Anda di halaman 1dari 31

Hipertensi Emergensi

Oleh
Haidar Alatas
Konsultan Ginjal-Hipertensi PAPDI Cabang Purwokerto

PIT PAPDI CABANG PURWOKERTO


April 2018
Hotel Java Heritage
Purwokerto
Daftar Isi

Bab I. Pendahuluan..…………………………………………….….…… 1
I.A. Pengertian hipertensi emergensi…………………………………… 1
I.B. Prevalensi hipertensi emergensi…………………………………… 2

Bab II. Ciri-ciri dan karakteristik hipertensi emergensi………………. 4


II.A. Ciri-ciri hipertensi emergensi……………………………………… 5
II.B. Karkteristik hipertensi emergensi…………………………………. 8

Bab III. Patofisiologi hipertensi emergensi………………………………. 11

Bab IV. Diagnosis hipertensi emergensi …………………………………. 14

Bab V. Faktor risiko dan penyebab hipertensi emergensi……………... 17


III.A. Faktor risiko……………………………………………………….. 17
III.B. Penyebab hipertensi emergensi……………………………………. 17

Bab VI. Tatalaksana hipertensi emergensi………………………………. 19

Bab VII. Kesimpulan…..…………………………………………………… 26

Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan

I.A. Pengertian hipertensi emergensi


Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan
organ target akut (Aronow, 2017).
Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada
tekanan darah (> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target
yang baru atau memburuk (Whelton et al., 2017).
Hipertensi emergensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah sistolik atau
diastolik atau keduanya, yang terkait dengan tanda atau gejala kerusakan organ akut
(yaitu sistem saraf, kardiovaskular, ginjal). Kondisi ini memerlukan pengurangan
tekanan darah segera (tidak harus normalisasi), untuk melindungi fungsi organ vital
dengan pemberian obat antihipertensi secara intravena (Cuspidi and Pessina, 2014).
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah utama dan sering
mendadak, terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat
terjadi sebagai kejadian serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak teratur,
sindrom koroner akut dengan iskemia atau infark, edema paru akut, atau disfungsi
ginjal akut. Tekanan darah sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan organ target
akut yang sedang berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis yang
sebenarnya, yang memerlukan penurunan tekanan darah segera (walaupun jarang
ke kisaran normal) (Elliott et al., 2013).
Hipertensi emergensi merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang
disertai kerusakan organ target akut yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan
tindakan penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit-jam.
(Turana et al., 2017).

1
I.B. Prevalensi hipertensi emergensi
Studi di Amerika berdasarkan data kunjungan di IGD pasien dewasa tahun
2006-2013 didapatkan sebanyak 809 juta kasus emergensi. Dari 809 juta, ternyata
sebanyak 2.4 juta merupakan hipertensi akut. Dari 2.4 juta hipertensi akut diperoleh
sebanyak 900 ribu mengalami kerusakan organ target (hipertensi emergensi).
Berdasarkan studi ini diperoleh bahwa prevalensi hipertensi emergensi jarang
terjadi (Janke et al., 2016).
Insiden hipertensi emergensi di Amerika Serikat menurun dari 7% menjadi
1%. Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun (survival rate) meningkat dari 20% tahun
1950 menjadi 90% dengan perawatan yang bagus (Hopkins, 2018). Walaupun
demikian kunjungan hipertensi emergensi meningkat lebih dari 2 kali lipat dari
2006 sampai 2013 (Janke et al., 2016).
Peningkatan pasien yang berkunjung ke IGD di Amerika Serikat meningkat
dari data tahun 2006-2013, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Peningkatan kunjungan Hipertensi Emergensi di US 2006-2013


Sumber: Janke et al., 2016

2
Tabel 1. Kunjungan pasien dengan hipertensi akut di US 2006-2013

Sumber: Janke et al., 2016

Tabel 2. Rasio kunjungan pasien IGD di US 2006-2013

Sumber: Janke et al., 2016

3
Bab II
Ciri-ciri dan Karakteristik Hipertensi Emergensi

Dari beberapa definisi hipertensi emergensi di atas, bisa dimunculkan


beberapa Ciri-ciri dan Karakteristik hipertensi emergensi seperti dilihat pada Tabel
3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Ciri-ciri hipertensi emergensi
Ciri-ciri hipertensi emergensi:
1. Keadaan gawat medis
2. Tekanan darah sangat tinggi
3. Peningkatan tekanan darah yang berat
4. Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
5. Terjadi kerusakan organ target (baru, progresif, memburuk, akut)
6. Kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut, edema paru akut,
disfungsi ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan
intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, diseksi
aorta, atau eklampsia
7. Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit / jam)
Sumber: Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017; Aronow, 2017;
Whelton 2017; Vidt, 2004; Alwi et al., 2016

