Anda di halaman 1dari 94

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut UU RI No. 18 Tahun 2014 Bab I Pasal 3 tentang kesehatan jiwa

merupakan orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada

lingkungan, berintegrasi dan berinteraksi yang baik, sehingga dapat menjamin dan

menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, serta

gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa (Kemenkes, 2014).

Diperkirakan 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan jiwa. Prevalensi

masalah kesehatan jiwa diindonesia mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan

dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (WHO, 2009).

Menurut Riskesdas (2013) indikator gangguan kesehatan jiwa meliputi

gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional. Gangguan jiwa berat merupakan

gangguan yang ditandai dengan menurunnya kemampuan menilai realitas, gejala

gangguan ini berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses berpikir, serta tingka

laku yang aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat biasanya

disebut psikosis contohnya yaitu skizofrenia yang sifatnya merusak, melibatkan

gangguan berpikir, persepsi, pembicaraan, emosional dan gangguan prilaku.

Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 besar penyakit yang memberi beban

bagi masyarakat di seluruh dunia, jumlah penduduk Indonesia jika mencapai

200.000.000 jiwa, maka diperkirakan sekitar 2.000.000 jiwa mengalami skizofrenia

(WHO, 2009). Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan

(LAKIP, 2015) Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang pada tahun 2013-2015

1
2

jumlah pasien skizofrenia pertahun mengalami peningkatan. Progam pelayanan yang

digunakan dari pelayanan umum, jamsoskes, PBI (Penerima bantuan iuran) dan Non

PBI. Skizofrenia menggambarkan suatu kondisi psikotik yang kadang-kadang

ditandai dengan apatis, tidak mempunyai hasrat, sosial, efek tumpul, dan alogia yang

dapat mengalami gangguan dalam pikiran, delusi, persepsi dan perilaku yang

dimenifestasikan pada gangguan bentuk konsep yang sewaktu-waktu dapat diartikan

tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, dan halusinasi (Lumongga & Herri, 2010).

Masalah perilaku yang muncul pada pasien skizofrenia yaitu dukungan dan

motivasi kurang (81%), isolasi sosial (72%), perilaku makan dan minum yang buruk

(72%), sukar menyelesaikan tugas (72%), penampilan tidak rapi dan bersih (62%)

kurang perhatian dari keluarga (56%), sering bertengkar ( 47%), bicara pada diri

sendiri (41%), tidak teratur minum obat (40%) (Wardani dkk, 2013; dikutip Perdede

& Siregar, 2015). Berdasarkan paparan perilaku yang muncul menunjukkan bahwa

pada pasien skizofrenia ditemukan banyak masalah-masalah keperawatan salah

satunya halusinasi, diperkirakan 70% pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi

(Stuart, 2008; dikutip Perdede & Siregar, 2015).

Menurut Harmoko (2012), mendefinisikan keluarga merupakan perkumpulan

satu atau lebih individu yang memiliki ikaatan atau hubungan darah, perkawinan

atau adopsi, dan tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain. Keluarga

salah satu orang terdekat pasien untuk mengetahui prinsip minum obat yang benar

yaitu benar obat, benar dosis, cara pemberian yang benar, waktu pemberian obat

yang benar, dan nama pasien (keluarga perlu mengecek kembali botol dan kantong

obat yang diberikan sesuai nama pasien), dimana kepatuhan terjadi bila aturan
3

tersebut sesuai dengan resep yang berikan dari rumah sakit (Keliat, et al. 2012).

Keluarga berperan dalam proses pengobatan pasien gangguan jiwa, dukungan

keluarga sangat diperlukan oleh pasien sebagai motivasi mereka selama perawatan

dan pengobatan. Keberhasilan perawatan khususnya konsumsi obat pasien menjadi

sia-sia jika tidak ditinjau oleh keluarga dan banyaknya pasien jiwa yang mengalami

kekambuhan karena ketidakpatuhan minum obat (Fitra, 2013).

Keluarga dari anggota gangguan jiwa banyak yang sibuk akan pekerjaannya,

tidak tahu pentingnya minum obat secara teratur, tidak bisa mengontrol jadwal

pengobatan sehingga terjadinya kegagalan minum obat. Salah satu kendala

pengobatan secara optimal adalah keterlambatan penderita datang keklinik

pengobatan, kelambatan penanganan ini akan berdampak buruk bagi pasien

(Kaunang, dkk. 2015). Menurut Purnamasari dkk (2013) menyatakan bahwa

pengetahuan keluarga yang kurang mengakibatkan ketidakpatuhan minum obat,

maka kekambuhan sering terjadi, kekambuhan terjadi dimana kondisi penyakit

berada pada fase pemulihan disebabkan 3 faktor yaitu aspek obat, pasien dan

keluarga.

Proses penyembuhan pasien salah satunya tidak terlepas dari kepatuhan pasien

minum obat dengan ada tidaknya keluarga pasien dirumah. Adanya dukungan dan

motivasi keluarga, serta keterlibatan keluarga sebagai pengawas minum obat pada

pasien yang sedang menjalani pengobatan, sehingga keluarga dari pasien keluar

masuk rumah sakit mengantar pasien untuk melakukan perawatan dan pengobatan

(Fitra, 2013). Pentingnya dukungan keluarga terhadap kemandirian pasien saat

melakukan pengobatan dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis, sosial dan


4

spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai

perawatan paliatif (Doyle & macdonald, 2003: 5 dikutip Fitria, 2010).

Kepatuhan minum obat adalah sesuatu yang menggambarkan bagaimana pasien

atau keluarga mengikuti petunjuk dan rekomondasi terapi dan pengobatan secara

benar dari perawat atau dokter (Kaplan & sadock, 2012). Masalah ketidakpatuhan

dapat di bantu oleh perawat atau keluarga yang merawat pasien khususnya pada

pasien yang mendapatkan fasilitas pelayanan rawat jalan harus memahami faktor

penyebab ketidakpatuhan, ketidakpatuhan pasien terapi obat yaitu sifat penyakit

yang kronis sehingga pasien merasa bosen minum obat, berkurangnyaa gejala, tidak

pasti tentang tujuan terapi, harga obat yang mahal, tidak mengerti tentang intruksi

penggunaan obat, dosis yang tidak akurat dalam mengkonsumsi obat dan efek

samping yang tidak menyenangkan (Erwina dkk, 2015).

Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami

oleh pasien gangguan jiwa, pasien merasakan sensasi seperti suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata (Keliat, et al. 2012).

Halusinasi akan muncul sebagai proses yang panjang ataupun sebaliknya, dengan

adanya keperibadian seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman psikologis,

halusinasi juga bertambah parah jika tidak ada kepatuh minum obat secara teratur

sehingga dapat memicu terjadinya kekambuhan (Yosep, 2011; dikutip Suheri, 2014).

Kerugian yang ditimbulkan oleh pasien halusinasi yaitu kehilangan kontrol dirinya,

sehingga pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain

(homicide) dan bahkan merusak lingkungan sekitar (Hawari, 2009: dikutip Suheri,

2014). Dampak yang dirasakan oleh keluarga pada pasien halusinasi yaitu kontribusi
5

beban ekonomi yang tinggi, beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku pasien

yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga dan

keterbatasan melakukan aktivitas sosial (Ngadiran, 2011).

Penelitian sebelumnya Erwina dkk (2015), menyatakan bahwa dari beberapa

faktor obat yang mempengaruhi kepatuhan obat yaitu dosis obat, karna terdapat

hubungan yang bermakna dengan arah positif antara dosis obat dengan kepatuhan.

Dalam penelitian Purnamasari dkk (2013), menyatakan bahwa pengetahuan dan

dukungan keluarga tentang kepatuhan minum obat paling tinggi berada dalam

kategori kurang dan adanya ketidakpatuhan minum obat, sehingga terdapat

hubungan yang bermakna antara pengetahuan keluarga dengan kepatuhan minum

obat. Penelitian Pardede & Sireger (2015) menyebutkan bahwa ada pengaruh

pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat yang signifikan pada perubahan gejala

halusinasi pasien skizofrenia, sehingga pendidikan kesehatan tersebut dapat

memberikan informasi kepada pasien dan keluarga untuk mempengaruhi pasien agar

patuh minum obat dan tidak menimbulkan kekambuhan. Menurut Suheri (2015)

menyatakan bahwa pengaruh tindakan generalis menunjukkan ada perubahan yang

signifikan terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia.

Berdasarkan data dari Rekam Medis Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang

dapat data kunjungan pasien skizofrenia psikotik maupun non psikotik serta pasien

lama dan pasien baru mendapatkan berbagai macam fasilitas pelayanan yaitu

umum/bayar, Jamsoskes, PBI (Penerima bantuan iuran) dan Non PBI di Poliklinik

RSJ Ernaldi Bahar pada periode tahun 2016 dengan jumlah 1539 pasien, rata-rata
6

perbulan dengan jumlah 128 pasien dari berbagai macam penyakit yang diderita,

pasien yang memiliki tanda dan gejala halusinasi berjumlah 30 pasien.

Penanganan ketidakpatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa salah

satunya dengan memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga, supaya keluarga

tahu dan mengerti pentingnya minum obat dengan benar yang telah diresepkan untuk

kesembuhan pasien (Misnan, 2014). Pendidikan kesehatan yang dikembangkan

dirumah sakit dalam rangka untuk membantu pasien atau keluarga untuk mengatasi

masalah kesehatannya, khususnya untuk mengurangi rasa sakit bahkan mempercepat

kesembuhan penyakit yang dialami pasien (Notoatmodjo; 2010). Pendidikan

kesehatan pada pasien halusinasi tentang kepatuhan minum obat sangat penting

diberikan kepada pasien atau keluarga, untuk melihat kombinasi pengalaman dasar

yang direncanakan serta untuk belajar teoritis yang dapat memberikan kesempatan

bagi individu, kelompok dan masyarakat untuk menerima informasi dan keahlian

yang diperlukan dalam mengambil keputusan untuk kesehatan (Pardede & Sireger,

2015).

Berdasarkan hasil survey dan wawancara kepada keluarga di poliklinik Rumah

Sakit Ernaldi Bahar Palembang, peneliti mempunyai asumsi bahwa pendidikan

kesehatan tentang kepatuhan minum obat juga dapat mempengaruhi pasien

halusinasi tidak patuh dalam minum obat dikarenakan faktor pendidikan dan

ekonomi keluarga yang rendah. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Pengaruh pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan minum obat terhadap

frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Poliklinik RS. Ernaldi Bahar

Pelembang.
7

B. Rumusan Masalah

Salah satu masalah perilaku yang muncul pada pasien skizofrenia adalah tidak

teratur minum obat sehingga dapat mengakibatkan kekambuhan. Berdasarkan

paparan perilaku yang muncul menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia

ditemukan banyak masalah-masalah keperawatan salah satunya yaitu halusinasi

(Perdede & Siregar, 2015). Masalah skizofrenia sudah semakin tinggi sesuai dengan

prevalensi baik didunia maupun diindonesia, sehingga perawat ikut juga adil dalam

merawat pasien skizofrenia berdasarkan asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan,

pasien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart, 2008; dikutip Perdede &

Siregar, 2015).

Hasil studi pendahuluan peneliti menemukan bahwa didapat data kunjungan

pasien skizofrenia psikotik maupun non psikotik serta pasien lama dan pasien baru

per tahun mengalami peningkatan, kunjungan dipoliklinik ini juga banyak pasien

yang diagnosa resiko mencederai diri sendiri atau orang lain dan gangguan persepsi

sensori. Hasil survey dari 7 keluarga yang berobat di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi

Bahar di dapat 4 keluarga dari pasien belum mengerti jadwal pemberian obat di

karenakan pasien baru, sedangkan 2 dari keluarga pasien lama patuh dalam

pemberian obat dan 1 pasien lama belum patuh. Berdasarkan pernyataan dari

keluarga pasien ataupun yang mengantarkan pasien untuk kontrol sering terlambat

karena terkendala biaya dan alat transportasi sehingga keluarga tidak tepat waktu

untuk mengantar pasien berobat.

Berdasarkan data yang telah diuraikan pada latar belakang, maka perumusan

masalahnya adalah “Apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan keluarga tentang


8

kepatuhan minum obat terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia rawat

jalan di RS. Ernaldi Bahar Palembang?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan minum obat

terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Poliklinik RS. Ernaldi

Bahar Palembang.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui frekuensi halusinasi sebelum diberi pendidikan kesehatan

keluarga tentang kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di Poliklinik

RS. Ernaldi Bahar Palembang.

b. Untuk mengetahui frekuensi halusinasi sesudah diberi pendidikan kesehatan

keluarga tentang kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di Poliklinik

RS. Ernaldi Bahar Palembang.

c. Untuk mengetahui perbedaan frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia

sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan keluarga di Poliklinik

RS. Ernaldi Bahar Palembang.

d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi data demografi keluarga (usia, jenis

kelamin, pendidikan, pendapatan dan hubungan dengan pasien) pada pasien

skizofrenia di Poliklinik RS. Ernaldi Bahar Palembang.

e. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi

halusinasi pada pasien skizofrenia dalam memberikan pendidikan kesehatan

keluarga kepatuhan minum obat di Poliklinik RS. Ernaldi Bahar Palembang.


9

f. Untuk mengetahui hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan

frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia dalam memberikan pendidikan

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat di Poliklinik RS. Ernaldi

Bahar Palembang.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi tempat penelitian

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang

bertugas di RS Ernaldi Bahar Palembang khususnya bidang keperawatan.

Pendidikan kesehatan ini meningkatkan pengetahuan keluarga tentang

kepatuhan minum obat terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat mejadi referensi atau bahan masukan bagi

perkembangan ilmu pendidikan di bidang keperawatan, sebagai pedoman untuk

melakukan asuhan keperawatan dan sebagai perbandingan bagi penelitian yang

berhubungan dengan pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan minum obat

terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia.

3. Bagi responden

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kepedulian keluarga dalam melakukan

pengobatan secara teratur sehingga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat

untuk mencegah terjadinya kekambuhan.


10

4. Bagi peneliti

Penelitian ini dijadikan sebagai sarana untuk menerapkan dan mengembangkan

ilmu pengetahuan yang diperoleh selama pendidikan, serta untuk menambah

wawasan dan pengalaman dalam pembuatan karya tulis ilmiah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dilingkup keperawatan jiwa. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan

minum obat terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia rawat jalan.

Penelitian ini dilaksanakan dipolikinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang pada

bulan mei 2017. Pemilihan tempat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar khususnya rawat

jalan karena terdapat beberapa masalah yang muncul salah satunya ketidakteraturan

berobat sehingga pasien mengalami putus obat karna faktor ekonomi, waktu dan

jarak. Rumah sakit ini memiliki jumlah kunjungan pasien yang cukup tinggi dan

rumah sakit tersebut tipe A yang menjadi pusat rujukan dari berbagai daerah rumah

sakit di Sumatra Selatan.

