adalah penyakit demam sistemik yang paling sering disebabkan
oleh Salmonella typhi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A, S. typhi
B, dan S. paratyphi C. Bahkan Salmonella "nontyphoidal" dapat menyebabkan
penyakit parah demam enteric yang menetap. Komplikasi lebih sering terjadi pada
individu yang tidak diobati termasuk diantaranya perdarahan usus dan perforasi, atau
infeksi fokal seperti abses visceral. Di era sebelum ada antibiotik, sekitar 15% dari
penderita typhoid meninggal dunia, dengan jumlah orang yang bertahan hidup akan
menderita penyakit ini dalam waktu yang lama yakni beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Selain itu, sekitar 10 persen dari penderita yang tidak diobati akan
kambuh, sedangkan 1 sampai 4 persen menjadi pembawa (karier) organisme ini
dalam waktu lama.
Pakistan memiliki angka kejadian Tyfoid tertinggi ketiga pada populasi
umum, di seluruh dunia. Demam tifoid merupakan penyakit dengan presentasi yang
umum di klinik pediatrik. Di negara barat, penyakit ini sudah berada pada tingkat
pemberantasan/eradikasi. Namun, secara global, setidaknya ada 13-17.000.000 kasus
yang mengakibatkan 600.000 kematian. Demam tifoid merupakan penyebab umum
ke-4 dari sebagian besar kematian di Pakistan. Penyakit ini ditularkan melalui fekal-
oral dan akibat kontaminasi makanan dan air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mengidentifikasi typhoid sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insiden
tertinggi pada anak-anak dan dewasa muda berusia antara 5-19 tahun. WHO
menunjukkan bahwa kejadian demam tifoid pada anak-anak Pakistan berusia 2-5
tahun adalah 573,2 per 100.000 orang per tahun. Dan juga, kejadian serupa ditemui
pada anak usia pre-sekolah dan usia remaja. Angka tertinggi penyakit ini pada anak
usia 2-15 tahun. Oleh karena itu, S Typhi merupakan penyebab tersering bakteremia
dalam kelompok usia tersebut, dan tingkat typhoid tahunan (dikonfirmasi melalui
kultur darah) dalam penelitian terbaru dari India, Pakistan, dan Indonesia dari 149
sampai 573 kasus per 100 000 anak-anak. Diagnosis definitif demam tifoid dibuat
hanya pada isolasi salmonella typhi dari darah, feses, urin, sumsum tulang dll,
dengan adanya gejala klinis yang khas. Rasio kasus kematian adalah 10% tanpa
pengobatan, dan kurang dari 1% dengan penggunaan antibiotik.
Golongan Fluroquinolones misalnya Ciprofloxacin, adalah obat yang
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak-anak dan orang dewasa
yang sensitif S. Typhi dan paratyphi serta yang resistens obat. Sefalosporin generasi
ketiga yaitu Ceftriaxone, juga berguna tetapi penggunaannya hanya untuk kasus-
kasus multidrug resistens (resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan
kotrimoxazole) secara berurutan meningkat dari 34% pada tahun 1999 menjadi 66%
pada tahun 2005. Dalam suatu penelitian prospektif di India Utara, ada
pengembangan secara bertahap dari resistensi terhadap fluoroquinolones selama 7
tahun terakhir. Tidak ditemukan adanya resistensi fluoroquinolones pada tahun
1999, sementara pada tahun 2005, 4,4% terpantau resistensi Sparfloxacin, 8,8%
resisten terhadap ofloksasin, dan resistensi yang tinggi, 13%, untuk ciprofloxacin.
Perlu diingat bahwa resisten obat di masyarakat, dapat dipertanyakan bahwa salah
satu dari obat ini memiliki perbedaan keberhasilan dalam hal sensitivitas dan
resistensi serta kekambuhan. Selain itu, kami berencana melakukan penelitian untuk
mengetahui respon klinis pada anak dengan demam tifoid yang diobati dengan
ciprofloxacin dibandingkan dengan ceftriaxone. Dengan demikian, diharapkan hasil
penelitian ini akan memungkinkan dokter anak untuk memilih terapi lini pertama
untuk pengobatan demam enterik dalam klinis/kasus yang sama. Dengan cara ini,
manajemen tepat akan mengurangi morbiditas khususnya, dan juga mengurangi
beban klinis rumah sakit pada umumnya.