Tabel 4. Karakteristik klinis hipertensi emergensi


1. Tekanan darah Biasanya > 220/140 mmHg
2. Temuan funduscopy Pendarahan, exudates, papiledema
3. Status neurologi Sakit kepala, bingung, mengantuk, pingsan,
penglihatan kabur, kejang, gangguan neurologi
fokal, koma
4. Temuan Jantung Pulsasi apex kordis prominent, kardiomegali, gagal
jantung kongestif
5. Gejala ginjal Azotemia, proteinuria, oliguria
6. Gejala saluran cerna Mual, muntah
Sumber: Vidt, 2004; Alwi et al., 2016

4
II.A. Ciri-ciri Hipertensi Emergensi
1) Keadaan gawat medis
Hipertensi emergensi merupakan keadaan gawat medis yang memerlukan
penangan secara serius dan segera. Penurunan tekanan darah perlu dilakukan segera
dalam hitungan menit atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan darah
jarang sampai keadaan normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al.,
2017) untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott
et al., 2013; Whelton et al., 2017).
Tingkat kematian yang berkaitan hipertensi emergensi dalam 1 tahun adalah
> 79%, dan kelangsungan hidup rata-rata adalah 10,4 bulan jika tidak diobati
(Whelton et al., 2017). Tetapi apabila segera dilakukan perawatan di rumah sakit
maka angka kematian dapat diturunkan secara bermakna sebagaimana yang
dilaporkan oleh Shah, 2017. Dilaporkan bahwa dari 129.914 pasien hipertensi
emergensi yang diteliti di Amerika selama 10 tahun (2002-2012) hanya 630
(0.48%) pasien yang meninggal selama perawatan (Shah et al., 2017). Tingkat
kelangsungan hidup 1 tahun (survival rate) meningkat dari 20% tahun 1950 menjadi
90% dengan perawatan yang bagus (Hopkins, 2018).

2) Tekanan darah sangat tinggi


Tekanan darah pada hipertensi emergensi sangat tinggi biasanya mencapai >
220/140 mmHg (Vidt, 2004; Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan >
180/120 mmHg sudah termasuk hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Aronow,
2017; Whelton 2017).

3) Peningkatan tekanan darah yang berat


Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara signifikan dapat menyebabkan
hipertensi emergensi, tetapi pada pasien dengan hipertensi kronis sering dapat
mentolerir tingkat tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu normotensi
(Elliott et al., 2013; Whelton et al., 2017).

5
4) Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara mendadak dapat menimbulkan
hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Turana et al., 2017).

5) Terjadi kerusakan organ target


Contoh kerusakan organ target meliputi ensefalopati hipertensi, Intracranial
Hemorrhage (ICH), stroke iskemik akut, myocardial infarction akut, gagal ventrikel
akut dengan edema paru, angina pektoris tidak stabil, pembedahan aorta aneurisma,
gagal ginjal akut, dan eklampsia (Whelton et al., 2017).

Tabel 5. Organ target dan komplikasi pada hipertensi emergensi


Organ Target Komplikasi
Ensefalopati hipertensi
Infark serebral
Otak
Pendarahan intraserebral
Retinopati
Sindrom koroner akut
Jantung
Gagal jantung akut
Aorta Diseksi aorta
Ginjal Gagal ginjal akut
Plasenta Eklampsia
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014; Turana et al., 2017

6) Gambaran klinik: kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut,


edema paru akut, disfungsi ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark serebri,
pendarahan intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri
akut, diseksi aorta, atau eklampsia
Tekanan darah tinggi pada pasien masih memerlukan pemeriksaan status
klinik pasien agar dapat disebut hipertensi emergensi. Misalnya seorang wanita
hamil pada trimester ketiga memiliki tekanan darah 145/95 mmHg disertai
eklampsia merupakan hipertensi emergensi walaupun tekanan darahnya belum
mencapai > 180/120 mmHg (Elliott et al., 2013).
Hipetensi ensefalopati adalah komplikasi hipertensi berat yang jarang terjadi
namun serius. Hipertensi ensefalopati sering terjadi pada pasien dengan hipertensi