Popolasi dalam penelitian ini adalah 30 keluarga dari pasien laki-laki, dewasa

awal (22-35) (Depkes RI, 2009) yang memiliki tanda dan gejala halusinasi di Rumah

Sakit Ernaldi Bahar Palembang dalam periode tahun 2017. Sampel yang digunakan

penelitian adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 15 responden, sampel

yang digunakan peneliti memiliki kriteria inklusi, eksklusi dan drop out. Penelitian

ini menggunakan metode penelitian Pre-experimental with one group pre-post test

dengan intervensi pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan minum obat. Media


11

yang digunakan peneliti yaitu flipchart. Flipchart digunakan sebagai media

penyuluhan yang diberikan kepada keluarga.


12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Jiwa Skizofrenia

1. Definisi
Menurut UU RI No. 18 Tahun 2014 Kesehatan jiwa telah dijelaskan bahwa

upaya kesehatan jiwa bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas

hidup yang sejahtera, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari

tekanan dan ketakutkan, serta gangguan lainnya sehingga dapat mengganggu

kesehatatan jiwa. Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO)

merupakan ketika seseorang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi

tantangan hidup serta dapat menerima dan mempunyai sikap yang positif terhadap

diri sendiri dan orang lain. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis

dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan

gangguan psikotik yang sifatnya merusak, seperti gangguan berpikir, persepsi,

pembicaraan, emosional dan gangguan prilaku, biasanya ditemukan pada semua

lapisan masyarakat dan dapat dialami setiap manusia (Parawisata, 2006 dikutip

Suprianas, 2014).

2. Tanda dan gejala skizofrenia

Menurut Laura A. King (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa tanda

dan gejala pada pasien skizofrenia yaitu meliputi:

12
13

a. Tanda Skizofrenia adalah, riwayat keperibadian yang buruk (pendiam, pasif,

dan introvet), keluhan gejala somatik (nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,

kelemahan dan masalah pencernaan).

b. Gejala Skizofrenia

1) Gejala positif skizofrenia, gejala ini ditandai dengan adanya distorsi atau

kelebihan dalam fungsi normal yaitu halusinasi, delusi, pikiran yang

terganggu, dan gangguan pada pergerakan.

2) Gejala negatif, gejala ini mencerminkan hilangnya atau turunya fungsi

normal seseorang serta melibatkan ketidakhadiran sesuatu, seperti afek

datar (flat affect) yang berati bahwa orang tersebut tidak menunjukkan

emosi sama sekali, berbicara tanpa tekanan emosi, mempertahankan

ekspresi wajah tidak bergerak, tidak dapat menikmati kegitan-kegitan

yang disenangi, dan kurangnya kurangnya dorongan untuk beraktivitas.

3) Gejala kognitif, gejala ini pasien kesulitan untuk mempertahankan atensi,

hambatan dalam menyimpan informasi dalam ingatan, dan

ketidakmampuan untuk memaknai informasi dan membuat keputusan.

B. Halusinasi

1. Pengertian
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering didapatkan pada pasien

gangguan jiwa. Seluruh pasien dengan gangguan skizofrenia diantaranya

mengalami halusinasi, gejala gangguan jiwa yang lain seperti gangguan maniak

depresif dan delirium. Halusinasi adalah gangguan persepsi dimana pasien

mempersepsikan suatu kejadian yang sebenarnya tidak ada (Muhith, 2015).


14

Pada pasien skizofrenia 90% mengalami halusinasi, dilihat dari pengalaman

psikologis pasien seperti halusinasi melihat, mendengar, menyentuh, mencium,

ataupun merasakan sesuatu tanpa adanya rangsangan eksternal terhadap organ

sensori, yang dialami oleh pasien skizofrenia dapat berupa halusinasi visual,

pendengaran ataupun campuran. Halusinasi akan muncul sebagai proses yang

panjang ataupun sebaliknya, dengan adanya keperibadian seseorang yang

dipengaruhi oleh pengalaman psikologis. Halusinasi juga akan muncul tambah

parah jika tidak ada kepatuh minum obat secara teratur sehingga dapat memicu

terjadinya kekambuhan pada pasien itu sendiri, dan ketidakpatuhan minum obat

dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga yang kurang (Yosep, 2011 dikutip Suheri,

2014).

2. Rentang halusinasi

Menurut Yusuf (2015) rentang halusinasi meliputi:

Respon adaptif Respon maladaftif

Persepsi akurat Distorsi pikiran Gangguan fikir/


Ilusi delusi
Emosi konsisten
dengan Emosi halusinasi
pengalaman berlebihan
Sulit berespon
Perilaku sesuai Prilaku aneh terhadap emosi

Berhubungan menarik diri Prilaku tidak


sosial terkendali
Isolasi sosial
15

3. Jenis-Jenis Halusinasi

Menurut Muhith (2015) halusinasi dibagi menjadi beberapa jenis yaitu;

1. Halusinasi pendengaran

Karakteristik halusinasi pendengaran ditandai dengan adannya mendengar

suara-suara, terutama suara-suara orang, biasanya klien mendengar orang

yang berbicara apa yang sedang dipikirkannya dan merintahkan untuk

melakukan sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan

Karakteristiknya yaitu adanya stimulus visual seperti pancaran cahaya,

gambaran geometrik, gambar kartu atau panorama yang luas dan kompleks.

Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi penghidu

Mencium bau atau aroma padahal kenyataannya tidak ada. Bau tersebut

seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau lainnya. Ini terjadi pada

seseorang pasca serangan sroke, kejang ataupun demensia.

4. Halusinasi pengecapan

Halusinasi pengecapan mencakup rasa yang ada didalam mulut atau perasaan

bahwa makanan terasa seperti yang lain. Pasien merasakan bahwa mengecap

rasa seperti rasa darah, urine feses, atau yang lainnya.

5. Halusinasi perabaan

Halusinasi ini mengacu pada ketidak nyamanan tanpa stimulus yang jelas,

pada sensasi seperti aliran listrik yang menjalar keseluruh tubuh, atau

mengalami nyeri.
16

6. Halusinasi cenesthetic

Halusinasi ini merasakan fungsi tubuh yang biasanya tidak dapat dideteksi

seperti aliran darah disvena atau arteri, pencernaan makanan atau

pembentukan urine.

7. Halusinasi kinestetika

Halusinasi ini terjadi ketika pasien merasakan pergerakan sementara berdiri

tanpa adanya gerakan tubuh.

4. Tanda Dan Gejala Halusinasi

a. Tanda halusinasi adalah bicara, senyum dan tertawa sendiri, merusak diri

sendiri, orang lain dan lingkungan, tidak dapat membedakan nyata dan tidak

nyata, tidak dapat memusatkan perhatian dan kosentrasi, sikap curiga, gelisa

dan mondar-mandir, ketakutan dan sulit membuat keputusan, pembicaraan

kacau dan tidak masuk akal, tidak mampu mengurus diri secara mandiri,

menarik diri dan menghindar dari orang lain, wajah merah dan pucat, tekanan

darah meningkat, nadi cepat dan banyak mengeluarkan keringat (Nanda,

2010 dikutip Andryani, 2015).

b. Gejala halusinasi adalah pasien mengatakan mendengar suara, melihat,

mengecap, mencium, dan merasa sesuatu yang tidak nyata, mudah

tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain (Townsend, 1998

dikutip Gurning, 2011).

Pada pasien halusinasi akan dibawa kerumah sakit biasanya dalam kondisi

akut yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, teriak-teriak,

keluyuran dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Halusinasi akan muncul
17

sebagai proses yang panjang ataupun sebaliknya, dengan adanya keperibadian

seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman psikologis. Halusinasi juga akan

muncul tambah parah jika tidak ada kepatuh minum obat secara teratur sehingga

dapat memicu terjadinya kekambuhan pada pasien itu sendiri, dan ketidakpatuhan

minum obat dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga yang kurang (Yosep, 2011

dikutip Suheri, 2014). Hal tersebut dapat dicegah apabila keluarga mengetahui

tanda dan gejala awal halusinasi. Pengetahuan keluarga tentang halusinasi akan

mencegah perilaku mal adaptif pasien halusinasi.

5. Tahapan Halusinasi
Tahap Karakteristik Perilaku

Tahap I (Comforting) a) Mengalami ansietas a) Tersenyum


a) Memberi rasa b) Rasa bersalah dan b) Tertawa sendiri
nyaman ketakutan c) Menggerakkan bibir
tingkat c) Mencoba berfokus tanpa suara
ansietas pada pikiran yang d) Pergerakan mata yang
sedang secara menghilangkan cepat
umum ansietas e) Diam dan
b) Halusinasi d) Pikiran dan berkonsentrasi
merupakan pengalaman sensori f) Respon verbal yang
suatu masih dalam lambat
kesenangan control kesadaran

Nonpsikotik
Tahap II a) Pengalaman sensori a) Adanya peningkatan
(Condeming) yang menakutkan denyut jantung,
a) Menyalahkan b) Merasa dilecehkan tekanan darah, dan
b) Tingkat oleh pengalaman pernafasan.
kecemasan berat, tersebut. b) Konsentrasi terhadap
pada secara c) Kecemasan pengalaman sensori
umum halusinasi meningkat, melamun kerja
menyebabkan d) Mulai dirasakan ada c) Klien asyik dengan
perasaan bisikan yang tidak halusinasi dan tidak
antipasti jelas bisa membedakan
e) Menarik diri dari realitas
orang lain
Psikotik Ringan
18

Tahap Karakteristik Perilaku

Tahap III a) Isi halusinasi menjadi a) Adanya kemauan


(Controling) atraktif untuk mengendalikan
a) Mengontrol b) Klien menyerah serta halusinasi
b) Peningkatan menerima pengalaman b) Sulit berhubungan
kecemasan sensori dengan orang lain,
c) Pengalaman c) Kesepian bila rentang perhatiannya
halusinasi pengalaman halusinasi hanya beberapa
berkuasa/ tidak berakhir menin atau detik
dapat ditolak c) Perhatian
terhadaplingkungan
berkurang
d) Tanda-tanda fisik
berupa tremor dan
berkeringat
e) Tidak mampu
mengikuti perintah
Psikotik dari perawat
Tahap IV a) Halusinasinya berubah a) Perilaku teror akibat
a) Klien panik menjadi mengancam, panik
b) Klien sudah memerintah, dan b) Agitasi atau menari
dikuasai memarahi klien jika diri
halusinasinya perintah dari c) Tingginya resiko
halusinasi tidak cedera
dipatuhi d) Tidak mampu
b) Dapat berlangsung berespon terhadap
beberapa jam atau lingkungan
hari apabila tidak ada
intervensi teraupetik.
Psikotik Berat
19

6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Halusinasi

Menurut Keliat, et al (2012) menyatakan bahwa sebelum melakukan standar

pelaksanaan pada pasien halusinasi atau keluarga kita perlu mengetahui dan

membuat asuhan keperawatan terlebih dahulu yaitu :

a. Faktor Predisposisi

a) Faktor perkembangan.

Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang

dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan

gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga

pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.

b) Faktor sosial budaya.

Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa

disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul

akibat berat seperti delusi dan halusinasi.

c) Faktor psikologis.

Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran

yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan

pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.

d) Faktor biologis.

Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi

realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal,

perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbik.


20

e) Faktor genetic.

Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada

pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga

yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan

lebih tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.

f) Faktor biokimia.

Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat

halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk

halusinasi.

b. Faktor Presipitasi

a) Perilaku/sikap.

Perilaku yang muncul harga diri rendah, tidak percaya diri, merasa gagal,

demoralisasi, tidak dapat memenuhi kebutuhan spritual, kemampuan

sosialisasi menurun, ketidak adekuatan pengobatan, perilaku argesif,

perilaku kekerasan, ketidakmampuan pencegahan gejala.

b) Lingkungan.

Lingkungan yang timbul seperti lingkungan yang memusuhi/kerisis,

kehilangan kebebasan hidup, ada masalah dirumah tangga, sukar dalam

berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial, menurunnya dukungan

sosial, adanya tekanan kerja (keterampilan dalam bekerja), ketidak

mampuan dalam mendapatkan pekerjaan dan kurangnya fasilitas

trasfortasi.
21

c) Kesehatan.

Faktor pencetus dalam kesehatan ini yang muncul meliputi: nutrisi kurang,

kelelahan, kurang tidur, obat-obat sistem saraf pusat, ketidak seimbangan

irama sirkadian, hambatan dan kendala untuk menjangkau pelayanan

kesehatan.

7. Validasi Informasi Tentang Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2005) dikutip Muhith (2015) menyatakan bahwa

selain mengenal beberapa jenis halusinasi dan tanda gejalanya perawat harus

mengetahui isi halusinasi, waktu dan frekuensi halusinasi, situasi pencentus, serta

respon pasien yaitu sebagai berikut:

a) Isi halusinasi

Isi halusinasi tersebut dapat dikaji suara siapa yang didengar, bentuk

bayangan seperti apa yang dilihat, bau seperti apa yang tercium, rasa apa yang

dikecap, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila mengalami halusinasi.

b) Waktu dan frekuensi halusinasi

Dikaji dengan menanyakan kepada pasien atau keluarga kapan pengalaman

halusinasi muncul berapa hari sekali, seminggu atau sebulan halusinasi itu

muncul. Frekuensi terjadinya apakah terus menerus atau hanya sekali-kali?

Apakah pasien mengalami halusinasi pada saat sendiri atau setelah terjadian

tertentu?
22

c) Situasi pencentus halusinasi.

Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dihadapi pasien sebelum

mengalami halusinasi, dapat dikaji dengan menanyakan ke pasien peristiwa

atau kejadian seperti apa yang muncul sebelum halusinasi.

d) Respon pasien.

Untuk menentukan respon ini identifikasi kepasien sejauh mana halusinasi

telah mempengaruhi pasien, melakukan pengkajian kepada pasien atau

keluarga dengan menanyakan apa yang dilakukan pasien saat mengalami

pengalaman halusinasi. Apakah pasien bisa mengentrol sendiri dengan

bantuan orang lain atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi tersebut.

8. Standar Pelaksanaan

Menurut Tim MPKP & Diklat Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provensi Sumatra

Selatan menyatakan bahwa terdapat standar pelaksanaan pada pasien yang

halusinasi, yang diberikan kepada pasien dan keluarga meliputi:

a. Pasien

SP 1 :

1) Mengidentifikasi jenis dan isi halusinasi pasien.

2) Mengidentifikasi waktu dan frekuensi halusinasi pasien.

3) Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.

4) Mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi.

5) Mengajarkan pasien menghardik halusinasi.

6) Mengajarkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi kedalam

jadwal kegiatan harian.


23

SP II : Mengevaluasi jadwal kegitan harian pasien, melatih pasien

mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang

lain, menganjurkan pasien memasukkan kegitan bercakap-cakap

kedalam jadwal kegiatan harian.

SP III : Mengevaluasi jadwal harian pasien, melatih pasien mengendalikan

halusinasi dengan melakukan kegiatan (kegiatan yang bisa dilakukan

pasien dirumah), menganjurkan pasien memasukkan kegiatan untuk

mengendalikan halusinasi ke dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV : Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberikan pendidikan

kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur, menganjurkan pasien

memasukkan aktivitas minum obat kedalam jadwal kegiatan harian.

b. Keluarga

SP I :

a. Mendiskusikan masalah yangdirasakan keluarga dalam merawat pasien.

b. Menjelaskan pengertian, tanda & gejala halusinasi, dan jenis halusinasi

yang dialami pasien beserta proses terjadinya.

c. Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi.

SP II :

1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien halusinasi.

2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien

halusinasi.
24

SP III :

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas termasuk minum obat.

2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

9. Penataaksanaan Pada Pasien Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2005) dikutip Muhith (2015) menyatakan

bahwa penatalaksanaan pasien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah

dengan menggunakan obat-obatan dan tindakan lainnya:

a) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi

pendengaran yaitu gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah obat anti

psikosis. Obat yang sering digunakan untuk pasien halusinasi meliputi:

1) CPZ (Clorpromazine).

Obat yang digunakan untuk mengobati pasien gangguan jiwa/suasana

hati seprti skizofrenia, gangguan psikotik, fase manik, masalah

perilaku yang parah pada anak-anak. Obat ini juga dapat

menghilangkan suara-suara yang mengganggu pikiran pasien. Dosis

obat ini permulaan merupakan 25-100 mg diikuti peningkatan dosis

sehingga menjadi 300 mg perhari. Biasanya obat ini diberikan 2x

sehari, dan efek samping dari obat ini lesu, ngantuk, mulut kering,

hidung tersumbat, kontipasi,amenorrhae pada wanita.

2) THP (Trihexiphenidyl).

Digunakan untuk mengatasi gangguan gerak yang tidak normal dan

tidak terkendali akibat penyakit parkinson atau efek samping obat,

contoh obat yang berpotensi memberikan efek samping masalah pada


25

pergerakan yaitu obat untuk psikosis, masalah kejiwaan,atau

emosional, mual, perasaan gelisah, tremor dan lesu. Dosis awal obat

THP sebaiknya renah 12,5 mg diberikan tiap 2 minggu, bila ada efek

samping ringan dosis ditingkatkan 25 mg tergantung dari respon

pasien cara pemberian obat ini 2x sehari.

3) HLP (Haloperidol).

Untuk meredakan gejala skizofrenia dan masalah prilaku/emosional

serta masalah kejiwaan lainnya. Efek samping dari obat ini mulut

terasa kering, sakit kepala, sakit perut, perubahan BB, sulit BAK,

perubahan suasana hati, gemeteran, sulit tidur, hidung tersumbat, dan

detak jantung berdebar. Dosis obat ini 1-100 mg dengan cara

pemberiannya 2x sehari sebelum atau sesudah makan.

b) Terapi kejang listrik (ECT), terapi aktivitas kelompok (TAK), terapi

musik, terapi afirmasi (harapan) dan terapi seft (pasrah).

c) Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien ataupun keluarga yang

ikut serta dalam merawat pasien.

10. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Halusinasi

1. Pengkajian

a. Identitas pasien dan penanggung jawab (nama, jenis kelamin, alamat,

suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, agama).

b. Alasan masuk rumah sakit.

c. Faktor predisposisi.

1) Faktor perkembangan terlambat.


26

2) Faktor fisikologis yaitu mudah kecewa, mudah putus asa,

kecemasan tinggi, menutup diri, harga diri rendah, gambaran diri

negatif dan koping destruktif.

3) Faktor sosial budaya yaitu isolasi sosial pada usia lanjut, cacat

usia kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi

4) Faktor biologis yaitu adanya kejadian terhadap fisik: atrofi otak,

pembesaran vertikel, dan perubahan bentuk sel kortek dan limbic.

5) Faktor genetik.

6) Adanya pengaruh keturunan dari anggota keluarga yang

mengalami skizofrenia dan kembar monozigo.

d. Perilaku .

Perilaku yang sering tampak yaitu bibir komat-kamit, tertawa sendiri,

bicara sendiri, kepala mengangguk-angguk, seperti mendengar

sesuatu, tiba-tiba menutup telinga, gelisa, tiba-tiba marah dan

menyerang, memandang satu arah dan menarik diri.

e. Fisik

1) ADL: nutrisi tidak adekuat, kebersihan diri berkurang, tidak

mampu berpartisipasi dalam kegitan aktivitas fisik yang

berlebihan.

2) Kebiasaan: penggunaan obat-obatan dan tingka laku merusak diri.

3) Riwayat kesehatan: skizofrenia dan delirium berhubungan dengan

demam dan penyalahgunaan obat.


27

f. Fungsi sistem tubuh.

1) Perubahan berat badan, hipertermia (demam).

2) Neurologikal perubahan mood.

3) Ketidaksefektifan endokrin oleh peningkatan temperatur.

g. Status emosi: afek tidak sesuai, malu, panik dan ansietas berat.

h. Status intelektual: gangguan persepsi; penglihatan, pendengaran,

penciuman, kecap, isi pikir tidak realitis, kurang motivasi, koping

regresi serta sedikit berbicara. Sedangkan status sosial: putus asa,

menurunnya kualitas kehidupan, ketidakmampuan mengatasi ansietas

dan stresor.

2. Analisis Data

Menurut Yusuf (2015) menyatakan bahwa terdapat data penunjang

dari beberapa jenis halusinasi yaitu:

Jenis Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi
Halusinasi 1. Berbicara atau tertawa 1. Mendengar suara-suara.
pendengaran/ sendiri. 2. Mendengar suara yang
suara. 2. Marah-marah tanpa mengajak bercerita/
sebab. bercakap-cakap.
3. Mengarahkan telinga 3. Mendengar suara
kearah tertentu. menyuruh melakukan
4. Menutup telinga. sesuatu yang
membahayakan pasien.
Halusinasi 1. Ketakutan pada suatu Melihat bayangan,
penglihatan. keadaan yang tidak bentuk geometris,
jelas. melihat hantu dan
2. Menunjuk-nunjuk ke kartun.
arah tertentu.
Halusinasi 1. Mencium seperti Membaui seperti bau
penciuman. adanya bau sesuatu. feses, urin, darah dan
2. Menutup hidung. biasanya bau tersebut
menyenangkan.
28

Jenis Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi
Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada
Perabaan. dibagian permukaan kulit. sesuatu dipermukaan
kulit.
2. Merasakan seperti
tersengat listrik.
Halusinasi Pasien sering muntah dan Merasakan rasa seperti
pengecapan. meludah. dara, urine, atau feses.

3. Pohon masalah

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan


lingkungan.

Perubahan persepsi sensosi: halusinasi.

Gangguan hubungan sosial: menari diri.

Gangguan harga diri: harga diri rendah.

(Stuart, Laraia, 2005: dikutip Muhith, Abdul,


2015)

4. Diagnosa Keperawatan

a) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

b) Perubahan persepsi sensosi: halusinasi.

c) Gangguan Hubungan sosial.

d) Harga diri rendah.


29

5. Rencana Intervensi

1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien

a) Tujuan tindakan untuk pasien meliputi hal berikut.

1. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.

2. Pasien dapat mengontrol halusinasinya.

3. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.

b) Tindakan keperawatan

1. Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan

pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi

halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan

halusinasi muncul, dan respons pasien saat halusinasi muncul.

2. Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar

mampu mengontrol halusinasi, anda dapat melatih pasien empat cara

yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai

berikut.

a) Menghardik halusinasi.

b) Bercakap-cakap dengan orang lain.

c) Melakukan aktivitas yang terjadwal.

d) Menggunakan obat secara teratur.


30

6. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

a. Tujuan

1. Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit

maupun di rumah.

2. Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.

b. Tindakan keperawatan

1. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien

2. Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis

halusinasi yang dialami klien, tanda dan gejala halusinasi, proses

terjadinya halusinasi dan cara merawat klien halusinasi.

3. Berikan kesempatan kepala keluarga untuk memperagakan cara merawat

klien dengan halusinasi langsung dihadapan klien.

4. Memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang perawatan

lanjutan klien.

7. Evaluasi

Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah Anda lakukan

untuk pasien halusinasi adalah sebagai berikut.

1) Pasien mempercayai kepada perawat.

2) Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan

merupakan masalah yang harus diatasi.

3) Pasien dapat mengontrol halusinasi.

4) Keluarga mampu merawat pasien di rumah, ditandai dengan hal berikut.


31

5) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami oleh pasien.

6) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah.

7) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien.

8) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan

untuk mengatasi masalah pasien.

9) Keluarga melaporkan keberhasilannnya merawat pasien.

C. Kepatuhan Minum Obat

1. Kepatuhan

a. Pengertian

Kepatuhan dikenal juga dengan sebutan ketaatan (adherence) adalah

derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya.

Contoh dari kepatuhan yaitu mematuhi perjanjiaan, mematuhi dan

menyelesaikan progam pengobatan. Menggunakan medikasi secara tepat dan

mengikuti anjuran perubahan perilaku diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada

situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan progam pengobatan (Kaplan &

Sadock, 2007 dikutip Sulistyaningsih, 2016).

Kepatuhan minum obat adalah sesuatu yang menggambarkan bagaimana

pasien atau keluarga mengikuti petunjuk dan rekomondasi terapi dan

pengobatan secara benar dari perawat atau dokter (Kaplan & sadock, 2012).
32

b. Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut WHO (2003) dalam Maulidia (2014) menyatakan bahwa

kepatuhan dipengaruhi beberapa faktor yaitu:

1) Faktor Sosial Dan Ekonomi (Sosial And Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor

tunggal kepatuhan, namun dinegara-negara berkembang status ekonomi

sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal yang lebih

prioritas dari pada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang signifikan

dapat mempengaruhi ketidakpatuhan adalah pendapatan keluarga,

pendidikan yang rendah, kurangnya dukungan dari keluarga, tidak

tersedianya akses pelayanan kesehatan (jarak ketempat pengobatan,

transportasi yang digunakan dan pengobatan yang mahal). Pada penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Nandang Tisna menyebutkan bahwa

faktor jarak merupakan faktor penghambat untuk memanfaatkan

kesehatan, dengan tersedianya sarana trasportasi maka akan memberikan

kemudahan untuk mencapai pelayanan kesehatan.

2) Faktor Penderita (Patient- Related Factors)

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh

munculnya tanda dan gejala penyakit dan pengalaman. Biasanya penderita

itu sendiri sering lupa, motivasi dan dukungan yang rendah,

kesalahpahaman dan ketidakterimaan terhadap penyakit.


33

3) Faktor penyakit

Pada faktor ini pasien cenderung menjadi putus asa dengan lamanya

penyakit yang dialami sehingga progam terapi menjadi lama dan tidak

menghasilkan kesembuhan kondisinya. Kondisi yang biasanya lama sering

diartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnya penderita

membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri. Sifat kesakitan

pasien dengan gangguan psikiatrik, dapat berkontribusi pada

ketidakpatuhan, sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya

kesakitan, sehingga individu tidak patuh daripada pasien lainnya.

Menurut Siahaan (2012) menyatakan bahwa pasien dengan kondisi

seperti pasien skizofrenia dengan gangguan mental kronis yang

menyebabkan penderita mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau dan

perubahan perilaku, biasanya telah menunjukkan suatu kejadian

ketidakpatuhan yang tinggi. Menurut penelitian Muliawan (2008)

menyatakan adanya suatu hubungan antara keparahan penyakit dengan

kepatuhan, keadaan tersebut tidak dianggap bahwa pasien akan patuh

dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat ketidakmampuan

yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik, serta

diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi

kepatuhan pada kebanyakan pasien.


34

4) Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Faktor yang mempengaruhi terapi yaitu adanya dukungan tenaga

kesehatan untuk melakukan terapi diantaranya komplektisitas regamen

obat, durasi pengobatan, kegagalan terapi sebelumnya, perubahan dalam

terapi sebelumnya, kesiapan terhadap adanya efek samping penderita.

salah satunya penyebab ketidakpatuhan terapi yaitu sifat penyakit yang

kronis sehingga penderita merasa bosen untuk melakukan terapi.

5) Faktor Tim/Sistem Kesehatan (Health Care System/ Team Factors)

Penelitian yang menghubungkan antara sistem kesehatan dan

kepatuhan pasien sendiri masih sedikit khususnya pasien rawat jalan

karena keterbatasan waktu dan jarak sehingga kurangnya pengawasan dari

petugas kesehatan. Meski demikian hubungan yang baik antara tenaga

kesehatan dan pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam

pengobatan. Beberapa faktor yang dapat memberi pengaruh negatif antara

lain kurangnya pengembangan sistem kesehatan yang dibiayai oleh

asuransi, kurangnya distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan

kepada tenaga kesehatan tentang me - manage penyakit kronik, jam kerja

yang lebih, waktu konsultasi yang sedikit, kurangnya pengetahuan tentang

kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.


35

c. Prinsip Penggunaan Obat

Menurut Potter dan Perry (2005) terdapat beberapa prinsip pemberian obat

adalah:

1) Benar pasien

Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di

tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau

keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non

verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak

sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran,

harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung

kepada keluarganya.

2) Benar obat

Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya

harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan

botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat

yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak

terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian

farmasi. Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi.

Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini

membantu mengingat nama obat dan kerjanya.

3) Benar dosis

Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu,

perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau


36

apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya

perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun

tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya.

4) Benar cara/rute

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang

menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,

kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta

tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual,

parenteral, topikal, rektal, inhalasi.

5) Benar waktu

Informasi ini diberikan agar awitan kerja obat, efek puncaknya, dan durasi

aktivitasnya dapat diantisipasi dan dipertimbangkan dalam merancanakan

jadwal pemberian. Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang

efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar

darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk

memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan.

2. Ketidakpatuhan

a. Pengertian

Ketidakpatuhan pasien gangguan jiwa terhadap regamen traupetik,

pengobatan menjadi masalah global diseluruh dunia. Supaya masalah

ketidakpatuhan dapat diatasi maka perawat atau keluarga yang merawat

pasien khususnya pada pasien yang mendapatkan fasilitas pelayanan rawat


37

jalan harus memahami faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan (Ira

dkk, 2015).

b. Jenis-Jenis Ketidakpatuhan

1) Jenis ketidakpatuhan (Muliawan, 2008; dikutip Sulistyaningsih, 2016):

Ketidakpatuhan yang disengaja (Intentional non Compliance), disebabkan

oleh keterbatasan biaya pengobatan, ketidak percayaan pasien akan

efektivitas obat, dan sikap apatis klien.