Metodologi
Penelitian dilakukan di Departemen Anak, di Rumah Sakit Holy Family,
Rawalpindi. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari 25 Maret 2010-24
September 2010. Sebanyak 88 pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid
dilibatkan dalam penelitian ini. 44 pasien diobati dengan ciprofloxacin (kelompok
Ciprofloxacin), sedangkan 44 diobati dengan ceftriaxone (kelompok Ceftriaxone).

Teknik Sampling Consecutive (non-probability)


Anak-anak berusia 5-12 tahun dari kedua jenis kelamin yang menderita
demam tifoid dilibatkan dalam penelitian ini. Semua anak yang memiliki riwayat
mendapat antibiotik oral atau IV (sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon) dan
tidak adanya demam pada saat presentasi dikeluarkan dari penelitian. Namun,
penelitian ini adalah studi Trial Acak Terkontrol. Pasien yang memenuhi kriteria
penelitian dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Holy Family dan secara acak
dibagi menjadi dua kelompok, A dan B, berdasarkan angka acak. Grup A diberikan
Inj. Ciprofloxacin 10mg / kg (IV) dua kali sehari, sedangkan kelompok B diberi
Inj. Ceftriaxone 70mg / kg (IV) sekali sehari selama 7 hari. Kedua kelompok
diamati waktunya menjadi afebris (tidak demam) (96 jam). Pengamatan harus
dilakukan selama di rumah sakit itu typhidot (IgM antibodi) dari laboratorium yang
ditunjuk dengan standar kit. Namun, hasilnya diverifikasi oleh konsultan ahli
patologi. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS (V10). Mean dan standar
deviasi dihitung untuk variabel kuantitatif yaitu usia dan durasi mendapatkan
demam. Frekuensi dan persentase dihitung untuk variabel kualitatif yaitu gender
dan mendapatkan demam dalam 96 jam. Sehingga, uji chi-square digunakan untuk
membandingkan keguanaannya (Afebris dalam 96hours) dari kedua obat. P-value
<0,05 dianggap signifikan.
Hasil
Penelitian ini melibatkan 88 pasien dengan penyakit demam diduga sebagai
demam tifoid atas dasar klinis. Secara klinis, pasien mengalami demam> 37°C dengan
setidaknya ada satu atau lebih dari tanda dan gejala berikut: sakit kepala Persistent,
nyeri perut atau ketidaknyamanan, Adanya splenomegali / hepatomegali, Rose spot (
bitnik-bintik merah seperti mawar) pada kulit, muntah, dan tidak ada bukti infeksi
thora, usus, urin atau infeksi meningeal. Dengan demikian, subjek semuanya berusia
< 12 tahun. Rentang usia adalah dari 5 sampai 12 tahun dengan usia rata-rata 8.3±1,94
tahun. 41 (46,6%) adalah laki-laki dan 47 (53,4%) adalah perempuan. Berat anak-anak
berkisar 14-41 kg dengan berat rata-rata 24,7±6.3 kg. Selanjutnya, 15 anak (17%)
menggunakan air matang sehari-hari, sementara 73 (83%) menggunakan air tidak
direbus sebagai kebutuhan sehari-hari.

12

ount 8

0
6.00 8.00 10.00 12.00

Usia di tahun ini

Gambar No 1. Histogram Menampilkan Distribusi Usia Kelompok Studi


Eropa Jurnal Ilmiah Februari 2016 edisi vol.12, No.6 ISSN: 1857-7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431

12

0
20.00 30.00 40.00

Berat di Kg

Gambar ada 2. Histogram Menampilkan Distribusi Berat Bedan dalam Kelompok


Penlitian

Gambar ada4. 63.0,6% Grafik lingkaran Menampilkan Distribusijenis Kelamin Kelompok 53,4