6
kronis yang tidak terkontrol atau ganas dan terjadi secara mendadak. Hipetensi
ensefalopati harus didiagnosis dan diobati dengan cepat, karena membawa
prognosis buruk saat tidak diobati. Manifestasi klinis hipetensi ensefalopati tidak
hanya disebabkan oleh tingkat keparahan peningkatan tekanan darah, tetapi juga
pada onset hipertensi mendadak individu normotensif (relatif). Kondisi ini terjadi
lebih sering dengan latar belakang gangguan ginjal. Manifestasi klinis penuh dari
hipetensi ensefalopati memerlukan waktu 12-48 jam (Ram, 2014).
Edema paru akut, hipertensi berat dapt menyebabkan disfungsi ventrikel kiri
akut, semakin tinggi tekan darah maka kerja ventrikel kiri semakin berat. Pada
edema paru akut, kebutuhan oksigen miokard meningkat karena bertambahnya
panjang serat diastolik dan dan volume akhir diastolik meningkat. Perubahan fungsi
jantung semacam itu sangat merugikan di hadapan penyakit arteri koroner, yang
memerlukan pengurangan tekanan darah segera dengan agen vasodilatasi yang
seimbang seperti nitroprusside. Sodium nitroprusside menurunkan tekanan preload
dan afterload, dengan restorasi fungsi miokard dan CO. Meskipun ACE inhibitor,
berdasarkan tindakan farmakologisnya, mungkin berguna dalam situasi ini, hanya
ada sedikit pengalaman klinis mengenai respons terapeutik akut terhadap ACE
inhibitor pada pasien dengan gangguan ventrikel kiri akut (Ram, 2014).
Diseksi aorta, rasa sakit terjadi secara tiba-tiba dan gejalanya parah. Jika
terjadi diseksi aorta disertai dengan hipertensi maka tekanan darah diturunkan
hingga mendekati normotensi menggunakan obat yang bekerja secara halus bukan
yang mendadak / cepat (Ram, 2014).
Eklampsia adalah komplikasi kehamilan kardiovaskular yang berpotensi
serius. Terapi pasti adalah melahirkan bayi. Selain itu, tekanan darah harus
dikurangi untuk mencegah kerusakan neurologis, jantung, dan ginjal. Meskipun
obat antihipertensi lain mungkin efektif dalam mengurangi tekanan darah, agen
pilihan untuk kontrol cepat hipertensi berat adalah hydralazine, yang memiliki
catatan keamanan yang panjang. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
nitroprusside dapat menyebabkan komplikasi janin dan penggunaannya harus
disediakan untuk hipertensi refrakter terhadap hidralazine atau metildopa.
Trimethaphan yang menghalangi ganglion harus dihindari karena risiko ileus

7
mekonium. Pada hipertensi yang diinduksi kehamilan, deplesi volume mungkin ada
dan diuretik harus dihindari. ACE inhibitor dan ARB harus dihindari karena
kemungkinan toksisitas janin / plasenta. Magnesium sulfate adalah terapi
adjunctive yang efektif untuk mengendalikan kejang (Ram, 2014).

7) Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit-jam)


Penurunan tekanan darah perlu dilakukan segera dalam hitungan menit atau
jam dari onset, walaupun penurunan tekanan darah jarang sampai keadaan
normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017) untuk mencegah
atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott et al., 2013; Whelton et
al., 2017).

II.B. Karakteristik Hipertensi Emergensi


1) Tekanan darah
Tekanan hipertensi emergensi sangat tinggi, biasanya mencapai > 220/140
mmHg (Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan > 180/120 mmHg sudah
termasuk hipertensi emergensi (Aronow, 2017). Hipertensi emergensi bukan hanya
tergantung tingginya tekanan darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan
darah (Sowers, 2001). Biasanya pasien dengan hipertensi kronis dapat mentolerir
tingkat tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu normotensi (Elliott et al.,
2013; Whelton et al., 2017).

2) Temuan funduscopy
Pada hipertensi emergensi dapat ditemukan pendarahan, eksudat dan edema
papil (Alwi et al., 2016).

3) Status neurologi
Status neurologis pada hipertensi emergensi adalah rasa sakit di kepala,
terjadi kebingungan, mengantuk, pingsan, gangguan pada penglihatan, kejang,
gangguan neurologi fokal, koma (Vidt, 2004; Alwi et al., 2016).

8
4) Gejala ginjal
Terdapat gejala gangguan ginjal pada hipertensi emergensi seperti azotemia,
proteinuria, oliguria, AKI (Alwi et al., 2016).