2) Ketidakpatuhan yang tidak disengaja (Unitional non Compliance),

ketidakpatuhan ini disebabkan oleh klien lupa minum obat, kesalahan

dalam hal pembacaan etiket, ketidakpatuhan akan petunjuk pengobatan

c. Akibat Ketidakpatuhan

Menurut Spiritia (2012) dikutip Sulistyaningsih (2016) menyebutkan

bahwa ketidakpatuhan memberikan akibat pada progam terapi yang sedang

berjalan, antara lain:

1) Terjadinya resistensi, yaitu ketahanan suatu mikroorganisme terhadap

suatu antimikroba atau antibiotika terhadap agen penyebab penyakit

infeksi dan dapat mengakibatkan keracunan.

2) Bertambah parahnya penyakit dan penyakit yang diderita klien cepat

mengalami kekambuhan jika tidak adanya pengawasan dari keluarga.

Kekambuhan menunjukkan kembalinya gejala penyakit yang cukup parah

dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan memerlukan perawatan inap

atau rawat jalan yang tidak terjadwal. Kekambuhan adalah dimana kondisi
38

penyakit berada pada fase pemulihan disebabkan 4 faktor yaitu aspek

pasien, tanggung jawab, keluarga dan lingkungan masyarakat (Fitra,2013).

3) Bertambah lama proses pengobatan.

d. Tindakan Dilakukan Pasien Menolak Untuk Minum Obat

1) Buat sepakatan dengan penderita (membuat jadwal minum obat)

2) Jelaskan manfaat pengobatan bagi penderita, serta akibat jika lupa/

menolak minum obat

3) Konsultasikan dengan dokter mengenai pilihn obat, seperti bentuk sirup

atau puyer

4) Modifikasi pemberian obat, seperti diberikan/diminumkan bersama-sama

saat makan buah

5) Berikan pujian langsung pada penderita saat mempunyai keinginan sendiri

untuk minum obat

6) Libatkan anggota keluarga untuk mengawasi penderita minum obat (

memastikan obat benar-benar diminum) (Misan, 2014).

D. Keluarga

1. Pengertian

Menurut Harmoko (2012) mendefinisikan keluarga merupakan perkumpulan

dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi,

dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain. Keluarga juga

merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta

beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disatu atap dalam keadaan saling

ketergantungan (Sudiharto, 2007; dikutip Andriyani, 2015).


39

Karakteristik keluarga menurut Harmoko (2012) pada dasarnya meliputi;

a. Terdiri atas dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,

perkawinan atau adobsi.

b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap

memperhatikan satu sama lain.

c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai

peran sosial sebagai suami, istri, anak, kakak, dan adik.

d. Bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan

perkembangan fisik, fisokologis, dan sosial anggota.

2. Peran Kelurga

Menurut penelitian Purnamasari (2013) menyatakan bahwa pentingnya peran

keluarga dalam perawatan kesehatan keluarganya ini berpengaruh besar bagi

anggota keluarga, karena keluarga adalah sistem pendukung utama yang

memberikan perhatian langsung pada setiap keadaan pasien baik sehat maupun

sakit. Keluarga harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk mengatasi

masalah, sehingga dapat menekan perilaku maladaptive (pencegahan sekunder)

dan memulihkan perilku adaptif (pencegahan tertier) sehingga derajat kesehatan

pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal.

Merawatan pasien berarti juga hari terlibat langsung dengan program

pengobatan. Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi pasien minum obat.

Oleh karna itu keluarga sangat penting untuk mengetahui obat dan efek samping

obat. Diharapkan keluarga mengentahui manfaat obat, jenis, dosis, waktu, cara

pemberian, dan efek samping obat. Kondisi halusinasi dalam perawatan dan
40

pengobatan bisa dikontrol dengan obat. Penataklaksanaan terpenting yaitu

bagaimana klien dengan halusinasi tahu manfaat obat, kemudian mau minum

obat dengan patuh (Kliat, dkk 2011).

3. Dukungan keluarga

Menurut Friedman (2010) dalam Suwardiman (2013) menerangkan dukungan

keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan

jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Dukungan

keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan suami, istri,

atau dukungan dari saudara kandung, dan dapat juga berupa dukungan eksternal

bagi keluarga inti. Keluarga mempunyai empat fungsi dukungan, yaitu:

a. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari

dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk

afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Dukungan ini memberikan rasa aman, cinta kasih, membangkitkan semangat,

mengurangi putus asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dan

ketidakmampuan fisik (penurunan kesehatan dan kelaian yang dialaminya).

Pada klien halusinasi dukungan emosional sangat diperlukan dan akan

menjadi faktor sangat penting untuk upaya perawatan dan pengobatan dalam

mengontrol masalah halusinasinya. Dukungan ini sangat dibutuhkan dari

keluarga yang mengalami halusinasi sehingga dapat mempengaruhi status

psikososial dan mentalnya yang akan ditunjukkan dengan perubahan perilaku


41

yang diharapkan dalam upaya meningkatkan status kesehatannya, ini terjadi

disebabkan karna peningkatan perasaan tidak berguna, tidak dihargai, merasa

dikucilkan dan kecewa dari klien. Dukungan keluarga dapat mempengaruhi

kesehatan fisik dan mental seseorang melalui pengaruhnya terhadap

pembentukan emosional.

b. Dukungan informasi

Keluarga berfungsi sebagai penampung dan penyebar informasi, keluarga

memberi saran, informasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu

masalah. Manfaat dari dukungan ini dapat menekan munculnya suatu stresor

karna informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang

khusus pada individu. Aspek dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran,

petunjuk dan pemberian informasi.

Dukungan yang diberikan pada pasien halusinasi salah satunya adalah

fungsi perawatan kesehatan keluarga dalam mempertahankan keadaan

kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

Bentuk fungsi perawatan kesehatan yang diterapkan keluarga pada pasien

halusinasi yaitu memperkenalkan tentang kondisi dan penyakityang

dialaminya dan menjelaskan cara perawtan yang tepat pada klien halusinasi

agar klien termotivasi menjagadan mengontrol kesehatannya. Pada klien

halusinasi cenderung mengalami masalah kemunduran kognitif, sehingga

keadaan ini dapat mengakibatkan munculnya rasa permisis dan putus asa

bahkan kepasrahan terhadap masalah kesehatan yang terjadi pada dirinya.


42

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah pertolongan praktis dan kongkrit diantaranya:

kesehatan penderitaan dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan

terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini dalam bentuk

memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan waktu untuk

membantu atau melayani dan mendengarkan klien halusinasi dalam

menyampaikan perasaannya, serta dukungan ini melibatkan fungsi ekonomi

untuk memenuhi fungsi perawatan kesehatan terhadap anggota yang sakit.

Fungsi ekonomi keluarga dalam memenuhi semua kebutuhan anggota

keluarga termasuk kebutuhan kesehatan anggota keluarga, sedangkan untuk

fungsi perawatan kesehatan adalah merawat anggota keluarga yang

mengalami halusinasi dan membawanya ke pelayanan kesehatan untuk

memeriksa kesehatannya.

d. Dukungan penilaian

Dukungan dari keluarga memberikan umpan balik,membimbing dan

menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas

anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan

perhatian. Keluarga dalam dukungan ini memberikan umpan balik dan

penghargaan kepada klien halusinasi dengan menunjukkan respon positif yaitu

dorongan atau persetujuan terhadap gagasan, ide, atau perasaan seseorang.

Dukungan penilaian merupaka fungsi afektif kelurga terhadap klien halusinasi

yang dapat meningkatkan status kesehatan klien halusinasi. Melalui dukungan


43

penghargaan klien akan mendapatkan pengakuan atas kemampuannya

sekecildan sederhana apapun.

Dukungan keluarga terhadap klien halusinasi sangat penting dilakukan

dalam upaya peningkatan status kesehatan klien halusinasi. Klien bisa

semangat dan termotivasi sehingga menjadikan kehidupan klien lebih

berharga dan berati serta bermakna bagi keluarganya, dan klien halusinasi

akan merasa bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh orang lain

khususnya oleh kelurga dimana klien halusinasi tersebut tinggal.

4. Fungsi Keluarga Dalam Kepatuhan Minum Obat

Penelitian yang dilakukan Nandhi dan Anggoro (2015) menyatakan bahwa

terdapat hubungan positif antara fungsi keluarga dengan kepatuhan minum obat,

fungsi keluarga dilihat dari kemampuan beradaptasi (adaptation), kemitraan

(partnership), pertumbuhan (growth), kasih sayang (affection), dan kebersamaan

(resolve):

1) Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan anggota keluarga tersebut

beradaptasi dengan anggota keluarga yang lain, serta menerima, dukungan

dan saran dari anggota keluarga yang lain, dalam hal ini berarti keluarga ikut

serta membantu dan memberi dukungan pasien untuk patuh minum obat.

2) Kemitraan yaitu menggambarkan komunikasi, saling mengisi antara anggota

keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh anggota keluarga tersebut,

berarti keluarga membantu pasien untuk ikut berbagi dalam berbagai masalah

termasuk masalah dalam pengobatan, kepatuhan minum obat


44

3) Pertumbuhan, menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru

yang dilakukan anggota keluarga. Keluarga mampu menerima dan

mendukung kegiatan pasien untuk selalu minum obat.

4) Kasih sayang, menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar

anggota keluarga. Interaksi dengan dapat berupa informasi, perhatian,

dorongan dan bantuan untuk patuh minum obat dapat memunculkan kualitas

hubungan yang dapat mempengaruhi kesembuhan pasien.

5) Kebersamaan, keluarga juga mampu menjadi tempat mengungkapkan emosi

dan meluangkan waktu bersama pasien. Fungsi ini terdapat dukungan

emosional yang memiliki peran penting terhadap kepatuhan suatu

pengobatan karena dengan adanya dukungan emosional dalam suatu

pengobatan akan membuat pasien merasa dirinya tidak menanggung beban

sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mendengar dan

membantu memecahkan masalah yang terjadi sehingga memberikan rasa

nyaman kepada pasien.

5. Tugas Keluarga Dalam Kesehatan

Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Harmoko, 2012) yang

meliputi:

a) Mengenal masalah kesehatan keluarga

Kesehatan adalah kebutuhan keluarga yang tidak boleh di abaikan, karna

tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berati. Orang tua perlu

mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami

oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami


45

anggota keluarga secara tidak langsung akan menjadi perhatian keluarg,

apabila menyadari adanya suatu perubahan didalam keluarga tersebut.

b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat

Tugas ini adalah upaya utama keluarga untuk mencari pertolongan yang

tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa

diantara keluarga anggota mempunyai kemampuan memutuskan sebuah

tindakan. Tindakan kesehatan tersebut diharapkan tepat agar masalah

kesehatan keluarga yang sedang terjadi dapat teratasi. Jika keluarga

mempunyai keterbatasan dalam mengambil keputusan, maka keluarga

dapat meminta bantuan kepada orang lain dilingkungan tempat

tinggalnya.

c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit

Tugas sering mengalami keterbatasan, maka anggota keluarga yang

mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan

atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan

dapat dilakukan diinstitusi pelayanan kesehatan atau dirumah apabila

keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk

pertolongan pertama.

d) Mempertahankan suasana lingkuan keluarga yang sehat

Mempertahankan lingkungan yang sehat agar keluarga merasa nyaman,

aman, tenang, selalu bersih sehingga dapat menunjang derajat kesehatan

bagi anggota keluarga.


46

e) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan sekitar kelurga.

Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas yang ada disekitarnya seperti

puskesmas yang dapat digunakan sebagai sumber informasi serta

pengobatan awal pada anggota keluarga yang mengalami halusinasi serta

sebagai media rujukan untuk merujuk pasien ke tempat rumah sakit jiwa

agar anggota keluarga yang mengalami halusinasi dapat dirawat dan

diobati sesuai dengan keluhan penyakit yang dialaminya.

E. Paliative Care Pada Pasien Gangguan Jiwa

1. Pengertian

Perawatan paliative care adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki

kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan

dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan

melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan

masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI

NOMOR: 812, 2007; dikutip Fitria 2010). Masalah psikologis yang dialami

penderita penyakit terminal tidak bisa diabaikan karena bisa berlanjut menjadi

gangguan jiwa berat. Untuk mengatasi masalah psikotogis ini perlu pendekatan

interdisiplin. Konseting perlu diberikan oleh ahlinya agar masalah psikologis

penderita bisa diatasi. Jika penderita sulit tidur karena memikirkan

penyakitnya,obat tidur mungkin bisa juga diberikan (Suryani, 2013).


47

2. Tujuan Paliative Care

Menurut Suryani (2013) menyatakan bahwa dengan adanya paliative care

dapat meningkatkan kualitas hidup penderita dan juga bisa memperbaiki prognosa

penyakit. Paliative care berfungsi untuk:

a) Membantu penderita mengatasi nyeri dan gejala lainnya

b) Menghargai hidup dan kematian sebagai proses yang normal

c) Mengintegrasikan aspek psikotogis dan spiritual dalam merawat penderita

d) Memberikan support agar penderita bisa berfungsi secara aktif hingga

kematiannya.

e) Menyediakan support sistem bagi keluarga selama penderita sakit dan setelah

kematiannya.

3. Prinsip Dalam Paliative Care

Menurut Chairn dan Yates (2003) dikutip Suryani (2013) menyatakan bahwa

terdapat prinsip-perinsip dalam perawatan paliatif yaitu:

a) Pasien dan keluarga merupakan Unit Of Care.

b) Penderita dilihat sebagai Whole Person.

c) Menggunakan pendekatan interdisiplin.

d) Memberikan dukungan dan supportpada pasien dan keluarga termasuk

melewati proses berduka: menghadapi kematian dengan damai.

e) Spirit untuk menerima pasien.

f) Mengatasi nyeri dan keluhan fisik lainnya.

g) Penggunaan terapi alternatif dimungkinkan.


48

4. Tempat untuk melakukan perawatan paliative

Menurut keputusan Mankes (2007) dikutip Suryani (2013) tentang kebijakan

perawatan paliatif bisa dilakukan diberbagai tempat:

a) Rumah penderita sendiri.

b) Puskesmas.

c) Rumah singgah (hospice).

d) Rumah sakit.