Tabel 1. Distribusi Gender/ jenis kelamin dalam Kelompok Penelitian

Jenis kelamin ciprofloxacin ceftriaxone


Pria 24 (54,5%) 17 (38,6%)
Wanita 20 (45,5%) 27 (61.4%)

Gambar ada 4. Air yang digunakan Direbus dan Tidak direbus

350
Eropa Jurnal Ilmiah Februari 2016 edisi vol.12, No.6 ISSN: 1857-7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431

Tabel 2. Chi square test membandingkan frekuensi pasien yang menjadi tidak demam dalam 96
jam; antara kelompok ciprofloxacin dibandingkan kelompok ceftriaxone
kelompok antibiotik
Ciprofloxacin Ceftriaxone Total

Ya
83
Afebris dalam 96 jam % 25 43 68
Tid
ak
17 19 1 20
%
Total 44 44 88

Exact
Asymp. Sig. (2 Exact Sig. Sig.
d (1-
Nilai f sided) (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square 20,965 (b) 1 0,000
Kontinuitas
Koreksi (a) 18,700 1 0,000
kemungkinan Ratio 24,607 1 0,000
Exact Test Fisher 0,000 0,000
N Kasus Hari 88

Uji Chi-Square
b 0 sel (0,0%) Nilai yang diharapkan kurang dari 5. Minimum yang diharapkan 10.00.