5) Gejala saluran cerna


Terjadi gejala saluran cerna sepert mual, muntah pada pasien dengan tekanan
darah tinggi merupakan karakteristik dari hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016).

Hipertensi emergensi termasuk salah satu kelompok krisis hipertensi.


Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi (Alwi et al., 2016):
1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan organ akut.
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan darah tanpa
disertai kerusakan organ akut.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan darah
yang berhubungan dengan pendarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.

Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam
antara hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung penilaian klinis. Hipertensi
gawat (hypertensive emergency) selalu berkaitan dengan kerusakan organ, tidak
dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi klinisnya berupa peningkatan
tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan
adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan
intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru
akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi
dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi mendesak (Alwi et al., 2016).
Beratnya hipertensi emergensi bukan hanya tergantung tingginya tekanan
darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan darah karena sistem

9
autoregulasinya tidak berjalan. Seperti pada peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan glomerulonefritis pada anak atau pre-eklamsia/eklamsia wanita
muda sudah terjadi gangguan mental walaupun tekanan diastoliknya baru 110
mmHg (Sowers, 2001).

10
Bab III
Patofisiologi Hipertensi Emergensi

Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas (Singh, 2011;
Varounis et al., 2017). Kecepatan onset menunjukkan faktor pemicunya adalah
hipertensi yang sudah ada sebelumnya (Singh, 2011).
Dua mekanisme yang berbeda namun saling terkait mungkin memainkan
peran sentral dalam patofisiologi krisis hipertensi. Mekanisme pertama adalah
gangguan mekanisme autoregulasi di vascular bed (Varounis et al., 2017). Sistem
autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis
hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung,
dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan
perfusi (Taylor, 2015).
Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan menurun sementara,
namun kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya. Gambar 2
menggambarkan bahwa jika terjadi kerusakan fungsi autoregulasi, jika tekanan
perfusi turun, hal ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan
resistensi vaskular. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di
vascular bed dan aliran darah sehingga tekanan darah meningkat secara mendadak
dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres
mekanis dan cedera endotelial (Taylor, 2015; Varounis et al., 2017).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang
menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan
lingkaran setan dari cedera terus-menerus dan kemudian iskemia (Varounis et al.,
2017). Gambar 3 menggambarkan bahwa dalam keadaan normal, sistem renin-
angiotensin aldosteron berperan sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah.
Overproduksi renin oleh ginjal merangsang pembentukan angiotensin II,
vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya, terjadi peningkatan resistansi pembuluh
darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi diprakarsai oleh peningkatan
resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin terkait dengan
vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan aktivitas

11
sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan
overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada
patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011).

Patofisiologi krisis hipertensi akibat gangguan mekanisme autoregulasi

Gambar 2. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena gangguan autoregulasi


Sumber: Singh, 2011

12
Patofisiologi krisis hipertensi karena sistem renin-angiotensin

Gambar 3. Patofisiologi krisis hipertensi


Sumber: Varounis et al., 2017

13
Bab IV
Diagnosis Hipertensi Emergensi

Pendekatan awal pada krisis hipertensi dilakukan dengan tepat dan cepat di
luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit dengan urutan (Turana et al., 2017):
a) Anamnesis
Anamnesis pasien harus dilakukan secara cermat, mengenai:
- Riwayat hipertensi (awitan hipertensi, jenis obat yang dikonsumsi, kepatuhan
berobat).
- Gangguan organ (kardiovaskular, serebrovaskular, renovaskular, dan organ
lain).
b) Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang
terkena berdasarkan anamnesis yang didapat.
- Pengukuran tekanan darah di kedua lengan.
- Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas.
- Auskultasi untuk mendengar ada / tidak bruit pembuluh darah besar, bising
jantung, dan rhonki paru.
- Pemeriksaan neurologis umum.
- Pemeriksaan funduskopi.
c) Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang yang dilakukan disesuaikan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan fasilitas.
Pemeriksaan laboratorium awal: Hb, Ht, ureum, kreatinin, gula darah dan
elektrolit. Urinalisis.
Pemeriksaan penunjang lain: Elektrokardiografi, Foto polos thoraks, CT scan
kepala, Echocardiography, USG.

14
Pendekatan diagnosis (Alwi et al., 2016):
>> Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya,
perlu juga ditanyakan gejala-gejala kerusakan organ target seperti gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala, mual
/ muntah, nyeri dada, sesak nafas, kencing sedikit / berbusa, nyeri seperti
disayat pada abdomen.
>> Pemeriksaan fisik: tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda
penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis.
>> Pemeriksaan penunjang: darah perifer lengkap panel metabolik urinalisis,
toksikologi urine, EKG, CT scan, MRI, foto toraks.