F. Pendidikan Kesehatan

Penanganan ketidakpatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa salah

satunya dengan memberikan promosi kesehatan seperti pendidikan kesehatan pada

pasien dan keluarga, supaya keluarga tahu dan mengerti pentingnya minum obat

dengan benar yang telah diresepkan untuk kesembuhan pasien tersebut (Misnan,

2014). Promosi kesehatan adalah promosi kesehatan yang dikembangkan dirumah

sakit ataupun dirumah pasien dalam rangka untuk membantu pasien dan keluarga

agar mereka dapat mengatasi masalah kesehatannya, khususnya untuk mengurangi

rasa sakit bahkan mempercepat kesembuhan penyakit yang dialami pasien

(Notoatmodjo; 2010).

Pendidikan kesehatan ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan

dalam proses perubahan pada diri seseorang (individu, keluarga dan masyarakat),

media edukasi yang mengunakan berupa flipchart dan leaflet. Flipchart digunakan

sebagai media penyuluhan dan leaflet yang diberikan kepada responden.

Pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat sangat penting diberikan

kepada pasien halusinasi dan keluarganya, untuk melihat kombinasi pengalaman


49

dasar yang direncanakan serta untuk belajar teoritis yang dapat memberikan

kesempatan bagi individu, kelompok dan masyarakat untuk menerima informasi dan

keahlian yang diperlukan dalam mengambil keputusan untuk kesehatan (Pardede &

Sireger, 2015).

Menurut Mubarak, dkk (2007) menyatakan bahwa terdapat tujuan utama

pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu:

1) Menetapan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.

2) Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalanya, dengan sumber

daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar.

3) Menentukan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup

sehat dan kesejahteraan masyarakat.

G. Penelitian Terkait

Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan, didapatkan beberapa penelitian

yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu:

Penulis Judul Tahun Hasil

Kaunang Hubungan kepatuhan minum 2015 Hasil penelitian menunjukkan terdapat


Ireine obat dengan prevalensi hubungan antara kepatuhan minum obat
dkk kekambuhan pada pasien dengan prevalensi kekambuhan pasien
skizofrenia yang berobat jalan skizofrenia yang berobat jalan di di
di ruang poliklinik jiwa Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Jiwa Prof.
rumah sakit prof dr. V. L. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado
Ratumbuysang manado

Pardede Pengaruh pendidikan 2015 Menunjukkan hasil bahwa pengaruh


& kesehatan kepatuhan minum pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan
siregar obat terhadap perubahan minum obat pada pasien halusinasi nilai
gejala halusinasi pada klien p:0,0009(p<0,005) artinya ada pengaruh
skizofrenia di rumah sakit signifikan pendidikan kesehatan terhadap
jiwa daerah kepatuhan minum obat pada pasien.
prof.dr.muhammad ildrem
provsu medan.
50

Penulis Judul Tahun Hasil

Erwina Faktor-Faktor Yang 2015 Hasil penelitian didapatkan bahwa


dkk Berhubungan Dengan terdapat hubungan yang signifikan (p <
Kepatuhan Minum Obat 0,05) antara efek samping obat dan dosis
Pasien Skizofrenia Di RSJ. obat dengan kepatuhan berobat pasien,
Prof. HB. Saanin Padang. dan tidak ada hubungan yang bermakna
(p > 0,05) antara lama pengobatan dan
biaya pengobatan dengan kepatuhan
berobat pasien. Faktor yang paling
berpengaruh adalah dosis obat.

Suheri Pengaruh Tindakan Generalis 2014 Hasil penelitian menyimpulkan bahwa


Halusinasi Terhadap pasien skizofrenia memiliki frekuensi
Frekuensi Halusinasi Pada yang rendah setelah menerima tindakan
Pasien Skizofrenia Di Rs Jiwa generalis halusinasi.
Grhasia Pemda DIY.

Siti Pengaruhterapi musik 2014 Hasil penelitian menunjukkan adanya


Sahpitri terhadap tanda dan gejala perbedaan tanda dan gejala halusinasi
halusinasi pendengaran pendengaran yang bermakna antara
padapasien skizofrenia kelompok intervensi dan kelompok
dirumah sakit jiwa daerah kontrol (p-value< 0.05). Halusinasi
pemerintah provinsi sumatra menurun secara bermakna pada kelompok
utara. intervensi (p-value< 0.05). Sedangkan
pada kelompok kontrol halusinasi
menurun secara tidak bermakna (p-value>
0.05). Disarankan kepada pihak rsj
pemprovsu agar mempertimbangkan
penggunaan terapi musik sebagai
Alternative dan memberikan asuhan
keperawatan pada pasien halusinasi
Pendengaran
M. Fitra Hubungan antara faktor 2013 Menunjukkan terdapat faktor kepatuhan
kepatuhan mengkonsumsi mengkonsumsi obat terhadap
obat, dukungan keluarga dan kekambuhan pasien skizofrenia, terdapat
lingkungan masyarakat pengaruh dukungan keluarga terhadap
dengan tingkat kekambuhan kekambuhan pasien skizofrenia, tidak
pasien skizofrenia di rsjd terdapat pengaruh lingkungan masyarakat
surakarta. terhadap kekambuhan pasien skizofrenia,
dan faktor dukungan keluarga merupakan
faktor yang paling dominan berpengaruh
terhadap kekambuhan pasien skizofrenia
di rsjd surakarta.
Antonius Pengalaman keluarga tentang 2010 Dalam penelitian ini teridentifikasi
Ngadiran beban dan sumber dukungan delapan tema sebagai hasil penelitian
51

keluarga dalam merawat klien pengalaman keluarga yaitu beban


dengan halusinasi. keluarga,beban financial, masalah dalam
fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan
sosial, dukungan keluarga,perhatian tanpa
pamrih, kecewa terhadap pemberian
dukungan, dan takdir.
52
53

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Independen

Pendidikan kesehatan
keluarga tentang kepatuhan
minum obat
Dependen Dependen

Frekuensi halusinasi Frekuensi halusinasi


sebelum diberikan setelah diberikan
intervensi intervensi

1. Faktor sosial dan ekonomi


Diteliti a. Data demografi (usia, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, hubungan dengan
Tidak diteliti pasien)
b. Dukungan keluarga
c. Akses pelayanan kesehatan

2. Faktor penderita
3. Faktor penyakit
4. Faktor terapi
5. Faktor tim kesehatan

Variabel Confounding

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


53
54

B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis pre-ekperimental

tanpa menggunakan kelompok kontrol dengan rancangan “One Group pretest –

posttest”. Rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi melakukan

observasi pertama sebelum diberikan intervensi (pretest), kemudian melakukan

observasi kembali setelah dilakukannya intervensi (postest) (Notoatmodjo, 2012).

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah frekuensi halusinasi pada pasien

skizofrenia dan eksperimen yang dilakukan berupa pendidikan kesehatan keluarga

tentang kepatuhan minum obat yang dilakukan peneliti setelah observasi pertama

(pretest),bertujuan untuk membandingkan frekuensi halusinasi sebelum dan sesudah

diberikan pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat.

Pre-test Perlakuan Post-test

01 X 02

Keterangan:

X : Perlakuaan (intervensi) pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan

minum obat

O1 : Frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia sebelum diberi pendidikan

sskesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat

O2 : Frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia setelah diberi pendidikan

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat


55

C. Hipotesis

Hipotesis didalam penelitian adalah jawaban sementara peneliti, patokan duga,

atau dalil sementara, yang keberadaannya dibuktikan dalam penelitian tersebut

(Natoatmodjo, 2012).

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka dapat dilihat

hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat terhadap

frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang.

b) Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi halusinasi dalam

memberikan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat pada

pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

c) Ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan frekuensi halusinasi

dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat

pada pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

d) Tidak ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat

terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di RS. Ernaldi Bahar

Palembang.

e) Tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi halusinasi

dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat

pada pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

f) Tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan frekuensi

halusinasi dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan


56

minum obat pada pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dapat diteliti

atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).

Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat :

Tabel 3.1 Definisi Operasional data karakteristik responden (keluarga)

Variabel Definisi Cara Alat Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Usia Lama hidup Memberi Lembar 1. Remaja Ordinal
seseorang lembar kuesioner akhir (17-25
(Depkes, sampai hari kuesioner pada tahun)
2009) ulang tahun keluarga dan 2. Dewasa
terakhir saat peneliti awal (26-35
penelitian memberi ceklis tahun)
dilakukan jawaban dari 3. Dewasa
keluarga akhir (36-45
tahun)
4. Lansia awal
(45-55
tahun)
Jenis Kondisi Memberi Lembar 1. Laki-laki Nominal
kelamin perbedaan lembar 2. Perempuan
kuesioner
gender kuesioner pada
(Notoatmo responden keluarga dan
djo, 2012) yang dibawa peneliti
sejak lahir memberi ceklis
jawaban dari
keluarga
Pendidikan Tingkat Memberi Lembar 1. Rendah Ordinal
pendidikan lembar kuesioner (tidak
(Notoatmo formal kuesioner pada sekolah dan
djo, 2012) tertinggi keluarga dan SD)
dicapai peneliti 2. Sedang
responden memberi ceklis (SMP dan
sesuai dengan jawaban dari SMA)
ijazah yang keluarga. 3. Tinggi
dimiliki (sarjana)
57

Definisi Cara Alat Hasil Skala


Variabel
Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Pendapatan Sosial Memberi lembar Lembar 1. Tinggi (> Ordinal
ekonomi kuesioner pada kuesioner 2.388,000)
(Assajidin, didasarkan keluarga dan 2. Sedang
2017). pada peneliti memberi (1.194,000-
pendapatan ceklis jawaban 2.388,000)
yaitu segala dari keluarga 3. Rendah (<
bentuk 1.194,000)
penghasilan
yang diterima
oleh keluarga
dalam bentuk
rupiah yang
diterima
setiap
bulannya
Hubungan Status Memberi lembar Lembar 1. Ayah Nominal
dengan anggota kuesioner pada kuesioner 2. Ibu
pasien keluarga keluarga dan 3. Adek
terkait dengan peneliti memberi 4. Kakak
pasien ceklis jawaban 5. Lainnya
dari keluarga

Tabel 3.2 Definisi Operasional variabel dependen dan confounding

Variabel Definisi Cara Alat Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Frekuensi Hasil Memberi Lembar 1. Tinggi (6-8) Ordinal
halusinasi pengukuran pertanyaan observasi 2. Sedang (3-5)
sebelum frekuensi kepada 3. Rendah (0-2)
diberikan halusinasi yang keluarga
intervensi dilakukan mengenai
pendidikan sebelum perilaku
kesehatan intervensi pasien
keluarga pendidikan dengan
tentang kesehatan lembar
kepatuhan tentang observasi
minum obat kepatuhan
minum obat
58

Definisi Cara Alat Hasil Skala


Variabel
Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Frekuensi Hasil Memberi Lembar 1. Tinggi (6-8) Ordinal
halusinasi pengukuran pertanyaan observasi 2. Sedang (3-5)
setelah frekuensi kepada 3. Rendah (0-2)
diberikan halusinasi yang keluarga
intervensi dilakukan mengenai
pendidikan setelah perilaku
kesehatan intervensi pasien
keluarga pendidikan dengan
tentang kesehatan lembar
kepatuhan tentang observasi
minum kepatuhan
obat. minum obat
Dukungan Bantuan berupa Responden Lembar 1. Dukungan Ordinal
keluarga. tindakan diminta kuesioner Kurang (0-
diberikan untuk 16)
(Saputra, keluarga kepada menjawab 2. Dukungan
2010). anggota pertanyaan Cukup(17-
keluarga yang dari 32)
sedang peneliti 3. Dukungan
mengalami Baik (33-48)
halusinasi
sehingga pasien
merasa
dibutuhkan dan
tidak
ditinggalkan
oleh keluarga.
dukungan
meliputi
dukungan
emosional,
informasi,
instrumental dan
penilaian.

Akses Kemudahan Responden Lembar 1. Akses


pelayanan mencapai lokasi, diminta kuesioner sulit Ordinal
kesehatan. keterjangkauan untuk 2. Akses
fasilitas menjawab mudah
(Nara, kesehatan pertanyaan
2014). berdasarkan dari
lama waktu, peneliti.
jarak trasportasi
yang digunakan.
59

E. Popolasi Dan Sampe1

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga pasien skizofrenia yang

memiliki tanda dan gejala halusinasi yang berjumlah 30 pasien di Poli Klinik

Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Palembang.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan non

probability sampling yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan

dengan pemilihan sampel sesuai tujuan peneliti dari populasi yang memenuhi

kriteria penelitian (Notoatmodjo, 2012). Peneliti menggunakan teori Kasjono dan

Yasril (2009) dimana jumlah sampel minimal penelitian eksperimental sebanyak

15 responden.

3. Kriteria Sampel

Kriteria dalam penelitian ini menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi

yang dapat diambil sebagai sampel, sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri-ciri

anggota populasi yang tidak diambil sebagai sampe (Notoatmodjo, 2012).

a. Kriteria inklusi

1) Keluarga dari pasien skizofrenia yang memiliki tanda dan gejala halusinasi,

usia 18-55 tahun.

2) Lama pengobatan saat sakit ≥ 6 bulan.

3) Keluaga dari pasien lama yang menggunakan asuransi BPJS (1 kali per

bulan atau 1 kali dalam 3 bulan).


60

4) Keluarga dari pasien yang berobat dipoliklinik/rawat jalan

5) Keluarga dari pasien yang berasal dari palembang

6) Bersedia menjadi responden

7) Memiliki kemampuan baca tulis yang baik dan mau kerja sama.

b. Kriteria eksklusi

1) Kelurga dari pasien skizofrenia yang memiliki tanda dan gejala penyakit

selain halusinasi seperti risiko perilaku kekerasan, waham, menarik diri,

harga diri rendah dan defisit perawatan diri.

2) Keluarga dari pasien skizofrenia yang menggunakan JAMSOSKES

3) Tidak bersedia menjadi responden.

4) Tidak mau bekerja sama

c. Kriteria droup out

1) Keluarga dari pasien menolak kedatangan peneliti kerumah untuk

melakukan penyuluhan tentang kepatuhan minum obat.

2) Keluarga dari pasien yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan

frekuensi halusinasi pasienberupa posttest.

F. Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Poli Klinik Rumah Sakit Ernaldi

Bahar Palembang. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe A, dengan jumlah

kunjungan pasien yang cukup tinggi pertahunnya serta rumah sakit ini juga menjadi

pusat rujukan dari berbagai daerah di Sumatra Selatan.


61

G. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan bulan mei yang dimulai dari pengumpulan data,

pelaksanaan pendidikan kesehatan, serta dilanjutkan dengan pengolahan data dan

penyusunan laporan hasil penelitian.

H. Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika subjek penelitian adalah

manusia, maka peneliti harus memahami hak dan dasar manusia. Manusia memiliki

kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian yangakan dilaksanakan

benar-benar menjujung tinggi kebabasan manusia. Beberapa prinsip penelitian yang

harus dipahami dalam melaksanakan penelitian yaitu (Hidayat, 2009). .

a) Prinsip manfaat

Dengan berperinsip pada aspek manfaat, maka segala bentuk penelitian yang

dilakukan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Penelitian ini dapat memberi manfaat terutama bagi petugas kesehatan rumah

sakit.

b) Prinsip menghormati manusia

Manusia memiliki hak yang mulia yang harus dihormati, karena manusia

berhak menentukan pilihan antara mau dan tidak mau di ikut sertakan menjadi

subjek penelitian. Pada penelitian ini formulir persetujuan diberikan kepada

keluarga yang ada di Poliklinik Rumah Sakit.

c) Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan

menghargai hak, menjaga privasi manusia dan tidak berpihak dalam perlakuan
62

terhadap manusia. Penelitian ini tidak membeda-bedakan responden. Lembar

observasi untuk semua kelurga pasien yang memiliki tanda dan gejala

halusinasi, memiliki bentuk dan isi yang sama.

d) Informed consent (lembar persetujuan)

Suatu bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan

memberikan lembar persetujuan. Informed consent diberikan sebelum

penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memberikan persetujuandan siap

menjadi responden. Tujuan diberikkan informed consent agar subjek mengerti

maksut dan tujuan penelitian, serta mengerti akan dampaknya. Jika responden

bersedia, maka responden harus menandatangani lembar persetujuan dan jika

responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak dan keputusan

responden tersebut.

e) Anonimity (tanpa nama)

Masalahyang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian

dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama lengkap responden

pada lembar alat ukur. Peneliti hanya menuliskan kode atau inisial pada lembar

observasi atau hasil penelitian yang akan disajikan.

f) Confidentiality (kerahasiaan)

Masalah kerahasiaan merupakan masalah etika yang memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik dari informasi maupun masalah-masalah

lainnya yang berkaitan dengan hasil dari responden. Semua informasi yang

telah dikumpulkan peneliti akan dijaminkerahasiaannya.


63

I. Alat Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengumpulan data primer pada penelitian ini diperoleh secara langsung

melalui lembar kuesioner dan lembar observasi. Lembar kuesioner yaitu data

demografi responden, dukungan keluarga, akses pelayanan kesehatan dan lembar

observasi adalah frekuensi halusinasi.

a) Data demografi responden (nama/inisial, usia, jenis kelamin, pendidikan,

pendapatan, hubungan dengan pasien).

b) Dukungan keluarga

Lembar kuesioner dukungan keluarga berisi 16 item pertanyaan dan 4

komponen dukungan keluarga yang sudah uji validitas dari peneliti

sebelumnya (Saputra, 2010), pertanyaan tersebut meliputi dukungan

emosional yang terdiri dari 4 pertanyaan yaitu nomor 1-4, dukungan informasi

terdiri 4 pertanyaan yaitu nomor 5-8, dukungan instrumental terdiri dari 4

pertanyaan yaitu nomor 9-12 dan dukungan penilaian 4 pertanyaan yaitu

nomor 13-16. Kuesioner disusun dalam bentuk pernyataan positif dengan

empat pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari Selalu, Sering, Jarang dan

Tidak Pernah dengan menggunakan skala likert. Bobot nilai yang diberikan

untuk setiap pertanyaan adalah 0 sampai 3, dimana jawaban Selalu bernilai 3,

Sering bernilai 2, Jarang bernilai 1 dan Tidak Pernah bernilai 0. Berdasarkan

rumus statistik menurut Sudjana (2002) dikutip Saputra (2010):

Panjang Kelas (P) = Rentang Kelas

Banyak kelas
64

Dengan P = 16 maka nilai tertinggi yang mungkin diperoleh adalah 48

dan nilai terendah yang mungkin diperoleh adalah 0, maka rentang kelas

adalah 48 dengan 3 kategori banyak kelas. Maka dukungan keluarga pada

pasien skizofrenia dikategorikan dengan interval sebagai berikut :

0-16 : Dukungan kurang.

17-32 : Dukungan cukup.

33-48 : Dukungan baik.

c) Akses pelayanan kesehatan.

Pengukuran yang dilakukan peneliti tentang akses pelayanan kesehatan

menggunakan lembar kuesioner dengan 6 item pertanyaan, yang diadopsi dari

Nara (2014). Skor didapat berdasarkan nilai mean jika A = nilai 2, B= nilai 1.

Akses Sulit (skor dibawah rata-rata) dan akses mudah (skor diatas rata-rata).

d) Frekuensi halusinasi.

Untuk mengukur atau mendapatkan data tentang frekuensi halusinasi

peneliti menggunakan lembar observasi 2 pertanyaan nilai 0-4 dan rentan 0-8.

Dengan hasil tinggi = 6-8x dalam seminggu, sedang = 3-5x dalam seminggu,

dan rendah = 0-2x dalam seminggu.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari rekam medik untuk mengetahui jumlah

kunjungan pasien di Poliklinik/ rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar

Palembang.
65

J. Prosedur Pengumpulan Data

a) Tahap persiapan

Peneliti menentukan topik penelitian yang akan diteliti, menentukan tempat

penelitian dan fokus permasalahan yang akan diteliti dengan melakukan studi

literatur dan studi pendahuluan ditempat tujuan penelitian. Pengajuan

permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Progam Studi Ilmu Keperawatan

ke Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya untuk melakukan penelitian di

RSJ Ernaldi Bahar Palembang, lalu peneliti menyusun rancangan penelitian

dalam bentuk proposal penelitian. Selanjutnya adalah meminta data jumlah

kunjungan pasien skizofrenia rawat jalan dan data jumlah pasien yang

mengalami halusinasi di Poliklinik RSJ Palembang.

Melakukan koordinasi dengan diklat, kepala ruangan, kasi keperawatan dan

perawat yang bertugas dipoliklinik. Mengidentifikasi pasien yang memiliki

kriteria inklusi dengan cara melihat data melalui status pasien, membuat daftar

pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian menjelaskan proses dan

manfaat dari penelitian kepada responden yang sudah terpilih, memberikan

kesempatan bertanya kepada responden tentang penelitian yang dilakukan,

apabila responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian maka keluarga dari

pasien diminta untuk mengisi lembar persetujuan (informed consent) sebagai

responden penelitian.
66

b) Tahap Pelaksanaan

1) Pre-test

Dimulai dari hari pertama minggu pertama setelah mengisi lembar

persetujuan, peneliti langsung mengambilan data dengan menentukan

responden yang memenuhi kriteria inklusi. Pada hari pertama minggu

pertama peneliti melakukan pre-test kepada responden sebelum diberi

pendidikan kesehatan untuk mengetahui frekuensi halusinasi, menggunakan

lembar kuesioner yaitu data demografi, dukungan keluarga dan akses

pelayanan kesehatan yang mengakibatkan ketidakpatuhan minum obat.

Pendidikan kesehatan ini dilaksanakan di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi

Bahar Palembang.

2) Intervensi

Pada pertemuan ke dua, setelah memberikan lembar observasi pre-test

dan mendapatkan hasil dari pre-test. Peneliti langsung memberikan

pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat di masing-

masing rumah responden dengan cara Door To Door.

a. Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada keluarga yaitu definisi

sehat jiwa, menjelaskan kepatuhan minum obat, faktor yang

mempengaruhi dan prinsip dasar penggunaan obat, menjelaskan jenis,

tanda dan gejala halusinasi, peran keluarga merawat halusinasi, jenis,

manfaat dan efek samping obat pada pasien halusinasi, cara mengontrol

halusinasi, dan tindakan yang dilakukan jika penderita menolak minum

obat.
67

b. Media yang digunakan adalah flipchart

c. Membagikan leaflet kepada responden

d. Peneliti penyampaian materi selama 40 menit, peneliti memberikan

kesempatan kepada keluarga untuk bertanya dan peneliti menjawab

pertanyaan keluarga.

e. Menanyakan kepada peserta (keluarga dan pasien) tentang materi yang

telah diberikan dan memberi reinforcement kepada peserta yang dapat

menjawab pertanyaan.

f. Setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan minum obat,

peneliti memberikan lembar observasi post test mengenai jadwal harian

keluarga atau pasien yang berisi tentang frekuensi halusinasi yang

muncul dalam 1 minggu, peneliti menyarankan kepada responden untuk

mengisi lembar observasi setiap hari.

g. Peneliti mintak persetujuan kepada keluarga untuk menempelkan lembar

observasi didekat tempat tidur pasien.

3) Post-test

Lembar observasi ini akan diambil setelah pertemuan ke 3, seminggu

setelah diberikan pendidikan kesehatan. Etika dalam penelitian ini peneliti

memberikan bingkisan yang diberikan pada saat intervensi dan posttest serta

cendra mata. Peneliti mendukomentasikan untuk foto-foto bersama pasien

dan keluarga sebagai salam perpisahan. Peneliti mengucapkan terimakasih

kepada keluarga dari pasien yang bersedia menjadi responden serta

mengucapkan salam penutup.


68

K. Analisis Data

1. Pengolahan Data

Tahap–tahap pengolahan data dengan komputer meliputi (Notoatmodjo,

2012):

a. Editing

Setelah seluruh data terkumpul peneliti melakukan pengecekan dan koreksi

data. Peneliti memastikan bahwa data yang diperoleh baik atau benar,

artinya data tersebut telah terisi semua dan dapat dibaca dengan baik.

Hal ini dilakukan dengan meneliti tiap lembar kuesioner dan lembar

observasi yang ada.

b. Coding

Coding (Pemberian kode) pada jawaban yang telah diberikan responden

dalam menjaga kerahasiaan identitas responden sehingga memudahkan

didalam proses pencarian identitas responden apabila diperlukan dikemudian

hari. Adapun pemberian coding dalam penelitian ini meliputi usia (1. Remaja

akhir 2. Dewasa awal 3. Dewasa pertengahan 4. Usia lanjut), jenis kelamin

(1. Laki-laki 2. Perempuan), hubungan keluarga dengan pasien (1. Ayah 2.

Ibu 3. Adek 4. Kakak 5. Keluarga lainnya), pendidikan (1. Rendah 2. Sedang

3. Tinggi), penghasilan (1. > 2.388.000 perbulan 2. 1.194.000 – 2.388.000

perbulan 3. < 1.194.000 perbulan), frekuensi halusinasi (1.Tinggi 2. Sedang

3. Rendah), dukungan keluarga (1. Dukungan kurang 2. Dukungan cukup 3.

Dukungan baik), akses pelayanan kesehatan (1. Akses sulit 2. Aksis mudah).
69

c. Data entry atau processing

Setelah dilakukan coding maka data dimasukkan kedalam program atau

software komputer. Dalam proses ini peneliti dituntut untuk melakukannya

dengan teliti agar tidak terjadi bias.

d. Cleaning

Setelah semua data dimasukkan maka dilakukan pengecekkan kembali untuk

melihat kemungkinan adanya kesalahan dalam kode, ketidak lengkapan dan

lain sebagainya. Kemudian dilakukan pembetulan apabila terjadi kesalahan

dalam memasukkan data.

2. Analisis Data

a. Analisis univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel

penelitian (Notoatmodjo, 2012). Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui

kareteristik responden berkaitan dengan data demografi meliputi jenis kelamin,

umur, pendidikan, pendapatan keluarga, hubungan dengan pasien dan frekuensi

halusinasi sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi dan persentase.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh

pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat terhadap

frekuensi halusinasi pada responden dengan melihat perbedaan hasil

pengukuran frekuensi halusinasi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan

kesehatan keluarga. Variabel yang digunakan skala ordinal yang termasuk


70

variabel kategorik dengan uji statistik menggunakan Marginal Homogenity

hipotesis komperatif kategorik berpasangan (Dahlan, 2012).

Analisis bivariat ini juga untuk mengetahui hubungan antara variabel

confounding dengan variabel dependen yang masing-masing variabel berskala

ordinal. Variabel confounding penelitian ini yaitu dukungan keluarga dan akses

pelayanan kesehatan. Analisis bivariat menggunakan uji statistik chi-square

dengan tingkat kepercayaan 95%, dijumpai nilai expected count kurang dari 5

(E< 5) maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji Chi-square tidak

terpenuhi, maka dipakai uji alternatif lainnya yaitu Kolmogorov-smirnov.

Penelitian ini menggunakan α = 0,05 sehingga jika p value < 0,05 (Dahlan,

2012).
71

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambara Umum Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang Provinsi Sumatera


Selatan.
1. Visi, Misi, Motto dan Tujuan

Rancangan strategis Rumah Sakit Ernladi Bahar Palembang tahun 2017,

memiliki Visi dan Misi sebagai berikut:

Visi : Rumah sakit Ernaldi Bahar sebagau pusat rujukan pelyanan dan pendidikan

kesehatan jiwa yang prima dan berdaya saing nasional.

Misi :

a. Meningkatkan mutu pelayanan kesehtan jiwa.

b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, sarana dan

prasarana.

c. Mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi

NAPZA.

d. Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral

e. Mengembangkan fasilitas pendidikan dan pelatihan kesehatan jiwa.

2. Sumber Daya Manusia

Jumlah pegawai pada tahun 2017 yaitu 390 orang. Pegawai terdiri dari

berbagai disiplin ilmu baik dokter spesialis, perawat dan tenaga kesehatan dan

non kesehatan. Jumlah psikiaer yaitu 2 oarang, sedangkan sarjana perawat 54

orang dan perawat asosiasi 55 orang.


72

3. Jumlah Pelayanan

Pelayanan yang dilakukan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar yakni terdiri dari

pelayanan gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, kesehatan jiwa anak, remaja,

gangguan mental organik napza, rehabilitasi, kesehatan jiwa kemasyarakatan,

pelayanan gigi, psikologi, radiologi, HIV/AIDS, syaraf, penyakit dalam, penyakit

kulit dan kelamin, obstetri ginekologi, penyakit mata, rehabilitasi napza,

rehabilitasi medis, konsultasi gizi, laboratorium, farmasi dan layanan gizi.