Diskusi

Demam enterik adalah penyakit yang umum dialami anak-anak dan dewasa
muda. Hal ini memperbesar dampak sosial-ekonomi di masyarakat. Negara-negara
industri dan lebih maju, untuk sebagian besar, telah berhasil mengontrol penyakit ini
dengan meningkatkan standar kesehatan masyarakat; namun penyakit terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-negara kurang berkembang
termasuk Pakistan. Oleh karena itu, munculnya strain resisten obat Salmonella telah
membuat pengobatan demam enterik lebih sulit. Dalam 2 dekade terakhir juga telah
didapatkan adanya dan penyebaran (MDR) strain resisten dari S. typhi. Infeksi strain ini
dikaitkan dengan durasi yang lebih lama dari penyakit dan morbiditas yang lebih tinggi
dan kematian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, terjadi insiden yang lebih tinggi di
seluruh Asia Selatan dari yang diperkirakan sebelumnya terutama pada anak-anak
muda. Demam enterik merupakan masalah yang signifikan di usia prasekolah. Di antara
anak-anak, 60% kasus berada dalam kelompok usia 5 sampai 9 tahun, 27% antara 2-5
tahun, dan 13% antara kelompok usia 0-2 tahun. Setelah munculnya strain Salmonella
typhi yang resisten kloramfenikol, ciprofloxacin telah menjadi pilihan obat untuk
pengobatan demam tifoid bahkan dalam kelompok usia anak-anak.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efikasi klinis antara
ciprofloxacin vs ceftriaxone dalam hal waktu rata-rata serta jumlah hari dalam
pengobatan demam tifoid pada anak-anak.
Maka, didapatkan hasil dalam penelitian ini ada 88 pasien dengan penyakit demam
diduga sebagai demam tifoid. Usia rata-rata adalah 8,3±1,94 tahun dan 41 (46,6%)
adalah laki-laki. Berat rata-rata adalah 24,7±6.3 kg. Hanya 15 (17%) yang menggunakan
air matang untuk minum sehari-hari. 68 (77,3%) anak-anak secara total menjadi afebris
dalam waktu 96 jam, sedangkan 20 (22,7%) gagal menjadi afebris dalam 96 jam. Pada
kelompok ciprofloxacin, 25 (56,8%) pasien menjadi afebris dalam 96 jam dan 19
(43,1%) gagal menjadi afebris dalam 96 jam. Pada kelompok ceftriaxone, 43 (97,7%)
pasien menjadi afebris dalam 96 jam dan 1 (2,3%) gagal menjadi afebris dalam 96 jam.
Oleh karena itu, proporsi pasien yang menjadi afebris dalam waktu 96 jam secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok ceftriaxone dibandingkan dengan kelompok
ciprofloxacin, p = 0.00.
Hasil temuan kami berbeda dari tinjauan sebelumnya, ringkasan uji coba
terkontrol secara acak demam enterik, yang menemukan bahwa fluoroquinolones lebih
unggul dari ceftriaxone untuk kegagalan klinis dan bebas demam. Meskipun data ini
menunjukkan bahwa fluoroquinolones memiliki angka signifikan lebih rendah dalam hal
waktu bebas demam dibandingkan dengan kloramfenikol, cefixime, dan ceftriaxone,
analisis waktu bebas demam harus ditafsirkan dengan hati-hati. Waktu rata-rata bebas
demam sering mengikuti distribusi-meskipun sebagian besar pasien memiliki waktu
bebas demam yang cepat, beberapa kasus dapat memakan waktu lebih lama, sehingga
meta -analyses dilakukan dengan menggunakan sarana aritmatika mungkin tidak akurat.
Namun, kegigihan demam pada beberapa pasien meskipun izin jelas S Typhi dan S
Paratyphi dari aliran darah telah dikaitkan dengan produksi terus sitokin pirogenik. Hal
ini menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk demam yang jelas mungkin tidak
menjadi ukuran yang memadai efikasi antibiotik. Akibatnya, mereka mungkin tidak
menjadi titik akhir yang tepat dalam uji terapi tifoid. Beberapa peneliti juga tidak
menentukan apakah kegagalan klinis dikeluarkan atau dimasukkan dalam perhitungan
rata-rata waktu demam clearance. Hal ini mungkin karena penggunaan irasional kuinolon
bahkan pada infeksi ringan. Oleh karena itu, sebagian besar ini termasuk demam virus.
Hal ini telah mengakibatkan peningkatan resistensi S typhi untuk kuinolon di negara
kami. Hal ini mungkin karena penggunaan irasional kuinolon bahkan pada infeksi ringan.
Oleh karena itu, sebagian besar ini termasuk demam virus. Hal ini telah mengakibatkan
peningkatan ketahanan S typhi untuk kuinolon di negara kita. Hal ini mungkin karena
penggunaan irasional kuinolon bahkan pada infeksi ringan. Oleh karena itu, sebagian
besar ini termasuk demam virus. Hal ini telah mengakibatkan peningkatan ketahanan S
typhi untuk kuinolon di negara kita.
Perawatan yang tepat untuk demam enterik merupakan tantangan kesehatan klinis
dan publik, dengan meningkatnya tingkat resistensi obat dan terbatasnya penggunaan
agen baru, terutama untuk anak-anak. Penelitian harus dirancang dengan baik, dan
metodologis ketat diperlukan untuk membandingkan fluoroquinolones dengan antibiotik