Tabel 6. Evaluasi triase hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi


Tekanan darah tidak terkontrol
Sering Jarang Hipertensi emergensi
Tekanan > 180/110 mmHg > 180/110 mmHg Biasanya > 220/140
darah mmHg
Gejala Sakit kepala, gelisah, Sakit kepala berat, Sesak nafas, nyeri dada,
sering asymptomatic sesak nafas, edema, nocturia, dysarthria,
epistaxis lemas, altered
consciousness
Tes Tanpa organ target Organ target rusak, ada Encephalopathy, edema
rusak, tidak ada penyakit pulmonary, renal
penyakit kardiovaskular insufficiensy, kejadian
kardiovaskular serebrovaskular, cardiac
ischemia
Terapi Diamati 1-3 jam, Diamati 3-6, tekanan Baseline labs, IV line,
inisiasi pengobatan,
darah diturunkan diawasi tekanan darah,
peningkatan dosis agen
dengan obat reaksi inisiasi terapi parenteral
antihipertensi cepat, atur terapi
pengobatan
Rencana Evaluasi follow up < Evaluasi follow up < Dimasukkan ke ruang
72 jam 24 jam intensif, dirawat hingga
target tekanan darah, perlu
diagnosis tambahan
Sumber: Vidt, 2004

15
Penilaian klinik hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013):
1. Hipertensi encephalopathy
2. Hipertensi malignant: peningkatan tekanan darah dengan papilledema atau
acute retinal hemorrhages/exudates
3. Perdarahan intrakranial (intracerebral or subarachnoid); ischemic stroke
(jarang terjadi)
4. Acute coronary syndrome (unstable angina/myocardial infarction)
5. Acute left ventricular failure with pulmonary edema
6. Acute aortic dissection
7. Percepatan progresif gagal ginjal
8. Eclampsia
9. Pendarahan arteri
10. Situasi jarang:
a. Pheochromocytoma crisis
b. Tyramine interaction with monoamine oxidase inhibitor
c. Overdosis sympathomimetic drugs
d. Hipertensi rebound karena penghentian mendadak agen antihipertensi

Penilaian klinis hipertensi emergensi antara lain hipertensi encelopathy,


hipertensi yang berkaitan dengan penyakit (serebrovaskular, edema pulmonary,
sindrom koroner akut, dissecting aortic aneurysm, gagal ginjal akut),
pheochromocytoma, eklampsia, microangiopathic anemia (Cuspidi and Pessina,
2014).

16
Bab V
Faktor Risiko dan Penyebab Hipertensi Emergensi

III.A. Faktor risiko


Faktor risiko krisis hipertensi menurut penelitian Saguner adalah jenis
kelamin wanita, obesitas, hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan
somatoform, banyaknya obat antihipertensi, dan ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan (Saguner et al., 2010).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial
ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap
terapi obat antihipertensi yang diresepkan (termasuk penarikan mendadak dari obat
antihipertensi (misalnya clonidine), obat (terutama kokain) dan penyalahgunaan
alkohol, penggunaan kontrasepsi oral, dan merokok (Elliott et al., 2013).

III.B. Penyebab hipertensi emergensi


Berikut ini adalah penyebab hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016):
▪ Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, pendarahan intraserebral, pendarahan subaranoid, dan
trauma kepala.
▪ Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut infark miokard akut,
pasca operasi bypass koroner.
▪ Kondisi ginjal: Glomerulonefritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal
karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal.
▪ Akibat ketokolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau
obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme
rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi
otomatis pasca cedera korda spinalis.
▪ Eklampsia
▪ Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, pendarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular.
▪ Luka bakar berat.

17
▪ Epistaksis berat.
▪ Thrombotic thrombocytopenic purpura.

Hipertensi emergensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut


(Turana et al., 2017):
+ Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat antihipertensi
tidak teratur.
+ Kehamilan.
+ Penggunaan NAPZA.
+ Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,
phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala.
+ Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

18
Bab VI
Tatalaksana Hipertensi Emergensi

Pengobatan hipertensi emergensi tergantung pada jenis kerusakan organ.