Layanan rawat inap mempunyai kapasitas sebanyak 250 tempat tidur, dengan

rata-rata pasien dirawat perhari sebanyak 245 orang. Poliklinik rawat jalan rata-

rata melayani 137 orang perhari dari berbagai macam penyakit.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat terhadap frekuensi

halusinasi pasien skizofrenia di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. Pengambilan

data dilakukan pada tanggal 17 sampai 31 Mei tahun 2017 dengan total 15 sampel.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh menggunakan kuesioner dan lembar

observasi yang diberikan kepada keluarga pasien. Pengambilan data pre-test di

Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang, sedangkan intervensi pendidikan

kesehatan dan pengambilan data post-test dilakukan dirumah responden dengan

adanya persepakatan antara peneliti dan keluarga pasien. Hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :
73

1. Analisa Univariat

Penelitian ini melibatkan 15 orang responden yang diberikan pendidikan

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat. Tujuan analisis ini adalah

untuk mengetahui karakteristik responden berkaitan dengan data demografi

meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pendapatan kelurga, hubungan dengan

pasien dan frekuensi halusinasi sebelum dan setelah pendidikan kesehatan

keluarga di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2017.

a. Distribusi Frekuensi Umur

Tabel 4.1
Umur Responden Di Poliklinik Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2017

No. Umur Frekuensi Persentase


1. Remaja akhir 1 6.2 %
2 Dewasa awal 6 37.5 %
3 Dewasa akhir 2 13.3 %
4 Lansia awal 6 37.5 %

Total 15 100%

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa usia keluarga pasien halusinasi

sebagian besar berusia 26-35 tahun dan 45-55 tahun dengan kategori dewasa

awal dan lansia awal dengan persentase 37.5 %.


74

b. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Tabel 4.2

Jenis Kelamn Responden Di Poliklinik Rumah Sakit

Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2017

No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase


1. Perempuan 13 86.7 %
2. Laki-laki 2 12.5 %
Total 15 100 %

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar jenis kelamin

keluarga pasien halusinasi kebanyakan perempuan dengan persentase 86.7 %.

c. Distribusi Frekuensi Pendidikan

Tabel 4.3
Pendidikan Responden Di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Palembang Tahun 2017
No. Pendidikan Frekuensi Persentase
1. Rendah 4 25.0%
2. Sedang 8 53.3 %
3. Tinggi 3 18.8 %

Total 15 100 %
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar pendidikan

keluarga pasien halusinasi termasuk golongan pendidikan sedang dengan

persentase 53.3 %.
75

d. Distribusi Frekuensi Pendapatan

Tabel 4.4
Pendapatan Responden Di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Palembang Tahun 2017
No. Pendapatan Frekuensi Persentase
1. Tinggi 2 12.5 %
2. Sedang 8 53.3 %
3. Rendah 5 31.2%

Total 15 100 %

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar pendapatan

keluarga pasien halusinasi termasuk golongan pendapatan sedang dengan

persentase 53.3%.

e. Distribusi Frekuensi Hubungan Dengan Pasien

Tabel 4.5

Hubungan Dengan Pasien Di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar


Palembang Tahun 2017
No. Hubungan Dengan Frekuensi Persentase
Pasien
1. Ayah 1 6.7 %
2. Ibu 3 20.5 %
3. Adek 3 20.5 %
4. Kakak 3 20.5 %
5. Keluarga lainnya 5 33.3 %

Total 15 100 %

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagaian besar hubungan

dengan pasien yaitu keluarga lainnya seperti bibik, paman, nenek dan kakek

dengan persentase 33.3 %.


76

f. Distribusi Frekuensi Munculnya Halusinasi


Tabel 4.6
Frekuensi Halusinasi Sebelum Pendidikan Di Poliklinik Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2017

No. Frekuensi Halusinasi Frekuensi Persentase


Sebelum
1. Tinggi 3 20.02%
2. Sedang 10 66.7 %
3. Rendah 2 13.3 %

Total 15 100 %

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui frekuensi halusinasi sebelum diberikan

pendidikan kesehatan sebagian besar sedang dengan persentase 66.7%.

Tabel 4.7
Frekuensi Halusinasi Setelah Pendidikan Di Poliklinik Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2017
No. Frekuensi Halusinasi Frekuensi Persentase
Setelah
1. Sedang 4 26.7 %
2. Rendah 11 73.3 %

Total 15 100 %

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui rata-rata frekuensi halusinasi setelah

diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar rendah dengan persentase

73.3%.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan yang

bermakna antara setiap variabel confounding dengan variabel dependen, analisis

digunakan adalah chi-square dengan uji alternatif lainnya Kolmogorov-smirnov.

Analisis bivariat ini juga digunakan untuk mengetahui pengaruh pendidikan


77

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat terhadap frekuensi halusinasi

pada responden dengan melihat perbedaan hasil pengukuran frekuensi halusinasi

sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan keluarga. Variabel yang

digunakan skala ordinal yang termasuk hipotesis komperatif kategorik

berpasangan dengan uji statistik menggunakan Marginal Homogenity dengan nilai

p value < 0,05.

a. Hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi halusinasi

Tabel 4.2

Frekuensi Halusinasi Total p-value


Setelah Perlakuan
Sedang Rendah
Dukungan Dukungan 2 0 2
Keluarga Kurang 100.0 % 0 % 100.0 %

Dukungan 1 3 4 0.01
Cukup 25.0% 75.0 % 100.0 %

Dukungan 1 8 9
Baik 11.1% 88.9 % 100.0 %

Total 4 11 15
26.7 % 73.3 % 100.0 %

Berdasarkan uji chi-square dengan uji alternatif lainnya Kolmogorov-

smirnov menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna dan signifikan

antara dukungan keluarga terhadap frekuensi halusinasi. Didapatkan nilai p-

value sebesar 0.001 yang lebih kecil dari nilai alpha (0.05) dukungan keluarga

terhadap frekuensi halusinasi dan tanda negatif koefesien korelasi

menunjukkan ketidaksearahan, artinya semakin tinggi dukungan keluarga

maka semakin rendah frekuensi halusinasi. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa berarti ada hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi


78

halusinasi pada pasien skizofrenia di poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang.

b. Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan frekuensi halusinasi

Tabel 4.3

Frekuensi Halusinasi Total p-value


Setelah Perlakuan
Sedang Rendah
Akses Akses Sulit 3 0 3
Pelayanan 100.0 % 0% 100.0 %
Kesehatan
Akses 1 11 12 0.02
Mudah 8.3 % 91.7 % 100.0 %

4 11 15
Total 26.7 % 73.3 % 100.0 %

Berdasarkan uji chi-square dengan uji alternatif lainnya Kolmogorov-

smirnov menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan atau

bermakna diperoleh nilai p-value sebesar 0.002 besar dari nilai alpha (0.05)

yang berarti tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan

frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di poliklinik Rumah Sakit Ernaldi

Bahar Palembang.
79

c. Perbedaan Frekuensi Halusinasi Sebelum Dan Setelah Dilakukan

Pendidikan Kesehatan Keluaga Tentang Kepatuhan Minum Obat

Tabel 4.8

Frekuensi Halusinasi Sebelum Dan Setelah Pendidikan Kesehatan

Keluarga Tentang Kepatuhan Minum Obat

Variabel n Mean Median SD Min- P


Max Value
Sebelum 15 1.93 2.00 594 1-3
Pendidikan
Kesehatan 0.01
Setelah 15 2.73 3.00 458 2-3
Pendidikan
Kesehatan

Berdasarkan tabel 4.8 dengan menggunakan uji statistik Marginal

Homogeneity Test terdapat hipotesis dengan nilai signifikan p-value sebesar

0,01 (< 0,05), jadi kesimpulannya terdapat perbedaan/ perubahan frekuensi

halusinasi pasien skizofrenia sebelum dan setelah diberikan pendidikan

kesehatan.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

a. Usia

Dalam penelitian ini usia keluarga dari pasien halusinasi yang sedang

kontrol ulang di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang

digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu remaja akhir (17-25 tahun), dewasa

awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun) dan lansia awal (45-55).
80

Penelitian ini didukung oleh Suheri (2014) dalam penelitian tentang

pengaruh tindakan generalis halusinasi terhadap frekuensi halusinasi pada

pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Pemda dengan hasil sebagian

besar rentang usia responden lebih banyak dewasa awal dan akhir yaitu

masing-masing 4 dari 12 responden (3.33%).

Hal ini dapat terjadi, umur yang lebih dewasa lebih memiliki banyak

pengalaman, sehingga dapat diartikan bahwa semakin dewasa umur seseorang

maka semakintinggi tingkat pengalamannya (Mubarak, 2007).

b. Jenis Kelamin

Kondisi perbedaan gender responden yang dibawa sejak lahir. Dalam

penelitian ini jenis kelamin digolongkan menjadi dua kelompok yaitu laki-laki

dan perempuan. Hal ini disebabkan karna perempuan memiliki peran penting

dalam merawat anggota keluarga yang sakit.

c. Pendidikan

Pendidikan memberikan seseorang wawasan yang baru. Seseorang yang

berpendidikan menengah ataupun tinggi akan memiliki pengetahuan dan

wawasan yang luas jika dibandingkan dengan seseorang yang tingkat

pendidikannya rendah (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian ini tingkat pendidikan di kategorikan menjadi tiga golongan

yaitu rendah (tidak sekolah dan SD), sedang (SMP dan SMA), tinggi

(Sarjana). Makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima

informasi, dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang dimiliki.

Sebaliknya, jika seseorang pendidikan rendah, maka akan menghambat


81

perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai

baru (Mubarak, 2007).

d. Pendapatan

Menurut Budhiarti (2011) kondisi sosial ekonomi dapat dilihatbdari

pendapatan keluarga dan tingkat kesejahteraan keluarga. Kondisi ekonomi

yang dimaksut peneliti adalah pendapatan dan penghasilan yang diperoleh

keluarga dalam satu bulan yang dikategorikan berdasarkan Upah Minimum

Pekerja (UMP) Provensi Sumatra Selatan yaitu pendapatan tinggi jika (Rp. >

2.388,000), sedang (1.194,000- 2.388,000) dan rendah (< 1.194,000).

Pendapatan keluarga dilihat dari kemampuan finansial keluarga dan

perlengkapan material yang dimiliki. Kemampuan ekonomi juga akan

menentukan tingkat partisipasi dalam pengobatan, dapat disimpulkan tingkat

kemampuan ekonomi tinggi maka partisipanya tinggi. Sedangkan tingkat

kemampuan ekonomi rendah partisipannya juga rendah, karena mereka akan

memilih untuk mencari nafkah sehingga partisipasinya kurang.

e. Hubungan Dengan Pasien

Menurut Ali (2009) peran adalah perilaku interpersonal, sifat, dan

kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu,

keluarga memiliki peran masing masing baik informal ataupun formal.

Penelitian ini di kategorikan yaitu ayah, ibu, adek, kakak dan keluarga lainnya

(bibi, paman, nenek, kakek dan lain-lain). Mayorits karateristk responden

berdasarkan hubungan dengan pasien adalah keluarga lainnya. Peneliti

berpendapat bahwa keluarga sangat penting untuk ikut berpartisipasi dalam


82

proses penyembuhan karena keluarga merupakan pendukung utama dalam

merawat pasien.

2. Analisis Bivariat

a. Frekuensi Halusinasi Pada Pasien Skizofrenia.

Tanda halusinasi adalah bicara, senyum dan tertawa sendiri, tidak dapat

membedakan nyata dan tidak nyata, tidak dapat memusatkan perhatian dan

kosentrasi, sikap curiga, gelisa dan mondar-mandir, ketakutan dan sulit

membuat keputusan, pembicaraan kacau dan tidak masuk akal, tidak mampu

mengurus diri secara mandiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain,

wajah merah dan pucat, tekanan darah meningkat, nadi cepat dan banyak

mengeluarkan keringat (Nanda, 2010 dikutip Andryani, 2015). Selain itu

gejala halusinasi juga muncul biasanya pasien mengatakan mendengar suara,

melihat, mengecap, mencium, dan merasa sesuatu yang tidak nyata, mudah

tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain (Townsend, 1998

dikutip Gurning, 2011).

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penilaian menggunakan kuesioner

dan lembar observasi, menunjukkan bahwa mayoritas pasien skizofrenia yang

mengalami kekambuhan sehingga munculnya frekuensi halusinasi dalam

kategori tinggi, kategori sedang dan kategori rendah. Kekambuhan yang tinggi

menunjukkan bahwa kurang adanya dukungan anggota keluarga yang

diberikan pada pasien skizofrenia dan faktor ekonomi sangat mempengaruhi

pengobatan pada pasien skizofrenia. Kenyataannya dalam praktek sehari-hari

angka kekambuhan masih tinggi karena masih banyak anggota keluarga


83

banyak yang sibuk akan pekerjaannya, tidak tahu pentingnya minum obat

secara teratur, tidak bisa mengontrol jadwal pengobatan sehingga terjadinya

kegagalan minum obat.

Penelitian ini didukung oleh pendapat Saputra (2010), yang menyatakan

bahwa ekspresi emosi yang terlalu tinggi dan memarahi pasien skizofrenia

akan membuat pasien skizofrenia mengalami kekambuhan sehingga

munculnya frekuensi halusinasi yang lebih cepat. Hal ini dikarenakan pasien

skizofrenia merupakan penyakit kronis yang membutuhkan strategi

penatalaksanaan pengobatan yang sangat panjang dan membutuhkan suport

keluarga untuk mengurangi terjadi kekambuhan. Oleh karena itu, sebaiknya

anggota keluarga ikut berperan aktif dalam perawatan pasien dan harus

memberikan dukungan pada pasien sehingga tidak munculya frekuensi

halusinasi yang tinggi (Sahpitri, 2014).

Asumsi peneliti bahwa halusinasi akan muncul sebagai proses yang

panjang ataupun sebaliknyakarna pada pasien skizofrenia ini adalah pasien

yang kronis, dengan adanya keperibadian seseorang yang dipengaruhi oleh

pengalaman psikologis, halusinasi juga bertambah parah jika tidak ada

dukungan dari keluarga untuk sembuh misalnya kepatuh minum obat secara

teratur sehingga dapat memicu terjadinya kekambuhan.

b. Hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi halusinasi

Menurut Harmoko (2012) terdapat beberapa dukungan keluarga yaitu

dilihat dari dukungan emosional, informasi, instrumental dan penilaian.

Keluarga mempunyai peranan baik sebagai penyebab, penyulit maupun


84

penyembuhan (Keliat, 2012). Proses penyembuhan pada pasien halusinasi

harus dilakukan secara holistik dan melibatkan anggota keluarga. Tanpa

adanya dukungan keluarga, penyakit skizofrenia sama halnya dengan penyakit

umum, penyakit ini dapat kambuh lagi (Fitra, 2013).

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penilaian dukungan keluarga

menggunakan kuesioner. Kuesioner dukungan keluarga memuat enam belas

butir pertanyaan mengenai dukungan dukungan emosional, informasi,

instrumental dan penilaian. Berdasarkan analisis data yang dilakukan

dukungan keluarga dalam kategori baik menunjukkan bahwa sebagian besar

anggota keluarga sudah optimal dalam memberikan dukungan untuk

mengurangi frekuensi halusinasi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitra (2013) pada pasien

skizofrenia di RSJD Surakarta, bahwa mayoritas responden memiliki

dukungan keluarga dalam kategori cukup yaitu sebanyak 63 responden (66%),

sedangkan kategori baik dan buruk masing-masing sebanyak 16 responden

(17%). Uji analisis pada penelitian ini H0 ditolak karena p-value lebih kecil

dari 0,05 sehingga terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap

kekambuhan pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Penelitian ini juga sejalan

dengan Nadia (2012) di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Sa`anin

Padang. Pentingnya peran keluarga dalam membantu proses pengobatan

pasien schizophrenia ini juga dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara dukungan keluarga dengan tingkat kekambuhan klien halusinasi.