lini pertama dalam penerapan klinis di masyarakat atau rawat jalan. Oleh karena itu, ini
mencerminkan praktik di negara-negara berpenghasilan rendah, dengan pelaporan yang
akurat. Untuk jangka panjang tindak lanjut dan pemantauan efek samping juga
diperlukan. Penyidik harus standarisasi definisi dan titik waktu pengukuran hasil,
terutama mereka dengan sifat subjektif, seperti kegagalan klinis. Selain studi Tujuan
khasiat pengobatan dan efektivitas biaya, tipus adalah penyakit endemik.
Panduan guideline tentang penggunaan antibiotik dan dapat menekan jumlah kenaikan
resistensi. Suatu penelitian di Divisi of Clinical Medicine & Mikrobiologi, National
Institute of Cholera & Enteric Disease (ICMR), Kolkata, India, mengevaluasi peran terapi
ceftriaxone di dikonfirmasi secara bakteriologi untuk kasus tipus MDR yang tidak
merespon terapi ciprofloxacin dalam 12-14 hari. Upaya lain juga telah dilakukan untuk
meneliti kerentanan in vitro dari strain S. typhi terhadap kloramfenikol, siprofloksasin, dan
ceftriaxone. Sebanyak 140 anak-anak, usia 3- 10 tahun, secara klinis didiagnosis memiliki
demam tifoid, tanpa respon klinis setelah 12-14 hari terhadap terapi ciprofloxacin
discreening untuk S. typhi melalui kultur darah. Pada anak-anak dengan bakteriologis
positif, pengobatan diubah menjadi ceftriaxone intravena selama 14 hari. Strain terisolasi
dari S. typhi diuji untuk kerentanan antimikroba in vitro. Kesembuhan klinis dan
bakteriologis diamati dengan terapi ceftriaxone intravena dalam semua 32 pasien yang
bakteriologis positif. Semua strain typhi S. terisolasi yang sama (100%) rentan terhadap
ciprofloxacin dan ceftriaxone. Dengan demikian, ada 50 persen strain yang resisten
terhadap kloramfenikol. Nilai MIC kloramfenikol, siprofloksasin, dan ceftriaxone berkisar
antara 125-500, 0,0625-0,5 dan <0,0625 mikrogram/ml, masing-masing. Penelitian ini
menunjukkan bahwa meskipun strain S. typhi rentan terhadap ciprofloxacin in vitro, pasien
tidak menanggapi secara klinis dan bakteriologis terhadap terapi ciprofloxacin. Oleh karena
itu, ciprofloxacin mungkin tidak mewakili pilihan yang dapat diandalkan dan berguna untuk
mengobati demam tifoid MDR; demikian,
Demam tifoid banyak terjadi di negara-negara berkembang, dengan beban tahunan
sebanyak jutaan kasus secara global. Di Rumah Sakit Lady Reading, Peshawar, penelitian
tentang resistensi obat demam enterik dilakukan di Unit Pediatric "A" . kriteria inklusi
adalah darah positif dan/ atau kultur sumsum tulang. Secara total, 50 pasien memiliki hasil
kultur positif untuk salmonella (darah pada 26 pasien dan sumsum tulang pada 49 pasien).
Organisme terisolasi ditemukan salmonella typhi di 49 kasus dan salmonella paratyphi A
dalam satu kasus. Isolat tunggal S paratyphi A yang peka terhadap semua antimikroba diuji
kecuali kotrimoksazol. Dari 49 isolat S typhi, hanya 5 (10,2%) sensitif terhadap semua
antimikroba tipus anti primer, sedangkan 44 (89,8%) resisten terhadap beberapa obat.
Semua isolat disini sepenuhnya sensitif terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin, sementara
kepekaan terhadap sefalosporin generasi ketiga bervariasi antara 57% dan 79%. Meskipun
resistensi in vitro, 22 pasien (44%) menunjukkan respon klinis yang baik untuk amoksisilin
dan kloramfenikol. Dalam 28 pasien yang tersisa (56%), respon terhadap obat di atas adalah
miskin, dan mereka mulai ofloksasin (pada anak-anak di atas 5 tahun) atau sefalosporin
generasi ketiga. Akibatnya, respon pasien terhadap obat tersebut baik dengan penurunan
suhu badan sampai yg normal dalam waktu 8 hari setelah dimulainya pengobatan Tidak ada
efek signifikan dari kuinolon yang dicatat pada anak-anak tersebut. Mereka menyimpulkan
bahwa kuinolon dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun di multidrug - demam
tifoid tahan. Penyebaran cepat multidrug resistant (MDR) demam tifoid telah menimbulkan
tantangan besar untuk pengobatan kasus ini di seluruh dunia saat ini. Setelah munculnya
resisten kloramfenikol strain Salmonella typhi, ciprofloxacin telah menjadi obat pilihan
untuk pengobatan demam tifoid bahkan dalam kelompok usia anak. Dengan demikian, studi
di Kolkata, India, mengevaluasi peran terapi ceftriaxone di dikonfirmasi secara bakteri
MDR kasus tipus yang tidak menanggapi 12-14 hari terapi ciprofloxacin. Mereka termasuk
140 anak-anak berusia 3-10 tahun. Karena itu, mereka menemukan bahwa ciprofloxacin
mungkin tidak mewakili pilihan yang dapat diandalkan dan berguna untuk mengobati MDR
demam tifoid. Selain itu, ceftriaxone mungkin menjadi alternatif yang efektif untuk
pengobatan kasus tersebut.
Kesimpulan

Ceftriaxone lebih efektif pada anak dengan demam tifoid dalam hal
proporsi yang lebih banyak dari anak-anak menjadi afebris dalam 96 jam

Referensi:

Acharya G, Butler T, Ho M, Sharma PR, Tiwari M, Adhikari RK, et al. (1995).


Pengobatan demam tifoid: uji coba secara acak dari kursus tiga hari dari ceftriaxone
versus kursus empat belas hari kloramfenikol. Am J Trop Med Hyg; 52: 162-5

Bhutta ZA (2006). konsep saat di diagnosis dan pengobatan demam tifoid. BMJ.333:
78-82

Bhutta ZA, Naqvi SH, Razzaq RA, Farooqui BJ (1991). Resisten tifoid pada anak-anak:
presentasi dan fitur klinis. Rev-Menginfeksi-Dis; 13: 832-6.
Butler, T. (2011). Pengobatan demam tifoid di abad ke-21: janji-janji
dan kekurangan. Mikrobiologi Klinis dan Infeksi, 17: 959-963.
doi: 10,1111 / j.1469-0691.2011.03552.
Dutta P, Mitra U, Dutta S, De A, Chatterjee MK, Bhattacharya SK (2001). Terapi
ceftriaxone di kegagalan pengobatan demam tifoid ciprofloxacin pada anak-anak. India
J Med Res 2001; 113: 210-3.
Gandapur AJ, Khan FR, Zeb A, Khan FM, Imran M (1993). Studi dari 100
pasien dengan demam enterik pada anak-anak, di peshawar. PPJ 1993; 17: 19-25
Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM (2009). demam tifoid dan Para
demam tifoid Dalam: Diagnosis sekarang dan Pengobatan Pediatrics. 19th edisi. 2009;
pp1154-6
Imran M, Khan FR, Khattak AA, Aurang Zeb, Liaqat Ali L (1996). Obat multi - tahan
enterik Demam pada anak-anak Pak Paed J 1996; 20: 169-73.
Kumar S, Rizvi M, Berry N (2008). Meningkatnya prevalensi demam enterik karena
Salmonella multidrug-resistant: studi epidemiologi.J Med Microbiol2008; 57 (Pt 10):
1247-1250.
Mandal BK (1990). Pengobatan demam tifoid Multriresistant (surat).
Lanset 1990; 339: 1383.
Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holiday MC, Bai- Ging D, Bhattacharya SK, Agtini
MD et al. (2008). Studi dari Demam Tifoid di negara-negara Asia waktu: beban
penyakit di implikasi untuk kontrol. Banteng Dunia Kesehatan Org 2008; 86: 241-320.
Rafiq H, Zia R, Naeem S (2009). demam tifoid - terus sebagai ancaman besar pada
anak-anak. Biodemica 2009; 25: 1-2.
Siddiqui FJ, Rabbani F, Hasan R, Nizami SQ, Bhutta ZA (2006). demam tifoid pada
anak-anak: beberapa pertimbangan epidemiologis dari Karachi, Pakistan. Int J Infect
Dis 2006; 10: 215-22.
Siddiqui S (1991). pola epidemiologi dan strategi pengendalian pada demam tifoid.
JPMA 1991; 41: 143-6.
Sinha A, Sazawal S, Kumar R, Sood S, Reddaiah VP, Singh B, et al. (1999). demam tifoid
pada anak usia kurang dari 5 tahun. Lancet 1999; 354: 734-7. Stern JM, Simes RJ (1997).
Bias publikasi: bukti publikasi tertunda dalam studi kohort proyek penelitian klinis. BMJ
1997; 315: 640-5.

Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA (2009).


Perbandingan fluoroquinolones dibandingkan antibiotik lain untuk mengobati demam
enterik: Meta-analisis. BMJ 2009; 338: b1865.
Verma M, Parashar Y, Singh A, Kamoji R (2007). Pola saat demam enterik: sebuah
studi klinis dan mikrobiologis calon.J India Med Assoc 2007; 105: 582-4.

Organisasi Kesehatan Dunia (2006). 6thKonferensi Internasional tentang Demam tifoid


dan Solmonelloses lainnya. WHO Jenewa 2006.

Anda mungkin juga menyukai