Pada stroke iskemik akut tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun pada
kasus edema paru akut atau diseksi aorta dan sindroma koroner akut maka
penurunan tekanan darah dilakukan dengan agresif. Penurunan tekanan darah
bertujuan menurunkan hingga < 25% MAP pada jam pertama, dan menurun
perlahan setelah itu. Obat yang akan digunakan awalnya intravena dan selanjutnya
secara oral, merupakan pengobatan yang direkomendasikan (Turana et al., 2017).
Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk hipertensi emergensi
(Whelton et al., 2017), sebaiknya menggunakan parenteral (Whelton et al., 2017;
Elliott et al., 2013).
Pada orang dewasa dengan hipertensi emergensi, disarankan masuk ke unit
perawatan intensif (ICU), dilakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap
tekanan darah dan kerusakan organ target dengan pemberian obat parenteral yang
tepat. Tekanan darah sistolik harus dikurangi menjadi < 140 mmHg selama satu
jam pertama dan < 120 mmHg pada diseksi aorta (Whelton et al., 2017).

Gambar 4. Skema evaluasi hipertensi emergensi


Sumber: Elliott et al., 2013

19
Rekomendasi spesifik ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017):
a) Tidak ada bukti secara RCT bahwa obat antihipertensi mengurangi
morbiditas atau mortalitas pada pasien dengan hipertensi emergensi. Namun,
dari pengalaman klinik sangat mungkin terapi antihipertensi bermanfaat
untuk hipertensi emergensi. Juga tidak ada bukti secara RCT kualitas tinggi
untuk memberi tahu klinisi tentang golongan obat antihipertensi lini pertama
mana yang memberi manfaat lebih banyak daripada bahaya pada hipertensi
emergensi. Namun, 2 percobaan telah menunjukkan bahwa nicardipine
mungkin lebih baik daripada labetalol dalam mencapai target tekanan darah
jangka pendek. Karena autoregulasi perfusi jaringan terganggu pada
hipertensi emergensi, continuous infusion of shortacting titratable
antihypertensive agents seringkali lebih baik untuk mencegah kerusakan
organ target lebih lanjut.
b) Kondisi memaksa penurunan tekanan darah secara cepat hingga < 140 mmHg
pada jam pertama pengobatan meliputi diseksi aorta, preeklamsia berat atau
eklampsia, dan pheochromocytoma dengan krisis hipertensi.
c) Tidak ada bukti secara RCT yang membandingkan strategi yang berbeda
untuk mengurangi tekanan darah dan tidak ada bukti secara RCT yang
menyarankan seberapa cepat atau berapa banyak tekanan darah yang harus
diturunkan pada hipertensi emergensi. Namun, pengalaman klinik
menunjukkan bahwa pengurangan tekanan darah berlebihan dapat
menyebabkan atau berkontribusi pada iskemia ginjal, serebral, atau koroner
dan harus dihindari. Dengan demikian, dosis komprehensif obat
antihipertensi intravena atau bahkan oral untuk menurunkan tekanan darah
dengan cepat bukan tanpa risiko. Pembebanan dosis oral obat antihipertensi
dapat menimbulkan efek kumulatif yang menyebabkan hipotensi setelah
dikeluarkan dari ruang perawatan.

20
Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017):
1) Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi
tekanan darah sistolik > 180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg maka
perhatikanlah apakah ada kerusakan organ target yang baru / progresif /
perburukan.
a) Apabila iya, maka diagnosisnya adalah hipertensi emergensi dan rawat di
ICU.
b) Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan lakukan
evaluasi / berikan obat antihipertensi oral dan follow up selanjutnya.
2) Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,
preeklampsia/eklampsia berat, krisis preokromositoma.
a) Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg pada 1 jam pertama dan < 120
mmHg pada diseksi aorta.
b) Apabila tidak, turunkan tekanan darah maksimal 25% pada 1 jam pertama,
selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua sampai jam
keenam, dan selanjutnya dapat diturunkan sampai tekanan darah normal pada
24-48 jam.

Skema manajemen krisis hipertensi menurut ACC/AHA 2017 diperlihatkan pada


Gambar 5.

21
Gambar 5. Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017
Sumber: ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017)

22
Obat untuk hipertensi emergensi
Obat-obatan antihipertensi untuk hipertensi emergensi dapat dilihat pada
Tabel 7, 8, 9.
Tabel 7. Obat parenteral hipertensi emergensi
Obat Dosis Onset Durasi Efek Samping

Sodium 0.25-10 Segera 2-3 menit Hipotensi,


nitroprusside µg/kg/menit muntah, cyanate
toxicity
Glyceryl 5-100 µg/menit 1-3 menit 5-15 menit Sakit kepala,
trinitrate muntah,
tachycardia
Labetalol 20-80 mg bolus, 5-10 menit 2-6 jam Bronchospasm,
1-2 mg/menit muntah,
infusion bradycardia
Esmolol 80 mg bolus, 6-10 menit 15-30 menit Asma,
150 µg/kg/menit bradycardia
infusion
Furosemide 40-60 mg bolus 5-10 menit 1-2 jam Hipotensi,
hipokalemia
Enalaprilat 0.625-1.25 mg 15-20 menit 4-6 jam Hipotensi, gagal
bolus ginjal
Nicardipine 5-15 mg/jam 5-10 menit 2-4 jam Sakit kepala,
tachycardia
Fenoldopam 0.1-0.6 5-10 menit 10-15 menit Hipotensi, sakit
µg/kg/menit kepala
Phentolamine 5-10 mg/menit 1-2 menit 5-10 menit Tachycardia,
hipotensi
orthostatic
Hydralazine 10-20 mg bolus 10 menit 2-6 jam Tachycardia,
angina pectoris
Urapidil 20-60 mg bolus 3-4 menit 6-10 jam Sedation

Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014

23
Tabel 8. Obat pilihan dan kontraindikasi pada hipertensi emergensi
Kondisi Obat pilihan Kontraindikasi

Edema pulmonary akut Nitroglycerin + loop diuretic Beta bloker, verapamil


Nitroprusside + loop diuretic
Sindrom koroner akut Nitroglycerin + beta bloker Hydralazine
Nitroprusside + beta bloker
Hipertensi ensefalopati Nitroprusside, labetalol, Centrally acting
nicardipine sympatholytic agents
Dissecting aortic aneurysm Nitroprusside + beta bloker Isolated use of pure
vasodilators
Pendarahan intrakranial Labetalol, nicardipine Nitroprusside, nifedipine

Stroke iskemik Nitroprusside, labetalol, Nifedipine


nitroglycerin
Adrenergic crisis Labetalol, phentolamine + Beta blocker monotherapy
beta bloker
Kerusakan ginjal akut Fenoldopam, nicardipine Diuretic

Eclampsia MgSO4, hydralazine, Nitroprusside


methyldopa
Pendarahan subarachnoid Nimodipine Nitroprusside

Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014

24
Tabel 9. Obat pilihan hipertensi emergensi dengan komorbiditasnya

Sumber: ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017)

25
Bab VII
Kesimpulan

Hipetensi emergensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Keadaan gawat medis,


Tekanan darah sangat tinggi, Peningkatan tekanan darah yang berat dan mendadak,
Terjadi kerusakan organ target (baru, progresif, memburuk, akut), Kejadian
serebrovaskular akut, sindrom koroner akut, edema paru akut, disfungsi ginjal akut,
hipertensi ensefalopati, infark serebri, pendarahan intrakranial, iskemi miokard atau
infark, disfungsi ventrikel kiri akut, diseksi aorta, atau eklampsia. Memerlukan
penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit-jam).
Gambaran klinik hipertensi emergensi berupa: Hipertensi encephalopathy,
Hipertensi malignant: peningkatan tekanan darah dengan papilledema atau acute
retinal hemorrhages/exudates,Perdarahan intrakranial (intracerebral or
subarachnoid); ischemic stroke (jarang terjadi), Acute coronary syndrome (unstable
angina/myocardial infarction), Acute left ventricular failure with pulmonary edema,
Acute aortic dissection, Percepatan progresif gagal ginjal, Eclampsia, Pendarahan
arteri, Situasi jarang: Pheochromocytoma crisis, Tyramine interaction with
monoamine oxidase inhibitor, Overdosis sympathomimetic drugs, Hipertensi
rebound karena penghentian mendadak agen antihipertensi.
Faktor risiko krisis hipertensi adalah jenis kelamin wanita, obesitas,
hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan somatoform, banyaknya obat
antihipertensi, dan ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan, rendahnya status
sosial ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan.
Pengobatan hipertensi emergensi tergantung pada jenis kerusakan organ.
Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk hipertensi emergensi
sebaiknya menggunakan parenteral dan dirawat di ICU. Pada stroke iskemik akut
tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun pada kasus lainnya maka
penurunan tekanan darah dilakukan dengan agresif dalam 1 jam pertama.
Penurunan tekanan darah < 25% MAP dan menggunakan obat parenteral dan
selanjutnya secara oral.

26
Daftar Pustaka

Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., et al., 2016. Krisis Hipertensi, dalam
Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan praktis klinis
cetakan ketiga. InternaPublishing. Jakarta. Hal 426-432.
Aronow, W.S., 2017. Treatment of hypertensive emergencies. Annals of
Translational Medicine. Vol 5.
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., et al., 2003. The Seventh Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. Vol 289 (19):
2560-72.
Cuspidi, C. and Pessina, A.C., 2014. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In:
Mancia, G., Grassi, G., and Redon, J., Manual of Hypertension of the
European Society of Hypertension 2nd Edition Ch 38, Pp 367-72. CRC Press.
London.
Elliott, W.J., Rehman, S.U., Vidt, D.G., et al., 2013. Hypertensive Emergencies and
Urgencies. In: Black, H.R. and Elliott, W.J., Hypertension: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease 2nd Edition Ch 46, Pp 390-6. Elsevier Saunders.
Philadelphia.
Hopkins, C., 2018. Hipertensive Emergencies.
https://emedicine.medscape.com/article/1952052-overview. 8 Maret 2018.
Janke, A.T., McNaughton, C.D., Brody, A.M., et al., 2016. Trends in the Incidence
of Hypertensive Emergencies in US Emergency Departments From 2006 to
2013. Journal of the American Heart Association. Vol 5 (12): e004511.
Kaplan, N.M., Victor, R.G., Flynn, J.T., 2015. Kaplan's clinical hypertension 11th
Edition. Wolters Kluwer. Philadelphia.
Karthikeyan, V.J., 2015. Malignant hypertension. In: Nadar, S. and Lip, G., Oxford
Cardiology Library. Hypertension 2nd Edition, Pp 157-62. Oxford University
Press. Oxford.
Ram, C.V.S., 2014. Hypertension: A Clinical Guide. CRC Press. New York.
Saguner, A.M., Dür, S., Perrig, M., et al., 2010. Risk Factors Promoting
Hypertensive Crises: Evidence from a Longitudinal Study. American Journal
of Hypertension. Vol 23 (7): 775-80.
Shah, M., Patil, S., Patel, B., 2017. Trends in Hospitalization for Hypertensive
Emergency, and Relationship of End-Organ Damage with In-Hospital
Mortality. American Journal of Hypertension. Vol 30 (7): 700-6.
Singh, M., 2011. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and
management. Journal of Indian College of Cardiology. Vol 1 (1): 36-9.
Sowers D.K., 2001. Hypertensive Emergencies. In: Weber M.A., (eds)
Hypertension Medicine. Current Clinical Practice. Humana Press. New
Jersey.
Taylor, D.A., 2015. Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and
Treatment. Critical Care Nursing Clinics of North America. Vol 27 (4): 439-
47.
Turana, Y., Widyantoro, B., and Juanda, G.N., 2017. Hipertensi krisis (emergensi
dan urgensi). In: Turana, Y., and Widyantoro, B., Buku Ajar Hipertensi.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Jakarta.
Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., et al., 2017. Cardiovascular
Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Frontiers
in Cardiovascular Medicine. Vol 3 (51).
Vidt, D.G., 2004. Hypertensive Crises: Emergencies and Urgencies. The Journal of
Clinical Hypertension. Vol 6 (9): 520-5.
Whelton, P.K., Carey, R.M., Aronow, W.S., et al., 2017. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of
High Blood Pressure in Adults: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. Hypertension 2017.
CURRICULUM VITAE

• Nama : Dr. dr. Haidar Alatas, SpPD-KGH., MH., MM.


• Tempat/tanggal lahir : Kudus / 21 Januari 1957
• Agama : Islam
• Alamat kantor : RSU Banyumas, Bagian Penyakit Dalam dan
Instalasi Hemodialisis
• Pangkat : Dokter Pendidik Klinis / IVe
• No. telepon / Fax : (0281) 796191 / (0281) 796133
• Alamat rumah : Jl. Ahmad Yani 26, Purwokerto
• No. telepon / Fax : (0281) 640795 / (0281) 640095
• Handphone : 0811261521
• Alamat email : haidar_papdi@yahoo.com

Pendidikan:
1. Dokter Umum : lulus 1985 (UNDIP)
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam : lulus 1996 (UNDIP)
3. Dokter Spesialis Konsultan Ginjal-Hipertensi : lulus 2012 (UGM)
4. Magister Hukum : lulus 2010 (UNSOED)
cumlaude
5. Magister Manajemen RS : lulus 2012 (UNSOED)
cumlaude
6. S3 Kedokteran : lulus 2018 (UGM)

Anda mungkin juga menyukai