85

Peneliti berpendapat dukungan keluarga terhadap pasien halusinasi sangat

penting dilakukan dalam upaya peningkatan status kesehatan pasien

halusinasi. Pasien bisa semangat dan termotivasi sehingga menjadikan

kehidupan pasien lebih berharga dan berati serta bermakna bagi keluarganya,

pasien halusinasi akan merasa bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh

orang lain.

c. Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan frekuensi halusinasi

Keputusan keluarga untuk memilih fasilitas pengobatan yang memadai

dipengaruhi oleh akses/kemudahan untuk mencapai pelayanan tersebut.

Penilaian responden peneliti menggunakan kuesioner dengan 6 item

pertanyaan, yang diadopsi dari Nara (2014).

Skor kuesioner yang didapat sebagian responden memiliki akses

pelayanan sulit karena lokasi rumah sakit untuk melakukan pengobatan terlalu

jauh, rata-rata alamat tempat tinggal responden berada di Jakabaring, Pangkal

Balai dan Kertapati. Sedangkan untuk akses mudah tempat tinggal responden

berada di Sekip, KM.12, KM.5, dan Jln. M.Isa 8 ilir. Akses pelayanan sulit

dikarenakan sarana transportasi dan biaya yang diperlukan mahal dilihat dari

kecepatan, lama dan jarak yang ditempuh, sehingga dengan demikian hal

tersebut menjadi kendala dalam melakukan akses pelayanan kesehatan untuk

memanfaatkan fasilitas pengobatan yang memadai.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Irasanty (2008) tentang pencegahan

keterlambatan rujukan, menemukan bahwa faktor geografis, jarak dan

infrastruktur jalan sangat berpengaruh terhadap akses pelayanan untuk


86

melakukan rujukan khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah

terpencil dan mereka harus menggunakan sarana transportasi tradisional untuk

melakukan rujukan atau untuk kontrol ulang pengobatan ke sarana kesehatan.

Peneliti berasumsi bahwa faktor jarak dan pendapatan keluarga sangat

mempengaruhi akses pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan

sehingga timbulnya perasaan yang senang dan lega yang dirasakan oleh pasien

atau keluarga karena tercapainya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan

keinginan yang diharapkan.

d. Frekuensi Halusinasi Sebelum Dan Setelah Pendidikan Kesehatan

Keluarga Tentang Kepatuhan Minum Obat.

Pasien halusinasi akan dibawa kerumah sakit biasanya dalam kondisi akut

yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, teriak-teriak,

keluyuran dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Halusinasi akan

muncul sebagai proses yang panjang ataupun sebaliknya, dengan adanya

keperibadian seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman psikologis.

Halusinasi juga akan muncul tambah parah jika tidak ada kepatuh minum obat

secara teratur sehingga dapat memicu terjadinya kekambuhan pada pasien itu

sendiri, dan ketidakpatuhan minum obat dipengaruhi oleh pengetahuan

keluarga yang kurang. Hal tersebut dapat dicegah apabila keluarga

mengetahui tanda dan gejala awal halusinasi (Yosep, 2011 dikutip Suheri,

2014).

Sebelum dilakukan pemberian pendidikan kesehatan dapat dikategorikan

tinggi sebanyak 3 responden, sedang 10 responden, rendah 2 responden.


87

Sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan rata-rata frekuensi

halusinasi dengan kategori sedang 4 responden dan rendah 11 responden.

Frekuensi halusinasi sebelum diberikan pendidikan kesehatan menunjukkan

tinggi karena kurangnya pengetahuan keluarga mengenai cara merawat pasien

halusinasi dan kepatuhan minum obat yang harus diterapkan pada pasien

misalnya jadwal pemberian obat. Pasien yang tidak patuh akan mengalami

kekambuhan dan menimbulkan dampak yang negatif bagi pasien misalnya

tidak bisa mengontrol emosi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pardede & Sireger

(2015) bahwa penerapan standar asuhan keperawatan pendidikan kesehatan

pada pasien halusinasi dalam mengontrol halusinasi akan mempengaruhi

kemampuan kognitif dan psikomotor klien, sehingga klien halusinasi akan

mengalami penurunan terhadap intensitas tanda dan gejala halusinasi yang

muncul, dibuktikan hasil penelitian bahwa sebelum dilakukan pendidikan

kesehatan nilai yang didapat 1.71 % sedangkan setelah dilakukan pendidikan

kesehatan dengan nilai 1.35%. Berdasarkan uji T-dependent menunjukkan

ada pengaruh pendiikan kesehatan terhadap kepatuhan minum obat pada

pasien halusinasi dengan nilai signifikan p: 0,0009 (p < 0,005).

Peneliti berasumsi bahwa sangatlah penting untuk penerapan pendidikan

kesehatan kepada pasien halusinasi untuk dapat mengontrol emosi maupun

gejala lainnya agar tidak muncul tanda dan gejala halusinasi sehingga dapat

menurunkan frekuensi halusinasi pasien tersebut.


88

e. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Keluarga Tentang Kepatuhan Minum

Obat Terhadap Frekuensi Halusinasi

Pendidikan kesehatan adalah suatu proses penyampaian pesan yang

ditunjukan kepada individu atau kelompok yang bertujuan agar individu atau

kelompok tersebut dapat memperoleh informasi ataupun pengetahuan tentang

kesehatan yang lebih baik lagi sehingga mereka bisa meningkatkan kesehatan

mereka. Pengetahuan tersebut identik dengan perubahan perilaku, diharapkan

dengan metode pembelajaran yang disampaikan perawat melalui pndidikan

kesehatan dapat mengubah perilaku individu, kelompok atau masyarakat ke

arah yang lebih baik lagi sehingga bisa secara mandiri mengatasi masalah

kesehatannya dikemudian hari (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Skiner (1938) dikutip Notoatmojo (2010) bahwa kepatuhan

minum obat pada penderita merupakan suatu perilaku terbuka (overt

behaviour). Sehingga bisa dikatakan kepatuhan minum obat (medication

compliance) adalah mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter pada

waktu dan dosis yang tepat karena pengobatan hanya akan efektif apabila

penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat. Pemberian obat yang

teratur dan sesuai dengan dosis, klien mampu sembuh dari penyakitnya

ditambah lagi dengan terapi keperawatan spesialis dan pendidikan kesehatan

yang mengubah kognitif dan perilaku klien sehingga patuh minum obat.

Pendidikan kesehatan dalam penelitian ini ditunjukan untuk menetahui

pengaruh pendidikan kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat

terhadap frekuensi halusinasi pasien skizofrenia. Pada pelaksanaan pendidikan


89

kesehatan ini, peneliti menggunakan alat dan media. Alat yang digunakan

pada penelitian ini diantaranya adalah lembar kuesioner dan lembar observasi

untuk mengukur data demografi responden, frekuensi halusinasi, dukungan

keluarga, akses pelayanan kesehatan, alat tulis dan alat untuk dokumentasi

kegiatan. Adapun media pendidikan kesehatan yang digunakan yaitu flipchart.

Langkah-langkah pelaksanaan pendidikan kesehatan ini terdiri dari 4

tahap, yaitu persiapan, orientasi, kerja dan terminasi. Langkah awal yang

dilakukan adalah membuat kontrak dengan responden, lalu mempersiapkan

segala sesuatu yang diperlukan seperti alat dan media. Sebelum memulai

kegiatan peneliti juga perlu menyampaikan tujuan dari kegiatan serta prosedur

yang akan dilakukan. Waktu pendidikan kesehatan ini berlangsung 40 menit.

Kemudian dilanjutkan pada tahap orentasi, tahap ini peneliti mengucapkan

salam terapeutik. Setelah tahap orientasi dilaksanakan, maka bisa diteruskan

ke tahap kerja.

Pada tahap ini lah peneliti akan mengukur frekuensi halusinasi pasien

(pretest), dukungan keluarga, dan akses pelayanan kesehatan. Pengukuran

tersebut menggunakan lembar kuesioner, pada tahap ini peneliti yang akan

menanyakan kepada responden mengenai pertanyaan yang ada di lembar

kuesioner selama 15 menit. Pelaksanaan intervensi (memberikan pendidikan

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat menggunakan flipchart)

dengan cara Door To Door. Setelah dilakukannya pendidikan kesehatan

peneliti menyimpulkan materi yang diberikan. Selanjutnya langkah akhir


90

tahap terminasi, pengambilan data postest frekuensi halusinasi diberikan satu

minggu setelah pendidikan kesehatan dilaksanakan.

Penelitian ini sejalan dengan Pardede (2014) tentang pendidikan

kesehatan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di kecamatan medan

helvetia bahwa pengetahuan klien mengenai kepatuhan minum obat sebelum

dilakukan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat mayoritas dalam

kategori kurang (7.3 %). Sedangkan, setelah dilakukan mayoritas pengetahuan

klien skizofrenia dalam kategori baik (93.3 %). Pemberian pendidikan

kesehatan meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses

rangkaian stimulus-kognisi respon yang saling terkait dan membentuk

jaringan dalam otak manusia, dimana pendidikan kesehatan akan menjadi

penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan

bertindak (Misnan, 2014).

Hasil penelitian yang didapat bahwa setelah dilakukan pendidikan

kesehatan terdapat pengaruh frekuensi halusinasi dengan kategori rendah

sebanyak 11 pasien dari 15 responden, karena pasien dapat mengontrol emosi

dan menghindari suara-suara yang mereka dengar dengan cara mengardiks,

meningkatkan keingan untuk patuh minum obat yang di sampaikan peneliti

dalam memberikan pendidikan kesehatan keluarga pada responden.

f. Perbedaan Frekuensi Halusinasi Sebelum Dan Setelah Dilakukan

Pendidikan Kesehatan Keluaga Tentang Kepatuhan Minum Obat

Dari hasil penelitian yang didapat bahwa sangat berbeda sebelum

dilakukan dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan ini dapat dilihat


91

menggunakan uji statistik Marginal Homogeneity Test. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada frekuensi halusinasi

pasien skizofrenia sebelum dan setelah intervensi (P-value = 0.00 ; α ≤ 0.05),

jadi kesimpulannya terdapat perbedaan frekuensi halusinasi pasien

skizofrenia sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan.

Pendidikan kesehatan adalah promosi kesehatan yang dikembangkan

dirumah sakit ataupun dirumah pasien dalam rangka untuk membantu pasien

dan keluarga agar mereka dapat mengatasi masalah kesehatannya, khususnya

untuk mengurangi rasa sakit bahkan mempercepat kesembuhan penyakit yang

dialami pasien (Notoatmodjo; 2010). Pendidikan kesehatan sangat membantu

untuk menurunkan frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia. Menurut

Davis (2005) mengatakan pemberian pendidikan kesehatan pada pasien

skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif bagi

pasien sehingga muncul perilaku yang positif juga pada pasien.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pardede & Sireger (2015)

bahwa pada penerapan pendidikan kesehatan memberikan keterampilan

berkomunikasi diajarkan cara bertanya untuk konfirmasi, cara memberi dan

menerima pujian, cara mengeluh dan menghadapi keluhan, cara menolak, cara

meminta pertolongan, cara menuntut hak, cara berempati, dan cara

berinteraksi dengan orang lain.

Peneliti berasumsi untuk tetap menerapkan pendidikan kesehatan

keluarga pasien skizofrenia khususnya pasien yang memiliki tanda dan gejala

halusinasi karena tingkat kesembuhan pasien dilihat ada tidaknya dukungan


92

dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien, hal tersebut sangat

membantu pasien untuk mengurangi frekuensi halusinasi yang muncul pada

pasien skizofrenia.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang telah dilaksanakan ini tidak terlepas dari beberapa keterbatasan

yaitu:

1. Pada penelitian ini, kebanyakan keluarga pasien halusinasi yang melakukan

kontrol ulang tidak mau melakukan komunikasi dengan peneliti, sehingga peneliti

harus melakukan pendekatan teraupetik yang membutuhkan waktu cukup lama.

2. Adanya perbedaan tingkat pemahaman pada masing-masing responden terhadap

kuesioner yang disampaikan sehingga peneliti harus menjelaskan secara rinci

mengenai jawaban kuesioner kepada masing-masing responden agar isi

pertanyaan dari kuesioner mudah dimengerti responden.

3. Pada pengambilan data pre-test dan intervensi, saat melakukan pendidikan

kesehatan volume suara peneliti lebih ditingkatkan lagi khususnya pada

responden lansia awal karena penurunan fungsi pendengaran.

4. Terdapat satu pasien skizofrenia lainnya di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang yang mengamuk sehingga pendidikan kesehatan yang diberikan pada

salah satu responden hanya sebagian dikarnakan responden takut dengan amukan

pasien tersebut.
93

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa dan pembahasan sebelumnya tentang pengaruh pendidikan

kesehatan keluarga tentang kepatuhan minum obat terhadap fekuensi halusinasi pada

pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tahun 2017,

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh pendidikan kesehatan keluarga terhadap frekuensi halusinasi

pasien skizofrenia

a. Rata-rata frekuensi halusinasi sebelum pendidikan kesehatan diketahui

sebagian besar sedang dengan persentase 66.7 %

b. Rata-rata frekuensi halusinasi setelah pendidikan kesehatan diketahui

sebagian besar rendah dengan persentase 73.3 %

2. Ada perbedaan yang signifikan frekuensi halusinasi sebelum dan setelah

pendidikan kesehatan dengan p-value sebesar 0,01 (< 0,05.

3. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi halusinasi.

4. Tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan frekuensi

halusinasi.
94

B. Sarana

1. Bagi Tempat Peneliti

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang

bertugas di RS Ernaldi Bahar Palembang khususnya bidang keperawatan.

Pendidikan kesehatan ini meningkatkan pengetahuan keluarga tentang kepatuhan

minum obat terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat mejadi referensi atau bahan masukan bagi

perkembangan ilmu pendidikan di bidang keperawatan, sebagai pedoman untuk

melakukan asuhan keperawatan dan sebagai perbandingan bagi penelitian yang

berhubungan dengan pendidikan kesehatan keluarga kepatuhan minum obat

terhadap frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia.

3. Bagi responden

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kepedulian keluarga dalam melakukan

pengobatan secara teratur sehingga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat

untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan informasi untuk penelitian

selanjutnya, disarankan untuk meneliti apa saja faktor yang berhubungan dengan

kekambuhan pada pasien skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai